"Besok Saya minta ktp dan KK abang ya, Nirmala punya kenalan orang dinas pendidikan agar data abang bisa masuk ke daftar guru honorer, kalau rezeki abang bagus bisa jadi PNS, insya Allah abang orang baik rezeki juga akan baik selama terus berusaha." Raihan hanya diam dan Nirmala sibuk memotivasi tentang rezeki halal, amal jariyah dan sepanjang Nirmala bercerita Raihan sesekali mengangguk menghargai. "Oiya Bang, kenalin ini Pak Mukhlis, dia yang akan memperbaiki sekolah ini, kalau masalah biaya tidak perlu dipikirkan, insya Allah Nirmala yang handle, abang cuma fokus mencerdaskan anak-anak kampung sini saja dalam bidang agama, nanti Nirmala akan sering memantau ke sini, kalau ada perlu apa-apa jangan sungkan ya Bang, kalau untuk kebaikan, insya Allah Nirmala bantu, segera siapkan apa yang Nirmala bilang tadi, agar abang segera terdaftar jadi guru honorer," ucap Nirmala lalu pamit pergi sedangkan Raihan tidak diberi kesempatan untuk berbicara. "Setelah ini kita ke beting Pak." Nirmal
"Sepertinya ini masalah keluarga kalian.""Iya Koh, memang ini masalah keluarga tapi lahan yang Koh Aliang beli dari Melda itu tidak sah, saya akan mempertahankan lahan saya, karena itu peninggalan almarhum ayah saya, jadi Koh Aliang tuntut saja Melda.""Kalau begini amsyong lah, terus uang saya satu Milyar lebih itu bagaimana? Kamu tidak bisa berkata tidak sah, karena saya beli pada keluargamu dan belum tentu juga itu lahan kamu, siapa tau itu punya Melda!""Tidak ada sejarahnya harta warisan jatuh ke menantu, selama masih ada istri dan anak ya jatuhnya ke mereka, kecuali bagian abang saya kalau mau diserahkan ke istrinya baru bisa, itu juga tidak bisa semua karena mereka punya anak semua ada aturan tertulis di Alquran, kalau Koh Aliang keberatan, saya juga keberatan karena lahan saya dijual tanpa sepengetahuan saya, ini kasus penipuan, Koh Aliang harus membawa ini ke ranah hukum," ucap Nirmala panjang lebar dan Koh Aliang hanya memijit-mijit kepalanya yang terasa pusing tampak kulit
Pintu terlihat terbuka, akhirnya Melda keluar kamar juga. "Bang, tolong Bang, kepalaku pusing sekali." Setelah berkata seperti itu Melda pun jatuh ke dalam pelukan Roni dan berpura-pura pingsan. "Ya Allah sayang! Kamu kenapa!" Roni berteriak dan mengira kalau Melda pingsan, sedangkan Nirmala sangat yakin jika itu akal-akalan Melda. "Nirmala, kamu jangan diam saja, bantu aku mengangkat istriku ke kasur," titah Roni pada Nirmala. Nirmala memandangi tubuh Melda yang barusan saja dibaringkan di tempat tidur lalu dia merogoh benda pipih yang ada di tas sandang kecil miliknya. " Halo Dokter Andrew, bisa kerumah saya sekarang, kakak saya tiba-tib–""Hentikan Nirmala! Hentikan!" Melda merampas ponsel Nirmala lalu mematikan sambungan telepon, Nirmala kaget dan menatap heran pada Melda. "Kenapa? Katanya sakit, aku mau panggil dokter kenapa dilarang?""Iya Sayang, kenapa kau larang Nirmala memanggil dokter?' Roni juga heran dengan sikap Melda barusan. " Keluar kau Nirmala, aku ingin bicar
"Apapun rencanamu, aku akan ikut, yang penting bagiku lahan itu tidak jatuh ke tangan yang lain. Tapi … kamu yakin rencana ini akan berjalan dengan lancar?" Koh Aliang ingin meyakinkan lagi dengan ide yang disarankan oleh Melda. "Jika kita sepakat berkata seperti ini dan tidak berubah-ubah, aku yakin pasti berhasil karena Nirmala tidak mempunyai bukti bahwa aku yang menjual lahan tersebut.""Terus, bagaimana masalah sertifikat. Nirmala mengatakan kalau ia juga menyimpan sertifikat lahan tersebut. ""Itu tidak masalah Koh, Nirmala tidak menyimpan sertifikat, dia hanya menyimpan surat kepala desa saja, Koh Aliang kan sudah mensertifikatkan lahan tersebut, berarti posisi Koh Aliang kuat."" Oke kalau begitu. Jadi untuk sekarang kita sepakat, mulai detik ini akan berkata seperti yang kau katakan, jika Nirmala menuntut lagi. ""Iya Koh, aku yakin wanita itu tidak akan bisa menuntut kita ataupun merebut lahan itu lagi, karena Koh Aliang yang sudah mempunyai sertifikat lahan tersebut. ""Ka
Nirmala menatap heran pada Roni, begitu juga Raihan, dibelakang Roni berdiri Melda yang sedari tadi sibuk membenarkan rambutnya dan sesekali menatap Raihan cukup lama. "Jangan bicara seperti itu Bang, tidak boleh merendahkan orang seperti itu.""Lelaki ini memang rendah, kalau mau kaya ya kerja, bisnis, jangan taunya cuma memanfaatkan harta dari perempuan yang berasal dari keluarga kaya.""Apanya maksud Abang?""Gara-gara lelaki ini kau habis-habisan ngasih uang ke dia." Roni menunjuk-nunjuk Raihan, sedangkan Raihan bersikap santai sambil melipat tangan ke dada berdiri di depan pintu agar anak didiknya tidak melihat tingkah keangkuhan Roni. "Ya Allah, habis-habisan bagaimana Bang, aku cuma ngasih sedekah buat Bang Raihan.""Oh, namanya Raihan," ucap Melda lembut, senyumnya merekah dan matanya membulat tak berkedip melihat Raihan yang sedari tadi santai melihat perdebatan antara Nirmala dan Roni. "Sedekah? Sedekah kau bilang? Kau jual lahan sawit bagianmu terus kau kasihkan sama dia
"Abdul, janganlah kau bercanda," ucap Nirmala pelan penuh penekanan, Abdul garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil cengengesan. Koh Aliang, berjalan seraya mendongakkan kepalanya berjalan masuk ke dalam lahan. "Sarmin, bilang sama perempuan itu! dia tidak boleh lagi datang ke lahan ini, aku tidak ingin berdebat dengannya lagi, bikin pusing!"Lek Sarmin memandang Nirmala dengan sungkan. "Maaf Non.""Tidak apa-apa Lek," ucap Nirmala pelan. "Selanjutnya bagaimana, Kak?""Kakak akan bawa kasus ini ke pihak berwajib, sebelumnya mau konsultasi dulu dengan teman yang seorang pengacara.""Iya kak, biar ga semena-mena itu si engkong, ini kita jadi ke dalam menghitung pohon kak?""Jadi dong, masa hanya karena gertakan tuh orang kita takut, ayo Dul, temani kakak!""Ayo Kak, kemon, kita buktikan sepuluh orang kayak dia itu, ga tumbang kita! "Nirmala dan Abdul berjalan dengan santai menghitung pohon dan mengira-ngira satu pohon ada berapa pelepah yang bisa menghasilkan sapu lidi dari po
"Nirmala, ampun lah, saya benar-benar minta maaf, tolong jangan diproses, saya sudah tua, jantung saya sudah tidak kuat." Koh Aliang memohon. "Nirmala bisa bisa bicara sebentar?""Bisa Bang, mau bicara apa?""Ikut saya."Raihan berjalan agak menjauh dan Nirmala mengekor di belakangnya. "Nirmala sebaiknya aman kan dulu sertifikat tanah yang ada di Koh Aliang, setelahnya baru kamu serahkan pada pihak berwajib, dia sudah meminta maaf dan mengatakan akan mengembalikan sertifikat, ya sudah kamu ambil saja, setelahnya baru diusut, Koh Aliang ini mafia penyelundupan kayu, gimana ya mengatakannya, aku khawatir sama kamu Nirmala, jangan terlalu keras, intinya kamu fokus saja sama cita-cita kamu untuk memajukan Kampung halamanmu ini, masalah kuali yang biar menjadi urusanku dan biarkan saja dia menuntut kepada Melda intinya lahan ini sudah menjadi milikmu lagi tanpa diganggu oleh keahlian dan kau bisa fokus menjalankan apa yang engkau cita-citakan.""Bang Raihan, siapa kamu sebenarnya? Kenapa
"Bang Raihan, kapan datang?" "Barusan saja, aku lihat mobil kamu parkir di depan, ya sudah aku ikut mampir, aku dan Anto juga merasa lapar.""Oh ya sudah, silahkan gabung disini Bang." Nirmala menawarkan gabung satu meja bersama mereka, sudah dua kali Raihan menyelamatkan dirinya, ada perasaan nyaman di hati Nirmala jika ada Raihan, tapi Nirmala mencoba menetralkan dan menganggap itu sebagai perasaan nyaman biasa. Tidak lebih. "Kak Nirmala, ingat ga, aku kan pernah bilang kalau Bang Raihan ini wajahnya sangat familiar, ternyata di pondok pesantren Darul hidayat kan ada baliho Bang Raihan sekeluarga di depan pintu gerbang, makanya saat aku ingat, aku langsung menemui Bang Raihan yang merupakan anak Buya Zulfikar–ayahnya Bang Raihan. "Ya Allah, maaf Bang Raihan, selama ini bukan maksud saya merendahkan dengan memberi sedekah, saya benar-benar tidak tahu kalau Bang Raihan anak dari Buya Zulfikar, sepupu-sepupu saya banyak yang pesantren di sana, termasuk Abdul ini.""Tidak apa-apa Nir