"Oh?" Sorot mata Sera berubah. Nada suaranya juga menjadi dingin saat dia berucap, "Apa maksudmu?""Kamu mengenakan cincin krisan itu di jari kelingkingmu, sengaja menghindari jari manis yang melambangkan cinta," ujar Janice."Sepuluh tahun lalu, suamimu meninggal dalam kecelakaan mobil. Faktanya, ada orang lain di TKP. Dia adalah simpanannya, wanita itulah yang menyukai bunga krisan. Wanita itu bahkan masih memeluk erat bunga krisan pemberian suamimu sebelum meninggal. Vila Krisan ini juga hadiah untuknya yang dibeli suamimu dengan uangmu. Kini vila ini adalah trofimu," lanjut Janice.Sambil berkata begitu, Janice menghampiri taman kecil yang terbakar itu. Kemudian, dia tiba-tiba menoleh ke arah Sera yang memasang ekspresi muram.Janice berucap lagi dengan nada lembut, "Bu Sera, bunga-bunga ini bermekaran dengan indah."Sera menyahut dengan dingin, "Tentu saja, mereka dirawat dengan baik. Tapi, apa hubungan hal ini dengan alasanmu membakarnya?""Setiap tahun Bu Sera tinggal sebentar d
Mendengar bahwa mereka diatur untuk tinggal di kamar yang sama, Vania bersandar ke dada Jason dan berucap dengan malu-malu, "Bu Sera, sepertinya ini kurang baik."Sera mengangkat alisnya dan membalas sambil tersenyum, "Kalau kamu malu, aku bisa aturkan kamar lain untukmu. Nggak masalah." Usai bicara, dia melambai untuk memanggil kepala pelayan.Bibir Vania berkedut-kedut. Dia buru-buru berkata, "Bu Sera benar-benar pintar bercanda, terima kasih."Sera menatap gadis itu dan tersenyum penuh arti. Ingin bersandiwara polos di depannya, hm?Mendengar Sera bersedia mengatur ulang ruangan, Janice juga mencari-cari alasan untuk pindah. Namun, sebelum dia sempat bicara, Sera sudah pergi untuk menjawab telepon.Janice menghela napas pasrah dan terpaksa berjalan ke kamarnya. Ketika dia hendak berbalik, Malia tiba-tiba menarik lengannya dari belakang."Janice, kamu takut sendirian, nggak? Gimana kalau aku temani kamu?" tanya Malia.Lengan Janice bergetar pelan dan giginya sontak digertakkan. Namun
"Nona Janice, ini aku, Norman," kata orang di balik pintu."Ada apa?" tanya Janice sambil menahan sakitnya."Pak Jason menyuruhmu menemuinya," ujar Norman.Menemuinya? Untuk apa? Apa Jason ingin pamer setelah bercinta dengan Vania?Janice marah dan membalas, "Aku sudah mau tidur. Beri tahu Paman, daripada mencariku, lebih baik dia rawat diri dan minum lebih banyak jamu kuat." Usai berkata demikian, dia kembali berbaring di ranjang.Norman yang berdiri di depan pintu merasa linglung karena ditolak mentah-mentah. Akhirnya, dia hanya bisa kembali ke ruang kerja sementara yang Sera siapkan untuk Jason."Pak Jason, Nona Janice bilang dia sudah mau tidur," lapor Norman."Kamu percaya dengan kata-katanya?" balas Jason.Jason duduk menyilangkan kaki di kursi kayu samping jendela. Satu tangannya menopang dagu, sementara tangan lainnya membalik halaman kontrak yang dibacanya."Anu ... mungkin dia kelelahan. Tapi, dia masih memperhatikan Pak Jason," ucap Norman."Oh?" gumam Jason.Aneh sekali.
Malia berkata sambil terisak-isak, "Huhuhu. Aku takut, aku paling takut kegelapan. Aku nggak bisa lihat apa-apa ... akh!"Sepertinya Malia tersandung sesuatu, langkahnya menjadi sedikit kacau. Dari suaranya, Janice memprediksi gadis itu akan jatuh ke arahnya.Kebetulan ada Jason yang berdiri di depan Janice. Malia benar-benar pintar memanfaatkan situasi. Segera setelahnya, terdengar suara dua tubuh bertabrakan. Tampaknya Malia benar-benar berhasil.Janice baru hendak mendengus ketika bayangan gelap tiba-tiba menghalangi pandangannya. Sebelum dia sempat bereaksi, napas hangat yang akrab sudah menekannya.Janice dicium tanpa peringatan hingga lupa untuk kabur. Aroma tubuh pria itu seperti udara di bawah pancaran matahari musim dingin. Sedikit hangat, tetapi juga terasa dingin.Tidak seperti sebelumnya, ciuman Jason tidak menuntut. Seakan-akan dia hanya ingin menutup mulut Janice. Napasnya bahkan sangat terkontrol.Janice tersadar kembali saat mendengar erangan orang yang terjatuh di lant
"Kemarilah," ujar Jason.Janice mengatupkan bibirnya, tidak bisa menebak jalan pikiran pria itu. Namun, dia juga tidak bisa keluar. Jadi, dia terpaksa menurut.Saat Janice hendak duduk, tangannya yang terluka tiba-tiba ditarik. Jason mengeluarkan salep luka bakar dari saku, lalu mengoleskannya di luka Janice.Janice tertegun. Bagaimana Jason bisa tahu dirinya terluka? Sensasi dingin di tangan menggantikan kebingungannya. Tubuhnya seketika terasa lebih rileks. Ditambah aroma menenangkan dari lilin, dunia seketika terasa lebih cerah.Jason menundukkan kepala dengan ekspresi tidak terbaca. Dia berucap dengan datar, "Dari mana kamu tahu masa lalu Bu Sera? Kejadian itu sudah berlalu 10 tahun. Dia juga menyuruh orang untuk menarik berita tentang kecelakaan itu."Tubuh Janice yang tadinya sudah rileks kembali menegang. Jari-jarinya sontak mengepal erat. Dia menatap Jason dan tersenyum pahit di dalam hati. Semua berkat pria itu.Di kehidupan sebelumnya, Janice mendengar banyak potongan informa
Lakukan sendiri? Biarpun hatinya tengah membara, punggung Janice refleks menegang. Dia mendongak dan menatap mata Jason. Di bahwa cahaya redup, sorot mata pria itu bak jurang tak berdasar.Jason bertopang dagu, menatapnya dengan penuh minat. Senyuman samar tersungging di wajahnya.Janice teringat akan hubungan asmaranya yang tidak berjalan menyenangkan. Dia sontak memalingkan wajahnya dengan hati pahit.Janice menggigit bibirnya dengan kuat, membuat darah memenuhi mulutnya. Namun, panas tubuhnya masih sangat menyiksa. Dia pun terpaksa menggigit bibirnya dengan lebih kuat.Tiba-tiba, rahang Janice terasa sakit. Darah menetes dari sudut bibirnya yang sedikit terbuka.Jason menyipitkan matanya yang berapi-api. Dia berucap dengan marah, "Sebenci itu, kah? Kalau begitu, kenapa kamu memprovokasiku?"Janice tidak menyahut dan tidak ingin memandangnya. Tiba-tiba, dagunya dicengkeram dengan kuat.Janice kesakitan dan mendongakkan matanya yang berkaca-kaca. Bulu matanya yang lentik basah dan ber
Kurang lebih setelah Janice turun dari ranjang, pintu langsung dibuka dari luar. Sekelompok orang segera masuk. Selain Vania dan Malia, masih ada Herisa, kepala pelayan, bahkan beberapa pria lain.Vania langsung maju dan memandang ke setiap sudut ruangan."Apa yang kalian lakukan? Apa ini cara kalian memperlakukan tamu di vila ini? Gimana kalau aku lagi nggak pakai baju?" ujar Janice sambil menatap kepala pelayan dengan marah.Kepala pelayan itu tertegun, lalu refleks memandang Vania. Gadis itu adalah tunangan Jason. Ketika Vania bersikeras mendesaknya untuk membuka pintu, bagaimana dia berani menolak?Kepala pelayan mengalihkan pandangannya dan menyahut, "Maaf, Nona Janice. Nona Vania bilang kalau kamu nggak menanggapinya. Dia khawatir kamu kenapa-kenapa, makanya dia menyuruhku membuka pintu."Janice memandang ke arah jam dinding, lalu berkata, "Ini baru jam 7 lewat. Kalau aku nggak merespons, apa lagi yang bisa kulakukan selain tidur? Kalaupun dia cemas, dia bisa meneleponku, 'kan?"
Saat berkata begitu, tatapan Sera sengaja ditujukan ke arah Vania. Dia berucap lagi, "Kamu nggak keberatan, 'kan?"Sorot mata Vania terlihat tidak nyaman. Dia membalas, "Bu Sera, kesalahpahaman sudah diluruskan. Lebih baik biarkan masalah ini sampai di sini. Aku nggak ingin membuang waktumu dan Jason."Sera terkekeh-kekeh dan berkata, "Vania, kamu terlalu pengertian. Tapi, itu sama sekali nggak membuang waktu, kok. Kalian yang di sana, kenapa berdiri saja? Cepat geledah kamar Vania.""Baik!"Ketika kepala pelayan dan yang lainnya hendak pergi, Vania segera mengadang mereka dan mengingatkan, "Bu Sera, bagaimanapun ini kamarku dan Jason. Sepertinya ini kurang pantas.""Vania, kamu nggak boleh punya standar ganda. Janice yang wanita lajang tidur sendiri, lalu kamu menerobos masuk dengan membawa begitu banyak pria. Dia bahkan nggak bilang apa-apa. Apa yang kamu takutkan? Kamu nggak mungkin menyembunyikan sesuatu, 'kan?" balas Sera penuh arti."Nggak, nggak ada!" sahut Vania sambil menggele
Jason tidak lagi mengirim pesan, sehingga Arya berpikir percakapan sudah selesai. Saat dia hendak meletakkan ponsel, tiba-tiba muncul sebuah gambar.[ Gimana kalau ini? ]Arya tidak tahu apa yang dilakukan Jason tengah malam begini, sampai-sampai meminta seseorang melukis potret. Namun, dia tetap membuka gambar itu dengan sabar.Hanya dengan sekali lihat, Arya langsung terpaku di tempat dan ketakutan. Terlebih lagi, dia sedang sendirian di lorong rumah sakit yang sunyi. Punggungnya sampai terasa dingin.Sambil mempercepat langkahnya, Arya membalas pesan.[ Persis. Awalnya aku kira itu Janice waktu kecil, tapi sekarang aku akhirnya melihat perbedaannya. Mata ini persis dengan matamu! ]Arya masuk ke kantor, lalu menutup pintu dan meneguk air untuk menenangkan diri. Dia selalu berpikir bahwa mimpi hanyalah sesuatu yang tidak nyata. Namun, sekarang dia mulai merasa ragu.[ Oke, aku sudah paham. ]Jason tidak lagi mengirim pesan setelah itu. Arya sampai tidak bisa tidur sepanjang malam kar
Arya sontak berdiri. "Nggak boleh! Lukamu baru saja sembuh. Sejak kembali dari Kota Gunang, kamu hampir nggak pernah istirahat. Tubuhmu nggak bakal tahan!""Kamu pulang saja. Malam ini aku sudah tukar jadwal malam dengan dokter lain. Aku yang akan membantumu berjaga. Lagi pula, bukankah orang-orangmu juga mengawasi secara diam-diam?" Sambil berbicara, Arya mendorong Jason dengan pelan.Jason mengusap pelipisnya sambil mengangguk pelan. Pada akhirnya, dia berbalik dan keluar dari kantor.....Larut malam, Jason duduk di ruang kerjanya. Kedua tangannya menopang dagunya. Rokok di jarinya perlahan-lahan habis terbakar, sementara asap yang membubung menyembunyikan ekspresinya.Di meja, ponselnya terus memutar ulang rekaman yang didapat dari Malia."Jadi, kamu diam-diam ingin menikah dengan Jason! Bahkan ingin punya anak dengannya! Kamu ingin anak perempuan atau laki-laki?""Anak perempuan.""Anak perempuan ....""Anak ...."Ketika pertama kali mendengar rekaman ini, Jason merasakan perasaan
Saat cairan dalam jarum suntik sepenuhnya masuk ke selang infus, dokter itu menunjukkan senyuman puas di matanya.Namun, detik berikutnya, matanya terbelalak tak percaya. Dia bahkan tidak sempat menoleh, tubuhnya seperti robot yang kehilangan daya dan langsung terjatuh ke lantai.Setelah dokter itu terjatuh, sosok pria di belakangnya pun terlihat. Wajahnya tampan, tetapi memancarkan aura membunuh yang samar.Jason mengelap tangannya. "Bawa dia pergi."Norman melangkah maju, lalu menyeret pria itu keluar dengan mudah.Akhirnya, ruangan itu kembali sunyi. Jason duduk di tepi ranjang. Dengan hati-hati, dia membuka selotip di punggung tangan Janice. Jarum infus itu ternyata tidak benar-benar menembus kulitnya, hanya trik untuk mengelabui.Jason mengusap punggung tangan Janice perlahan, menatap wajahnya yang pucat dan tenang saat tidur. Matanya yang dalam menyimpan emosi yang sulit dibaca. Pada akhirnya, dia menunduk untuk menyembunyikan emosinya. Namun, dia menggenggam tangan Janice semaki
Sosok Jason menyihir perhatian orang, tetapi sekaligus membuat mereka takut. Jason telah datang.Dia mendekati Janice, tetapi Vania tiba-tiba memutar kursi rodanya dan memeluk Jason. "Jason, aku baik-baik saja. Jangan salahkan Janice. Aku cuma ingin berbicara dengannya. Lagi pula, sebulan lagi kita akan menikah.""Nggak ada yang perlu dibicarakan dengannya." Jason berbicara dengan dingin sambil membantu Vania duduk dengan baik di kursi roda.Vania mengerutkan alisnya, bersandar pada Jason. "Jason, jangan begini. Bagaimanapun, dia juga keluarga.""Bukan," jawab Jason dengan tatapan tanpa emosi sedikit pun."Bukan keluarga? Jadi, dia orang luar?" tanya Vania sambil menatap Janice dengan wajah bingung yang dibuat-buat.Sekujur tubuh Janice terasa dingin. Suara yang datang dari kehidupan lain tiba-tiba terngiang di pikirannya."Janice, kamu bersama Jason 8 tahun, tapi nggak bisa menandingiku. Begitu aku kembali, dia langsung ingin kamu menyerahkan tempatmu untukku dan anakku. Dia bahkan bi
Ketika Janice kembali sadar, dia sudah mengenakan pakaian bersih dengan bantuan Ivy dan suster, bahkan darah di kepalanya sudah dicuci bersih.Rambutnya yang setengah kering terurai di pipinya, memberikan kesan indah yang rapuh. Namun, matanya benar-benar hampa, membuatnya seperti boneka kayu yang digerakkan dengan tali.Arya menunduk sambil memotong kulit mati di jarinya dengan hati-hati. Saat melihat jari Janice bergerak sedikit, dia segera menenangkan, "Sebentar lagi selesai, tahan sedikit."Janice mengangguk dengan bengong, lalu bertanya, "Gimana dengan Vania?""Keguguran, pendarahan hebat, tapi sekarang sudah stabil," jawab Arya dengan nada canggung.Mendengar itu, Janice menggertakkan giginya dan mencengkeram tepi ranjang. Dia mengangguk, lalu menggeleng. "Aku nggak mendorongnya."Arya mendongak dengan kaget. Dia menatap mata suram itu dan merasa kasihan. "Sebenarnya ...."Sebelum dia selesai bicara, pintu bangsal dibuka. Vania masuk dengan kursi roda, didorong oleh Risma. Dia me
Segera, Jason melangkah perlahan ke arah Malia. "Setelah ini, kirimkan rekaman itu padaku.""Baik." Malia menjawab dengan mata merah, wajahnya tampak penuh kepedihan. "Pak Jason, aku benaran nggak nyangka Janice bisa sekejam ini. Semua ini salahku.""Aku nggak tahan lagi dengan cara dia diam-diam bersekongkol dengan orang lain untuk menindasku. Makanya, hari ini aku datang untuk memohon agar dia melepaskanku. Aku nggak nyangka dia malah memanfaatkan kesempatan ini untuk mencelakai Vania.""Siapa?" Mata Jason yang tajam menatap Malia."Maksudmu?" Malia terkejut."Dia bekerja sama dengan siapa? Sebutkan namanya.""Eee ...." Bahu Malia mulai bergetar.Tepat pada saat itu, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi panik. "Maaf, Pak Jason. Kami nggak bisa menyelamatkan bayinya. Sekarang pasien juga mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan transfusi darah."Sebelum dokter selesai bicara, perawat sudah berlari masuk dengan kantong darah di tangan.Anwar yang mendeng
"Apa buktinya?" tanya Risma dengan tidak sabar.Malia langsung membuka rekaman suara di ponselnya. Layar menunjukkan tanggal rekaman itu diambil pada malam Natal tahun lalu. Saat itu, hubungan Janice dan Malia sangat baik. Tidak ada rahasia di antara mereka.Janice sontak teringat pada sesuatu. Wajahnya menjadi pucat pasi, bahkan tangan yang terkepal erat gemetaran. Di kehidupan sebelumnya, Malia bisa terus berada di sisi Vania tentu karena punya kemampuan. Wanita ini diam-diam mengumpulkan aib orang lain.Rekaman mulai diputar."Janice, kenapa melamun melihat kembang api? Kamu diam-diam membuat permohonan ya?""Nggak." Suara Janice terdengar sengau, ada rasa malu seolah-olah rahasianya terungkap."Jangan bohong, wajahmu sampai merah. Kamu memikirkan Jason lagi?""Sstt! Jangan sampai ada yang dengar! Dia sudah bersama orang lain.""Tenang saja, cuma kita yang tahu. Ayo, katakan. Barusan kamu pikirin apa?"Malia terus bertanya dengan penasaran. Setelah ragu sejenak, Janice akhirnya ters
Setelah bersumpah, Malia segera bersujud. Suara yang timbul akibat kepalanya yang menyentuh lantai menggema di sepanjang koridor. Siapa pun yang melihatnya akan merasa bahwa dia tidak berbohong.Ivy yang biasanya tidak pernah marah, sampai terengah-engah sambil memegang dadanya. Dia memelototi Malia dengan murka. "Kamu bohong! Kapan aku pernah mengancammu?"Ketika mendengar suara itu, Malia seketika merangkak mundur dengan ketakutan dan bersembunyi di balik kaki Anwar. "Bu, tadi kamu bahkan memukulku dengan tasmu. Kamu masih berani bilang nggak ada yang terjadi? Semua orang di studio melihatnya!""Kamu ...." Ivy terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi.Saat ini, tangisan Risma semakin menjadi-jadi. Dia menghampiri Anwar sambil menunjuk darah di bajunya. "Pak, kamu harus memberi Vania keadilan. Setelah tahu dia mengandung anak Jason, dia sangat bahagia. Setiap hari dia mengajak anaknya mengobrol. Tapi sekarang, karena Janice, nyawanya dan anak itu terancam! Padahal, itu anak pertamanya!"
Di tengah keributan, Janice melihat Vania tiba-tiba mendekatinya. Dia langsung merasa ada yang tidak beres dan segera melepaskan tangan Malia.Namun, Janice tetap terlambat selangkah. Malia yang terlihat seperti sedang memohon ampun dan kehilangan akal sehat, diam-diam mendorong Janice ke arah Vania.Terdengar jeritan tajam, lalu Vania jatuh terguling dari tiga anak tangga. Dia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya dan berkata dengan wajah penuh penderitaan, "Perutku ... sakit sekali ...."Seorang rekan kerja langsung memarahi, "Janice! Vania bermaksud baik karena khawatir padamu, tapi kamu malah memperlakukannya seperti ini?"Rekan lainnya yang membantu menopang Vania, melihat ke arah rok Vania dan berseru ketakutan, "Darah! Banyak sekali darah!"Vania mengerang kesakitan. "Anakku ...."Mendengar itu, reaksi pertama Janice adalah segera menolongnya. Dia ingin mengulurkan tangan untuk membantu Vania, tetapi tiba-tiba seseorang muncul dan menabraknya ke sisi tangga. Lengan Janic