Begitu mendengarnya, Janice segera menyela, "Ibu, jangan. Kamu tahu gimana sikap Keluarga Hariwan sekarang. Kamu mungkin nggak percaya Paman Jason. Tapi, kamu nggak mungkin nggak percaya pada Paman Zachary, 'kan?""Benar juga. Tapi, kali ini Keluarga Hariwan menarik banyak investor untuk proyek mereka. Mereka pasti punya keyakinan yang besar," sahut Ivy sambil menguap.Janice menyuruhnya untuk tidak terlalu khawatir dan segera tidur. Setelah mengakhiri panggilan, kegelisahan dalam hatinya semakin kuat.....Janice tidak menyukai tatapan Howard terhadapnya, tetapi pekerjaan tetap pekerjaan. Dia pun mendesain sebuah bros pria dengan sepenuh hati.Dengan ikan koi sebagai inspirasi, Janice membuat gambar ikan yang sedang berputar dengan sirip dan ekor yang mengembang di air. Kepala ikan menggunakan batu safir milik Howard. Bagian lainnya menggunakan berlian putih dan batu safir dengan berbagai tingkat warna.Amanda merasa sangat puas. Bagi pria, desain ini tidak terlalu lembut. Selain itu,
Saat mendengar suara itu, fokus semua orang pun teralihkan, termasuk Janice. Ini memang sesuatu yang bisa dilakukan oleh Malia. Tidak peduli dalam situasi apa pun, Malia akan menunjukkan kelemahannya untuk mendapatkan simpati orang lain.Dulu di sekolah, para siswa masih sangat polos, apalagi mereka tahu kondisi keluarga Malia yang buruk. Makanya, mereka selalu bersimpati padanya.Namun, di sini setiap pasang mata penuh dengan kecerdikan. Siapa yang tidak tahu isi pikirannya? Amanda lantas mengerutkan keningnya dan berkata, "Nggak usah dibersihkan, keluar.""Baik, Bu." Mata Malia memerah. Bibirnya digigit dengan kuat. Dia tampak seperti hewan kecil yang butuh perlindungan.Howard segera memapah Malia dan tersenyum. "Nggak ada yang perlu dicemaskan, cuma masalah sepele kok."Malia mengangkat wajahnya. Dengan mata berkaca-kaca, dia berucap, "Terima kasih, Pak." Setelah itu, dia melangkah keluar sambil menoleh sesekali.Janice kembali fokus dan melihat ke arah batu safir di atas meja. Saa
"Kenapa kamu tiba-tiba menjatuhkan cangkir teh hari itu?" Amanda mulai kehilangan kesabaran."Bu, aku benaran nggak sengaja. Aku cuma tertarik pada batu safir itu, jadi fokusku teralihkan. Lalu, tanganku gemetar dan aku menjatuhkan cangkir teh," jelas Malia sambil terisak-isak.Begitu Malia selesai berbicara, Janice langsung merasakan tatapan tajam yang penuh niat jahat. Itu adalah tatapan Vania.Vania maju dan bertanya dengan curiga, "Bu, apa ada masalah dengan batu safir itu?"Amanda tidak menjawab, yang berarti perkataan Vania benar. Vania mengusulkan dengan sok bijak, "Gimana kalau kita periksa rekaman CCTV saja? Malia yang begitu penakut nggak mungkin berani macam-macam dengan barang semahal itu."Malia menangis. "Benar, aku setuju. Bu, aku minta keadilan."Saat berikutnya, Bella berkata, "Bu, sebelumnya aku sudah menyimpan rekaman CCTV dari ruang rapat."Setelah mendengar ini, wajah Amanda berubah serius. Dia mendongak dan menatap Bella. "Sepertinya kamu semangat sekali ya.""Aku
Kata-kata Janice menyadarkan Amanda. Mereka saling bertukar pandang dan langsung memahami apa yang terjadi. Namun, Amanda memiliki kekhawatirannya sendiri."Yang kamu bilang masuk akal. Tapi, kita nggak bisa apa-apa tanpa bukti. Batu seharga puluhan miliar hilang di tempat kita. Kalau sampai orang lain tahu, siapa yang masih berani mencari kita?""Kalaupun aku ingin melindungimu, mungkin ada orang yang nggak akan setuju. Lagi pula, di surat penerimaan sudah ada tanda tanganmu. Itu artinya, kamu sudah memeriksa kualitas batu safir itu. Kamu paham maksudku, 'kan?"Amanda menatap Janice dengan serius. Janice mengangguk. Amanda sedang memberi peringatan. Jika pada akhirnya tidak ada bukti, kemungkinan besar dia akan dijadikan kambing hitam dan menanggung semua konsekuensinya.Janice menarik napas dalam-dalam. "Aku paham."Saat berikutnya, ponselnya berbunyi. Setelah melihat nomor yang muncul, ekspresinya menunjukkan kegembiraan. Dia menunjukkan ponselnya kepada Amanda. "Sepertinya tebakank
"Janice, aku sangat baik padamu selama ini. Kenapa kamu nggak berterima kasih padaku sebagai orang yang lebih tua darimu? Aku sudah menginvestasikan puluhan miliar untukmu."Howard tiba-tiba berdiri dan menerjang ke arah Janice, lalu meraih jasnya. Untuk menghindari cengkeraman Howard, Janice lantas melepaskan jasnya.Howard melempar jas itu ke lantai dan mulai mengejar. Karena tidak bisa menghindar, Janice akhirnya dipeluk Howard dengan erat. Dalam pergumulan itu, lengan baju Janice robek.Ketika menatap kulit putih dan mulus itu, Howard tak kuasa menarik napas dalam-dalam. "Janice, tubuhmu wangi sekali. Biarkan aku menciummu.""Lepaskan aku! Aku bukan datang untuk ini!" Janice berjuang sekuat tenaga. Saat berikutnya, dia dia menendang selangkangan Howard dengan lututnya.Jelas sekali, Howard tidak sekuat Jason. Howard tidak sempat bereaksi. Wajahnya memerah karena kesakitan. Kemudian, dia mendorong Janice dengan kuat."Dasar jalang sialan!" maki Howard.Janice terbentur meja dan jatu
Setelah merasakan aroma familier itu, Janice mulai meronta-ronta. Namun, lengan yang melingkar di pinggangnya semakin erat, memaksanya untuk menempel dengan dada pria itu. Punggung Janice sampai terasa panas.Janice bisa merasakan dengan jelas naik turunnya dada pria itu karena bernapas. Setiap embusan napasnya membuatnya merasa takut tanpa sebab.Saat berikutnya, terdengar suara berat pria itu. "Siapa yang menyuruhmu datang sendirian? Kamu kira kamu bisa keluar dari sini dengan selamat?"Janice menarik lengan yang merangkul pinggangnya dan melawan. "Paman, sejak kapan kamu kepo sekali? Lepaskan aku!"Di belakang, napas Jason memburu. Namun, dia tidak melawan. Janice pun dilepaskan. Janice hendak kabur, tetapi terlambat selangkah.Jason menariknya dan melemparkannya ke sofa. Sebelum Janice sempat bereaksi, Jason sudah menahannya dengan kuat.Di balik setelan jas yang formal, otot-otot Jason terasa tegang dan keras. Setiap otot itu menindih tubuhnya, membuatnya kesulitan bernapas. Apala
Ketika berbicara, Howard menatap Janice yang duduk di samping. Kata-katanya penuh dengan ancaman.Jason meletakkan mangkuk sup di depan Janice, lalu mengelap tangannya dengan handuk panas sebelum menatap Howard kembali."Kamu benar. Orang yang lapar bisa melakukan apa saja. Tapi kalau salah makan, itu bisa berakibat fatal."Wajah Howard berubah menjadi pucat. Dia sadar bahwa Jason tidak akan menyerahkan Janice kepadanya. Dia belum ingin berkonfrontasi langsung dengan Jason sehingga terpaksa mengalah."Terima kasih atas peringatannya. Kalau begitu, aku nggak akan mengganggu makan kalian. Aku pergi dulu." Setelah berkata begitu, Howard pun keluar dari ruang privat.Janice menghela napas lega. Sambil memegang sendok di tangannya dengan erat, dia diam-diam melirik Jason di sampingnya. "Paman, kenapa kamu ada di sini?""Aku kebetulan lewat dan mampir untuk makan," jawab Jason dengan ekspresi datar.Janice menatap meja dan melihat ada dua set peralatan makan. Dia pun mengira Jason sedang men
Janice mengetuk pintu dan masuk ke ruangan Amanda. Kebetulan, Bella juga ada di sini. Janice memandang Bella, lalu tidak berkata apa-apa.Amanda berkata kepada Bella, "Kamu keluar dulu."Bella terkejut sejenak, lalu berpamitan dengan sopan dan keluar. Setelah pintu ditutup, Janice berniat untuk menjelaskan situasinya.Namun, Amanda sontak membanting dokumen ke meja dengan keras. "Janice! Kamu harus bertanggung jawab atas masalah ini! Studio nggak akan menanggung sedikit pun untukmu!"Janice dikejutkan oleh suara keras itu dan termangu sejenak. Setelah beberapa saat, dia sadar kembali dan langsung menjelaskan, "Aku pasti akan menyelesaikannya dengan baik.""Kuharap begitu," timpal Amanda dengan suara lantang.Di luar, Bella mendekatkan telinganya ke pintu untuk menguping. Kemudian, dia tersenyum dan pergi. Amanda sekalipun tidak ingin membantu Janice. Tampaknya Janice sudah buntu kali ini.....Di pesta Grup Hariwan.Dengan dikawal, Janice membawa brankas dan mengikuti Amanda memasuki r
Janice menggandeng pria bayaran itu masuk ke dalam ruang VIP. Baru saja duduk, pria itu sudah tidak sabar memesan sebotol anggur seharga sekitar 60 juta. Sepertinya dia memang bekerja sama dengan tempat ini. Jadi, semakin banyak minuman yang dipesan, semakin besar komisinya.Saat memesan anggur, dia sempat melirik Janice. Dia sedang menguji apakah Janice benar-benar punya uang atau tidak. Janice menatapnya dengan senyum menggoda. Matanya yang memicing dan senyumannya yang manis, cukup untuk membuat orang terpesona."Satu botol saja mana cukup? Atau kamu cuma mau menghabiskan sebotol anggur sama aku?" Kata-katanya memiliki makna tersirat yang cukup berani dan memalukan.Untungnya, pencahayaan dalam ruangan cukup redup sehingga menyamarkan sedikit rasa canggung dalam dirinya. Ini adalah trik yang dia pelajari dari Amanda.Menurut Amanda, cara tercepat untuk membuat pria masuk ke dalam perangkap adalah mengambil inisiatif lebih dulu. Dia harus mengatakan apa yang ingin dikatakan para pria
Arya menyadari ketidakpercayaan Janice dan segera membela Jason. "Janice, bagaimanapun juga, dia sudah banyak membantumu. Kalau dia benar-benar ingin sesuatu terjadi padamu, kenapa dia harus repot-repot mengambil risiko? Jangan langsung menghakiminya begitu saja."Mendengar ucapan itu, Janice sedikit mengernyit. Bulu matanya yang panjang bergetar halus dan di antara alisnya tersirat kesedihan serta ejekan terhadap dirinya sendiri.Janice mengatupkan bibir pucatnya, lalu tertawa pelan."Baiklah, kalau kamu percaya sama dia, pergilah dan beri tahu dia siapa yang sedang kucari. Tapi jangan katakan semuanya. Aku nggak yakin sama hubungan antara Thiago dan Elaine. Kalau aku bicara terlalu banyak, bisa-bisa Rachel malah salah paham dan mengira aku menuduh bibinya tanpa alasan.""Aku mengerti. Nah, begitu lebih baik. Jason pasti bisa menemukan orang itu tanpa kesulitan. Tunggu kabar dariku." Arya menghela napas lega dan segera pergi.Janice menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan tata
Saat tubuh Janice hampir jatuh menimpa pecahan kaca di lantai, seseorang menariknya tepat waktu. "Janice, kamu kenapa?"Itu Arya.Melihat seseorang yang dikenalnya, Janice langsung mencengkeram lengan bajunya erat-erat, seolah-olah Arya adalah satu-satunya penyelamatnya.Arya menyadari wajah Janice tampak pucat, lalu segera membantunya duduk dan membuka pintu agar udara segar masuk. Setelah memastikan dia dalam posisi yang aman, Arya mengerahkan keterampilannya sebagai dokter dan memeriksa kondisi Janice.Tak lama kemudian, dia mengernyit dan menggerutu, "Sebelumnya sudah kuingatkan kamu kan, tubuhmu sangat lemah. Sekarang malah jadi memburuk! Kalau terus begini, aku tinggal tunggu pemakamanmu saja."Janice yang sudah merasa lebih baik langsung melotot padanya. Sementara dari sudut matanya, dia melihat Ivy hampir menangis karena panik.Arya terkekeh, "Aku cuma bercanda. Ini caraku untuk mengingatkanmu agar lebih menjaga kesehatan."Ivy mengusap air matanya dan bertanya, "Apa yang terja
"Ya."....Rumah Sakit Swasta.Janice membeli beberapa camilan yang disukai Ivy dan membawanya ke sana. Bekas luka di wajah Ivy sudah memudar cukup banyak, tetapi karena terus merasa ketakutan dan tidak bisa tidur nyenyak, dia tampak sangat lelah."Ibu, makan sedikit dulu. Masalah ini sudah ada perkembangan."Mendengar ucapan Janice, Ivy akhirnya memberikan sedikit respons. "Janice, kamu sudah nemu pria itu?""Belum, tapi sebentar lagi." Janice menyelipkan sendok ke tangan ibunya, lalu bertanya, "Ibu, aku boleh nanya sesuatu?"Ivy mengangguk lemah, "Tanya saja.""Kalau Vania nggak mengalami insiden itu dan terus menargetkanku, apa yang akan Ibu lakukan?"Mendengar pertanyaan Janice, mata Ivy langsung memerah dan bahkan hampir saja menjatuhkan sendok yang dipegangnya."Janice, apa kamu juga menganggap Ibu nggak berguna? Sebenarnya, waktu melihat kamu mengalami begitu banyak masalah, aku sudah nekat mau nyari Vania untuk buat perhitungan. Waktu itu, pamanmulah yang menghentikanku.""Pama
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b