Arini mengusap wajahnya pelan dan berusaha mengingat apa yang baru saja dia impikan."Ya Allah ... ada apa ini? Apa arti mimpiku tadi?" ucap Arini lirih. Diliriknya jam dinding yang ada di sisi atas ranjangnya, ternyata sudah pukul tiga lebih dua puluh menit.Setelah menetralkan detak jantungnya, Arini beranjak dari ranjang dan mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat tahajjud.Dengan sangat khusyuk, Arini melaksanakan sholat dua rakaat itu. Dalam doanya, Arini meminta petunjuk agar diberi kemudian dalam menjalani masalah dan ujian yang kini telah menimpanya bersama suaminya.Karena tak bisa lagi terpejam, Arini mengambil Al-Qur'an dan membacanya sambil menunggu adzan subuh berkumandang. Arini terdiam cukup lama setelah membaca surat Allah yang isinya berbunyi,"... Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah..." firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 102."Berulang kali Arini membaca ayat tersebut, hingga akhirnya Arini mengerti
Selama bekerja, Arini tak henti-hentinya memikirkan mimpi buruknya semalam. Ada perasaan takut dan juga khawatir pada pria yang masih berstatus suaminya itu. Tapi ... terlepas dari Arman terkena sihir atau tidak, tak bisa dipungkiri kalau Arini sudah dibuat sakit hati dengan tingkahnya bersama Tuti.Bingung harus berbuat apa. Kembali ke rumah itu sama saja kembali mengulang kesalahan yang sama. Tapi, kalau tidak kembali ke rumah itu, bagaimana cara membuat Mas Arman kembali? Bukan kembali merajut asa pernikahan mereka, tapi membuat Arman kembali dan terbebas dari belenggu Tuti. Itu pun jika benar apa yang dia impikan terjadi."Ar, kita hari ini harus meeting mendadak ke Yogyakarta! Kamu siapkan semuanya, ya!" kata Indah. Arini yang sedang melamun, tak mendengarkan apa kata sahabatnya itu. Indah menggoyangkan lengan Arini. Sontak saja Arini terkejut."Eh, i—ya, kenapa, Ndah?" tanya Arini gelagapan. Indah menggelengkan kepalanya pelan."Kamu sedang mikirin apa, Ar? Ini masih jam kerja,
Belum jauh Arman berlalu, dia berbalik dan berkata, "Sebentar lagi aku akan menikah dengan Sarah. Jadi, aku harap kamu tak akan mengharapkan bisa kembali lagi padaku!" "Tunggu aja, aku akan segera menceraikanmu!" ucap Arman lagi.Gleg! Arini menelan ludahnya. Tak menyangka pria yang dulu sangat mencintainya, seketika berubah seperti ini.Setelah kepergiaannya, Arini berharap Arman akan kehilangan sosoknya. Tapi ... semua hanya angan saja. Bahkan Arman tak pernah menanyakan keberadaannya apakah baik-baik saja atau tidak, mengingat di sini Arini tak punya sanak saudara.Dengan langkah gontai, Arini berjalan dan memilih duduk di kursi depan area lobi. Sejenak Arini mengingat apa yang Arman barusan ucapkan."Bukankah itu artinya Mas Arman mentalakku?" gumam Arini dalam hati."Ya Allah ...." Arini mengusap wajahnya kasar.*****Sepanjang perjalanan pulang dari Yogyakarta, Arini diam dan menjawab pertanyaan Indah dengan seperlunya. Indah sadar ada yang aneh dengan Arini. "Ar, kamu baik-ba
Saat Arman dan Keluarganya datang berkunjung ke restoran, Sarah sungguh merasa paling bahagia diantara mereka semua. Bagaimana tidak, orang yang masih dicintainya itu mulai menunjukkan sinyal-sinyal hijau akan menerimanya kembali. Apalagi keluarga Arman juga sangat mendukung hubungan mereka.Dulu, Sarah dan Arman saling mencintai dan terikat dalam sebuah hubungan. Kala itu Arman bukanlah Arman yang sekarang. Arman yang dulu masih jauh dari kata mapan. Ibu Sarah—Ibu Wati—yang belum pernah bertemu dengan Arman pun langsung menolak mentah-mentah saat Sarah menceritakan hubungan mereka.Arman yang sudah melamar Sarah secara langsung pun terpaksa ditolak Sarah karena permintaan ibunya. Alasan Sarah kala itu masih ingin mengejar karirnya.Ibu Wati sudah mengincar anak dari juragan sawit dimana tempat Ayah Sarah dulu bekerja. Ayah kandung Sarah sudah meninggal dunia sejak Sarah duduk di bangku SMA. Sejak saat itu pula, Ibu Wati bekerja mati-matian untuk menghidupi dirinya dan Sarah. Untungny
Saat mereka akan keluar dari restoran, tidak sengaja mereka berpapasan dengan Arini. Sarah yang melihat Arini bersama Indah, mengernyitkan keningnya."Kenapa Arini bisa kenal sama Bu Indah, ya?" tanya Sarah dalam hati.Perlu diketahui kalau perusahaan mertua Indah juga ikut andil dulunya dalam membantu perkembangan restoran ini. Jadi, tidak heran kalau keluarga dari Agung Perkasa akan sangat disegani di sini.Arini yang tak meladeni keluarga Arman, terus saja melangkah. Namun, Arini terjatuh karena ulah Salma. Dengan sigap Arman membantu Arini. Hal itu membuat Sarah cemburu. Namun, rasa itu berubah menjadi kepuasan tersendiri karena keluarga Arman sudah tak peduli lagi pada Arini.Selesai dari pertemuan itu, Sarah bertanya pada ibunya. "Bu, nanti papa diminta datang gak?""Nanti kalau papamu bikin ulah gimana?" balas Ibu Wati."Tapi ... kan semuanya mengira kalau dia papa kandungku, Bu! Kalau tidak diundang nanti kalau ditanya mau jawab apa?" keluh Sarah."Iya juga, ya! Tapi kan papam
Tuti mengikuti Doni dengan sedikit tertatih karena Doni menyeretnya. Doni membawa Tuti di halaman belakang rumah. Dilepaskannya cengkraman Doni secara kasar hingga membuat Tuti hampir terjatuh."Apaan, sih?" gerutu Tuti. Dipegangnya pergelangan tangan bekas cengkraman Doni."Jujur sama aku, benar kan kamu masuk ke rumah ini ada tujuan tertentu? Hah?!" suara Doni pelan tapi terdengar penuh penekanan."Maksudnya?" tanya Tuti."Alah gak usah bohong kamu, Tut! Kadal kok mau dikadalin! Cuih!" Doni seketika meludah ke arah depan samping dan hampir mengenai kaki Tuti."Jangan kamu kira aku gak tahu kalau kamu suka ke tempat Mbah Gondrong!" Doni tersenyum sinis menatap Tuti yang mukanya berubah pucat pasi."Kenapa? Gak bisa jawab, kan?" sambung Doni lagi."Itu, anu ..." jawab Tuti terbata-bata."Tenang saja, Tut, aku tak akan mengadu ke siapapun. Tapi, dengan satu catatan! Apapun yang kamu rencanakan, harus kamu jelaskan sejelas-jelasnya padaku!" ujar Doni."Kenapa harus aku mengatakan padamu
Arini terkejut mendapati telepon dari Mang Jaja dari kampungnya. Takut ada sesuatu yang penting, Arini segera mengangkat telepon itu."Assalamualaikum, Mang! Ada apa, Mang?" tanya Arini ketika mengangkat telepon itu."Wa'alaikumsalam! Mbak Arini, ini Bi Imah mau bicara sama Mbak Arini," kata Mang Jaja."Oh iya, Mang, mana Bi Imah?" tanya Arini.Terdengar suara Bi Imah sesenggukan, Arini panik mendengarnya."Bibi kenapa? Ada apa, Bi?" tanya Arini yang mulai tak tenang."Nduk Arini! Hu ... hu ... hu ..." suara tangisan Bi Imah semakin jelas terdengar."Ya Allah, Bi! Bibi kenapa ini sebenarnya?" Arini makin panik, karena selama ini Arini belum pernah melihat atau mendengar Bi Imah menangis seperti itu."Budemu nekat, Nduk!" ucap Bi Imah singkat."Bude siapa, Bi? Nekat kenapa? Arini gak ngerti, Bi!" "Budemu datang ke Bibi dan bertanya perihal rumah orang tuamu. Budemu mengancam akan mencarimu sampai ke kota untuk mendapatkan surat-surat rumah itu, Nduk!" terang Bi Imah. Arini syok menden
Bude Jamilah berangkat ke kota dengan menyewa sebuah mobil. Orang suruhannya sudah mengabarkan kalau sekarang Arini sudah tidak tinggal dengan suaminya.Menurut informasi yang didapat dari tetangga Arini, Arini sudah pergi beberapa hari yang lalu. Dan ada kabar kalau suami Arini akan menikah lagi."Ternyata, belum juga aku kasih pelajaran ke kamu, kamu sudah menderita Arini!" batin Bude Jamilah. Hatinya merasa senang karena orang yang paling dia benci menderita."Akan aku buat kamu lebih menderita lagi, Arini!" lirih Bude Jamilah dengan amarah yang tertahan.Bude Jamilah memang orangnya suka seenaknya sendiri. Ditinggal suaminya pergi dengan perempuan lain, membuat adiknya—bapak angkat Arini—menopang kehidupannya. Tapi ... semua berubah ketika Arini masuk ke tengah-tengah keluarga adiknya.Uang bulanan yang biasa dia terima dari adiknya berkurang drastis. Walaupun adiknya bukan pegawai negeri atau pegawai kantoran, tapi hasil dari bertani juga terkadang menguntungkan. Hal itulah yang
Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put
Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim
Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S
Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h
Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me
PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini
Beberapa hari setelah dirawat, Putri sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter Radit. Dokter Radit berpesan agar keluarga selalu mendukung dan memperhatikan Putri. Itu akan berguna untuk ketenangan jiwa Putri."Bah, kalau Abah mau pulang gak apa-apa, Bah. Inshaa Allah Arman akan jaga Putri," kata Arman. Dia tahu kalau Haji Topan juga banyak urusan di kampung."Kamu tidak senang Abah di sini, Man?" terka Haji Topan."Bukan begitu, Bah! Arman justru senang kalau Abah mau tetap di sini. Tapi, urusan Abah di sana bagaimana?" jawab Arman jujur."Abah sudah titip sama Mas dan Mbakmu di sana. Abah senang Mas dan Mbakmu sekarang bersatu dan hidup bahagia lagi, Man. Ibumu juga sekarang jauh lebih dari sebelumnya," jelas Haji Topan seraya menerawang jauh ke depan."Alhamdulillah, ya, Bah! Tapi kebahagiaan kami belum lengkap karena Bela masih belum seperti dulu. Bah!" Arman berkata sambil menunduk. Dia menyembunyikan air mata yang memberontak mau keluar."Percayalah, Man, Bela akan bisa seperti dul
Sesampainya di rumah sakit, Haji Topan wajahnya terlihat tegang. Beliau mondar-mandir di depan pintu ruang perawatan Putri. Arman sedikit mempecepat langkahnya kala melihat mertuanya seperti itu."Ada apa, Bah?" tanya Arman. Haji Topan seketika menoleh ke sumber suara. Terlihat Beliau menitikkan air mata."Putri, Man! Putri!" seru Haji Topan."Putri kenapa, Bah?" Arman juga terlihat panik saat Haji Topan menyebut nama Putri."Putri mencoba menyakiti dirinya lagi, Man! Abah bingung, Man! Kita harus bagaimana?" Tangan Haji Topan mencengkram kuat lengan menantunya itu."Astagfirullah! Tenang, Bah! Kita gak boleh panik juga. Nanti urusan Putri biar Arman yang tangani. Abah tenang dulu, ya! Nanti Abah sakit," sahut Arman.Tak lama kemudian, Dokter Radit keluar dari ruangan itu. Beliau sedikit menghela nafas berat sebelum akhirnya berkata,"Putri sudah saya suntik dengan obat penenang. Saat ini hanya dukungan keluarga yang bisa membuat Putri menjadi lebih baik. Karena itu, saya sangat berha
Dokter berkata kalau Putri kehilangan banyak darah akibat percobaan bunuh diri yang Putri lakukan. Beruntung nyawa Putri masih bisa diselamatkan. Haji Topan yang mendengarnya langsung jatuh lemas. Bahkan Beliau harus dipapah Arman untuk duduk di kursi panjang yang tak jauh dari tempatnya menunggu tadi."Bah ... Abah di sini dulu, ya ... Arman belikan air mineral dulu." Arman berlalu meninggalkan Haji Topan seorang diri untuk membeli air mineral dan beberapa makanan.Tak lama, Arman kembali lagi dan memberikan air mineral pada mertuanya. Saat itu, Dokter yang menangani Putri baru saja keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Haji Topan bangkit dan langsung menghampiri dokter itu."Alhamdulillah, kita tinggal menunggu pasien siuman saja, Pak!" ucap Dokter Radit. "Lalu, lukanya bagaimana, Dok?" tanya Arman yang masih khawatir."Sudah kita tangani, Pak. Sekarang tinggal masa pemulihan pasien saja. Saran saya, kalau pasien sadar. jangan dulu diberikan pertanyaan yang aneh-aneh. Saya