Plak! Plak! Suara tamparan keras menggema. Tamparan itu membuat sudut bibir Malia langsung berdarah.Vania mencengkeram lehernya, lalu berbicara dengan dingin, "Bahkan hal sekecil ini saja nggak bisa kamu selesaikan. Semua keuntungan yang kuberikan selama ini sia-sia! Kalau bukan karena aku, kamu pikir bisa menginjakkan kaki di gedung ini?""Malia, karena sudah memilih jadi anjing, lakukan tugasmu dengan benar!" hina Vania. Kemudian, dia melempar tubuh Malia dengan kasar ke arah lain, seolah-olah sedang melampiaskan amarahnya.Malia yang baru saja dihina oleh wanita tadi sudah kelelahan. Kali ini, tubuhnya kembali terbanting ke dinding. Dengan kekuatan yang tersisa, dia hanya bisa jatuh lemas ke lantai.Saat ini, Vania secara anggun berjalan mendekat dengan memakai sepatu hak tinggi kulit domba. Ujung sepatu tajamnya terlihat menekan pipi Malia.Kemudian, Vania memberi tahu, "Nanti siang, kita pergi ke Vila Krisan untuk bertemu Bu Sera. Aku akan cari alasan agar kamu bisa ikut. Pokokny
Di dalam mobil, Janice duduk berhadapan langsung dengan Jason. Pria itu menyilangkan kaki dengan jari telunjuk panjang bersandar di dahinya. Matanya penuh rasa ingin tahu saat memandangi Janice terus-menerus.Berhubung merasa gugup, Janice buru-buru menunduk. Dia mencari tombol di kursi untuk memutar posisinya agar menghadap ke arah pengemudi. Namun, dia malah salah menekan tombol.Kursi pijat otomatis menyala dan menghasilkan suara yang memenuhi kabin mobil. Sontak, rasa malunya makin memuncak.Saat Janice dengan panik mencari tombol yang benar, sepasang tangan dengan santai bersandar di sandaran kursinya. Jason agak membungkuk ke arahnya. Aroma dingin yang khas pun tercium.Di sisi lain, Janice sontak bersandar ke belakang untuk menghindar, tetapi dia tidak bisa menghindarinya. Tatapan mereka akhirnya bertemu.Janice cepat-cepat mengalihkan pandangan. Sebaliknya, Jason hanya menunduk dengan santai. Tangannya dengan cekatan menekan beberapa tombol di sandaran kursi. Alhasil ...."Rusa
Saat kakinya tersentuh sesuatu, Janice yang memegang cangkir teh sempat terpaku sejenak. Ketika dia menunduk, pandangannya jatuh pada sepatu kulit pria yang menyentuh sepatu hak tingginya. Ukuran kakinya termasuk standar, nomor 39. Itu tidak besar juga tidak kecil. Hanya saja ketika dibandingkan dengan sepatu pria itu, sepatu kulit hitamnya yang matte terlihat seperti mainan.Janice mengangkat pandangannya dengan mengikuti garis sepatu pria itu ke atas. Sepasang kaki panjangnya terbungkus rapi dalam celana bahan hitam pekat. Garis lipatan yang tajam menambah kesan dingin dan tertutup yang begitu dominan.Janice tak ingin melihat lebih lama. Dalam pikirannya, mungkin sepatu pria itu hanya tidak sengaja menyentuh sepatunya. Dengan sikap penuh pengertian, dia menggeser sedikit kakinya.Tidak disangka, sopir tiba-tiba mengerem. Tubuh Janice terayun ke depan karena efek inersia. Kakinya juga ikut bergerak tanpa sengaja.Ketika Janice akhirnya berhasil menstabilkan tubuhnya, matanya tertuju
Namun, Jason sama sekali tidak bergerak. Janice bahkan merasa seperti melihat secercah senyuman yang samar di balik kegelapan matanya yang pekat.Tepat sebelum cahaya dari luar terowongan menyinari mobil, Janice merasakan bahunya tiba-tiba tertarik ke belakang. Barulah dia menyadari bahwa sejak tadi dia lupa mengenakan sabuk pengaman.Saat mobil keluar dari terowongan, interior kabin kembali terang. Jason duduk tegak di kursinya dan kaki panjangnya disilangkan dengan santai. Semuanya terlihat seperti biasa, seolah-olah napasnya yang terasa hangat di telinga Janice barusan sama sekali tidak nyata.Dengan perasaan gelisah, Janice mengangkat cangkir teh. Dia berharap seteguk teh bisa menenangkan hatinya. Namun ketika melihat cangkirnya, dia mendapati teh di dalamnya sudah penuh kembali. Kapan diisi ulang?Sebuah firasat muncul di benaknya. Janice mendongak cepat dan memandang Jason di seberang. Pria itu mengangkat cangkir teh untuk minum dengan santai. Di tepi cangkir itu, ada bekas lipst
Melihat sosok Janice yang berdiri di tepi semak bunga, Sera mengangkat alis sedikit seolah menyadari sesuatu.Sera hendak membuka mulut untuk berbicara, tetapi Vania langsung berjalan ke arahnya dan mengulurkan tangan. Wanita itu menyapa, "Halo, Bu Sera. Aku tunangan Jason, Vania."Sera menatap Vania sebentar, lalu melirik tangannya yang terulur. Dia membalas sambil tersenyum, "Maaf, Nona Vania. Aku baru memangkas bunga, jadi tanganku kotor."Tangan Vania membeku sesaat, lalu perlahan dia menariknya kembali dengan canggung. Tepat setelah dia menurunkan tangannya, Sera mengambil handuk dari pelayan dan mengelap tangannya dengan santai. Kemudian, dia melangkah lebih dekat ke Jason.Tanpa sedikit pun memperhatikan keberadaan Vania, Sera duduk di samping Jason. Dia menuangkan teh untuknya sambil melirik orang-orang lainnya.Sera memberi tahu, "Kalian juga duduklah. Semua data kalian sudah diberikan Amanda padaku. Nggak perlu repot-repot memperkenalkan diri. Aku ini orang yang cukup santai.
Mendengar itu, Sera tertawa makin keras. Herisa yang tidak tahan lagi mencoba berdiri. Namun, Janice mengangkat tangan dengan lembut. Dia berusaha menghentikannya agar tidak terlalu terburu-buru bicara.Sayangnya, Herisa menghindari tangannya dan berdiri dengan percaya diri. Dia memberi tahu, "Aku juga merasa cincin bunga krisan lebih cocok untuk Bu Sera. Tempat ini bernama Vila Krisan, jelas menunjukkan bahwa Bu Sera adalah orang yang mencintai dan menghargai bunga."Sera tersenyum sambil memutar cincin di jarinya. Ekspresinya sulit ditebak. Saat itu, Malia juga berdiri. Dia berkata dengan nada rendah hati dan penuh penghormatan, "Bu Sera, meskipun kemampuanku nggak sehebat mereka, aku merasa padparadscha lebih cocok untukmu.""Sebagai seorang wanita yang kuat dan percaya diri, kamu jelas membutuhkan sesuatu yang lebih menonjol dan bercahaya," tambah Malia.Sera menoleh ke arah Malia dengan dagu bertumpu di tangannya. Kemudian, dia berkomentar sambil mengangkat alis, "Kamu cukup menar
Janice melihat senyuman Malia yang polos dan tak berbahaya, tetapi dia tahu bahwa Malia dan Vania sudah mulai gelisah. Bagaimana mungkin kedua orang itu akan membiarkan dirinya bersinar di depan Sera?Daripada terus menunggu serangan diam-diam yang sulit diantisipasi, lebih baik Janice memberi mereka kesempatan lalu menghadapi serangan itu secara langsung.Di perjalanan menuju kamar mandi, Malia sesekali mencuri pandang ke arah Janice. Dia bertanya dengan nada penuh prasangka, "Janice, saat aku bicara tadi, kenapa kamu nggak menghentikanku?"Janice sudah menduga Malia akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Alasanya pun sudah dipersiapkannya.Dengan ekspresi tak berdaya, Janice menarik tangannya sambil berujar, "Malia, aku pikir kamu cuma datang buat kasih hadiah. Aku mana tahu kamu akan coba menonjolkan diri? Kamu juga nggak memberitahuku sebelumnya. Jadi, gimana aku bisa menghentikanmu?"Malia buru-buru menjelaskan karena takut Janice menjadi curiga, "Aku bukan coba menonjolkan diri.
"Bicara sama orang yang terlalu pintar memang membosankan," keluh Sera. Dia awalnya ingin membahas isi kontrak, tetapi tiba-tiba mendengar teriakan panik."Kebakaran! Kebakaran! Tolong!"Jason menoleh ke arah paviliun, lalu segera berbalik dan berlari menuju sumber suara. Sera mematikan rokoknya dengan santai. Dia berdecak sambil berpikir bahwa vila ini sudah lama tidak seberisik ini.....Vila itu berada di dekat pegunungan. Berhubung sekarang musim gugur, daun-daun kering dari gunung sering terbawa angin ke dalam vila. Itu sebabnya, langkah pencegahan kebakaran di sana selalu sangat ketat.Kali ini, api menyala begitu cepat. Meski berhasil dipadamkan oleh staf vila, taman kecil yang indah tetap saja menjadi korban. Bunga-bunga krisan yang biasanya cerah dan memikat, kini hangus terbakar hingga tak lagi berbentuk.Janice bergegas keluar dari kamar mandi saat mendengar teriakan. Di kejauhan, dia melihat Jason berlari cepat menuju arah yang sama. Hanya saja sebelum Jason sampai ke kamar
Janice menggandeng pria bayaran itu masuk ke dalam ruang VIP. Baru saja duduk, pria itu sudah tidak sabar memesan sebotol anggur seharga sekitar 60 juta. Sepertinya dia memang bekerja sama dengan tempat ini. Jadi, semakin banyak minuman yang dipesan, semakin besar komisinya.Saat memesan anggur, dia sempat melirik Janice. Dia sedang menguji apakah Janice benar-benar punya uang atau tidak. Janice menatapnya dengan senyum menggoda. Matanya yang memicing dan senyumannya yang manis, cukup untuk membuat orang terpesona."Satu botol saja mana cukup? Atau kamu cuma mau menghabiskan sebotol anggur sama aku?" Kata-katanya memiliki makna tersirat yang cukup berani dan memalukan.Untungnya, pencahayaan dalam ruangan cukup redup sehingga menyamarkan sedikit rasa canggung dalam dirinya. Ini adalah trik yang dia pelajari dari Amanda.Menurut Amanda, cara tercepat untuk membuat pria masuk ke dalam perangkap adalah mengambil inisiatif lebih dulu. Dia harus mengatakan apa yang ingin dikatakan para pria
Arya menyadari ketidakpercayaan Janice dan segera membela Jason. "Janice, bagaimanapun juga, dia sudah banyak membantumu. Kalau dia benar-benar ingin sesuatu terjadi padamu, kenapa dia harus repot-repot mengambil risiko? Jangan langsung menghakiminya begitu saja."Mendengar ucapan itu, Janice sedikit mengernyit. Bulu matanya yang panjang bergetar halus dan di antara alisnya tersirat kesedihan serta ejekan terhadap dirinya sendiri.Janice mengatupkan bibir pucatnya, lalu tertawa pelan."Baiklah, kalau kamu percaya sama dia, pergilah dan beri tahu dia siapa yang sedang kucari. Tapi jangan katakan semuanya. Aku nggak yakin sama hubungan antara Thiago dan Elaine. Kalau aku bicara terlalu banyak, bisa-bisa Rachel malah salah paham dan mengira aku menuduh bibinya tanpa alasan.""Aku mengerti. Nah, begitu lebih baik. Jason pasti bisa menemukan orang itu tanpa kesulitan. Tunggu kabar dariku." Arya menghela napas lega dan segera pergi.Janice menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan tata
Saat tubuh Janice hampir jatuh menimpa pecahan kaca di lantai, seseorang menariknya tepat waktu. "Janice, kamu kenapa?"Itu Arya.Melihat seseorang yang dikenalnya, Janice langsung mencengkeram lengan bajunya erat-erat, seolah-olah Arya adalah satu-satunya penyelamatnya.Arya menyadari wajah Janice tampak pucat, lalu segera membantunya duduk dan membuka pintu agar udara segar masuk. Setelah memastikan dia dalam posisi yang aman, Arya mengerahkan keterampilannya sebagai dokter dan memeriksa kondisi Janice.Tak lama kemudian, dia mengernyit dan menggerutu, "Sebelumnya sudah kuingatkan kamu kan, tubuhmu sangat lemah. Sekarang malah jadi memburuk! Kalau terus begini, aku tinggal tunggu pemakamanmu saja."Janice yang sudah merasa lebih baik langsung melotot padanya. Sementara dari sudut matanya, dia melihat Ivy hampir menangis karena panik.Arya terkekeh, "Aku cuma bercanda. Ini caraku untuk mengingatkanmu agar lebih menjaga kesehatan."Ivy mengusap air matanya dan bertanya, "Apa yang terja
"Ya."....Rumah Sakit Swasta.Janice membeli beberapa camilan yang disukai Ivy dan membawanya ke sana. Bekas luka di wajah Ivy sudah memudar cukup banyak, tetapi karena terus merasa ketakutan dan tidak bisa tidur nyenyak, dia tampak sangat lelah."Ibu, makan sedikit dulu. Masalah ini sudah ada perkembangan."Mendengar ucapan Janice, Ivy akhirnya memberikan sedikit respons. "Janice, kamu sudah nemu pria itu?""Belum, tapi sebentar lagi." Janice menyelipkan sendok ke tangan ibunya, lalu bertanya, "Ibu, aku boleh nanya sesuatu?"Ivy mengangguk lemah, "Tanya saja.""Kalau Vania nggak mengalami insiden itu dan terus menargetkanku, apa yang akan Ibu lakukan?"Mendengar pertanyaan Janice, mata Ivy langsung memerah dan bahkan hampir saja menjatuhkan sendok yang dipegangnya."Janice, apa kamu juga menganggap Ibu nggak berguna? Sebenarnya, waktu melihat kamu mengalami begitu banyak masalah, aku sudah nekat mau nyari Vania untuk buat perhitungan. Waktu itu, pamanmulah yang menghentikanku.""Pama
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b