Saat Janice mendengar suara Jason, dia sontak menoleh. Pria di depannya memakai kemeja hitam. Saat angin musim gugur berembus, kemejanya langsung menempel di dada dan memperlihatkan garis tubuh yang sempurna.Mata Janice agak memicing, lalu dia buru-buru pura-pura tidak mengenalnya. Sambil berpura-pura tak mendengar, dia bahkan menunjukkan sikap sedikit gugup ketika bertanya, "Siapa itu?"Namun saat hendak kabur, pergelangan tangannya malah ditangkap. Jason segera menariknya ke jalan kecil yang sepi. Segera setelah itu, Janice berseru, "Lepaskan aku ...."Di tengah angin sejuk, Jason menunduk dan mengecup bibirnya. Kemudian, dia memperhatikan mata Janice yang membelalak terkejut. Kedua tangan wanita itu dipegangnya erat-erat.Jason tidak memberinya kesempatan untuk melawan. Di sisi lain, Janice merasa seperti sedang dihukum. Bibirnya diisap keras-keras hingga dia kehabisan tenaga.Setelah beberapa saat, Jason akhirnya melepaskannya. Satu tangannya menahan pinggang Janice, sementara tan
Dokter itu bertanya, "Apa yang terjadi? Baru saja sembuh dari cedera mata, sekarang malah kaki dan lenganmu yang terluka?"Janice memandangnya dengan curiga sebelum berbalik bertanya, "Gimana kamu bisa tahu mataku sudah sembuh?"Dokter itu terdiam sejenak. Dia menunduk seolah-olah sedang memeriksa pergelangan kakinya. Janice pun menggigit bibir, lalu bertanya pelan, "Jason yang bilang?"Dokter itu tidak merespons sehingga bisa dianggap telah mengiakan pertanyaannya. Janice pun mencengkeram seprai erat-erat. Dia membiarkan dokter merawat lukanya.Janice merasa tidak bisa lepas dari kendali Jason. Pria itu selalu melakukan apa pun yang diinginkannya, lalu meninggalkannya begitu saja.Rasa sakit di pergelangan kaki Janice tiba-tiba membawanya kembali pada kenangan yang menyakitkan dari kehidupan sebelumnya.Terutama kelelahan fisik dan batin, serta perasaan tak berdaya setelah kehilangan putrinya. Janice selalu merasa menderita. Saat ini, perasaan itu muncul lagi.Kenapa Janice harus begi
Di IGD, ternyata Vania hanya mengalami sedikit syok tanpa luka serius. Di ujung ranjang, Malia berdiri sambil mengenakan mantel Jason. Dia terlihat lebih menyedihkan daripada Vania yang terjatuh ke danau.Vania bersandar pada bantal. Sebelum Malia sempat menjelaskan, dia sudah mulai meneteskan air mata perlahan sambil memberi tahu, "Jason, ini salahku. Aku salah paham bahwa Malia punya perasaan terhadapmu, makanya dia mau pinjam mantelmu.""Aku ... aku nggak sengaja menamparnya. Nggak kusangka dia malah mendorongku ke danau seperti orang yang kehilangan akal. Untungnya kamu datang tepat waktu. Kalau nggak, aku sama sekali nggak bisa membayangkan akibatnya," lanjut Vania.Vania menyeka air matanya dengan elegan. Dia menunjukkan martabatnya sebagai putri keluarga terpandang.Sikap Vania berbeda dari Malia yang terlihat menyedihkan dan memelas. Keduanya sama-sama menangis, tetapi jelas Vania terlihat lebih anggun. Pria seperti Jason tidak akan mungkin tertarik pada wanita yang hanya bisa
Malia menggigit bibirnya, lalu melepaskan mantel Jason dengan gemetar sambil berusaha bangkit. Vania meliriknya sekilas, lalu menghina sambil tertawa sinis, "Tubuhmu cuma begini? Nggak bakal ada yang tertarik. Pergilah."Malia berjalan keluar dari IGD dengan wajah pucat sembari memegang dadanya. Orang-orang di sekitar pun mulai memperhatikannya.Namun Malia tidak langsung pergi, melainkan terisak sambil meringkuk seakan-akan mau jatuh. Seorang suster yang baik hati segera menolongnya. Dia bertanya, "Ada apa denganmu?""Aku ... aku jatuh ke danau. Dalam keadaan begini, gimana aku bisa pergi?" jawab Malia sambil meringkuk.Suster itu segera memberinya pelukan, lalu memberi tahu, "Aku akan ambilkan mantel. Jangan menangis lagi.""Makasih, makasih banyak ...." Malia menangis dengan getir. Melihat dia begitu malang, suster itu bahkan merasa iba.Malia tahu bagaimana memainkan perannya agar terlihat menyedihkan. Ini selalu menjadi kelebihannya.Beberapa menit kemudian, Malia berjalan keluar
Setibanya di rumah Keluarga Karim, Janice langsung tidur pulas hingga akhirnya terbangun karena lapar. Dia merasa lelah untuk bergerak sehingga memanggil, "Bu? Paman?"Namun, tidak ada jawaban. Janice mengira suaranya kurang keras sehingga Ivy dan Zachary tidak mendengar. Dia coba meraih ponsel, tetapi malah melihat ada catatan di nakas.[ Ibu menemani pamanmu pergi. Aku sudah siapkan sedikit camilan untukmu. Kalau lapar, makan saja. ]Di piring, hanya ada tiga potong kue kecil. Janice agak kesal. Ibunya bisa-bisanya mengira porsi makannya begitu sedikit.Tanpa pilihan lain, Janice menghabiskan camilan tersebut dalam dua gigitan. Sayangnya, perutnya masih lapar dan berbunyi. Dia akhirnya menelepon dapur dan berharap ada makanan lebih."Bi, apa masih ada makanan?" tanya Janice."Semua koki sudah pulang," jawab pembantu itu dengan santai sambil menguap. Dia memberi isyarat bahwa dia juga ingin tidur."Ya sudah." Janice menutup telepon dengan perasaan sedikit kecewa. Dia menyadari bahwa p
Janice baru saja akan berbicara. Namun Jason tiba-tiba menutup mulutnya dengan tangan, lalu mendekat. Sorot matanya yang dalam dan misterius di bawah cahaya bulan, menyiratkan aura yang berbahaya.Janice berusaha keras untuk melepaskan tangan Jason, tetapi pria itu bergeming. Berhubung kesal, Janice pun menggigit jarinya.Akan tetapi, Jason hanya mengernyit tanpa melepaskannya. Di luar, tiba-tiba terdengar langkah kaki dan celotehan seseorang. "Siapa itu? Jangan-jangan anak Bu Ivy datang mencuri? Malam-malam begini, dia masih saja mau minta makanan. Dasar nggak tahu diri. Apa dia pantas?"Kata-kata itu menggores hati Janice. Di rumah Keluarga Karim, dia selalu dianggap sebagai orang luar yang tidak pantas mendapat apa pun.Janice melepaskan gigitannya, merasa malu, dan menunduk untuk menghindari tatapan Jason. Menyadari pembantu akan masuk, dia memberi isyarat agar Jason melepaskannya.Jason menahannya, lalu memutarnya pelan dan menekannya di atas meja dapur. Dia terus mendekat hingga
Saat Janice masih memikirkan semua hal ini, aroma teh penenang mulai tercium di hidungnya. Dia mendongak dan mendapati secangkir teh hangat sudah berada di depannya. Dengan sedikit terkejut, dia menatap Jason lagi.Pria itu berdiri dengan satu tangan memegang sumpit dan tangan lainnya di saku. Kemeja yang pas badan memperlihatkan garis tubuhnya yang tegap dengan bahu lebar dan pinggang ramping.Meski terlihat santai, ada aura tak bisa didekati yang terpancar dari dirinya. Jason yang berada di hadapannya ini terasa sedikit berbeda dari bayangan yang ada dalam ingatannya.Janice diam-diam meminum teh. Setelah beberapa saat, Jason selesai memasak mi dan menyajikannya di depan Janice."Makanlah," ucap Jason.Janice tersadar kembali. Dia menolak sambil menggeleng, "Nggak perlu, aku sudah nggak lapar." Namun, perutnya malah berkeroncong tepat setelah itu. Janice merasa sangat malu.Jason pun mengangkat alis. Sambil memegang mangkuk, dia bertanya, "Mau aku suapi?"Janice tahu bahwa pria ini s
Thomas melaporkan, "Nona Janice, ada masalah. Di ruang VIP, sama sekali nggak ada orang. Pelayan bilang mereka sudah pergi dari dua jam yang lalu.""Siapa yang mengatur pertemuan hari ini?" tanya Janice dengan cemas.Thomas memberi tahu, "Itu ... ibunya Nona Vania, Bu Risma. Katanya, dia mau memperkenalkan klien besar untuk minta maaf padamu.""Minta maaf padaku, tapi malah nggak mengundangku? Apa maksudnya?" ucap Janice. Dia tidak peduli lagi pada kakinya yang sakit dan langsung berdiri.Janice menambahkan, "Cepat hubungi manajer restoran dan minta mereka simpan rekaman CCTV. Apa ada sopir dari Keluarga Karim yang bisa kamu andalkan?""Ada," jawab Thomas.Janice membalas, "Oke, tolong suruh dia mengantarku ke sana.""Baik," jawab Thomas.Setelah menutup telepon, Janice mengenakan mantel. Meskipun tertatih, dia berjalan keluar rumah dengan cepat. Sopir sudah menunggu di sana. Kemudian, mereka langsung menuju restoran.Pada saat yang sama, Norman yang hendak meninggalkan rumah Keluarga
"Kalau begitu, lihat baik-baik siapa ini." Begitu Anwar selesai bicara, para pengawal menyeret Ivy masuk ke ruangan.Ivy didorong hingga tersungkur di samping tempat tidur. Janice bergegas turun dan membantunya berdiri.Namun, sebelum mereka berdiri dengan stabil, Elaine langsung menerjang ke depan dan menarik paksa kerah baju Ivy."Lihat ini, ini Nyonya Kedua Keluarga Karim. Masih ada tanda dari pria lain di tubuhnya. Pantas saja, dia bersembunyi. Kalau aku jadi dia, aku juga malu bertemu orang."Ivy berusaha sekuat tenaga untuk melawan, tetapi lukanya baru saja sembuh. Dia bukan tandingan Elaine. Janice akhirnya menarik kembali kerahnya dan membantunya merapikan pakaian.Wajah Ivy dipenuhi rasa hina, matanya memerah karena menahan emosi. "Elaine, kamu sudah keterlaluan."Elaine mencibir. "Aku keterlaluan? Setidaknya aku nggak mencari pria lain. Kamu berani bilang kalau wanita di foto ini bukan kamu?"Sambil berbicara, dia mengangkat foto-foto yang kotor itu.Ivy meliriknya sekilas, l
Janice tahu itu Landon, tetapi dalam mimpinya, dia selalu tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Pada akhirnya, dia memilih untuk membuka matanya, menatap kosong ke langit-langit yang putih bersih.Entah berapa lama kemudian, pintu kamar didorong oleh Arya. "Sudah sadar? Masih ada yang sakit nggak?""Aku baik-baik saja." Janice menopang tubuhnya, menggeleng pelan.Arya menggigit bibirnya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Kamu masih ingat apa yang terjadi?"Janice menunduk, lalu menjawab dengan tenang, "Maksudmu aku yang merasa diri sendiri pintar, tapi tetap saja dimanfaatkan, lalu berakhir melompat ke laut? Aku ingat, sangat jelas."Ekspresi Arya menegang. Dia buru-buru menjelaskan, "Bukan, sebenarnya dia ...."Namun, sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Janice sudah menyela, "Dokter Arya, kamu masih ingat apa yang kukatakan saat kita bertemu di bar? Aku akan mengulanginya lagi sekarang. Aku lebih baik mati bersama musuhku daripada diselamatkan olehnya.""Kamu nggak tahu, dem
Janice menutup matanya, merasakan tubuhnya jatuh dengan cepat sebelum akhirnya terhempas ke dalam laut yang sedingin es.Saat ini, dia tak lagi memiliki tenaga, bahkan tak ingin berusaha melawan. Dia membiarkan tubuhnya tenggelam ke dasar laut.Air laut menekan paru-parunya, rasa sesak yang mencekik perlahan-lahan membuat kesadarannya memudar.Tiba-tiba, ombak di atasnya bergejolak. Sebuah bayangan menerobos masuk ke air. Dia ingin sekali melihat dengan jelas siapa itu, tetapi tubuhnya sudah tak mampu bertahan.Lagi pula, mustahil itu Jason. Dari ketinggian seperti itu, dia tidak mungkin melompat.Sebelum kesadarannya sepenuhnya hilang, tubuhnya tiba-tiba dipeluk erat oleh seseorang. Sesaat kemudian, bibirnya ditahan oleh sesuatu.Seperti menemukan harapan terakhir, Janice langsung melingkarkan tangannya di leher orang itu. Tubuhnya mulai didorong ke permukaan air.Namun, tepat saat mereka hampir mencapai permukaan, orang yang memeluknya tiba-tiba melepaskannya. Janice mencoba menggapa
Thiago mengabaikan luka yang terus mengucurkan darah. Dengan penuh kegilaan, dia memutar setir dengan kasar, berusaha membuat mobil di atasnya terlempar.Janice terhantam dua kali sebelum berhasil mencengkeram kursi dan menstabilkan tubuhnya. Dia menarik napas dalam, lalu dengan sekuat tenaga menerjang ke depan, melingkarkan lengannya di leher Thiago dari belakang."Kamu begitu ingin mati? Aku akan mengabulkan keinginanmu!""Dasar jalang! Le ... lepaskan!"Wajah Thiago memerah, tetapi karena terlalu banyak kehilangan darah, bibirnya tampak pucat pasi. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya tanpa sadar memperlambat laju kendaraan.Jason memanfaatkan kesempatan itu untuk mengendalikan mobilnya dan turun dari atas. Dia lalu menabrakkan bagian depan mobilnya ke mobil Thiago, memaksa pria itu untuk berhenti.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Thiago semakin murka. Dengan kekuatan penuh, dia melepaskan cengkeraman Janice.Tubuh Janice membentur kursi dengan keras, membuatnya kesulitan
Langit di luar diselimuti awan hitam yang pekat, sementara angin laut menerpa tubuh Janice dengan keras. Cuaca dan pemandangan ini terasa begitu familier.Di kehidupan lampau, Ivy meninggal di tempat ini. Kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya. Siapa yang tahu bahwa tidak jauh dari lokasi kecelakaan, di dalam rumah itu, tersembunyi segala kebusukan.Tidak, ada seseorang yang tahu. Jason di kehidupan lampau.Saat ini, awan gelap menutupi langit. Laut yang luas terbentang seperti jurang yang siap menelan Janice kapan saja.Tiba-tiba, angin kencang dan hujan deras menerjang, sama seperti gejolak di hatinya yang tak bisa tenang.Matanya berkilat sedih. Di wajahnya, sudah tidak jelas lagi mana air hujan dan mana air mata. Dia berusaha mengendalikan tubuhnya, tetapi kakinya terasa berat.Detik berikutnya, tangan Thiago mencengkeram lehernya dan membantingnya ke tanah. "Aku akan membunuhmu sekarang juga, lalu melemparmu ke laut!"Wajah Janice memerah karena kekurangan oksigen. Dia bahkan ta
"Kamu menyukai kekerasan, tapi selalu merasa nggak pernah mencapai bentuk yang paling sempurna. Jadi, kamu terus bereksperimen, sampai suatu hari kamu mematahkan kaki pacarmu.""Kamu menyukai kecantikan yang cacat, tapi mereka tetap nggak bisa mencapai standar sempurnamu.""Hingga akhirnya, kamu bertemu dengan Rachel yang mengalami amputasi karena cedera. Dia menjadi dewi dalam hidupmu. Di hadapannya, kamu tampil sebagai pria sopan dan penuh perhatian. Tapi, ada seseorang yang terus menanamkan dalam pikiranmu kalau kamu nggak pantas untuknya."Mendengar ini, Thiago tiba-tiba berhenti. Matanya menatap Janice dengan penuh kecurigaan dan penilaian. "Dari mana kamu tahu?""Kamu pikir aku cuma tahu sejauh ini? Aku bahkan bisa memberitahumu apa yang terjadi selanjutnya, lalu kamu akan tahu gimana aku mengetahuinya." Janice sengaja membuatnya penasaran.Semua detail ini sebenarnya adalah informasi yang pernah diungkap oleh polisi di kehidupan sebelumnya.Thiago jelas tidak sabaran. Dia mengep
Benar, Janice sudah lama mengenali Thiago. Atau lebih tepatnya, mengenali dirinya dari kehidupan sebelumnya.Di kehidupan sebelumnya, Thiago dikenal sebagai pewaris keluarga kaya yang paling menakutkan. Karena sejak kecil, Thiago sudah memiliki sindrom XYY.Keluarga Tandiono selalu berusaha menutupi penyakitnya dengan uang, menyuap semua orang agar menutup mulut atas perbuatannya.Dia telah menyakiti banyak wanita. Beberapa bisa dibungkam dengan uang, sementara yang tidak bisa, keluarganya akan menekan mereka sampai hancur lebur.Hingga suatu hari, seorang anonim memberikan bukti lengkap, menangkap Thiago saat dia hendak berbuat kejahatan lagi.Saat itu, berita mengungkap beberapa detail. Misalnya, bagaimana dia mengurung para wanita itu.Jadi, sejak pertama kali bertemu Thiago, Janice sudah mulai belajar cara menyelamatkan diri. Namun setelah itu, investigasi lebih lanjut tidak pernah diumumkan lagi.Misalnya, siapa saja yang pernah menjadi korbannya. Atau hubungan antara dia dan Elai
Setelah tertegun selama beberapa detik, Janice menopang tubuhnya dengan lampu dan perlahan mendekati dinding foto.Yang terlihat adalah foto-foto kaki perempuan yang berbeda. Dari awalnya sekadar foto yang diambil secara diam-diam, lalu potongan anggota tubuh, hingga momen ketika Thiago sendiri memotong kaki mereka.Meskipun Janice sudah menyiapkan mentalnya, semua ini tetap membuat bulu kuduknya berdiri dan berkeringat dingin.Cahaya lampu di tangannya bergetar karena tangannya gemetar, membuat bayangan di foto-foto itu tampak semakin menyeramkan.Namun, dia tidak boleh mundur. Jika dia menyerah sekarang, semua yang telah dia lakukan akan sia-sia.Janice mendekatkan diri ke dinding foto, mencari petunjuk yang bisa digunakan. Saat mengarahkan cahaya ke sudut lain, dia melihat foto-foto lain di dinding sebelah. Kali ini, hanya ada satu orang dalam setiap gambar.Itu Rachel. Dari pertemuan pertama dengan Rachel hingga saat ini, Thiago mendokumentasikan setiap gerak-geriknya. Setiap foto
Saat Janice terbangun, sekelilingnya gelap gulita. Bau anyir darah bercampur dengan aroma asin dan lembap memenuhi udara. Setiap tarikan napas membuatnya ingin muntah."Huek ...." Akhirnya, dia tidak bisa menahannya. Sambil menopang pada sesuatu, dia mulai terbatuk dan muntah.Setelah akhirnya mulai tenang, dia baru sadar bahwa yang digenggamnya adalah jeruji besi. Selain itu, di telapak tangannya ada sesuatu yang lengket. Ujung jarinya gemetar. Dia refleks melepaskan genggamannya.Tiba-tiba, lampu redup di atas kepalanya menyala, cukup untuk menerangi area di sekitarnya. Begitu melihat kondisi sekelilingnya, dadanya terasa sesak. Dia terkunci di dalam ruang sempit seperti sel penjara.Dalam kepanikan, Janice menatap telapak tangannya. Yang lengket itu adalah darah! Dia terkejut hingga membeku di tempat.Saat itu juga, dari balik bayangan di luar jeruji, terdengar suara berat. "Sudah kubilang, kamu nggak akan bisa lari."Suara itu disertai langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian, soso