Sayangnya, Jason adalah orang terakhir yang ingin dimintai tolong oleh Janice dalam hidup ini. Gadis itu membuang muka, lalu menatap anggur putih di depannya. Tak lama, dia langsung menenggak minuman itu.Cangkir teh yang dipegang Jason terhenti sejenak di depan bibirnya. Tubuhnya terus memancarkan aura dingin dan menyeramkan.Ketiga pria yang duduk di dekat Janice tidak menyadari atmosfer yang menegang. Sebaliknya, mereka tertawa begitu gembira."Ternyata Junior pandai minum juga. Ayo, ayo, minum lagi.""Setelah minum dari gelas mereka, kamu juga harus minum dari gelasku. Kalau nggak, aku akan merasa diremehkan!"Begitulah, Janice menenggak tiga gelas besar anggur yang disodorkan padanya berturut-turut. Tenggorokannya terasa terbakar hingga dia tidak mampu bicara. Tangannya bahkan terlalu lemah untuk mengepal.Pipi Janice merah padam, membuat wajah cantiknya kian menawan. Alhasil, para pria di sekitar makin terpikat padanya.Ketiga pria itu saling memandang dan tersenyum mesum. Sayang
Setelah cukup lama, Jason baru mengakhiri ciumannya. Janice bersandar lemas di dinding. Napasnya berpacu dan bibir merahnya membuka dan menutup, membuat pria itu hampir hilang kendali.Ketika Jason mendekatinya lagi, Janice langsung mengalihkan pipinya dan berkata, "Paman sebenarnya mau ngapain? Mau menghiburku setelah menyakitiku?""Apa maksudmu?" tanya Jason sambil menyeka darah di bibirnya. Gigitan Janice yang cukup kuat membuktikan bahwa gadis itu benar-benar marah.Mendengar nada cuek pria itu, Janice memelototinya dengan marah dan berucap, "Paman masih tanya? Apa perlu aku sebutkan semua yang sudah Paman lakukan demi Vania? Paman begitu mencintainya, terus kenapa bersikap seperti ini padaku? Apa aku serendah itu di matamu hingga bisa dimanfaatkan dan diinjak-injak seenaknya?""Tolong jangan libatkan aku dalam hubungan asmara kalian. Aku nggak tertarik! Terima kasih untuk obat mabuknya. Aku sudah nggak apa-apa," tambah Janice. Setelah itu, dia berjalan melewati Jason dan pergi tan
Janice melirik ke arah Vania yang sedang menunduk dan memegangi kepalanya. Dia merasa sedikit linglung.Berhubung Rudy dan yang lainnya sudah pergi, Janice akan menghabiskan segelas anggur terakhir ini. Kemudian, dia akan mencari alasan untuk pergi.Dengan begitu, Janice tidak akan terkesan tidak sopan. Lagi pula, dia sudah meminum obat mabuk. Minum segelas lagi seharusnya tidak akan menjadi masalah.Tepat ketika Janice hendak menenggak anggur itu, pintu di belakangnya tiba-tiba terbuka. Jason masuk dengan raut dingin. Melihat kehadirannya, ekspresi ketiga pria paruh baya itu menjadi lebih kalem.Salah satu dari mereka bertanya dengan penasaran, "Jason, bibirmu kenapa? Baik-baik saja, 'kan?"Jason menyentuh pelan bibirnya dan membalas, "Kena gigit."Mendengar itu, pipi Janice sontak merona. Ketiga pria itu mengira Jason tidak sengaja menggigitnya sendiri. Mereka pun tidak membahasnya lagi.Salah seorang dari mereka menunjuk Vania yang sedang duduk bertopang dagu dan berkata, "Jason, Va
"Gadis jalang!" maki salah satu pria cabul itu."Sebaiknya jaga bicaramu. Aku sudah mulai merekam saat kalian memaksaku minum. Video ini juga sudah kukirim ke teman sekamarku. Kalau aku nggak pulang tepat waktu ke asrama malam ini, besok video ini dipastikan akan jadi trending topic di internet. Kalian nggak mungkin rela hasil kerja keras kalian selama belasan tahun hancur karena aku, 'kan?" gertak Janice.Ketiga orang itu saling memandang. Namun, mereka tidak terlihat terlalu cemas.Salah satu dari mereka berucap dengan sinis, "Kami menghadiri perayaan ini untuk menghormati undangan Pak Rudy. Wajar saja kalau minum-minum dalam acara seperti ini. Lagi pula, kami bisa beralasan kalau kamulah yang merayu kami."Pria lainnya menimpali sambil tersenyum, "Lihat saja gaun yang kamu kenakan. Jelas sekali kalau kamu ingin merayu kami. Para netizen nggak suka dengar cerita wanita yang ditindas. Yang mereka suka dengar itu cerita wanita yang dapat karma dari ulahnya sendiri."Pria ketiga menamba
Janice terbangun di rumah sakit. Mungkin karena trauma, pandangannya gelap gulita. Namun, dia bisa merasakan seseorang bergerak di depannya."Siapa di sana?" tanya Janice dengan suara serak. Dia meraih apa pun yang terjangkau tangannya dan melemparnya ke depan.Tingkah histerisnya mengejutkan semua orang di dalam bangsal. Terdengar suara isakan pelan, lalu seseorang segera mendekat."Janice, kamu kenapa? Ini Ibu, Nak!" ucap Ivy sambil menghampiri Janice. Air mata mengalir deras di pipinya.Janice mengulurkan tangannya ke depan, napasnya tidak teratur. Dia bertanya dengan panik, "Ibu di mana? Kenapa aku nggak bisa lihat Ibu?"Ivy membelalakkan matanya. Tangisnya seketika terhenti saat dia berucap, "Janice, jangan menakuti Ibu!"Janice menatap kosong ke depan dan berkata dengan suara bergetar, "Bu ...."Seisi ruangan jatuh ke dalam keheningan.Kemudian, Ivy tiba-tiba berseru sambil menangis, "Dokter! Dokter!"Dokter yang datang adalah teman Jason. Setelah memeriksa Janice, ekspresinya me
Ivy menatap kedua pria mesum itu dengan tajam. Dia tidak sanggup membayangkan nasib gadis malang mana pun yang jatuh ke tangan mereka."Selidiki kasus ini sampai tuntas!" tuntut Ivy pada polisi di sana.Wajah kedua pria itu memucat. Luka memar di wajah mereka terlihat kian jelas, membuat keduanya terlihat mengerikan.Mereka memang cukup terkenal di industri, tetapi mereka jelas bukan tandingan Keluarga Karim. Siapa yang sanggup menyinggung keluarga berpengaruh itu?Keduanya saling berpandangan. Melihat situasi sudah seburuk ini, mereka memutuskan untuk mengambil risiko dengan mengeluarkan ancaman."Bu Ivy, bagaimanapun kami hanya pria biasa. Apalagi, kami juga minum-minum. Kami hanya berbuat begitu karena nggak tahan godaan. Demi reputasi putrimu, tolong maklumi kami sekali ini," ucap salah seorang pria itu.Ivy membelalakkan matanya dan membalas dengan tajam, "Godaan? Kamu mau bilang kalau putriku merayu kalian bertiga?"Kedua pria itu mengangguk. Seorang dari mereka menyahut, "Memang
Bukan masalah besar? Janice tertawa dingin. Kemudian, dia berkata pada para polisi sambil menunduk, "Kalian sudah dengar sendiri. Mereka nggak mengakui perbuatan mereka. Vania juga bersaksi untuk mereka. Kalau begitu, aku ingin meminta mereka menyerahkan bukti.""Tunjukkan bukti yang bisa menunjukkan kalau aku merayu mereka. Selain itu, aku juga meminta bukti atas tuduhan Vania kalau aku mengambil jalan pintas untuk mendapat koneksi.""Kalian pasti membuat rekaman saat menangani kasus. Sekarang mereka bertiga sudah nggak bisa mengubah pernyataan mereka, bukan?" tanya Janice.Begitu kata-kata itu terlontar, Vania dan kedua pria itu langsung tertegun. Raut puas Vania barusan seketika lenyap, digantikan keterkejutan.Awalnya, Vania bisa memilih untuk diam dan tidak terlibat. Siapa suruh dia membela para pria bejat itu? Kini, dia pun tidak bisa kabur.Salah seorang polisi mengangguk dan menyahut, "Kamera kami selalu menyala, jadi semua perkataan mereka terekam jelas. Apa kalian punya bukti
Vania menyeka air matanya dan bergeser lebih dekat ke Jason. Dia menatap kedua pria itu dengan sorot mengancam. Sebelum bicara, lihat dahulu siapa kekasihnya!Napas kedua pria itu tercekat. Teman mereka yang masih terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit terbayang di pikiran mereka.Mereka lebih baik mati daripada hidup sengsara karena menyinggung Jason!Keduanya terpaksa menunduk dan meminta maaf, "Maaf, Janice. Kami minum terlalu banyak dan hilang kendali. Kami bersalah. Tolong ampuni kami.""Nggak bakal," balas Janice dengan dingin. "Kalau aku mengampuni kalian, kalian nggak akan kapok. Entah siapa yang akan jadi korban kalian di masa depan. Ini buah dari perbuatan kalian sendiri. Rasakan, siapa suruh kalian percaya begitu saja sama omongan orang."Sindiran Janice membuat ekspresi Vania menegang. Namun, dia tidak berani melampiaskan emosinya.Dua pria itu tidak terima masa depan mereka hancur begitu saja. Tanpa memedulikan larangan polisi, mereka menghampiri Janice untuk memin
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe