Hati Arini berdenyut perih mendengar perkataan Sarah. Walaupun dia memutuskan untuk pergi dari sana, tapi tak bisa Arini pungkiri kalau rasa cinta itu masih ada untuk suaminya."Aku bahkan sudah tidak akan peduli lagi pada kalian. Walaupun dalam hatiku, aku sungguh merasakan perih," ucap Arini dalam hati."Tunggu saja kehancuranmu, Arini!" bisik Sarah sembari melewati Arini.Sarah berjalan ke arah Arini dan sengaja menyenggol lengannya. Dengan tatapan sinis, Sarah berlalu meninggalkan Arini begitu saja."Astaghfirullah al'adzim!" seru Arini sambil mengelus-elus dadanya. Sungguh, Sarah itu perempuan yang tidak punya hati. Sesama perempuan saja dia bisa melakukan hal seperti ini. Walaupun sakit, Arini merasa beruntung karena itu tandanya Allah masih menyayanginya dan menunjukkan watak asli suaminya.Lamunan Arini buyar ketika mendengar suara ponselnya berdering. Bergegas Arini menuju kasir karena Arini sudah selesai berbelanja. Ketika Arini mengangkat telepon itu, ada suara perempuan d
"Halo! Maaf Arini, tadi lagi dipanggil suami jadi gak tahu kalau kamu sudah angkat! He ... he ... he ...." kata Indah terkekeh. Ternyata yang menelepon Arini itu Indah. "Huft! Kamu itu, ya, Ndah, buat aku jantungan aja tahu gak?" protes Arini. Karena permasalahan dengan Arman tak kunjung selesai, jadi Arini terkadang suka 'parno' dengan nomor-nomor yang tidak dikenal."Ya, maaf!" ucap Indah tapi masih dengan tawa pelannya."Kenapa harus jantungan, Ar?" tanya Indah heran."Ada apa telepon malam-malam, Ndah? Dan kamu tahu nomorku dari mana?" tanya Arini mengalihkan pembicaraan."Eh iya ... sampai lupa mau ngomong. Besok aku jemput kamu, ya, kalau kamu mau ke kantor? Ada yang mau bicarakan sama kamu!" ucap Indah. Kali ini nada bicaranya terdengar serius."Gak usah, Ndah! Besok aku datang sendiri aja. Kayak anak kecil aja, pakai dijemput segala!" kata Arini dengan bibir mengerucut. "Pokoknya besok aku jemput kamu, Ar! Titik!" Indah pun tak mau kalah, dia tetap ingin menjemput Arini."K
Tepat pukul tujuh, mobil Indah sudah ada di depan rumah Pak Sobari. Kali ini sang sopir turun dan menghampiri Arini."Maaf, Bu! Saya ditugaskan Bu Indah untuk menjemput Ibu," kata sopir yang bernama Pak Parto itu dengan sopan. Usianya kurang lebih lima puluh tahunan."Lho ... Indahnya kemana, Pak?" tanya Arini."Kebetulan waktu mau menjemput Ibu, Bu Indah ada keperluan mendadak yang tak bisa ditinggalkan. Makanya saya sekarang yang ditugaskan untuk menjemput Bu Arini," jelas Pak Parto. "Baiklah. Tunggu sebentar, ya, Pak!" seru Arini. Lalu, Arini masuk ke dalam rumah untuk berpamitan dengan Pak Sobari dan Bu Fatimah. Tak selang berapa lama, Arini pun keluar lagi dan langsung mengajak Pak Parto untuk berangkat.Sepanjang perjalanan, Pak Parto dan Arini tak banyak berbicara. Arini seakan menikmati perjalanannya kali ini. Tak sedetikpun Arini lepaskan pandangannya dari sisi jendela. Tanpa Arini sadari, sedari tadi Pak Parto meliriknya dari kaca depan pengemudi."Kenapa anak ini mirip sek
Arman dan Tuti pulang dari supermarket dengan keadaan marah. Arini yang dianggapnya akan menderita setelah keluar dari rumah ibunya, ternyata masih bisa belanja dengan begitu banyaknya. "Bukankah saat keluar dari sini, Arini tidak bawa uang? Lalu, dari mana Arini mendapatkan uang? Apa yang Tuti katakan tadi benar adanya?" berbagai pertanyaan muncul dalam benak Arman.Arman memijat kepalanya pelan. Semua kejadian akhir-akhir ini membuatnya pusing. Tuti langsung masuk dapur untuk menata barang belanjaan. Bu Ida yang kebetulan saat itu ada di rumah merasa heran dengan sikap Arman."Kamu kenapa, Man?" tanya Bu Ida."Pusing aku, Bu!" jawab Arman dengan mengacak rambutnya. Ibu Ida mendekat dan duduk di samping anaknya."Pusing kenapa, sih?" kata Bu Ida."Arini, Bu! Arini! Dia —" belum selesai berbicara, Ibu Ida memotong ucapan Arman."Kamu tuh kenapa, sih, Man? Hah?! Istrimu itu sudah pergi ninggalin kamu! Masih aja dipikirin!" omel Ibu Ida pada anak laki-lakinya itu."Ah Ibu ini, belum ju
Sesuai dengan apa yang Tuti bicarakan kemarin, keesokan harinya Arman mulai mendekati ibunya."Bu ... nanti makan siang, Ibu ke restoran Sarah, ya? Kita makan di sana," ajak Arman. Ibu Ida dan Bela saling berpandangan."Tumben?" balas Ibu Ida. "Ajak Mbak Salma sama Mas Doni sekalian juga gak apa-apa," kata Arman lagi tanpa merespon pertanyaan ibunya."Oke lah kalau begitu! Bela, telepon mbakmu bilang kalau mau diajak masmu makan siang di restoran, ya?" ucap Bu Ida sambil menoleh ke arah Bela. Dua jempol Bela acungkan pada ibunya.Bela keluar dengan membawa ponselnya. Tentu saja untuk menelepon Salma. Tak lama kemudian Bela kembali lagi ke meja makan."Beres, Bu!" ucap Bela. "Ya sudah kalau begitu Arman berangkat kerja dulu, Bu. Nanti kabari Arman kalau sudah di sana," pamit Arman sambil mencium telapak tangan ibunya."Tumben masmu ngajak makan di luar, Bel?" celetuk Ibu Ida saat mobil Arman sudah meninggalkan halaman rumah. Bela mengangkat bahunya."Udah sadar kali!" jawab Bela asal
"Ini Jenk, Arman yang ngajak makan siang di sini. Tanya aja sama anaknya, kok tumben sekali ajak ke sini," balas Bu Ida. Bu Wati pun menoleh ke arah Arman meminta jawaban atas pertanyaannya."Eng—gak ada apa-apa kok, Bu. Cuma pengen nyenengin keluarga saja di sini," jawab Arman asal. Sesekali Sarah dan Arman curi-curi pandang. Tentu saja itu Sarah merasa bahagia diperhatikan oleh Arman."Ngomong-ngomong kok istri Nak Arman gak kelihatan?" tanya Bu Wati. Memang Sarah belum sempat cerita ke ibunya perihal kepergiaan Arini dari rumah Arman."Sudah Jenk, jangan bahas mantu tak tahu diri itu! Untungnya Arman belum punya anak dari perempuan si*alan itu! Sepertinya aku harus cepat-cepat menikahkan Arman dan Sarah, agar aku bisa punya mantu yang selevel!" ucap Ibu Ida sedikit emosi. Sarah tersenyum saat namanya disebut."Sarah mah siap-siap aja, Jenk. Tapi ... apa Arman juga mau dan siap?" tanya Bu Wati."Gimana, Man?" Ibu Ida menanyakan hal yang sama pada anaknya.Salma dan Bela pun tak mau
Semua orang memandang Arini penuh kebencian. Indah yang belum tahu wajah suami Arini tak menyadari bahwa ada keluarga suami Arini yang seperti ular dihadapannya. Sampai saat Indah dan Arini akan keluar, tiba-tiba kaki Arini dijegal oleh Salma kakak iparnya. Sontak Arini jatuh terjerembab ke lantai.Arman yang walaupun hati dan pikirannya sudah dikuasai kebencian oleh Tuti, tetap saja ada sedikit rasa tak tega melihat istrinya diperlakukan seperti itu.Dengan sigap Arman membantu Arini untuk berdiri. Ibu Ida yang melihat perlakuan Arman pada Arini segera menyeret Arman menjauh dari Arini."Kamu apa-apaan, sih, Man! Masih dibela aja istri tak tahu diri seperti itu!" sungut Bu Ida kesal. Arman tak menanggapi ibunya.Bergegas Arman dan keluarganya meninggalkan Arini dan Indah yang masih berdiri di sana."Kamu gak apa-apa, Ar?" tanya Indah. Arini hanya mengangguk. Mata Arini masih tertuju pada sosok suaminya yang masih sangat dia cintai. Entahlah ... hati kecil Arini mengatakan apa yang su
"Sepertinya kamu harus kembali ke rumah suamimu, Ar!" ucap Indah sambil menatap mata Arini. "Aku harus kembali ke sana, Ndah? Dan melihat suamiku bersama pembantunya itu bermesraan begitu? Hah?!" balas Arini kecewa. Nada suara Arini pun juga sedikit lebih tinggi. "Kamu tenang dulu, Ar! Dengar dulu penjelasanku!" Indah berusaha menenangkan sahabatnya itu. Indah mengerti perasaan Arini, tapi sebelum semuanya terlambat. Tak mau membuat Arini menyesal nantinya. "Ada yang tidak beres dengan suamimu. Aku melihat kalau suamimu ada yang mempengaruhinya. Kamu boleh percaya atau tidak sama aku. Tapi, aku pastikan bahwa suamimu itu bukan suamimu, Ar!" jelas Indah. Arini semakin tak mengerti dengan ucapan Indah barusan. "Aku tahu kamu bingung, Ndah. Sebisanya aku akan membantumu mendapatkan suamimu kembali. Tapi, langkah pertama yang harus kamu lakukan adalah masuk ke dalam rumah itu kembali. Percaya sama aku, Ar!" jelas Indah lagi. Arini masih tak merespon perkataan Indah. Dia masih mencerna
Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put
Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim
Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S
Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h
Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me
PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini
Beberapa hari setelah dirawat, Putri sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter Radit. Dokter Radit berpesan agar keluarga selalu mendukung dan memperhatikan Putri. Itu akan berguna untuk ketenangan jiwa Putri."Bah, kalau Abah mau pulang gak apa-apa, Bah. Inshaa Allah Arman akan jaga Putri," kata Arman. Dia tahu kalau Haji Topan juga banyak urusan di kampung."Kamu tidak senang Abah di sini, Man?" terka Haji Topan."Bukan begitu, Bah! Arman justru senang kalau Abah mau tetap di sini. Tapi, urusan Abah di sana bagaimana?" jawab Arman jujur."Abah sudah titip sama Mas dan Mbakmu di sana. Abah senang Mas dan Mbakmu sekarang bersatu dan hidup bahagia lagi, Man. Ibumu juga sekarang jauh lebih dari sebelumnya," jelas Haji Topan seraya menerawang jauh ke depan."Alhamdulillah, ya, Bah! Tapi kebahagiaan kami belum lengkap karena Bela masih belum seperti dulu. Bah!" Arman berkata sambil menunduk. Dia menyembunyikan air mata yang memberontak mau keluar."Percayalah, Man, Bela akan bisa seperti dul
Sesampainya di rumah sakit, Haji Topan wajahnya terlihat tegang. Beliau mondar-mandir di depan pintu ruang perawatan Putri. Arman sedikit mempecepat langkahnya kala melihat mertuanya seperti itu."Ada apa, Bah?" tanya Arman. Haji Topan seketika menoleh ke sumber suara. Terlihat Beliau menitikkan air mata."Putri, Man! Putri!" seru Haji Topan."Putri kenapa, Bah?" Arman juga terlihat panik saat Haji Topan menyebut nama Putri."Putri mencoba menyakiti dirinya lagi, Man! Abah bingung, Man! Kita harus bagaimana?" Tangan Haji Topan mencengkram kuat lengan menantunya itu."Astagfirullah! Tenang, Bah! Kita gak boleh panik juga. Nanti urusan Putri biar Arman yang tangani. Abah tenang dulu, ya! Nanti Abah sakit," sahut Arman.Tak lama kemudian, Dokter Radit keluar dari ruangan itu. Beliau sedikit menghela nafas berat sebelum akhirnya berkata,"Putri sudah saya suntik dengan obat penenang. Saat ini hanya dukungan keluarga yang bisa membuat Putri menjadi lebih baik. Karena itu, saya sangat berha
Dokter berkata kalau Putri kehilangan banyak darah akibat percobaan bunuh diri yang Putri lakukan. Beruntung nyawa Putri masih bisa diselamatkan. Haji Topan yang mendengarnya langsung jatuh lemas. Bahkan Beliau harus dipapah Arman untuk duduk di kursi panjang yang tak jauh dari tempatnya menunggu tadi."Bah ... Abah di sini dulu, ya ... Arman belikan air mineral dulu." Arman berlalu meninggalkan Haji Topan seorang diri untuk membeli air mineral dan beberapa makanan.Tak lama, Arman kembali lagi dan memberikan air mineral pada mertuanya. Saat itu, Dokter yang menangani Putri baru saja keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Haji Topan bangkit dan langsung menghampiri dokter itu."Alhamdulillah, kita tinggal menunggu pasien siuman saja, Pak!" ucap Dokter Radit. "Lalu, lukanya bagaimana, Dok?" tanya Arman yang masih khawatir."Sudah kita tangani, Pak. Sekarang tinggal masa pemulihan pasien saja. Saran saya, kalau pasien sadar. jangan dulu diberikan pertanyaan yang aneh-aneh. Saya