Jason mendongak. Meskipun terlihat tidak peduli, tatapannya tetap menunjukkan rasa posesif. Janice memakai terusan merah dengan ikat pinggang berwarna cokelat. Kulitnya bening, tubuhnya menggoda.Di leher Janice yang putih, terlihat kalung platinum. Cahaya yang samar seolah-olah terpancar dari tubuh Janice. Sungguh memikat.Risma menyadari tatapan Jason terhadap Janice. Dia membanting cangkir tehnya untuk menarik perhatian semua orang.Setelah merapikan selendang sutra di bahunya, Risma menoleh dan tersenyum anggun. Akan tetapi, tatapannya menyorotkan ejekan saat menyapa, "Bu Ivy, kamu sampai repot-repot menyambut kami. Kami nggak mengganggu istirahatmu semalam, 'kan?"Begitu mengungkit tentang semalam, Ivy tak kuasa bergidik dan merasa gugup. Ketika dia hendak berbicara, Janice tiba-tiba menariknya dan membalas tatapan jahat Risma dengan senyuman."Bu Risma dan Vania berpakaian begitu mewah. Keluarga Karim tentu harus menyambut dengan sepenuh hati. Bagaimanapun, Keluarga Karim selalu
Risma berpura-pura terlihat ragu untuk membangkitkan rasa penasaran orang-orang. Ucapannya pun membuat semua orang menatap Ivy dan Zachary.Wajah Ivy memucat. Zachary menggenggam tangan Ivy dengan ekspresi masam. Zachary ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa ingat kejadian semalam karena mabuk. Ivy yang menceritakan semuanya padanya. Tanpa bukti apa pun, tidak akan ada yang memercayai mereka.Saat ini, Janice menatap Zachary dan memberinya isyarat mata. Zachary yang memahaminya pun menyahut, "Kami baik-baik saja kok.""Baguslah kalau begitu. Kalau nggak, aku bakal merasa sangat bersalah." Risma menepuk dadanya, seolah-olah dirinya benar-benar cemas.Setelah mendengarnya, Anwar mengernyit dan bertanya, "Ada apa?"Dengan ekspresi rumit, Risma menimpali, "Kudengar Pak Zachary ingin sekali kerja sama dengan seorang klien. Aku mengajak keduanya makan bersama. Pak Zachary dan Bu Ivy malah keenakan minum. Aku terpaksa mengantar klien pulang.""Kemudian, Pak Zachary dan Bu Ivy jatuh
Vania merasa jijik hingga ingin muntah, tetapi tidak ada yang bisa dimuntahkannya. Janice berujar dengan lantang, "Siapa suruh mulut kalian bicara sembarangan? Mulut kalian busuk sekali! Kalian cocoknya makan makanan sisa begini!"Saat berikutnya, Janice segera mengambil air yang digunakan seorang paman untuk merendam gigi palsu dan menyiramnya ke mulut Risma. Teriakan menjadi makin histeris.Paman itu pun buru-buru bangkit, lalu melambaikan tangannya sambil berkata dengan terbata-bata, "Eh ... eh .... Gigi palsuku!"Janice sontak memelototi paman itu, lalu menyiram Risma dan Vania lagi. Di sisi lain, Anwar benar-benar terkesiap dengan situasi ini. Dia membentak, "Janice! Berhenti!"Janice berdiri di meja sambil menatap Anwar. Dia memekik dengan murka, "Kenapa kamu selalu memarahi Paman Zachary tanpa tanya alasannya dulu? Kamu nggak pernah pikir, sikapmu padanya menentukan sikap orang lain padanya?""Statusnya memang Tuan Kedua Keluarga Karim, tapi dia selalu diinjak-injak oleh orang l
Vania menggertakkan giginya dan akhirnya tidak berbicara. Pisau itu menggores kulit Risma. Risma pun berteriak, "Vania, tolong Ibu! Wanita ini sudah gila!"Vania menangis sambil berkata, "Janice, jangan begini. Aku tahu kamu nggak bisa menerima realitas ini. Tapi, ibuku nggak bersalah."Wajah Vania memerah karena menangis. Namun, dia tidak akan pernah mengakui kesalahan mereka. Bisa dilihat betapa munafiknya wanita ini.Orang-orang mengenal Vania selama tiga tahun lebih. Ketika melihat ekspresinya yang benar-benar sedih, mereka jadi tidak tahu harus memercayai siapa.Saat ini, Anwar menghardik, "Janice, kamu sudah gila? Lepaskan Bu Risma! Kamu kira audio palsu itu bisa menipu kami semua?"Hardikannya ini bukan hanya menyakiti hati Janice, tetapi juga hati Zachary. Ayahnya lebih memilih untuk memercayai orang luar daripada semua penderitaan yang dialaminya. Jadi, Zachary memekik, "Ayah, semua ini nyata!""Diam! Benar-benar nggak tahu aturan! Suruh Janice keluar!" Anwar bahkan tidak ingi
Keadilan? Heh!"Setelah lapor polisi, kamu mau bilang apa? Bilang aku ingin membunuh ibumu karena menggila? Lantas, kenapa aku tiba-tiba menggila? Siapa yang memprovokasiku?" timpal Janice.Begitu mendengarnya, semua orang menatap Anwar dengan hati-hati. Bukankah Janice menggila setelah Anwar membentak Zachary dan Ivy?Vania termangu. Dia baru menyadari bahwa Janice sudah memasang perangkap sejak mereka bertelepon. Mereka sekeluarga bersikap begitu patuh hanya untuk menunggu Anwar bersuara.Jadi, apa gunanya melaporkan masalah ini kepada polisi? Untuk bersaksi bahwa Anwar yang telah memprovokasi Janice?"Cukup!" Anwar menyergah, "Sepertinya kamu dan ibumu minum kebanyakan. Sebaiknya kalian pulang dan istirahat!""Paman ...." Vania menatap Anwar dengan tidak percaya.Anwar melambaikan tangannya memanggil kepala pelayan, lalu menyerahkan kotak pedang. "Pedang ini nggak cocok untukku. Kalian bawa pulang saja. Antar mereka keluar."Vania dan Risma merasa enggan. Mereka ingin membujuk, teta
"Aku cuma peduli pada hasilnya. Aku nggak perlu mengajarimu lagi harus gimana, 'kan?" Nada bicara Jason terdengar seperti sedang berbicara kepada bawahan.Kegembiraan sontak sirna dari wajah Vania. Tatapannya dipenuhi ketakutan. Dia mengangguk dengan kaku. "A ... aku sudah ngerti. Aku pasti bakal menebus kesalahanku.""Ya." Jason merespons dengan tidak acuh, lalu berbalik dan pergi. Tubuh Vania sontak melemas. Dia hampir terjatuh.Risma segera memapahnya dan berkata, "Vania, kamu harus kuat. Jason belum mencampakkanmu. Masih ada kesempatan.""Memang benar, tapi dia makin nggak peduli padaku.""Nggak masalah. Yang penting dia janji mau menikahimu. Setelah menjadi istri Jason, kamu bisa menyingkirkan semua wanita yang merayunya. Janice cuma bakal mati pada akhirnya!" ucap Risma sambil menggertakkan gigi dan memegang lehernya yang terluka.Vania mendengus. "Janice, kita lihat saja hasilnya nanti."Saat ini, ada pelayan yang kebetulan lewat. Ketika melihat Risma dan Vania, mereka pun diam-
Jantung Janice sontak berdetak kencang. Dia menatap Zachary dengan terkejut. "Kenapa begitu?"Zachary tersenyum murah hati. "Ayah nggak menyukaimu. Kalau tahu masalah ini terjadi karenamu, dia pasti bakal marah besar.""Maaf, Paman." Janice merasa bersalah."Nggak apa-apa. Nggak usah dipikirkan." Zachary mengelus kepala Janice.Ivy tiba-tiba berkata, "Sayang, aku masih lapar. Kita makan lagi yuk.""Oke." Suami istri itu pun bergandengan tangan dan pergi.Janice merasa agak frustrasi. Dia berkeliling di taman. Tiba-tiba, dia melihat sebuah sosok hitam. Itu adalah Jason.Jason sedang berdiri di pinggir kolam sambil merokok. Cahaya di kolam terpantul di wajahnya. Angin sepoi meniup rambut di dahi Jason. Tatapan Jason terlihat mendalam.Janice mengepalkan tangannya, merasa dia harus memperjelas semuanya. Akan tetapi, ponsel Jason tiba-tiba berdering, membuat Janice menghentikan langkah kakinya.Jason membelakangi Janice saat menjawab panggilan. "Jangan nangis lagi. Kak Zachary nggak bakal
Janice tidak percaya bahwa Jason akan bertindak seberani itu di depan Keluarga Karim, apalagi di hadapan Joshua. Dia sama sekali tidak memedulikan ucapan Jason dan terus berusaha diam-diam melepaskan diri dari cengkeramannya.Saat mengangkat kepala, pandangannya bertemu dengan mata Jason yang kelam dan penuh dengan aura mengancam. Semakin lama, mata itu semakin dekat. Baru saat itulah, Janice sadar bahwa Jason tidak memedulikan kehadiran Joshua yang sedang menyaksikan mereka dari seberang.Janice akhirnya merasa panik. Dia mengangkat tangan untuk menahan tubuh Jason yang semakin dekat dan mengangguk sebagai tanda setuju untuk pergi bersamanya. Jason akhirnya berhenti. Dia mengangkat tangan dan mengambil daun yang menempel di rambut Janice.Dengan nada dingin seperti biasanya, dia berkata, "Ada sesuatu."Baru saat itu Janice sadar dirinya telah dikelabui. Dia mengerutkan hidung dengan kesal, tetapi tidak punya pilihan selain menerima kenyataan itu. Dia menoleh ke arah Joshua dan berkata
Jason tidak lagi mengirim pesan, sehingga Arya berpikir percakapan sudah selesai. Saat dia hendak meletakkan ponsel, tiba-tiba muncul sebuah gambar.[ Gimana kalau ini? ]Arya tidak tahu apa yang dilakukan Jason tengah malam begini, sampai-sampai meminta seseorang melukis potret. Namun, dia tetap membuka gambar itu dengan sabar.Hanya dengan sekali lihat, Arya langsung terpaku di tempat dan ketakutan. Terlebih lagi, dia sedang sendirian di lorong rumah sakit yang sunyi. Punggungnya sampai terasa dingin.Sambil mempercepat langkahnya, Arya membalas pesan.[ Persis. Awalnya aku kira itu Janice waktu kecil, tapi sekarang aku akhirnya melihat perbedaannya. Mata ini persis dengan matamu! ]Arya masuk ke kantor, lalu menutup pintu dan meneguk air untuk menenangkan diri. Dia selalu berpikir bahwa mimpi hanyalah sesuatu yang tidak nyata. Namun, sekarang dia mulai merasa ragu.[ Oke, aku sudah paham. ]Jason tidak lagi mengirim pesan setelah itu. Arya sampai tidak bisa tidur sepanjang malam kar
Arya sontak berdiri. "Nggak boleh! Lukamu baru saja sembuh. Sejak kembali dari Kota Gunang, kamu hampir nggak pernah istirahat. Tubuhmu nggak bakal tahan!""Kamu pulang saja. Malam ini aku sudah tukar jadwal malam dengan dokter lain. Aku yang akan membantumu berjaga. Lagi pula, bukankah orang-orangmu juga mengawasi secara diam-diam?" Sambil berbicara, Arya mendorong Jason dengan pelan.Jason mengusap pelipisnya sambil mengangguk pelan. Pada akhirnya, dia berbalik dan keluar dari kantor.....Larut malam, Jason duduk di ruang kerjanya. Kedua tangannya menopang dagunya. Rokok di jarinya perlahan-lahan habis terbakar, sementara asap yang membubung menyembunyikan ekspresinya.Di meja, ponselnya terus memutar ulang rekaman yang didapat dari Malia."Jadi, kamu diam-diam ingin menikah dengan Jason! Bahkan ingin punya anak dengannya! Kamu ingin anak perempuan atau laki-laki?""Anak perempuan.""Anak perempuan ....""Anak ...."Ketika pertama kali mendengar rekaman ini, Jason merasakan perasaan
Saat cairan dalam jarum suntik sepenuhnya masuk ke selang infus, dokter itu menunjukkan senyuman puas di matanya.Namun, detik berikutnya, matanya terbelalak tak percaya. Dia bahkan tidak sempat menoleh, tubuhnya seperti robot yang kehilangan daya dan langsung terjatuh ke lantai.Setelah dokter itu terjatuh, sosok pria di belakangnya pun terlihat. Wajahnya tampan, tetapi memancarkan aura membunuh yang samar.Jason mengelap tangannya. "Bawa dia pergi."Norman melangkah maju, lalu menyeret pria itu keluar dengan mudah.Akhirnya, ruangan itu kembali sunyi. Jason duduk di tepi ranjang. Dengan hati-hati, dia membuka selotip di punggung tangan Janice. Jarum infus itu ternyata tidak benar-benar menembus kulitnya, hanya trik untuk mengelabui.Jason mengusap punggung tangan Janice perlahan, menatap wajahnya yang pucat dan tenang saat tidur. Matanya yang dalam menyimpan emosi yang sulit dibaca. Pada akhirnya, dia menunduk untuk menyembunyikan emosinya. Namun, dia menggenggam tangan Janice semaki
Sosok Jason menyihir perhatian orang, tetapi sekaligus membuat mereka takut. Jason telah datang.Dia mendekati Janice, tetapi Vania tiba-tiba memutar kursi rodanya dan memeluk Jason. "Jason, aku baik-baik saja. Jangan salahkan Janice. Aku cuma ingin berbicara dengannya. Lagi pula, sebulan lagi kita akan menikah.""Nggak ada yang perlu dibicarakan dengannya." Jason berbicara dengan dingin sambil membantu Vania duduk dengan baik di kursi roda.Vania mengerutkan alisnya, bersandar pada Jason. "Jason, jangan begini. Bagaimanapun, dia juga keluarga.""Bukan," jawab Jason dengan tatapan tanpa emosi sedikit pun."Bukan keluarga? Jadi, dia orang luar?" tanya Vania sambil menatap Janice dengan wajah bingung yang dibuat-buat.Sekujur tubuh Janice terasa dingin. Suara yang datang dari kehidupan lain tiba-tiba terngiang di pikirannya."Janice, kamu bersama Jason 8 tahun, tapi nggak bisa menandingiku. Begitu aku kembali, dia langsung ingin kamu menyerahkan tempatmu untukku dan anakku. Dia bahkan bi
Ketika Janice kembali sadar, dia sudah mengenakan pakaian bersih dengan bantuan Ivy dan suster, bahkan darah di kepalanya sudah dicuci bersih.Rambutnya yang setengah kering terurai di pipinya, memberikan kesan indah yang rapuh. Namun, matanya benar-benar hampa, membuatnya seperti boneka kayu yang digerakkan dengan tali.Arya menunduk sambil memotong kulit mati di jarinya dengan hati-hati. Saat melihat jari Janice bergerak sedikit, dia segera menenangkan, "Sebentar lagi selesai, tahan sedikit."Janice mengangguk dengan bengong, lalu bertanya, "Gimana dengan Vania?""Keguguran, pendarahan hebat, tapi sekarang sudah stabil," jawab Arya dengan nada canggung.Mendengar itu, Janice menggertakkan giginya dan mencengkeram tepi ranjang. Dia mengangguk, lalu menggeleng. "Aku nggak mendorongnya."Arya mendongak dengan kaget. Dia menatap mata suram itu dan merasa kasihan. "Sebenarnya ...."Sebelum dia selesai bicara, pintu bangsal dibuka. Vania masuk dengan kursi roda, didorong oleh Risma. Dia me
Segera, Jason melangkah perlahan ke arah Malia. "Setelah ini, kirimkan rekaman itu padaku.""Baik." Malia menjawab dengan mata merah, wajahnya tampak penuh kepedihan. "Pak Jason, aku benaran nggak nyangka Janice bisa sekejam ini. Semua ini salahku.""Aku nggak tahan lagi dengan cara dia diam-diam bersekongkol dengan orang lain untuk menindasku. Makanya, hari ini aku datang untuk memohon agar dia melepaskanku. Aku nggak nyangka dia malah memanfaatkan kesempatan ini untuk mencelakai Vania.""Siapa?" Mata Jason yang tajam menatap Malia."Maksudmu?" Malia terkejut."Dia bekerja sama dengan siapa? Sebutkan namanya.""Eee ...." Bahu Malia mulai bergetar.Tepat pada saat itu, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi panik. "Maaf, Pak Jason. Kami nggak bisa menyelamatkan bayinya. Sekarang pasien juga mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan transfusi darah."Sebelum dokter selesai bicara, perawat sudah berlari masuk dengan kantong darah di tangan.Anwar yang mendeng
"Apa buktinya?" tanya Risma dengan tidak sabar.Malia langsung membuka rekaman suara di ponselnya. Layar menunjukkan tanggal rekaman itu diambil pada malam Natal tahun lalu. Saat itu, hubungan Janice dan Malia sangat baik. Tidak ada rahasia di antara mereka.Janice sontak teringat pada sesuatu. Wajahnya menjadi pucat pasi, bahkan tangan yang terkepal erat gemetaran. Di kehidupan sebelumnya, Malia bisa terus berada di sisi Vania tentu karena punya kemampuan. Wanita ini diam-diam mengumpulkan aib orang lain.Rekaman mulai diputar."Janice, kenapa melamun melihat kembang api? Kamu diam-diam membuat permohonan ya?""Nggak." Suara Janice terdengar sengau, ada rasa malu seolah-olah rahasianya terungkap."Jangan bohong, wajahmu sampai merah. Kamu memikirkan Jason lagi?""Sstt! Jangan sampai ada yang dengar! Dia sudah bersama orang lain.""Tenang saja, cuma kita yang tahu. Ayo, katakan. Barusan kamu pikirin apa?"Malia terus bertanya dengan penasaran. Setelah ragu sejenak, Janice akhirnya ters
Setelah bersumpah, Malia segera bersujud. Suara yang timbul akibat kepalanya yang menyentuh lantai menggema di sepanjang koridor. Siapa pun yang melihatnya akan merasa bahwa dia tidak berbohong.Ivy yang biasanya tidak pernah marah, sampai terengah-engah sambil memegang dadanya. Dia memelototi Malia dengan murka. "Kamu bohong! Kapan aku pernah mengancammu?"Ketika mendengar suara itu, Malia seketika merangkak mundur dengan ketakutan dan bersembunyi di balik kaki Anwar. "Bu, tadi kamu bahkan memukulku dengan tasmu. Kamu masih berani bilang nggak ada yang terjadi? Semua orang di studio melihatnya!""Kamu ...." Ivy terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi.Saat ini, tangisan Risma semakin menjadi-jadi. Dia menghampiri Anwar sambil menunjuk darah di bajunya. "Pak, kamu harus memberi Vania keadilan. Setelah tahu dia mengandung anak Jason, dia sangat bahagia. Setiap hari dia mengajak anaknya mengobrol. Tapi sekarang, karena Janice, nyawanya dan anak itu terancam! Padahal, itu anak pertamanya!"
Di tengah keributan, Janice melihat Vania tiba-tiba mendekatinya. Dia langsung merasa ada yang tidak beres dan segera melepaskan tangan Malia.Namun, Janice tetap terlambat selangkah. Malia yang terlihat seperti sedang memohon ampun dan kehilangan akal sehat, diam-diam mendorong Janice ke arah Vania.Terdengar jeritan tajam, lalu Vania jatuh terguling dari tiga anak tangga. Dia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya dan berkata dengan wajah penuh penderitaan, "Perutku ... sakit sekali ...."Seorang rekan kerja langsung memarahi, "Janice! Vania bermaksud baik karena khawatir padamu, tapi kamu malah memperlakukannya seperti ini?"Rekan lainnya yang membantu menopang Vania, melihat ke arah rok Vania dan berseru ketakutan, "Darah! Banyak sekali darah!"Vania mengerang kesakitan. "Anakku ...."Mendengar itu, reaksi pertama Janice adalah segera menolongnya. Dia ingin mengulurkan tangan untuk membantu Vania, tetapi tiba-tiba seseorang muncul dan menabraknya ke sisi tangga. Lengan Janic