Janice berbalik dan bertemu pandang dengan tatapan dingin Jason."Kamu nggak boleh lapor polisi," ucap Jason dengan tegas. Sinar lampu membuat wajahnya makin dingin.Janice mengepalkan kedua tangannya. Bahunya bergetar. Wajahnya pucat pasi. Dia menggunakan seluruh tenaga untuk menahan emosinya, lalu bertanya, "Kenapa? Karena dia dari Keluarga Tanaka? Karena aku pantas mendapat semua ini?""Kenapa aku yang selalu dikorbankan? Sudah berapa kali menderita dibuat kalian ...."Jason hanya diam. Tatapannya terlihat tenang. Janice seperti kehilangan akal sehatnya. Sesudah melontarkan semua itu, dia menunduk menatap sepatu kulit Jason.Janice hanya memakai sepatu olahraga biasa, sedangkan Jason memakai sepatu kulit mahal yang mengilap. Mereka memang ditakdirkan untuk tidak punya hubungan apa pun.Janice tersenyum mengejek diri sendiri yang begitu tidak tahu diri. "Ya sudah, aku nggak bakal lapor polisi. Kuharap kamu nggak menyesali keputusanmu hari ini."Janice merebut kembali ponselnya, lalu
Janice tidak menanggapi pertanyaan Arya dan langsung menyatakan tujuan kedatangannya. Arya pun tercengang.Sesaat kemudian, Arya bertanya dengan ragu, "Kamu yakin?""Ya.""Oke."Janice pergi setelah mendapat barang yang diinginkan. Arya menutup pintu, lalu menelepon Jason. "Jason, tadi Janice mencariku.""Ya." Jason menyahut dengan tidak acuh.Arya termangu sebelum bertanya, "Kamu sudah menebaknya sejak awal?""Ya.""Heh." Arya bersandar di kursi sambil memutar penanya, lalu bertanya, "Keponakanmu ini nggak mungkin menang darimu. Tapi, kamu nggak takut dia bertindak sembarangan?""Nggak apa-apa." Jason bersikap sangat tenang, seolah-olah semua berada di dalam genggamannya.Arya mencebik dan menimpali, "Ya sudah, itu keponakanmu. Kamu urus sendiri. Tapi, kamu nggak seharusnya mengkhianatiku, 'kan?""Apa maksudmu?""Kamu yang beri tahu dia namaku Yaya? Menyebalkan sekali!""Aku nggak bilang apa-apa kok," jelas Jason.Pena di tangan Arya sontak terjatuh. Dia merasa suhu di ruangannya menj
Jason mendongak. Meskipun terlihat tidak peduli, tatapannya tetap menunjukkan rasa posesif. Janice memakai terusan merah dengan ikat pinggang berwarna cokelat. Kulitnya bening, tubuhnya menggoda.Di leher Janice yang putih, terlihat kalung platinum. Cahaya yang samar seolah-olah terpancar dari tubuh Janice. Sungguh memikat.Risma menyadari tatapan Jason terhadap Janice. Dia membanting cangkir tehnya untuk menarik perhatian semua orang.Setelah merapikan selendang sutra di bahunya, Risma menoleh dan tersenyum anggun. Akan tetapi, tatapannya menyorotkan ejekan saat menyapa, "Bu Ivy, kamu sampai repot-repot menyambut kami. Kami nggak mengganggu istirahatmu semalam, 'kan?"Begitu mengungkit tentang semalam, Ivy tak kuasa bergidik dan merasa gugup. Ketika dia hendak berbicara, Janice tiba-tiba menariknya dan membalas tatapan jahat Risma dengan senyuman."Bu Risma dan Vania berpakaian begitu mewah. Keluarga Karim tentu harus menyambut dengan sepenuh hati. Bagaimanapun, Keluarga Karim selalu
Risma berpura-pura terlihat ragu untuk membangkitkan rasa penasaran orang-orang. Ucapannya pun membuat semua orang menatap Ivy dan Zachary.Wajah Ivy memucat. Zachary menggenggam tangan Ivy dengan ekspresi masam. Zachary ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa ingat kejadian semalam karena mabuk. Ivy yang menceritakan semuanya padanya. Tanpa bukti apa pun, tidak akan ada yang memercayai mereka.Saat ini, Janice menatap Zachary dan memberinya isyarat mata. Zachary yang memahaminya pun menyahut, "Kami baik-baik saja kok.""Baguslah kalau begitu. Kalau nggak, aku bakal merasa sangat bersalah." Risma menepuk dadanya, seolah-olah dirinya benar-benar cemas.Setelah mendengarnya, Anwar mengernyit dan bertanya, "Ada apa?"Dengan ekspresi rumit, Risma menimpali, "Kudengar Pak Zachary ingin sekali kerja sama dengan seorang klien. Aku mengajak keduanya makan bersama. Pak Zachary dan Bu Ivy malah keenakan minum. Aku terpaksa mengantar klien pulang.""Kemudian, Pak Zachary dan Bu Ivy jatuh
Vania merasa jijik hingga ingin muntah, tetapi tidak ada yang bisa dimuntahkannya. Janice berujar dengan lantang, "Siapa suruh mulut kalian bicara sembarangan? Mulut kalian busuk sekali! Kalian cocoknya makan makanan sisa begini!"Saat berikutnya, Janice segera mengambil air yang digunakan seorang paman untuk merendam gigi palsu dan menyiramnya ke mulut Risma. Teriakan menjadi makin histeris.Paman itu pun buru-buru bangkit, lalu melambaikan tangannya sambil berkata dengan terbata-bata, "Eh ... eh .... Gigi palsuku!"Janice sontak memelototi paman itu, lalu menyiram Risma dan Vania lagi. Di sisi lain, Anwar benar-benar terkesiap dengan situasi ini. Dia membentak, "Janice! Berhenti!"Janice berdiri di meja sambil menatap Anwar. Dia memekik dengan murka, "Kenapa kamu selalu memarahi Paman Zachary tanpa tanya alasannya dulu? Kamu nggak pernah pikir, sikapmu padanya menentukan sikap orang lain padanya?""Statusnya memang Tuan Kedua Keluarga Karim, tapi dia selalu diinjak-injak oleh orang l
Vania menggertakkan giginya dan akhirnya tidak berbicara. Pisau itu menggores kulit Risma. Risma pun berteriak, "Vania, tolong Ibu! Wanita ini sudah gila!"Vania menangis sambil berkata, "Janice, jangan begini. Aku tahu kamu nggak bisa menerima realitas ini. Tapi, ibuku nggak bersalah."Wajah Vania memerah karena menangis. Namun, dia tidak akan pernah mengakui kesalahan mereka. Bisa dilihat betapa munafiknya wanita ini.Orang-orang mengenal Vania selama tiga tahun lebih. Ketika melihat ekspresinya yang benar-benar sedih, mereka jadi tidak tahu harus memercayai siapa.Saat ini, Anwar menghardik, "Janice, kamu sudah gila? Lepaskan Bu Risma! Kamu kira audio palsu itu bisa menipu kami semua?"Hardikannya ini bukan hanya menyakiti hati Janice, tetapi juga hati Zachary. Ayahnya lebih memilih untuk memercayai orang luar daripada semua penderitaan yang dialaminya. Jadi, Zachary memekik, "Ayah, semua ini nyata!""Diam! Benar-benar nggak tahu aturan! Suruh Janice keluar!" Anwar bahkan tidak ingi
Keadilan? Heh!"Setelah lapor polisi, kamu mau bilang apa? Bilang aku ingin membunuh ibumu karena menggila? Lantas, kenapa aku tiba-tiba menggila? Siapa yang memprovokasiku?" timpal Janice.Begitu mendengarnya, semua orang menatap Anwar dengan hati-hati. Bukankah Janice menggila setelah Anwar membentak Zachary dan Ivy?Vania termangu. Dia baru menyadari bahwa Janice sudah memasang perangkap sejak mereka bertelepon. Mereka sekeluarga bersikap begitu patuh hanya untuk menunggu Anwar bersuara.Jadi, apa gunanya melaporkan masalah ini kepada polisi? Untuk bersaksi bahwa Anwar yang telah memprovokasi Janice?"Cukup!" Anwar menyergah, "Sepertinya kamu dan ibumu minum kebanyakan. Sebaiknya kalian pulang dan istirahat!""Paman ...." Vania menatap Anwar dengan tidak percaya.Anwar melambaikan tangannya memanggil kepala pelayan, lalu menyerahkan kotak pedang. "Pedang ini nggak cocok untukku. Kalian bawa pulang saja. Antar mereka keluar."Vania dan Risma merasa enggan. Mereka ingin membujuk, teta
"Aku cuma peduli pada hasilnya. Aku nggak perlu mengajarimu lagi harus gimana, 'kan?" Nada bicara Jason terdengar seperti sedang berbicara kepada bawahan.Kegembiraan sontak sirna dari wajah Vania. Tatapannya dipenuhi ketakutan. Dia mengangguk dengan kaku. "A ... aku sudah ngerti. Aku pasti bakal menebus kesalahanku.""Ya." Jason merespons dengan tidak acuh, lalu berbalik dan pergi. Tubuh Vania sontak melemas. Dia hampir terjatuh.Risma segera memapahnya dan berkata, "Vania, kamu harus kuat. Jason belum mencampakkanmu. Masih ada kesempatan.""Memang benar, tapi dia makin nggak peduli padaku.""Nggak masalah. Yang penting dia janji mau menikahimu. Setelah menjadi istri Jason, kamu bisa menyingkirkan semua wanita yang merayunya. Janice cuma bakal mati pada akhirnya!" ucap Risma sambil menggertakkan gigi dan memegang lehernya yang terluka.Vania mendengus. "Janice, kita lihat saja hasilnya nanti."Saat ini, ada pelayan yang kebetulan lewat. Ketika melihat Risma dan Vania, mereka pun diam-
Sebagian besar orang yang hadir di jamuan tersebut baru pertama kali melihat tes narkoba seperti ini, sehingga mereka memandang dengan rasa penasaran. Namun, hanya Vania yang tampak berbeda. Matanya memerah dan dia mulai menangis pelan."Pak, bisa nggak Anda kasih toleransi? Janice masih muda. Kalau masalah ini tersebar, reputasinya akan hancur," ujarnya dengan nada penuh belas kasihan.Polisi tetap menjaga ekspresi tegasnya. "Hukum adalah hukum, tidak seorang pun diizinkan untuk melanggarnya."Begitu mendengar hal itu, beberapa desainer yang sebelumnya berdiri di dekat Janice segera mundur karena takut ikut terseret.Janice mengangkat kepalanya memandang Vania dengan tenang, lalu berkata, "Bu Vania, hasilnya bahkan belum keluar. Kenapa kamu bisa yakin aku pasti bersalah? Kamu punya kemampuan meramal?"Vania sedikit terpaku, lalu buru-buru menghapus air matanya. "Aku cuma khawatir. Aku takut sesuatu terjadi padamu. Maafkan aku kalau aku terlalu ikut campur."Kerumunan mulai memandang J
Tak ingin memprovokasi pelaku, polisi tidak menyebutkan langsung soal narkoba. Namun, semua orang di ruangan itu mengerti maksudnya.Mendengar itu, Amanda terkejut dan langsung menggeleng keras. "Nggak mungkin! Pasti ada kesalahan."Sebelum polisi sempat menjelaskan lebih jauh, sebuah suara tiba-tiba menyela, "Ada apa ini? Kenapa ribut sekali?"Itu suara Vania.Begitu masuk, dia tampak terkejut melihat Amanda. "Bu Amanda, ternyata Anda juga di restoran ini. Eh? Di mana Janice? Ke mana dia?"Polisi yang mendengar bahwa ada orang yang tidak hadir langsung merasa khawatir. Mereka tahu bahwa pengguna barang terlarang sering bertindak di luar kendali, dan jika orang tersebut pergi, itu bisa membahayakan orang lain.Salah satu polisi segera bertanya dengan tegas, "Siapa lagi yang nggak ada di sini? Sekarang dia ada di mana? Kalau kalian nggak jujur, kalian akan dianggap melindungi pelaku dan itu adalah tindak pidana."Amanda mengerutkan alisnya dengan kesal dan melirik ke arah Vania.Vania b
Janice terdiam, bingung dengan maksud Jason. Kata-katanya terdengar seperti sedang meminta pengakuan atau status hubungan. Namun, mana mungkin ada status seperti itu di antara mereka?Orang yang paling dicintai Jason adalah Vania, sedangkan Janice hanyalah alat yang dia gunakan. Bagi Jason, Janice adalah seseorang yang bisa dia korbankan kapan saja.Hati Janice terasa sesak. Dengan suara dingin, dia berkata, "Aku lupa, kamu adalah pamanku."Mendengar itu, mata Jason menyipit, emosinya bergolak seperti gelombang yang dalam. Akhirnya, dia kehilangan kesabaran. Dia menekan belakang kepala Janice dan kembali mencium bibirnya dengan kasar.Napas mereka bertaut dan dia sepenuhnya kehilangan kendali. Dia tidak memberi Janice sedikit pun ruang untuk melawan. Sampai Ketika Janice kehilangan seluruh tenaganya dan hanya bisa pasrah membiarkan Jason mengambil alih, suara lirih keluar dari tenggorokannya."Mm ...."Jason terengah-engah memeluk pinggang Janice erat-erat. Dengan suara serak, dia berk
Melalui jaket yang menutupi tubuhnya, Janice mendengar suara pukulan yang menghantam tubuh, diikuti oleh suara tulang yang patah atau terpelintir.Klang! Pisau bedah jatuh ke lantai.Marco bahkan tidak sempat mengeluarkan suara sebelum tubuhnya ambruk ke lantai. Tali yang mengikat keempat anggota tubuh Janice segera dilepaskan. Tubuhnya yang lemas diangkat dalam pelukan seseorang.Saat tubuhnya digerakkan, jaket yang menutupi wajahnya melorot. Akhirnya, Janice melihat wajah pria yang memeluknya.Jason.Wajahnya sama seperti bayangan di pikirannya ... dingin tanpa ekspresi, tetapi mata itu penuh dengan amarah yang membara dan menyiratkan aura membunuh yang pekat.Dengan sisa kekuatannya, Janice perlahan mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Jason. Dia berkata dengan suara lemah, "Kamu datang menyelamatkanku ...."Sebelum kata-katanya selesai, tangannya jatuh lemas, dan dia pingsan.Jason merasakan sesuatu menyusup ke hatinya, tetapi auranya tetap dingin dan tajam. Dia menatap Marco
Melihat Marco yang semakin mendekat, Janice berusaha keras untuk meronta. Namun, tubuhnya tetap tak dapat digerakkan. Bahkan ketika dia mencoba menjatuhkan dirinya dari kursi, tubuhnya tetap tak bergeser sedikit pun.Tanpa tergesa-gesa, Marco berhenti di depannya, lalu berjongkok. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah serta punggung Janice dengan penuh kesadaran."Benar-benar kulit yang sempurna. Nggak heran hargamu jauh lebih mahal daripada yang lain. Tenang saja, aku akan berhati-hati."Kulit?Janice terkejut dan matanya membelalak. Dengan susah payah, dia membuka mulut dan tergagap, "Ku ... kulit apa? Ha ... harga apa?"Setelah mengatakan itu, rasanya dia telah menghabiskan seluruh tenaganya. Tubuhnya langsung terkulai di lantai, tak mampu bergerak lagi.Mendengar pertanyaannya, Marco sepertinya teringat sesuatu yang membuatnya semakin bersemangat. Tangannya bergerak dengan gelisah, sulit menahan kegembiraannya. Tiba-tiba, dia membungkuk lebih dekat ke Janice, dengan senyum yan
Perasaan di dalam tubuh Janice seperti roller coaster. Dia tahu perumpamaan itu tidak masuk akal, tetapi pikirannya terus berpikir seperti itu. Sensasi itu terasa nyaman sekaligus aneh.Marco menatap Janice dengan saksama, lalu berkata, "Apakah rasanya menyenangkan? Nyaman, bukan? Kamu jauh lebih sesuai dengan kriteriaku dibandingkan yang ada di foto."Foto?Kriteria?Apa maksudnya?Janice tidak punya waktu untuk berpikir lebih jauh. Dia hanya melihat Marco membuka tas yang sudah diletakkan sebelumnya di ruangan itu dengan puas.Ketika Janice melihat isi tas tersebut, rasa takut menyelimutinya. Dia berusaha keras untuk melawan, tetapi tubuhnya tetap sulit dikendalikan. Sementara itu, Marco mendekatinya dengan senyum lebar dan membawa barang-barang dari dalam tasnya.....Di ruang jamuanAcara penyambutan Jason diatur oleh saudara sepupu Anwar yang juga merupakan penanggung jawab tambang saat ini. Menurut urutan keluarga, Jason harus memanggil mereka sebagai paman kelima dan keenam.Beg
Tempat jamuan makan dipindahkan ke sebuah restoran yang lebih mewah, dengan tingkat privasi yang jauh lebih baik. Begitu memasuki ruangan, suasana mewah tersebut langsung terasa.Di dalam ruang privat, sebuah meja panjang dihias dengan sangat elegan dan berkelas.Amanda masuk terlebih dulu untuk menyapa beberapa tamu asing dengan mencium pipi, lalu duduk dengan sopan dan ramah.Janice mengikutinya dengan tenang dari belakang. Namun, baru berjalan beberapa langkah, seorang pria tinggi tiba-tiba muncul dan mengadang jalannya."Hai, Nona," sapa pria itu.Mendengar suara itu, Janice mengangkat pandangannya dan terkejut melihat salah satu desainer favoritnya.Marco.Namanya sangat tradisional dan umum di Idali. Namun, desain-desainnya terkenal karena inovasi dan daya tariknya yang kuat. Kabarnya, semua karya Marco terinspirasi oleh "dewi inspirasi"-nya, yang menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang setia dalam masalah perasaan.Janice merasa terhormat disapa oleh Marco. Saat dia bersiap
Anwar mengangkat pandangannya, dan tatapannya sudah mengatakan segalanya. Pelayan itu tertegun sejenak, lalu segera menunduk dan menyanggupi perintahnya.....Sore hariJanice mengganti pakaiannya dengan sesuatu yang lebih sederhana dan sopan, riasannya juga sangat tipis, membuat penampilannya tampak rendah hati dan bersih.Bagaimanapun, dia hanya karyawan Amanda. Janice tidak ingin mencuri perhatian. Saat hendak berangkat, notifikasi di ponselnya menunjukkan sebuah topik yang sedang trending.[ Jason dan Vania menghabiskan sore yang penuh cinta.]Hanya dari judulnya, Janice sudah tahu isi beritanya. Dia memilih untuk mengabaikan notifikasi itu, lalu mengenakan sepatu hak tinggi dengan tenang dan keluar dari kamar.Baru saja masuk ke dalam lift, dia bertemu dengan Amanda. Amanda mengenakan jumpsuit elegan dengan potongan V-neck yang dihiasi kalung Mutiara. Penampilannya tampak Anggun, tetapi tetap profesional.Dia melirik Janice dan berkata, "Kamu nggak usah berpakaian terlalu sederhan
Norman kembali ke sisi Jason dan berbicara pelan, "Pak Jason, Bu Janice sudah pergi sendiri."Jason terdiam beberapa detik sebelum berkata, "Suruh seseorang mengawasinya.""Baik. Selain itu ...." Norman mendekat dan berbisik beberapa patah kata di telinganya. Jason hanya mengangguk tanpa ekspresi.Dia kemudian berjalan ke arah Vania, mengulurkan tangan untuk mengambilkan tasnya dari bagasi kabin dan menyampirkan jaketnya di Pundak Vania dengan santai."Kota Gunang lebih dingin dibandingkan Kota Pakisa," katanya."Hmm." Vania tersenyum malu-malu, dengan tatapan penuh semangat melihat Jason. Para tamu di sekitar mereka memandangnya dengan iri.....Setelah mengambil barang bawaannya, Janice menemukan Amanda. Amanda terlihat sendirian. "Vania nggak pergi sama kita?""Hmm."Janice sudah menduganya. Ketika dia sedang berpikir, sebuah keributan terjadi tidak jauh darinya.Jason keluar dari bandara sambil menggandeng Vania, menciptakan pemandangan yang heboh. Vania mengangkat pandangannya dan