Malia diseret maju oleh seorang pelayan."Lepas, lepaskan aku ...," kata Malia sambil meronta di hadapan semua orang.Sera menatap Malia dengan dingin dan bertanya, "Kenapa kamu sembunyi di sana? Apa kamu yang menyulut api?"Malia merosot di tanah dan menggeleng takut. Dia berucap dengan nada memelas, "Bukan aku, Bu Sera, sungguh! Aku dan Janice tadi pergi ke toilet. Karena Janice terlalu lama, aku berjalan-jalan sebentar di sekitar. Tapi, aku tersesat, lalu pelayan membawaku ke sini."Usai berkata begitu, Malia menunjuk pelayan yang berdiri paling pinggir. Pelayan itu mengangguk ke arah Sera, mengonfirmasi ucapan Malia.Mendengar itu, Sera pun mengalihkan pandangan pada Janice dan Vania. Dia berkata dengan mata menyipit, "Dengan kata lain, yang paling mencurigakan adalah kalian berdua. Korek api ini milik Vania, jadi ...."Mata Vania berkaca-kaca. Dia membalas dengan nada tercekat, "Aku juga punya saksi. Tadi aku ketemu pelayan yang sedang menyiram tanaman, kami bahkan mengobrol seben
"Oh?" Sorot mata Sera berubah. Nada suaranya juga menjadi dingin saat dia berucap, "Apa maksudmu?""Kamu mengenakan cincin krisan itu di jari kelingkingmu, sengaja menghindari jari manis yang melambangkan cinta," ujar Janice."Sepuluh tahun lalu, suamimu meninggal dalam kecelakaan mobil. Faktanya, ada orang lain di TKP. Dia adalah simpanannya, wanita itulah yang menyukai bunga krisan. Wanita itu bahkan masih memeluk erat bunga krisan pemberian suamimu sebelum meninggal. Vila Krisan ini juga hadiah untuknya yang dibeli suamimu dengan uangmu. Kini vila ini adalah trofimu," lanjut Janice.Sambil berkata begitu, Janice menghampiri taman kecil yang terbakar itu. Kemudian, dia tiba-tiba menoleh ke arah Sera yang memasang ekspresi muram.Janice berucap lagi dengan nada lembut, "Bu Sera, bunga-bunga ini bermekaran dengan indah."Sera menyahut dengan dingin, "Tentu saja, mereka dirawat dengan baik. Tapi, apa hubungan hal ini dengan alasanmu membakarnya?""Setiap tahun Bu Sera tinggal sebentar d
Mendengar bahwa mereka diatur untuk tinggal di kamar yang sama, Vania bersandar ke dada Jason dan berucap dengan malu-malu, "Bu Sera, sepertinya ini kurang baik."Sera mengangkat alisnya dan membalas sambil tersenyum, "Kalau kamu malu, aku bisa aturkan kamar lain untukmu. Nggak masalah." Usai bicara, dia melambai untuk memanggil kepala pelayan.Bibir Vania berkedut-kedut. Dia buru-buru berkata, "Bu Sera benar-benar pintar bercanda, terima kasih."Sera menatap gadis itu dan tersenyum penuh arti. Ingin bersandiwara polos di depannya, hm?Mendengar Sera bersedia mengatur ulang ruangan, Janice juga mencari-cari alasan untuk pindah. Namun, sebelum dia sempat bicara, Sera sudah pergi untuk menjawab telepon.Janice menghela napas pasrah dan terpaksa berjalan ke kamarnya. Ketika dia hendak berbalik, Malia tiba-tiba menarik lengannya dari belakang."Janice, kamu takut sendirian, nggak? Gimana kalau aku temani kamu?" tanya Malia.Lengan Janice bergetar pelan dan giginya sontak digertakkan. Namun
"Nona Janice, ini aku, Norman," kata orang di balik pintu."Ada apa?" tanya Janice sambil menahan sakitnya."Pak Jason menyuruhmu menemuinya," ujar Norman.Menemuinya? Untuk apa? Apa Jason ingin pamer setelah bercinta dengan Vania?Janice marah dan membalas, "Aku sudah mau tidur. Beri tahu Paman, daripada mencariku, lebih baik dia rawat diri dan minum lebih banyak jamu kuat." Usai berkata demikian, dia kembali berbaring di ranjang.Norman yang berdiri di depan pintu merasa linglung karena ditolak mentah-mentah. Akhirnya, dia hanya bisa kembali ke ruang kerja sementara yang Sera siapkan untuk Jason."Pak Jason, Nona Janice bilang dia sudah mau tidur," lapor Norman."Kamu percaya dengan kata-katanya?" balas Jason.Jason duduk menyilangkan kaki di kursi kayu samping jendela. Satu tangannya menopang dagu, sementara tangan lainnya membalik halaman kontrak yang dibacanya."Anu ... mungkin dia kelelahan. Tapi, dia masih memperhatikan Pak Jason," ucap Norman."Oh?" gumam Jason.Aneh sekali.
Malia berkata sambil terisak-isak, "Huhuhu. Aku takut, aku paling takut kegelapan. Aku nggak bisa lihat apa-apa ... akh!"Sepertinya Malia tersandung sesuatu, langkahnya menjadi sedikit kacau. Dari suaranya, Janice memprediksi gadis itu akan jatuh ke arahnya.Kebetulan ada Jason yang berdiri di depan Janice. Malia benar-benar pintar memanfaatkan situasi. Segera setelahnya, terdengar suara dua tubuh bertabrakan. Tampaknya Malia benar-benar berhasil.Janice baru hendak mendengus ketika bayangan gelap tiba-tiba menghalangi pandangannya. Sebelum dia sempat bereaksi, napas hangat yang akrab sudah menekannya.Janice dicium tanpa peringatan hingga lupa untuk kabur. Aroma tubuh pria itu seperti udara di bawah pancaran matahari musim dingin. Sedikit hangat, tetapi juga terasa dingin.Tidak seperti sebelumnya, ciuman Jason tidak menuntut. Seakan-akan dia hanya ingin menutup mulut Janice. Napasnya bahkan sangat terkontrol.Janice tersadar kembali saat mendengar erangan orang yang terjatuh di lant
"Kemarilah," ujar Jason.Janice mengatupkan bibirnya, tidak bisa menebak jalan pikiran pria itu. Namun, dia juga tidak bisa keluar. Jadi, dia terpaksa menurut.Saat Janice hendak duduk, tangannya yang terluka tiba-tiba ditarik. Jason mengeluarkan salep luka bakar dari saku, lalu mengoleskannya di luka Janice.Janice tertegun. Bagaimana Jason bisa tahu dirinya terluka? Sensasi dingin di tangan menggantikan kebingungannya. Tubuhnya seketika terasa lebih rileks. Ditambah aroma menenangkan dari lilin, dunia seketika terasa lebih cerah.Jason menundukkan kepala dengan ekspresi tidak terbaca. Dia berucap dengan datar, "Dari mana kamu tahu masa lalu Bu Sera? Kejadian itu sudah berlalu 10 tahun. Dia juga menyuruh orang untuk menarik berita tentang kecelakaan itu."Tubuh Janice yang tadinya sudah rileks kembali menegang. Jari-jarinya sontak mengepal erat. Dia menatap Jason dan tersenyum pahit di dalam hati. Semua berkat pria itu.Di kehidupan sebelumnya, Janice mendengar banyak potongan informa
Lakukan sendiri? Biarpun hatinya tengah membara, punggung Janice refleks menegang. Dia mendongak dan menatap mata Jason. Di bahwa cahaya redup, sorot mata pria itu bak jurang tak berdasar.Jason bertopang dagu, menatapnya dengan penuh minat. Senyuman samar tersungging di wajahnya.Janice teringat akan hubungan asmaranya yang tidak berjalan menyenangkan. Dia sontak memalingkan wajahnya dengan hati pahit.Janice menggigit bibirnya dengan kuat, membuat darah memenuhi mulutnya. Namun, panas tubuhnya masih sangat menyiksa. Dia pun terpaksa menggigit bibirnya dengan lebih kuat.Tiba-tiba, rahang Janice terasa sakit. Darah menetes dari sudut bibirnya yang sedikit terbuka.Jason menyipitkan matanya yang berapi-api. Dia berucap dengan marah, "Sebenci itu, kah? Kalau begitu, kenapa kamu memprovokasiku?"Janice tidak menyahut dan tidak ingin memandangnya. Tiba-tiba, dagunya dicengkeram dengan kuat.Janice kesakitan dan mendongakkan matanya yang berkaca-kaca. Bulu matanya yang lentik basah dan ber
Kurang lebih setelah Janice turun dari ranjang, pintu langsung dibuka dari luar. Sekelompok orang segera masuk. Selain Vania dan Malia, masih ada Herisa, kepala pelayan, bahkan beberapa pria lain.Vania langsung maju dan memandang ke setiap sudut ruangan."Apa yang kalian lakukan? Apa ini cara kalian memperlakukan tamu di vila ini? Gimana kalau aku lagi nggak pakai baju?" ujar Janice sambil menatap kepala pelayan dengan marah.Kepala pelayan itu tertegun, lalu refleks memandang Vania. Gadis itu adalah tunangan Jason. Ketika Vania bersikeras mendesaknya untuk membuka pintu, bagaimana dia berani menolak?Kepala pelayan mengalihkan pandangannya dan menyahut, "Maaf, Nona Janice. Nona Vania bilang kalau kamu nggak menanggapinya. Dia khawatir kamu kenapa-kenapa, makanya dia menyuruhku membuka pintu."Janice memandang ke arah jam dinding, lalu berkata, "Ini baru jam 7 lewat. Kalau aku nggak merespons, apa lagi yang bisa kulakukan selain tidur? Kalaupun dia cemas, dia bisa meneleponku, 'kan?"
Dia bahkan menirukan suara perempuan itu. "Kak Norman, maaf, aku salah kirim, jangan dilihat ya ...."Norman dan Arya langsung merinding."Kak Norman, ajarin dong, gimana caranya bikin cewek kirim uang dalam satu menit?" Usai berbicara, Zion meninju ringan dada Norman.Norman menahan napas. Apa Zion tidak tahu betapa keras pukulannya? "Dasar gila."Norman menerima uang itu, lalu langsung menghapus kontak si perempuan. Tindakannya sangat cepat dan tegas.Arya bengong. "Hah? Kamu langsung hapus? Kamu nggak rugi sama sekali lho! Sudah liat fotonya, dapat duit pula!""Mau direkomendasikan ke kamu?""Eh, jangan! Aku nggak sanggup. Mending kasih ke Zion saja, dua-duanya genit, pasti cocok." Arya menunjuk Zion.Zion menikmati teh sambil selonjoran. "Aku sukanya yang tinggi semampai kayak aku.""Gila." Norman menjelaskan, "Pak Jason sempat bilang bakal ada yang hubungin aku buat balikin uang. Sepertinya dia orangnya."Ketiganya sedang asik minum teh saat seorang pengawal tiba-tiba masuk dan me
Di rumah sakit, Arya keluar dari ruang UGD, melepaskan masker, lalu menatap Jason dan Landon dengan ekspresi yang sangat serius.Ketiganya masuk ke ruang kerja Arya. Mereka berbicara cukup lama sampai lebih dari satu jam."Untuk sementara, nyawanya nggak dalam bahaya. Tapi, ini gagal hati yang disebabkan oleh sistem imun sendiri. Pengobatan terbaik adalah transplantasi hati.""Meskipun kecocokan transplantasi hati nggak terlalu ketat, tetap saja mencari orang yang punya golongan darah sama dan bersedia menyumbangkan sebagian hatinya nggak mudah."Apalagi, Rachel memiliki golongan darah yang berbeda dengan keluarga sedarahnya. Kalau sama, tentu tak perlu serumit ini.Landon langsung berkata, "Berapa pun biayanya, aku siap bayar."Arya menghela napas tanpa daya. "Sebaiknya kamu coba tanya dulu ke kerabat lain. Mungkin bisa lebih cepat.""Ya."Selesai berbicara, seorang perawat masuk dan memberi tahu bahwa Rachel telah dipindahkan kembali ke ruang rawat.Landon berucap, "Ayahku sudah di b
Zachary tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menatap tajam ke arah Elaine dan balik bertanya, "Kenapa kamu bisa tahu sedetail itu tentang masalah Ivy?"Elaine menggigit bibir, diam tanpa sepatah kata pun."Sebaiknya kamu nggak terlibat dalam hal ini. Silakan pergi, aku nggak akan antar." Zachary berbalik dan berjalan pergi.Riasan sempurna Elaine mulai hancur. Dia menahan Zachary dengan enggan. "Maaf ... sudah cukup, 'kan?"Zachary hanya mencibir dingin, merasa tak ada gunanya berbicara lagi. Dia berjalan melewati Elaine dan pergi.Elaine yang selalu bermartabat tak pernah sekali pun merendah pada pria mana pun. Dengan marah, dia berteriak, "Kamu nggak akan bisa menyelamatkannya!"Zachary hendak membalas, tetapi tiba-tiba seekor kucing liar melompat keluar dan menerjang ke arah Janice.Janice terkejut dan refleks menghindar, membuat keberadaannya langsung ketahuan. Melihat itu, Zachary segera maju dan mengusir kucing itu."Janice, kamu nggak apa-apa?""Nggak." Janice menggeleng.Be
Janice tiba-tiba terdiam. Dia memandangi sekeliling dengan tatapan kosong, semuanya tampak asing dan tidak nyata. Kenapa semuanya bisa berubah menjadi palsu hanya dalam sekejap?Landon terdiam untuk waktu yang lama.Janice mengangkat wajah pucatnya, matanya berkaca-kaca. "Kamu mendekatiku untuk menyingkirkan penghalang demi adikmu? Atau kamu kasihan padaku? Atau kamu merasa bersalah dan ingin menebusnya? Besar juga pengorbananmu, Pak Landon."Tak heran Landon selalu menoleransinya."Bukan begitu! Aku nggak menyangkal ada rasa bersalah, tapi saat pertama kali kita bertemu, aku sama sekali nggak tahu siapa kamu. Keinginanku untuk tunangan dan menikahimu, semua itu tulus karena aku menyukaimu." Landon menjawab dengan sungguh-sungguh.Janice hanya tersenyum pahit. Pada titik ini, sudah tidak penting lagi mana yang benar dan bohong.Dia benar-benar sudah kehabisan tenaga. Meskipun Landon sudah mengakui semuanya, apa yang bisa diubah?Dia perlahan berbalik. "Sudah cukup.""Janice, aku nggak
Saat itu, Landon menggenggam erat tangan Janice. Dia seperti sedang menenangkan, tetapi juga seperti sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu."Janice, bukti dari gadis itu paling jauh hanya bisa membuktikan kalau ibu dan beberapa orang lain itu berinvestasi secara sukarela, bukan karena ibumu menipu. Tapi, di luar sana masih banyak orang yang merasa tertipu dan beberapa di antaranya bukan orang biasa.""Maksudmu apa?" Janice menatap Landon dengan curiga."Aku suruh Zion menyelidiki para korban. Mereka bilang Fenny sangat profesional saat bicara, nggak seperti orang awam. Itu artinya, dia bukan hanya mengerti dunia para orang kaya, tapi juga ada yang memberinya pelatihan. Jelas bukan ibumu, tapi orang-orang nggak percaya. Mereka mungkin nggak bakal tinggal diam.""Maksudmu, ada yang sengaja melatih Fenny untuk mendekati orang kaya? Setelah dia menyerahkan diri dan menuduh ibuku, para orang kaya yang malu akan bersatu menyerang ibuku? Dibandingkan orang biasa seperti Kristin,
Janice tiba di tempat tujuan, langsung menuju ke ruang kerja sementara Landon. Saat sampai di depan pintu, sebelum sempat mendorongnya, suara Landon dan Ibrahim terdengar dari dalam.Nada suara Ibrahim terdengar serius. "Kamu mau menghabiskan begitu banyak uang hanya demi Janice? Kamu harus pikir matang-matang."Landon menjawab dengan tegas, "Aku sudah memikirkannya. Keadaan sudah sampai sejauh ini, menyelesaikan masalah lewat jalan damai adalah langkah mundur yang masih masuk akal. Uang masih bisa dicari. Tapi, aku nggak akan pernah membiarkan Janice kembali padanya."Padanya? Siapa?Janice menurunkan tangannya yang sempat ingin mendorong pintu, hatinya seperti diremas.Setelah hening sejenak, terdengar helaan napas dari Ibrahim. "Hubungan Janice dan dia terlalu rumit. Bagi masa depanmu ....""Setelah tunangan, aku akan menemani Janice kuliah di luar negeri. Kami juga akan nikah di sana. Kami akan berusaha sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan dia," jawab Landon."Kapan kamu jad
"Janice ...."Di hadapannya hanya ada lantai kosong, Janice sudah pergi.Begitu turun dari lantai atas, dua pengawal langsung menghampirinya."Bu Janice, maafkan kami. Kami tadi diarahkan ke tempat lain. Kamu baik-baik saja?""Aku baik-baik saja. Ayo pergi."Janice berjalan ke depan, tetapi para pengawal mengadangnya."Bu Janice, Pak Landon memerintahkan kami untuk memastikan keselamatanmu. Kalau kamu hilang lagi, kami nggak bisa kasih penjelasan apa-apa. Mobil sudah menunggu di luar."Melihat wajah mereka yang panik, Janice tidak ingin menyulitkan mereka. Dia pun mengangguk dan masuk ke mobil bersama mereka.Di luar gerbang sekolah, orang-orang sudah mulai berkurang. Saat mobil mulai melaju, Jason muncul dan mengejarnya. Tatapannya tajam tertuju pada Janice.Janice hanya menoleh dengan dingin, memandang lurus ke depan tanpa ekspresi. Di tengah perjalanan pulang, salah satu pengawal menerima telepon. Ekspresinya berubah tegang saat menoleh ke arah Janice."Bu Janice, Pak Landon bilang
Kristin menegakkan punggung dan berkata dengan kesal, "Tentu saja aku tahu! Ivy paling dekat sama Fenny dulu, tapi tetap nggak mau ajak kita gabung. Itu tandanya dia meremehkan kita.""Dia sekarang sudah jadi menantu Keluarga Karim. Uang puluhan miliar pasti kecil buat dia. Tapi, kalau dikasih ke kita ...."Begitu mendengar puluhan miliar, para wanita itu mulai berkhayal dan tergoda.Saat mereka hendak bersuara, salah satu wanita berujar, "Kayaknya nggak semudah itu. Anak Ivy yang lugu itu sekarang sangat pintar. Waktu itu acara teh sore, dia sengaja nolak tawaran kita buat investasi. Ivy paling nurut sama anaknya, pasti dia juga nggak bakal ajak kita."Kristin tertawa kecil. "Dia memang nurut sama anaknya. Tapi ke kita, dia pasti nggak enak hati buat nolak.""Kamu punya cara?""Kita kasih langsung uangnya ke dia, suruh dia urus sendiri. Mau untung atau rugi, tinggal tagih ke dia. Beres.""Kalau dia nggak mau ganti rugi?""Kita laporin saja dia menipu kita. Dia 'kan menantu Keluarga Ka
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it