Setelah Zachary menyetujui permintaan Yoshua, dia segera mengikuti langkah Janice keluar dari kamar. Yoshua menatap Jason yang hendak berbalik, lalu tersenyum samar. "Paman Jason, terima kasih sudah menjengukku. Aku merasa seluruh tubuhku dipenuhi tenaga sekarang."Jason menatap Yoshua sekilas, sorot matanya tajam seperti kilatan pisau. "Oh ya? Kalau begitu, simpan tenagamu baik-baik."Senyuman Yoshua perlahan memudar. Dia hanya bisa menatap punggung Jason yang menghilang dengan ekspresi yang sulit ditebak.....Janice mengikuti Zachary menuruni tangga. Saat itu, Zachary menerima panggilan telepon. Setelah menanggapi dengan singkat, dia menatap Janice dengan raut canggung. "Janice, aku suruh sopir untuk ngantarin kamu pulang. Aku harus ke kantor untuk ngambil berkas.""Paman, nggak usah. Aku sudah pesan mobil lewat aplikasi," jawab Janice.Janice memikirkan Ivy yang masih menunggunya di rumah, sementara mencari kendaraan di sekitar sini cukup lama. Jadi, dia menolak tawaran Zachary."K
Janice tidak pernah membayangkan Jason bisa segila ini. Meskipun sudah tengah malam, masih ada cukup banyak orang di sekitar rumah sakit, tetapi Jason justru memaksa tangannya masuk ke bawah sweternya.Telapak tangan Janice yang dingin menyentuh pinggang Jason yang panas membara, membuatnya refleks mengeluarkan suara pelan. Beberapa orang di sekitar langsung menoleh ke arah merekaJanice segera menundukkan kepala dengan wajah memerah. Dia berusaha keras untuk menarik tangannya. Namun, Jason menekannya kuat-kuat di garis pinggangnya dan tak memberinya kesempatan.Jari-jarinya sedikit mengepal, merasakan otot Jason yang kencang dan hangat membara di bawah telapak tangannya. Janice ingin menarik diri, tetapi dia tidak bisa. Jika ada orang yang melangkah lebih dekat, mereka pasti bisa melihat tangannya yang menghilang di bawah sweter Jason.Suhu di telapak tangannya begitu tinggi, sampai-sampai Janice mulai panik. Apakah ini hanya perasaannya saja? Dengan suara cemas, dia berbisik, "Jason,
Karena Vania sedang bersembunyi di rumah untuk melakukan aborsi, Janice merasa bisa melanjutkan rencananya yang lain. Saat menuju toilet, Janice mengambil kesempatan untuk menelepon Ivy. "Bu, apa Paman Zachary ada di kantor hari ini?""Ada. Kenapa?""Aku mau mengajaknya makan siang," ujar Janice sambil menunduk dan memandang kantong di kakinya yang berisi mantel Jason.Janice takut jika langsung menemui Jason untuk mengembalikan mantel itu, pria itu akan menyadari sesuatu. Namun, jika dia makan siang bersama Zachary dan sekalian mengembalikan mantel itu, semuanya akan terlihat wajar.Ivy berpikir sejenak, lalu berkata, "Lebih baik jangan. Pamanmu pasti sangat sibuk hari ini."Janice tercengang. "Paman lagi nangani proyek besar?""Bukan itu," jawab Ivy, suaranya terdengar ragu. Namun akhirnya, dia menghela napas dan menjelaskan, "Kata pamanmu, Jason lagi sakit. Setelah dia menyelamatkanmu di danau waktu itu, tubuhnya basah kuyup dan masih harus mengantarmu ke rumah sakit.""Lalu, tadi m
Ding.Begitu pintu lift terbuka, lorong yang terang benderang menyambut Janice. Berdiri di atas sana, dia bisa melihat seluruh bagian dalam gedung melalui dinding kaca di kedua sisi lorong.Di ujung lorong itu, berdiri sebuah pintu kayu ganda yang kokoh. Tidak ada ukiran atau ornamen berlebihan, tetapi pintu itu memancarkan aura yang tegas dan penuh wibawa. Asisten Zachary mendorong pintu tersebut dengan hati-hati, memperlihatkan kantor dua lantai seluas 200 meter persegi milik Jason.Dinding kaca raksasa berjejer rapi, menampilkan pemandangan gedung-gedung di sekitar yang terlihat kecil dari ketinggian ini. Di sisi kanan ruangan, sebuah tangga melingkar berkelok naik ke lantai atas, yang sepertinya merupakan area pribadi milik Jason.Janice menatap lantai berubin yang dipenuhi sinar matahari. Seketika, dia merasa takjub. Ini pertama kalinya dia benar-benar masuk ke dalam dunia kerja Jason dan kantor ini benar-benar memancarkan wibawa dan keanggunan.Di salah satu sisi, Zachary yang se
Zachary bergegas mengambil nampan berisi bubur dari tangan Norman dan menyerahkannya ke Janice. "Gimana kalau kamu saja yang antar bubur ini? Dia sibuk sejak pagi dan belum makan apa pun."Janice menatap bubur yang masih mengepul hangat itu. Sampai sejauh ini, dia tahu dirinya harus bertaruh. "Baik," jawabnya mantap.Dengan nampan di tangan, Janice berbalik dan menaiki tangga menuju lantai atas. Begitu sampai di depan pintu, telapak tangannya sudah dipenuhi keringat dingin.Saat dia masih ragu untuk mengetuk, suara yang serak terdengar dari dalam. "Masuklah ... Janice."Mendengar itu, tangan Janice hampir saja menjatuhkan nampan yang dipegangnya. Di hadapan Jason, dia merasa dirinya begitu transparan. Bagaimana mungkin dia bisa bersaing dengan pria seperti ini?Namun, tekadnya tak goyah. Sekalipun akhirnya gagal, dia tetap harus mencoba.Janice menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu dan masuk ke dalam.Ruangan pribadi Jason ternyata sangat sederhana, didominasi warna abu-abu g
Tatapan Janice membeku sesaat. Barulah dia sadar bahwa dia tidak sengaja mengungkapkan sesuatu dari kehidupan sebelumnya. Dia mencoba menarik tangannya, tetapi Jason justru menggenggamnya lebih erat."Bilang.""Karena .... Dulu, setiap kali kamu batuk, aku selalu mencium aroma daun pir di tubuhmu." Dia bergerak sedikit dan mendesah, "Sakit, jangan terlalu kuat."Jason tidak langsung melepaskannya, tetapi genggamannya melonggar sedikit. Dengan penuh minat, dia mendekat lebih lagi. "Setiap kali? Hm?"Janice menggigit bibirnya. Dia sadar telah keluar dari satu jebakan hanya untuk masuk ke dalam jebakan lain. Dengan cepat, dia memalingkan wajah dan menolak untuk berbicara lebih lanjut.Tatapan Jason semakin panas. Meskipun tubuhnya sedang sakit, aura pria itu tetap kuat dan dominan. Tanpa sadar, Janice bisa merasakan hawa panas yang menekan di sekelilingnya. Ketika dia berbalik, wajah Jason hanya berjarak beberapa inci saja.Jason menundukkan pandangannya ke arah bibir Janice yang kemeraha
Sambil bicara, Janice berlari ke sisi lain tempat tidur dan mengambil dokumen yang jatuh. Setelah menyusunnya dengan rapi di atas tempat tidur, dia kembali ke sisi Jason.Namun, ketika melihat kancing kemejanya sudah setengah terbuka dan perut Jason yang berotot terlihat jelas, dia mendadak merasa tenggorokannya kering.Janice memejamkan mata dan mencoba untuk tetap tenang. Dengan cepat, dia membuka sisa kancing kemeja Jason dan menyeka tubuhnya dengan asal-asalan. "Sudah selesai. Waktu istirahatku hampir habis, aku pergi dulu," ucapnya cepat sambil merapikan dirinya."Janice," panggil Jason dengan suara tenang. "Kamu ke sini untuk menjengukku?"Janice mengepalkan tangannya, lalu menjawab dengan nada santai, "Bukan. Aku datang ngantarin makan siang untuk Paman Zachary! Sekalian saja ... melihat kondisimu."Tanpa menunggu balasan, dia berbalik dan berlari keluar. Jason memandang pintu yang kini kosong dengan senyum samar di bibirnya. "Keras kepala."Tiba-tiba, dia teringat komentar Sera
Hujan musim gugur turun perlahan-lahan, bagaikan kabut es yang menusuk kulit. Udara yang lembap membuat Janice menggigil. Dengan membawa sarapan hangat di tangannya, dia berjalan menuju bangsal rumah sakit. Namun, sebelum dia sampai, ponselnya tiba-tiba berdering.Itu adalah panggilan mendesak dari Ivy."Kamu sudah lihat trending topic belum?""Belum," jawab Janice santai, tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi. Dia terus melangkah."Cepat lihat sekarang!" Suara Ivy terdengar lebih tegas dan mendesak daripada biasanya, bahkan sedikit bergetar.Janice tertegun beberapa detik. Dengan tangan gemetar, dia membuka ponselnya dan melihat judul trending topic yang muncul di layar.[ Kerja sama terbesar tahun ini untuk Grup Karim direbut oleh Grup Hariwan sebelum penandatanganan! ]Grup Hariwan.Tracy.Bagaimana bisa?Janice terpaku, pupil matanya melebar dalam keterkejutan. Sarapan hangat yang dibawanya terjatuh dan tumpah berantakan.Suara Ivy di telepon terdengar semakin keras, "Janice, p
Janice terpaku sejenak. Saat dia mencoba menutup pintu lagi, Jason sudah melangkah masuk ke kamar. Bunyi pintu tertutup membangunkannya dari keterkejutan. Dia segera berdiri di hadapan Jason dan mencoba menghalangi langkahnya."Aku cuma pesan kamar dengan tempat tidur biasa. Nggak ada tempat untukmu tidur," katanya dengan nada tegas."Bukan pertama kalinya kita tidur bersama," balas Jason dengan nada santai, sambil memindahkan tangan Janice dari jalannya dan berjalan ke dalam kamar.Wajah Janice langsung memanas. Tiba-tiba dia teringat pakaian yang masih berserakan di atas tempat tidur. Dia segera berlari ke tempat tidur dan dengan panik menutupi semuanya dengan selimut.Sambil menekan selimut dengan tangannya, dia menunjuk ke sekitar kamar. "Paman, kamu lihat sendiri, ini kamar standar, sederhana sekali. Sebaiknya kamu kembali saja. Bukankah ada kehangatan yang menunggumu?""Kehangatan?" Jason menyandarkan tubuhnya ke lemari TV, memasukkan kedua tangannya ke saku, dan menatap Janice d
Janice langsung menjawab, "Borgol itu harus sepasang."Baru saja kata-katanya selesai, pemilik stan langsung paham maksudnya. Dia mengambil satu gelang capybara lagi dan memasangkannya di pergelangan tangan Jason."Lihat! Sepasang! Kalau kalian bergandengan tangan, itu jadi seperti borgol."Saat itulah Janice menyadari bahwa sejak selesai menembak tadi, Jason terus menggenggam tangannya. Dia mencoba menarik tangannya beberapa kali, tetapi cengkeraman Jason tetap tak tergoyahkan. Dengan nada kesal, dia berkata, "Kamu sengaja, ya?"Jason tidak membalas, hanya menggenggam tangannya erat dan berjalan pergi sambil berkata, "Benda ini jelek sekali."Jelek, tapi kamu tetap membujuk pemilik stan untuk memakaikannya. Gelang murah seharga belasan ribu itu kini terlihat aneh berdampingan dengan jam tangan Jason yang harganya setara sebuah mobil mewah.Janice menoleh ke belakang, mendapati bahwa pria-pria yang tadi mengikutinya sudah menghilang. Dia menatap Jason dengan penuh curiga. "Mereka itu s
Melihat wajah Janice yang pucat, Amanda berusaha menenangkannya, "Istirahatlah lebih awal. Jangan terlalu mikirin apa yang terjadi hari ini."Namun, setelah kembali ke kamarnya, Janice tidak bisa tidur. Marco mengatakan bahwa dia telah "dijual".Siapa yang menjualnya?Lalu, ada Vania yang tampaknya tahu sesuatu ketika dia muncul. Namun, Vania terus bersama Jason sepanjang waktu. Yang paling membingungkan adalah potongan-potongan kenangan aneh yang muncul di pikirannya.Janice mencoba mengingat, tetapi dalam dua kehidupan yang diingatnya, tidak pernah ada memori seperti itu. Semakin dipikirkan, semakin rumit rasanya. Pada akhirnya, dia bahkan merasa lapar.Janice bangkit untuk mengambil menu di samping telepon dan membukanya. Semua harga makanan di hotel itu berjumlah puluhan juta ke atas.Meskipun Zachary telah memberinya kartu, Janice tahu dia harus mulai mengatur keuangannya untuk masa depan.Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk keluar. Dia pernah membaca bahwa jajanan mala
Seorang polisi lain membuka tas yang ditemukan di samping Marco. Setelah melihat isinya, ekspresinya berubah serius.Dengan mengenakan sarung tangan, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Selembar kulit manusia yang telah diproses, tampaknya bagian punggung seseorang. Beberapa desainer yang melihatnya langsung merasa mual dan muntah di tempat.Polisi yang memimpin segera berdiri di depan para tamu untuk mencegah mereka mendekat dan berkata, "Jangan sebarkan kabar ini. Polisi akan meminta keterangan kalian nanti."Mendengar hal itu, ekspresi Vania menjadi tidak terkendali. Urat di pelipisnya terlihat menonjol dan dia mundur beberapa langkah dengan panik. Namun, gerak-geriknya itu tidak luput dari pengamatan polisi."Bu Vania, Anda juga perlu tinggal untuk dimintai keterangan.""Aku? Kenapa aku? Aku nggak tahu apa-apa ...." Vania belum selesai bicara saat tubuhnya menabrak seseorang.Ketika berbalik, dia melihat Jason. Matanya langsung dipenuhi rasa sedih dan tertekan. "Jason, aku cum
Sebagian besar orang yang hadir di jamuan tersebut baru pertama kali melihat tes narkoba seperti ini, sehingga mereka memandang dengan rasa penasaran. Namun, hanya Vania yang tampak berbeda. Matanya memerah dan dia mulai menangis pelan."Pak, bisa nggak Anda kasih toleransi? Janice masih muda. Kalau masalah ini tersebar, reputasinya akan hancur," ujarnya dengan nada penuh belas kasihan.Polisi tetap menjaga ekspresi tegasnya. "Hukum adalah hukum, tidak seorang pun diizinkan untuk melanggarnya."Begitu mendengar hal itu, beberapa desainer yang sebelumnya berdiri di dekat Janice segera mundur karena takut ikut terseret.Janice mengangkat kepalanya memandang Vania dengan tenang, lalu berkata, "Bu Vania, hasilnya bahkan belum keluar. Kenapa kamu bisa yakin aku pasti bersalah? Kamu punya kemampuan meramal?"Vania sedikit terpaku, lalu buru-buru menghapus air matanya. "Aku cuma khawatir. Aku takut sesuatu terjadi padamu. Maafkan aku kalau aku terlalu ikut campur."Kerumunan mulai memandang J
Tak ingin memprovokasi pelaku, polisi tidak menyebutkan langsung soal narkoba. Namun, semua orang di ruangan itu mengerti maksudnya.Mendengar itu, Amanda terkejut dan langsung menggeleng keras. "Nggak mungkin! Pasti ada kesalahan."Sebelum polisi sempat menjelaskan lebih jauh, sebuah suara tiba-tiba menyela, "Ada apa ini? Kenapa ribut sekali?"Itu suara Vania.Begitu masuk, dia tampak terkejut melihat Amanda. "Bu Amanda, ternyata Anda juga di restoran ini. Eh? Di mana Janice? Ke mana dia?"Polisi yang mendengar bahwa ada orang yang tidak hadir langsung merasa khawatir. Mereka tahu bahwa pengguna barang terlarang sering bertindak di luar kendali, dan jika orang tersebut pergi, itu bisa membahayakan orang lain.Salah satu polisi segera bertanya dengan tegas, "Siapa lagi yang nggak ada di sini? Sekarang dia ada di mana? Kalau kalian nggak jujur, kalian akan dianggap melindungi pelaku dan itu adalah tindak pidana."Amanda mengerutkan alisnya dengan kesal dan melirik ke arah Vania.Vania b
Janice terdiam, bingung dengan maksud Jason. Kata-katanya terdengar seperti sedang meminta pengakuan atau status hubungan. Namun, mana mungkin ada status seperti itu di antara mereka?Orang yang paling dicintai Jason adalah Vania, sedangkan Janice hanyalah alat yang dia gunakan. Bagi Jason, Janice adalah seseorang yang bisa dia korbankan kapan saja.Hati Janice terasa sesak. Dengan suara dingin, dia berkata, "Aku lupa, kamu adalah pamanku."Mendengar itu, mata Jason menyipit, emosinya bergolak seperti gelombang yang dalam. Akhirnya, dia kehilangan kesabaran. Dia menekan belakang kepala Janice dan kembali mencium bibirnya dengan kasar.Napas mereka bertaut dan dia sepenuhnya kehilangan kendali. Dia tidak memberi Janice sedikit pun ruang untuk melawan. Sampai Ketika Janice kehilangan seluruh tenaganya dan hanya bisa pasrah membiarkan Jason mengambil alih, suara lirih keluar dari tenggorokannya."Mm ...."Jason terengah-engah memeluk pinggang Janice erat-erat. Dengan suara serak, dia berk
Melalui jaket yang menutupi tubuhnya, Janice mendengar suara pukulan yang menghantam tubuh, diikuti oleh suara tulang yang patah atau terpelintir.Klang! Pisau bedah jatuh ke lantai.Marco bahkan tidak sempat mengeluarkan suara sebelum tubuhnya ambruk ke lantai. Tali yang mengikat keempat anggota tubuh Janice segera dilepaskan. Tubuhnya yang lemas diangkat dalam pelukan seseorang.Saat tubuhnya digerakkan, jaket yang menutupi wajahnya melorot. Akhirnya, Janice melihat wajah pria yang memeluknya.Jason.Wajahnya sama seperti bayangan di pikirannya ... dingin tanpa ekspresi, tetapi mata itu penuh dengan amarah yang membara dan menyiratkan aura membunuh yang pekat.Dengan sisa kekuatannya, Janice perlahan mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Jason. Dia berkata dengan suara lemah, "Kamu datang menyelamatkanku ...."Sebelum kata-katanya selesai, tangannya jatuh lemas, dan dia pingsan.Jason merasakan sesuatu menyusup ke hatinya, tetapi auranya tetap dingin dan tajam. Dia menatap Marco
Melihat Marco yang semakin mendekat, Janice berusaha keras untuk meronta. Namun, tubuhnya tetap tak dapat digerakkan. Bahkan ketika dia mencoba menjatuhkan dirinya dari kursi, tubuhnya tetap tak bergeser sedikit pun.Tanpa tergesa-gesa, Marco berhenti di depannya, lalu berjongkok. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah serta punggung Janice dengan penuh kesadaran."Benar-benar kulit yang sempurna. Nggak heran hargamu jauh lebih mahal daripada yang lain. Tenang saja, aku akan berhati-hati."Kulit?Janice terkejut dan matanya membelalak. Dengan susah payah, dia membuka mulut dan tergagap, "Ku ... kulit apa? Ha ... harga apa?"Setelah mengatakan itu, rasanya dia telah menghabiskan seluruh tenaganya. Tubuhnya langsung terkulai di lantai, tak mampu bergerak lagi.Mendengar pertanyaannya, Marco sepertinya teringat sesuatu yang membuatnya semakin bersemangat. Tangannya bergerak dengan gelisah, sulit menahan kegembiraannya. Tiba-tiba, dia membungkuk lebih dekat ke Janice, dengan senyum yan