Klang! Kaca mobil bukan hanya utuh, tetapi tidak ada retakan sedikit pun. Janice bersandar pada pintu mobil dengan agak bingung.Saat ini, jendela mobil perlahan-lahan turun, memperlihatkan tatapan dingin Jason. Pada saat yang hampir bersamaan, pintu mobil terbuka dan lengan panjang melingkari pinggang Janice. Jason mengangkatnya dan menendang pria yang mendekat.Begitu melihat Jason, pria itu segera berdiri dan menarik rekannya pergi. Jason melirik Norman sekilas. Norman mengangguk dan diam-diam pergi.Ketika melihat keduanya pergi, Janice baru saja ingin menghela napas lega. Namun, terdengar suara dingin di atas kepalanya. "Apa yang terjadi?"Janice mengerutkan bibirnya. Beberapa kata yang ingin dikeluarkannya terpaksa ditarik kembali. Dia yakin orang-orang itu dikirim oleh Vania. Vania pasti merasa ponselnya terlalu baru, jadi mengutus orang untuk merampok ponsel lamanya.Namun, apakah Jason akan percaya? Itu tidak mungkin. Dia adalah orang yang rela menghabiskan banyak uang untuk V
"Siapa yang bilang begitu?""Menurutmu? Pokoknya aku nggak mau! Aku nggak akan pakai yang sama denganmu ...."Janice merasakan dasi di pergelangan tangannya mengencang. Tubuhnya terhuyung ke depan. Saat berikutnya, Jason menciumnya dengan kuat, membuatnya tidak bisa berbicara lagi.Janice berusaha melawan sekuat tenaga. Di tengah perlawanannya, dia merasakan dingin pada pergelangan tangannya. Jam tangan itu akhirnya terpasang.Beberapa saat kemudian, Jason melepaskan dasi dari pergelangan tangannya dan membawanya turun dari mobil. Janice menjulurkan tangan untuk melepaskan jam tangannya.Jason memegang dasi yang ada di tangannya dan berkata, "Kalau kamu berani, lepaskan saja."Janice mengutuk dalam hati, merasa pria ini gila. Namun, dia tahu Jason bisa melakukan apa saja. Pada akhirnya, Janice menurunkan tangannya dan mengikuti langkahnya.Jason membawanya ke restoran di sekitar. Sepertinya dia sudah memesan tempat sebelumnya. Manajer langsung mengantar mereka ke meja yang sudah dipesa
Setelah pulang kerja, Vania langsung pergi ke tempat reparasi ponsel. Orang itu menyalakan komputer dan menghubungkan ponsel lama yang diberikan Vania.Ketika melihat layar komputer yang terus berkedip, senyuman tersungging di bibir Vania. 'Janice, sebaik apa pun kamu menyembunyikannya, aku tetap menemukannya. Apa yang bisa kamu banggakan tanpa bukti?'"Sudah terbuka.""Aku mau lihat."Vania mengambil ponsel itu dengan tidak sabar, lalu memeriksanya. Namun, selain catatan obrolan yang normal, tidak ada apa pun yang berkaitan dengan dirinya.Dengan perasaan enggan, Vania membuka galeri Janice untuk memeriksa foto dan video. Alhasil, tidak ada apa-apa."Ini nggak mungkin! Dia bahkan melarangku menyentuh ponselnya yang jelek ini. Pasti ada sesuatu! Coba cari apa ada file yang dia sembunyikan?""Baik." Orang itu kembali mengutak-atik komputer dan menemukan sesuatu."Memang ada sebuah album foto yang disembunyikan.""Perlihatkan kepadaku!" ucap Vania dengan antusias.Dalam waktu kurang dari
Begitu mendengarnya, Janice segera menyela, "Ibu, jangan. Kamu tahu gimana sikap Keluarga Hariwan sekarang. Kamu mungkin nggak percaya Paman Jason. Tapi, kamu nggak mungkin nggak percaya pada Paman Zachary, 'kan?""Benar juga. Tapi, kali ini Keluarga Hariwan menarik banyak investor untuk proyek mereka. Mereka pasti punya keyakinan yang besar," sahut Ivy sambil menguap.Janice menyuruhnya untuk tidak terlalu khawatir dan segera tidur. Setelah mengakhiri panggilan, kegelisahan dalam hatinya semakin kuat.....Janice tidak menyukai tatapan Howard terhadapnya, tetapi pekerjaan tetap pekerjaan. Dia pun mendesain sebuah bros pria dengan sepenuh hati.Dengan ikan koi sebagai inspirasi, Janice membuat gambar ikan yang sedang berputar dengan sirip dan ekor yang mengembang di air. Kepala ikan menggunakan batu safir milik Howard. Bagian lainnya menggunakan berlian putih dan batu safir dengan berbagai tingkat warna.Amanda merasa sangat puas. Bagi pria, desain ini tidak terlalu lembut. Selain itu,
Saat mendengar suara itu, fokus semua orang pun teralihkan, termasuk Janice. Ini memang sesuatu yang bisa dilakukan oleh Malia. Tidak peduli dalam situasi apa pun, Malia akan menunjukkan kelemahannya untuk mendapatkan simpati orang lain.Dulu di sekolah, para siswa masih sangat polos, apalagi mereka tahu kondisi keluarga Malia yang buruk. Makanya, mereka selalu bersimpati padanya.Namun, di sini setiap pasang mata penuh dengan kecerdikan. Siapa yang tidak tahu isi pikirannya? Amanda lantas mengerutkan keningnya dan berkata, "Nggak usah dibersihkan, keluar.""Baik, Bu." Mata Malia memerah. Bibirnya digigit dengan kuat. Dia tampak seperti hewan kecil yang butuh perlindungan.Howard segera memapah Malia dan tersenyum. "Nggak ada yang perlu dicemaskan, cuma masalah sepele kok."Malia mengangkat wajahnya. Dengan mata berkaca-kaca, dia berucap, "Terima kasih, Pak." Setelah itu, dia melangkah keluar sambil menoleh sesekali.Janice kembali fokus dan melihat ke arah batu safir di atas meja. Saa
"Kenapa kamu tiba-tiba menjatuhkan cangkir teh hari itu?" Amanda mulai kehilangan kesabaran."Bu, aku benaran nggak sengaja. Aku cuma tertarik pada batu safir itu, jadi fokusku teralihkan. Lalu, tanganku gemetar dan aku menjatuhkan cangkir teh," jelas Malia sambil terisak-isak.Begitu Malia selesai berbicara, Janice langsung merasakan tatapan tajam yang penuh niat jahat. Itu adalah tatapan Vania.Vania maju dan bertanya dengan curiga, "Bu, apa ada masalah dengan batu safir itu?"Amanda tidak menjawab, yang berarti perkataan Vania benar. Vania mengusulkan dengan sok bijak, "Gimana kalau kita periksa rekaman CCTV saja? Malia yang begitu penakut nggak mungkin berani macam-macam dengan barang semahal itu."Malia menangis. "Benar, aku setuju. Bu, aku minta keadilan."Saat berikutnya, Bella berkata, "Bu, sebelumnya aku sudah menyimpan rekaman CCTV dari ruang rapat."Setelah mendengar ini, wajah Amanda berubah serius. Dia mendongak dan menatap Bella. "Sepertinya kamu semangat sekali ya.""Aku
Kata-kata Janice menyadarkan Amanda. Mereka saling bertukar pandang dan langsung memahami apa yang terjadi. Namun, Amanda memiliki kekhawatirannya sendiri."Yang kamu bilang masuk akal. Tapi, kita nggak bisa apa-apa tanpa bukti. Batu seharga puluhan miliar hilang di tempat kita. Kalau sampai orang lain tahu, siapa yang masih berani mencari kita?""Kalaupun aku ingin melindungimu, mungkin ada orang yang nggak akan setuju. Lagi pula, di surat penerimaan sudah ada tanda tanganmu. Itu artinya, kamu sudah memeriksa kualitas batu safir itu. Kamu paham maksudku, 'kan?"Amanda menatap Janice dengan serius. Janice mengangguk. Amanda sedang memberi peringatan. Jika pada akhirnya tidak ada bukti, kemungkinan besar dia akan dijadikan kambing hitam dan menanggung semua konsekuensinya.Janice menarik napas dalam-dalam. "Aku paham."Saat berikutnya, ponselnya berbunyi. Setelah melihat nomor yang muncul, ekspresinya menunjukkan kegembiraan. Dia menunjukkan ponselnya kepada Amanda. "Sepertinya tebakank
"Janice, aku sangat baik padamu selama ini. Kenapa kamu nggak berterima kasih padaku sebagai orang yang lebih tua darimu? Aku sudah menginvestasikan puluhan miliar untukmu."Howard tiba-tiba berdiri dan menerjang ke arah Janice, lalu meraih jasnya. Untuk menghindari cengkeraman Howard, Janice lantas melepaskan jasnya.Howard melempar jas itu ke lantai dan mulai mengejar. Karena tidak bisa menghindar, Janice akhirnya dipeluk Howard dengan erat. Dalam pergumulan itu, lengan baju Janice robek.Ketika menatap kulit putih dan mulus itu, Howard tak kuasa menarik napas dalam-dalam. "Janice, tubuhmu wangi sekali. Biarkan aku menciummu.""Lepaskan aku! Aku bukan datang untuk ini!" Janice berjuang sekuat tenaga. Saat berikutnya, dia dia menendang selangkangan Howard dengan lututnya.Jelas sekali, Howard tidak sekuat Jason. Howard tidak sempat bereaksi. Wajahnya memerah karena kesakitan. Kemudian, dia mendorong Janice dengan kuat."Dasar jalang sialan!" maki Howard.Janice terbentur meja dan jatu
Janice terpaku sejenak. Saat dia mencoba menutup pintu lagi, Jason sudah melangkah masuk ke kamar. Bunyi pintu tertutup membangunkannya dari keterkejutan. Dia segera berdiri di hadapan Jason dan mencoba menghalangi langkahnya."Aku cuma pesan kamar dengan tempat tidur biasa. Nggak ada tempat untukmu tidur," katanya dengan nada tegas."Bukan pertama kalinya kita tidur bersama," balas Jason dengan nada santai, sambil memindahkan tangan Janice dari jalannya dan berjalan ke dalam kamar.Wajah Janice langsung memanas. Tiba-tiba dia teringat pakaian yang masih berserakan di atas tempat tidur. Dia segera berlari ke tempat tidur dan dengan panik menutupi semuanya dengan selimut.Sambil menekan selimut dengan tangannya, dia menunjuk ke sekitar kamar. "Paman, kamu lihat sendiri, ini kamar standar, sederhana sekali. Sebaiknya kamu kembali saja. Bukankah ada kehangatan yang menunggumu?""Kehangatan?" Jason menyandarkan tubuhnya ke lemari TV, memasukkan kedua tangannya ke saku, dan menatap Janice d
Janice langsung menjawab, "Borgol itu harus sepasang."Baru saja kata-katanya selesai, pemilik stan langsung paham maksudnya. Dia mengambil satu gelang capybara lagi dan memasangkannya di pergelangan tangan Jason."Lihat! Sepasang! Kalau kalian bergandengan tangan, itu jadi seperti borgol."Saat itulah Janice menyadari bahwa sejak selesai menembak tadi, Jason terus menggenggam tangannya. Dia mencoba menarik tangannya beberapa kali, tetapi cengkeraman Jason tetap tak tergoyahkan. Dengan nada kesal, dia berkata, "Kamu sengaja, ya?"Jason tidak membalas, hanya menggenggam tangannya erat dan berjalan pergi sambil berkata, "Benda ini jelek sekali."Jelek, tapi kamu tetap membujuk pemilik stan untuk memakaikannya. Gelang murah seharga belasan ribu itu kini terlihat aneh berdampingan dengan jam tangan Jason yang harganya setara sebuah mobil mewah.Janice menoleh ke belakang, mendapati bahwa pria-pria yang tadi mengikutinya sudah menghilang. Dia menatap Jason dengan penuh curiga. "Mereka itu s
Melihat wajah Janice yang pucat, Amanda berusaha menenangkannya, "Istirahatlah lebih awal. Jangan terlalu mikirin apa yang terjadi hari ini."Namun, setelah kembali ke kamarnya, Janice tidak bisa tidur. Marco mengatakan bahwa dia telah "dijual".Siapa yang menjualnya?Lalu, ada Vania yang tampaknya tahu sesuatu ketika dia muncul. Namun, Vania terus bersama Jason sepanjang waktu. Yang paling membingungkan adalah potongan-potongan kenangan aneh yang muncul di pikirannya.Janice mencoba mengingat, tetapi dalam dua kehidupan yang diingatnya, tidak pernah ada memori seperti itu. Semakin dipikirkan, semakin rumit rasanya. Pada akhirnya, dia bahkan merasa lapar.Janice bangkit untuk mengambil menu di samping telepon dan membukanya. Semua harga makanan di hotel itu berjumlah puluhan juta ke atas.Meskipun Zachary telah memberinya kartu, Janice tahu dia harus mulai mengatur keuangannya untuk masa depan.Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk keluar. Dia pernah membaca bahwa jajanan mala
Seorang polisi lain membuka tas yang ditemukan di samping Marco. Setelah melihat isinya, ekspresinya berubah serius.Dengan mengenakan sarung tangan, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Selembar kulit manusia yang telah diproses, tampaknya bagian punggung seseorang. Beberapa desainer yang melihatnya langsung merasa mual dan muntah di tempat.Polisi yang memimpin segera berdiri di depan para tamu untuk mencegah mereka mendekat dan berkata, "Jangan sebarkan kabar ini. Polisi akan meminta keterangan kalian nanti."Mendengar hal itu, ekspresi Vania menjadi tidak terkendali. Urat di pelipisnya terlihat menonjol dan dia mundur beberapa langkah dengan panik. Namun, gerak-geriknya itu tidak luput dari pengamatan polisi."Bu Vania, Anda juga perlu tinggal untuk dimintai keterangan.""Aku? Kenapa aku? Aku nggak tahu apa-apa ...." Vania belum selesai bicara saat tubuhnya menabrak seseorang.Ketika berbalik, dia melihat Jason. Matanya langsung dipenuhi rasa sedih dan tertekan. "Jason, aku cum
Sebagian besar orang yang hadir di jamuan tersebut baru pertama kali melihat tes narkoba seperti ini, sehingga mereka memandang dengan rasa penasaran. Namun, hanya Vania yang tampak berbeda. Matanya memerah dan dia mulai menangis pelan."Pak, bisa nggak Anda kasih toleransi? Janice masih muda. Kalau masalah ini tersebar, reputasinya akan hancur," ujarnya dengan nada penuh belas kasihan.Polisi tetap menjaga ekspresi tegasnya. "Hukum adalah hukum, tidak seorang pun diizinkan untuk melanggarnya."Begitu mendengar hal itu, beberapa desainer yang sebelumnya berdiri di dekat Janice segera mundur karena takut ikut terseret.Janice mengangkat kepalanya memandang Vania dengan tenang, lalu berkata, "Bu Vania, hasilnya bahkan belum keluar. Kenapa kamu bisa yakin aku pasti bersalah? Kamu punya kemampuan meramal?"Vania sedikit terpaku, lalu buru-buru menghapus air matanya. "Aku cuma khawatir. Aku takut sesuatu terjadi padamu. Maafkan aku kalau aku terlalu ikut campur."Kerumunan mulai memandang J
Tak ingin memprovokasi pelaku, polisi tidak menyebutkan langsung soal narkoba. Namun, semua orang di ruangan itu mengerti maksudnya.Mendengar itu, Amanda terkejut dan langsung menggeleng keras. "Nggak mungkin! Pasti ada kesalahan."Sebelum polisi sempat menjelaskan lebih jauh, sebuah suara tiba-tiba menyela, "Ada apa ini? Kenapa ribut sekali?"Itu suara Vania.Begitu masuk, dia tampak terkejut melihat Amanda. "Bu Amanda, ternyata Anda juga di restoran ini. Eh? Di mana Janice? Ke mana dia?"Polisi yang mendengar bahwa ada orang yang tidak hadir langsung merasa khawatir. Mereka tahu bahwa pengguna barang terlarang sering bertindak di luar kendali, dan jika orang tersebut pergi, itu bisa membahayakan orang lain.Salah satu polisi segera bertanya dengan tegas, "Siapa lagi yang nggak ada di sini? Sekarang dia ada di mana? Kalau kalian nggak jujur, kalian akan dianggap melindungi pelaku dan itu adalah tindak pidana."Amanda mengerutkan alisnya dengan kesal dan melirik ke arah Vania.Vania b
Janice terdiam, bingung dengan maksud Jason. Kata-katanya terdengar seperti sedang meminta pengakuan atau status hubungan. Namun, mana mungkin ada status seperti itu di antara mereka?Orang yang paling dicintai Jason adalah Vania, sedangkan Janice hanyalah alat yang dia gunakan. Bagi Jason, Janice adalah seseorang yang bisa dia korbankan kapan saja.Hati Janice terasa sesak. Dengan suara dingin, dia berkata, "Aku lupa, kamu adalah pamanku."Mendengar itu, mata Jason menyipit, emosinya bergolak seperti gelombang yang dalam. Akhirnya, dia kehilangan kesabaran. Dia menekan belakang kepala Janice dan kembali mencium bibirnya dengan kasar.Napas mereka bertaut dan dia sepenuhnya kehilangan kendali. Dia tidak memberi Janice sedikit pun ruang untuk melawan. Sampai Ketika Janice kehilangan seluruh tenaganya dan hanya bisa pasrah membiarkan Jason mengambil alih, suara lirih keluar dari tenggorokannya."Mm ...."Jason terengah-engah memeluk pinggang Janice erat-erat. Dengan suara serak, dia berk
Melalui jaket yang menutupi tubuhnya, Janice mendengar suara pukulan yang menghantam tubuh, diikuti oleh suara tulang yang patah atau terpelintir.Klang! Pisau bedah jatuh ke lantai.Marco bahkan tidak sempat mengeluarkan suara sebelum tubuhnya ambruk ke lantai. Tali yang mengikat keempat anggota tubuh Janice segera dilepaskan. Tubuhnya yang lemas diangkat dalam pelukan seseorang.Saat tubuhnya digerakkan, jaket yang menutupi wajahnya melorot. Akhirnya, Janice melihat wajah pria yang memeluknya.Jason.Wajahnya sama seperti bayangan di pikirannya ... dingin tanpa ekspresi, tetapi mata itu penuh dengan amarah yang membara dan menyiratkan aura membunuh yang pekat.Dengan sisa kekuatannya, Janice perlahan mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Jason. Dia berkata dengan suara lemah, "Kamu datang menyelamatkanku ...."Sebelum kata-katanya selesai, tangannya jatuh lemas, dan dia pingsan.Jason merasakan sesuatu menyusup ke hatinya, tetapi auranya tetap dingin dan tajam. Dia menatap Marco
Melihat Marco yang semakin mendekat, Janice berusaha keras untuk meronta. Namun, tubuhnya tetap tak dapat digerakkan. Bahkan ketika dia mencoba menjatuhkan dirinya dari kursi, tubuhnya tetap tak bergeser sedikit pun.Tanpa tergesa-gesa, Marco berhenti di depannya, lalu berjongkok. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah serta punggung Janice dengan penuh kesadaran."Benar-benar kulit yang sempurna. Nggak heran hargamu jauh lebih mahal daripada yang lain. Tenang saja, aku akan berhati-hati."Kulit?Janice terkejut dan matanya membelalak. Dengan susah payah, dia membuka mulut dan tergagap, "Ku ... kulit apa? Ha ... harga apa?"Setelah mengatakan itu, rasanya dia telah menghabiskan seluruh tenaganya. Tubuhnya langsung terkulai di lantai, tak mampu bergerak lagi.Mendengar pertanyaannya, Marco sepertinya teringat sesuatu yang membuatnya semakin bersemangat. Tangannya bergerak dengan gelisah, sulit menahan kegembiraannya. Tiba-tiba, dia membungkuk lebih dekat ke Janice, dengan senyum yan