Malia menggigit bibirnya, lalu melepaskan mantel Jason dengan gemetar sambil berusaha bangkit. Vania meliriknya sekilas, lalu menghina sambil tertawa sinis, "Tubuhmu cuma begini? Nggak bakal ada yang tertarik. Pergilah."Malia berjalan keluar dari IGD dengan wajah pucat sembari memegang dadanya. Orang-orang di sekitar pun mulai memperhatikannya.Namun Malia tidak langsung pergi, melainkan terisak sambil meringkuk seakan-akan mau jatuh. Seorang suster yang baik hati segera menolongnya. Dia bertanya, "Ada apa denganmu?""Aku ... aku jatuh ke danau. Dalam keadaan begini, gimana aku bisa pergi?" jawab Malia sambil meringkuk.Suster itu segera memberinya pelukan, lalu memberi tahu, "Aku akan ambilkan mantel. Jangan menangis lagi.""Makasih, makasih banyak ...." Malia menangis dengan getir. Melihat dia begitu malang, suster itu bahkan merasa iba.Malia tahu bagaimana memainkan perannya agar terlihat menyedihkan. Ini selalu menjadi kelebihannya.Beberapa menit kemudian, Malia berjalan keluar
Setibanya di rumah Keluarga Karim, Janice langsung tidur pulas hingga akhirnya terbangun karena lapar. Dia merasa lelah untuk bergerak sehingga memanggil, "Bu? Paman?"Namun, tidak ada jawaban. Janice mengira suaranya kurang keras sehingga Ivy dan Zachary tidak mendengar. Dia coba meraih ponsel, tetapi malah melihat ada catatan di nakas.[ Ibu menemani pamanmu pergi. Aku sudah siapkan sedikit camilan untukmu. Kalau lapar, makan saja. ]Di piring, hanya ada tiga potong kue kecil. Janice agak kesal. Ibunya bisa-bisanya mengira porsi makannya begitu sedikit.Tanpa pilihan lain, Janice menghabiskan camilan tersebut dalam dua gigitan. Sayangnya, perutnya masih lapar dan berbunyi. Dia akhirnya menelepon dapur dan berharap ada makanan lebih."Bi, apa masih ada makanan?" tanya Janice."Semua koki sudah pulang," jawab pembantu itu dengan santai sambil menguap. Dia memberi isyarat bahwa dia juga ingin tidur."Ya sudah." Janice menutup telepon dengan perasaan sedikit kecewa. Dia menyadari bahwa p
Janice baru saja akan berbicara. Namun Jason tiba-tiba menutup mulutnya dengan tangan, lalu mendekat. Sorot matanya yang dalam dan misterius di bawah cahaya bulan, menyiratkan aura yang berbahaya.Janice berusaha keras untuk melepaskan tangan Jason, tetapi pria itu bergeming. Berhubung kesal, Janice pun menggigit jarinya.Akan tetapi, Jason hanya mengernyit tanpa melepaskannya. Di luar, tiba-tiba terdengar langkah kaki dan celotehan seseorang. "Siapa itu? Jangan-jangan anak Bu Ivy datang mencuri? Malam-malam begini, dia masih saja mau minta makanan. Dasar nggak tahu diri. Apa dia pantas?"Kata-kata itu menggores hati Janice. Di rumah Keluarga Karim, dia selalu dianggap sebagai orang luar yang tidak pantas mendapat apa pun.Janice melepaskan gigitannya, merasa malu, dan menunduk untuk menghindari tatapan Jason. Menyadari pembantu akan masuk, dia memberi isyarat agar Jason melepaskannya.Jason menahannya, lalu memutarnya pelan dan menekannya di atas meja dapur. Dia terus mendekat hingga
Saat Janice masih memikirkan semua hal ini, aroma teh penenang mulai tercium di hidungnya. Dia mendongak dan mendapati secangkir teh hangat sudah berada di depannya. Dengan sedikit terkejut, dia menatap Jason lagi.Pria itu berdiri dengan satu tangan memegang sumpit dan tangan lainnya di saku. Kemeja yang pas badan memperlihatkan garis tubuhnya yang tegap dengan bahu lebar dan pinggang ramping.Meski terlihat santai, ada aura tak bisa didekati yang terpancar dari dirinya. Jason yang berada di hadapannya ini terasa sedikit berbeda dari bayangan yang ada dalam ingatannya.Janice diam-diam meminum teh. Setelah beberapa saat, Jason selesai memasak mi dan menyajikannya di depan Janice."Makanlah," ucap Jason.Janice tersadar kembali. Dia menolak sambil menggeleng, "Nggak perlu, aku sudah nggak lapar." Namun, perutnya malah berkeroncong tepat setelah itu. Janice merasa sangat malu.Jason pun mengangkat alis. Sambil memegang mangkuk, dia bertanya, "Mau aku suapi?"Janice tahu bahwa pria ini s
Thomas melaporkan, "Nona Janice, ada masalah. Di ruang VIP, sama sekali nggak ada orang. Pelayan bilang mereka sudah pergi dari dua jam yang lalu.""Siapa yang mengatur pertemuan hari ini?" tanya Janice dengan cemas.Thomas memberi tahu, "Itu ... ibunya Nona Vania, Bu Risma. Katanya, dia mau memperkenalkan klien besar untuk minta maaf padamu.""Minta maaf padaku, tapi malah nggak mengundangku? Apa maksudnya?" ucap Janice. Dia tidak peduli lagi pada kakinya yang sakit dan langsung berdiri.Janice menambahkan, "Cepat hubungi manajer restoran dan minta mereka simpan rekaman CCTV. Apa ada sopir dari Keluarga Karim yang bisa kamu andalkan?""Ada," jawab Thomas.Janice membalas, "Oke, tolong suruh dia mengantarku ke sana.""Baik," jawab Thomas.Setelah menutup telepon, Janice mengenakan mantel. Meskipun tertatih, dia berjalan keluar rumah dengan cepat. Sopir sudah menunggu di sana. Kemudian, mereka langsung menuju restoran.Pada saat yang sama, Norman yang hendak meninggalkan rumah Keluarga
Janice mengikuti tanda menuju ruang VIP. Sementara itu, Thomas bantu memapahnya. Sambil melihat sekitar, dia bertanya, "Nona Janice, gimana kalau manajernya tetap nggak mau bantu?"Tak lama kemudian, Janice berhenti di depan pintu VIP. Dengan tekad kuat, dia berujar, "Nggak peduli mau atau nggak, dia tetap harus bantu hari ini!"Kemudian, Janice berjalan ke arah alarm kebakaran dan menekannya keras-keras. Segera, seluruh restoran dipenuhi suara alarm. Semua orang mulai berlari keluar, sementara Janice dan Thomas bergerak ke dalam untuk mencari.Namun, mereka tidak menemukan jejak apa-apa padahal sudah mencari sampai ke ruang VIP paling dalam. Bahkan, tidak ada satu sosok pun yang familier."Nona Janice, tetap nggak ketemu," ucap Thomas dengan cemas.Telapak tangan Janice berkeringat dan tubuhnya mulai lemas. Apakah reinkarnasinya tidak bisa mengubah nasib tragis Ivy dan Zachary?Saat Janice panik, seorang pelayan tiba-tiba keluar dari pintu. Janice segera menghentikannya, lalu menunjuk
Norman muncul di hadapannya. Setelah menendang manajer, dia mundur dan memberi ruang bagi orang lain untuk berjalan ke depan.Seorang pria berpakaian hitam melangkah masuk. Dia terlihat berbahaya di bawah lampu putih yang dingin, seolah-olah menahan sesuatu. Melihat Janice yang terjatuh, dia pun membantunya berdiri.Kemudian, Janice sontak mengernyit. Telapak tangannya lecet akibat menopang tubuhnya yang jatuh tadi.Pria itu menunduk untuk melihat lukanya, lalu menyindir dengan suara rendah, "Tadi aku ada di rumah, belum mati."Janice menimpali, "Tapi, Ibu dan Paman ...." Dia berusaha melepas tangan Jason untuk masuk ke ruang sampah dan menyelamatkan mereka.Jason memberi isyarat pada Thomas dan Norman untuk masuk lebih dulu. Sementara itu, dia menarik Janice ke belakang sambil memberi tahu, "Dengan kondisi begini, siapa yang bisa kamu selamatkan? Tunggu di sini."Kemudian, Jason memutar cincin di jarinya dan berjalan mendekati manajer. Dia melihatnya dengan tatapan penuh ancaman.Mana
Di ujung telepon, Vania tertawa terbahak-bahak."Apa yang kumau? Pantas saja kamu begitu nggak tahu diri. Wanita murahan seperti ibumu tentu nggak tahu cara mendidik anak. Dia mendidikmu jadi wanita yang kerjaannya cuma merayu pria. Masa sebagai Nyonya Keluarga Karim, aku nggak boleh memberimu pelajaran?""Kulihat kamu sangat suka mencuri barang orang. Akan kubuat kamu mengembalikan semuanya! Sekarang kamu sudah tahu rasanya, 'kan? Dasar jalang! Kamu pantas mendapatkannya!"Vania tergelak. Jika memungkinkan, dia pasti sudah menghabisi Janice sekarang juga. Saking marahnya, Vania tidak lagi terlihat elegan seperti biasanya.Janice menunduk, lalu menyahut dengan dingin, "Kamu bicara panjang lebar dari tadi, tapi belum menjawab pertanyaanku. Sebenarnya apa yang kamu mau?""Sederhana saja. Aku mau kamu menolak tawaran Amanda. Setelah itu, aku akan memperlakukanmu dan ibumu dengan baik," jelas Vania sambil mengetukkan jarinya ke ponsel. Nada bicaranya pun dipenuhi ancaman."Vania, aku nggak
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan