Pipi Vania bertambah merah. Matanya berkaca-kaca, tetapi dia tidak berani menangis.Vania juga tidak punya nyali untuk marah-marah. Sambil memasang ekspresi terluka, dia mengulurkan tangan untuk meraih Jason.Namun, Jason tiba-tiba mengangkat tangan untuk merapikan lengan bajunya. Dia menghindari sentuhan gadis itu dengan santai."Jason, aku tunanganmu," ucap Vania dengan mata memerah.Jason meliriknya sekilas, lalu membalas dengan datar, "Ya, baru tunangan."Ekspresi Vania sontak membeku. Jason mencondongkan tubuhnya dan berucap, "Kamu masih orang luar, tapi secara hukum Janice adalah anggota Keluarga Karim. Seburuk apa pun dirinya, orang luar nggak berhak menindasnya. Kita sama-sama tahu, hubungan apa yang kita miliki."Usai berkata begitu, Jason memberikan kertas antrean ke tangan Vania. Kemudian, dia segera pergi dari situ.Vania membelalak tidak percaya. Dia berdiri untuk menahan Jason, tetapi Norman langsung mengadangnya."Nona Vania, silakan duduk," ucap Norman."Jason ... Jason
Janice tidak menyalahkan Tracy. Dia bahkan membantunya mencari alasan dengan berkata, "Kak, perubahan cuaca belakangan ini cukup ekstrem. Kesehatan Bibi kurang baik. Lebih baik Kakak pulang dan melihat kondisi Bibi."Yoshua tersenyum tipis dan membalas, "Oke, aku pergi sekarang.""Sampai jumpa," ucap Janice.Setelah Yoshua pergi, lidah Janice tiba-tiba terasa aneh. Alkohol yang diminumnya semalam bercampur dengan bola ketan anggur tadi, membuatnya merasa tidak nyaman.Meski sudah berganti ke gaun rumah sakit, bau makanan yang diletakkan cukup lama di meja makan juga mulai mengganggunya.Untungnya, Janice sudah pernah ke rumah sakit ini sebelumnya. Jadi, dia mengetahui tata letak ruangannya dengan baik.Janice pelan-pelan turun dari ranjang, lalu meraba-raba menuju lemari. Dia membuka lemari itu dan mengambil pakaian yang dibawakan Ivy. Setelah itu, dia berjalan hati-hati ke kamar mandi.Janice menyalakan keran pancuran dan menyisir rambutnya dengan tangan. Dia membungkuk untuk keramas,
Rambut panjang Janice menempel berantakan di dahi dan tengkuknya. Wajahnya basah, membuatnya terlihat pucat dan rapuh. Lapisan air yang menempel di bibir ranumnya menambah kesan seksi.Tetesan air juga membasahi gaun rumah sakit Janice, membuat gaun putih biru itu menempel ketat ke kulitnya. Tanpa dia sadari, tulang selangka dan tubuh di balik pakaian dalam berwarna terangnya terekspos jelas.Janice tidak menyadari tatapan Jason padanya. Dia hanya merasakan napas pria itu menjadi berat.Janice melangkah mundur dan Jason melangkah maju. Pria itu terus mendekatinya hingga akhirnya dia tidak bisa mundur ke mana-mana lagi. Jason berdiri tepat di depannya, menatapnya dengan intens bak binatang buas yang sedang mengawasi mangsanya.Ketika Jason mengangkat tangannya, Janice sontak menahan napas dan menggenggam erat cincin di tangannya. Tiba-tiba, sehelai handuk jatuh ke kepalanya."Aku pergi dulu," ucap Jason dengan suara serak."Paman, cincinmu!" kata Janice sambil mengulurkan cincin itu.Ja
Sejujurnya, Janice tidak terkejut. Bagaimanapun, dia sudah mengalami hal ini di kehidupan sebelumnya. Namun, tetap saja hatinya terluka. Dia sudah memilih jalan yang berbeda, tetapi takdir dan kekuasaan Jason membelenggunya begitu kuat.Janice menyelimuti tubuhnya, tidak ingin meladeni Jason lagi.Jason keluar dan melangkah ke area merokok tanpa ekspresi. Dia lalu mengambil sebatang rokok dan mengetuk kotaknya sambil melamun.Sebelum rokok itu dinyalakan, Norman datang dan berkata, "Pak Jason, saya sudah mendapat petunjuk tentang masalah di antara Nona Janice dan Nona Vania."Norman menyerahkan seberkas dokumen. Sambil menjepit rokok di sela-sela jarinya, Jason membuka halaman dokumen itu."Ini adalah rancangan desain yang diserahkan Nona Vania untuk kompetisi. Di belakangnya adalah rancangan desainnya sebelumnya," lapor Norman. Gaya desain Vania berbeda jauh.Norman menunjuk tanggal rancangan itu dikumpulkan dan melanjutkan, "Tanggalnya tepat sehari setelah Nona Janice pergi mencarimu
Usai berkata begitu, Janice langsung berlinang air mata. Para teman sekamarnya yang barusan marah-marah juga ikut menjadi sendu.Sofia berkata dengan nada tercekat, "Janice, jangan putus asa. Ikuti saja rencana perawatan dokter, kamu pasti akan segera sembuh.""Ya, para dokter di sini hebat-hebat, kok. Kamu harus percaya sama mereka dan sama dirimu sendiri," timpal Mona dengan sedih. Dia menutupi wajahnya yang murung.Layla tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menyeka air matanya tanpa suara.Melihat reaksi mereka, Malia tahu bahwa penglihatan Janice akan sulit disembuhkan. Dia pun berakting sedih. Tubuhnya bergetar dan air matanya mengalir. Dia memeluk Janice dengan erat dan berkata, "Nggak mungkin! Kamu pasti akan baik-baik saja! Huhuhu ...."Siapa pun yang melihat hal ini akan mengira bahwa Malia sangat menyayangi Janice. Namun, Janice tahu bahwa gadis itu memeluknya seerat ini untuk menutupi senyum puasnya.Faktanya, Malia memang sedang tersenyum. Dia berharap sepenuh hati agar Jani
Malia berucap dengan sedikit lantang, "Aku juga akan magang di studio Amanda."Janice sedikit tertegun mendengarnya. Mona yang pertama berekasi dengan bertanya, "Gimana bisa? Janice dan Vania bisa magang di studio Amanda karena menang kompetisi. Kenapa kamu juga bisa bergabung?"Malia melangkah mundur sambil meremas ujung gaunnya dengan gugup. Dia berlagak seolah-olah sedang diintimidasi."A ... aku kebetulan dapat kesempatan. Aku hanya coba-coba, nggak disangka beneran lolos. Janice, jangan marah," sahut Malia dengan berlinang air mata.Sofia memelototinya dan membentak, "Nggak usah bicara lagi! Apa kamu nggak dengar pesan Dokter tadi? Janice nggak boleh stres. Apa kamu sengaja ingin membuatnya kesal dengan mengucapkan hal itu?""Aku hanya beruntung, jadi nggak perlu bekerja sekeras Janice. Setelah mata Janice sembuh, kami akan magang bersama. Bukankah itu berita bagus?" balas Malia seraya terisak.Beruntung? Tidak perlu bekerja sekeras Janice? Setelah mata Janice sembuh? Setiap kata-
Ketika Janice bangun pagi ini, penglihatannya masih gelap gulita. Namun, beberapa titik putih perlahan muncul di depan matanya, disusul dengan siluet buram. Saat itulah, Malia datang.Sekarang, pada dasarnya Janice sudah bisa melihat wajah orang-orang dengan jelas. Dia hanya berpura-pura di depan Malia tadi. Siapa suruh gadis itu meracuni susunya!Janice menurunkan jari telunjuknya dan menggigit onde-onde sambil berkata, "Kalian pergi kerja saja. Aku sudah nggak apa-apa.""Tapi, Malia ...," ucap Layla sambil menunjuk ke arah pintu. Dia tidak tenang meninggalkan Janice dengan Malia."Ini di rumah sakit, dia nggak akan berani macam-macam," kata Janice."Oke, deh."Ketiga temannya pun berkemas, lalu pergi dari bangsal. Malia baru kembali setelah mereka pergi. Ekspresinya sudah terlihat tenang, tetapi ada senyum mencurigakan di wajahnya. Janice pura-pura tidak tahu dan masih berakting buta."Janice, cuaca di luar sangat cerah. Gimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Kalau kamu bisa rileks,
Malia tidak menyerah untuk mendapatkan perhatian Jason. Dia mencoba untuk berdiri, tetapi tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke depan.Jason membawa Janice mundur selangkah. Alhasil, Malia terjatuh dengan menyedihkan di depan kaki mereka berdua.Di titik ini, kebanyakan orang mungkin akan memilih pingsan dan berhenti berulah. Namun, Malia jelas tidak seperti kebanyakan orang. Dia meraih celana Jason dengan tangan gemetar. Bajunya yang basah kuyup sedikit mengekspos tubuhnya.Bukannya menutupi tubuhnya, Malia berkata sambil menatap Jason dengan tatapan memelas, "Jason, aku mencemaskan keselamatan Janice, jadi aku kembali lagi. Aku takut akan mengejutkan Janice yang berdiri di tepi danau, jadi aku diam-diam mendekat. Tak tahunya, aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke danau.""Jason, ini salahku. Aku sudah membuat Janice takut," tambah Malia dengan air mata berlinang. Dia sepenuhnya mengabaikan Janice, seolah-olah gadis itu tidak berada di sana.Janice berusaha melepas pel
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe