Pintu terlihat terbuka, akhirnya Melda keluar kamar juga. "Bang, tolong Bang, kepalaku pusing sekali." Setelah berkata seperti itu Melda pun jatuh ke dalam pelukan Roni dan berpura-pura pingsan. "Ya Allah sayang! Kamu kenapa!" Roni berteriak dan mengira kalau Melda pingsan, sedangkan Nirmala sangat yakin jika itu akal-akalan Melda. "Nirmala, kamu jangan diam saja, bantu aku mengangkat istriku ke kasur," titah Roni pada Nirmala. Nirmala memandangi tubuh Melda yang barusan saja dibaringkan di tempat tidur lalu dia merogoh benda pipih yang ada di tas sandang kecil miliknya. " Halo Dokter Andrew, bisa kerumah saya sekarang, kakak saya tiba-tib–""Hentikan Nirmala! Hentikan!" Melda merampas ponsel Nirmala lalu mematikan sambungan telepon, Nirmala kaget dan menatap heran pada Melda. "Kenapa? Katanya sakit, aku mau panggil dokter kenapa dilarang?""Iya Sayang, kenapa kau larang Nirmala memanggil dokter?' Roni juga heran dengan sikap Melda barusan. " Keluar kau Nirmala, aku ingin bicar
"Apapun rencanamu, aku akan ikut, yang penting bagiku lahan itu tidak jatuh ke tangan yang lain. Tapi … kamu yakin rencana ini akan berjalan dengan lancar?" Koh Aliang ingin meyakinkan lagi dengan ide yang disarankan oleh Melda. "Jika kita sepakat berkata seperti ini dan tidak berubah-ubah, aku yakin pasti berhasil karena Nirmala tidak mempunyai bukti bahwa aku yang menjual lahan tersebut.""Terus, bagaimana masalah sertifikat. Nirmala mengatakan kalau ia juga menyimpan sertifikat lahan tersebut. ""Itu tidak masalah Koh, Nirmala tidak menyimpan sertifikat, dia hanya menyimpan surat kepala desa saja, Koh Aliang kan sudah mensertifikatkan lahan tersebut, berarti posisi Koh Aliang kuat."" Oke kalau begitu. Jadi untuk sekarang kita sepakat, mulai detik ini akan berkata seperti yang kau katakan, jika Nirmala menuntut lagi. ""Iya Koh, aku yakin wanita itu tidak akan bisa menuntut kita ataupun merebut lahan itu lagi, karena Koh Aliang yang sudah mempunyai sertifikat lahan tersebut. ""Ka
Nirmala menatap heran pada Roni, begitu juga Raihan, dibelakang Roni berdiri Melda yang sedari tadi sibuk membenarkan rambutnya dan sesekali menatap Raihan cukup lama. "Jangan bicara seperti itu Bang, tidak boleh merendahkan orang seperti itu.""Lelaki ini memang rendah, kalau mau kaya ya kerja, bisnis, jangan taunya cuma memanfaatkan harta dari perempuan yang berasal dari keluarga kaya.""Apanya maksud Abang?""Gara-gara lelaki ini kau habis-habisan ngasih uang ke dia." Roni menunjuk-nunjuk Raihan, sedangkan Raihan bersikap santai sambil melipat tangan ke dada berdiri di depan pintu agar anak didiknya tidak melihat tingkah keangkuhan Roni. "Ya Allah, habis-habisan bagaimana Bang, aku cuma ngasih sedekah buat Bang Raihan.""Oh, namanya Raihan," ucap Melda lembut, senyumnya merekah dan matanya membulat tak berkedip melihat Raihan yang sedari tadi santai melihat perdebatan antara Nirmala dan Roni. "Sedekah? Sedekah kau bilang? Kau jual lahan sawit bagianmu terus kau kasihkan sama dia
"Abdul, janganlah kau bercanda," ucap Nirmala pelan penuh penekanan, Abdul garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil cengengesan. Koh Aliang, berjalan seraya mendongakkan kepalanya berjalan masuk ke dalam lahan. "Sarmin, bilang sama perempuan itu! dia tidak boleh lagi datang ke lahan ini, aku tidak ingin berdebat dengannya lagi, bikin pusing!"Lek Sarmin memandang Nirmala dengan sungkan. "Maaf Non.""Tidak apa-apa Lek," ucap Nirmala pelan. "Selanjutnya bagaimana, Kak?""Kakak akan bawa kasus ini ke pihak berwajib, sebelumnya mau konsultasi dulu dengan teman yang seorang pengacara.""Iya kak, biar ga semena-mena itu si engkong, ini kita jadi ke dalam menghitung pohon kak?""Jadi dong, masa hanya karena gertakan tuh orang kita takut, ayo Dul, temani kakak!""Ayo Kak, kemon, kita buktikan sepuluh orang kayak dia itu, ga tumbang kita! "Nirmala dan Abdul berjalan dengan santai menghitung pohon dan mengira-ngira satu pohon ada berapa pelepah yang bisa menghasilkan sapu lidi dari po
"Nirmala, ampun lah, saya benar-benar minta maaf, tolong jangan diproses, saya sudah tua, jantung saya sudah tidak kuat." Koh Aliang memohon. "Nirmala bisa bisa bicara sebentar?""Bisa Bang, mau bicara apa?""Ikut saya."Raihan berjalan agak menjauh dan Nirmala mengekor di belakangnya. "Nirmala sebaiknya aman kan dulu sertifikat tanah yang ada di Koh Aliang, setelahnya baru kamu serahkan pada pihak berwajib, dia sudah meminta maaf dan mengatakan akan mengembalikan sertifikat, ya sudah kamu ambil saja, setelahnya baru diusut, Koh Aliang ini mafia penyelundupan kayu, gimana ya mengatakannya, aku khawatir sama kamu Nirmala, jangan terlalu keras, intinya kamu fokus saja sama cita-cita kamu untuk memajukan Kampung halamanmu ini, masalah kuali yang biar menjadi urusanku dan biarkan saja dia menuntut kepada Melda intinya lahan ini sudah menjadi milikmu lagi tanpa diganggu oleh keahlian dan kau bisa fokus menjalankan apa yang engkau cita-citakan.""Bang Raihan, siapa kamu sebenarnya? Kenapa
"Bang Raihan, kapan datang?" "Barusan saja, aku lihat mobil kamu parkir di depan, ya sudah aku ikut mampir, aku dan Anto juga merasa lapar.""Oh ya sudah, silahkan gabung disini Bang." Nirmala menawarkan gabung satu meja bersama mereka, sudah dua kali Raihan menyelamatkan dirinya, ada perasaan nyaman di hati Nirmala jika ada Raihan, tapi Nirmala mencoba menetralkan dan menganggap itu sebagai perasaan nyaman biasa. Tidak lebih. "Kak Nirmala, ingat ga, aku kan pernah bilang kalau Bang Raihan ini wajahnya sangat familiar, ternyata di pondok pesantren Darul hidayat kan ada baliho Bang Raihan sekeluarga di depan pintu gerbang, makanya saat aku ingat, aku langsung menemui Bang Raihan yang merupakan anak Buya Zulfikar–ayahnya Bang Raihan. "Ya Allah, maaf Bang Raihan, selama ini bukan maksud saya merendahkan dengan memberi sedekah, saya benar-benar tidak tahu kalau Bang Raihan anak dari Buya Zulfikar, sepupu-sepupu saya banyak yang pesantren di sana, termasuk Abdul ini.""Tidak apa-apa Nir
Adzan maghrib terdengar berkumandang dari toa masjid yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat tinggal Nirmala, suara Roni dan Melda juga sudah tidak terdengar. Nirmala balik ke kamarnya untuk mandi lalu menunaikan sholat Maghrib. Sebenarnya Nirmala malas untuk keluar kamar, tapi mengingat kalau dirinya belum makan sejak siang tadi, terakhir saat makan soto bersama Abdul dan Raihan, maka dari itu mau tidak mau harus ada makanan masuk ke dalam lambungnya agar tidak menimbulkan suatu penyakit nantinya, saat keluar kamar, Nirmala melirik ke arah kamar Roni dan Melda tetapi tampak sepi, cepat Nirmala berjalan ke arah kamar ibunya untuk mengajak wanita yang telah melahirkannya untuk makan malam bersamanya. "Kau makanlah Nirmala, Mamak tidak selera makan," ucap Bu Herlina sambil melipat mukenanya. "Ya sudah, kalau Mamak tidak mau makan, Nirmala juga tidak makan. Biar kita sakit sama-sama.""Ya sudah, ayolah, nanti sakit pula kau Nirmala." Bu Herlina memaksakan untuk makan karena sad
Malam beranjak semakin larut, Nirmala tidak berani keluar kamar, sedangkan Bu Herlina sedari tadi menangis karena memikirkan anak lelakinya yang bersikap emosional terhadap adik kandungnya, rasa kecewa bergelayut di hati Bu Herlina, anak lelaki yang di gadang-gadang sebagai pengganti almarhum suaminya dalam artian dalam melindungi dan mengembangkan bisnis keluarga,malah bersikap sebaliknya, dengan kasar menyakiti saudaranya dan pasangan anaknya aka menantunya malah menghabisi harta anak perempuannya, ketika ingin membuka fakta yang sebenarnya, malah terjadi percekcokan, Bu Herlina sangat menyadari tabiat menantunya memang kurang baik, tapi ia tidak berdaya jika menyuruh untuk bercerai karena ada Rafa–cucunya dari hasil pernikahan Roni dan melda walaupun ia tahu Rafa kesehariannya diurus oleh Sri–baby sitter cucunya. "Kak Nirmala! Kak! Uwak! Wak Herlina!" Suara Abdul terdengar memanggil, Nirmala gegas keluar kamar, lebih baik ia menyuruh Abdul agar menginap di rumah ini, ia merasa ti
Sehari sebelum lamaran, Nirmala dan ibunya sudah kembali ke rumah mereka, jangan ditanya rasa hati Bu Herlina, doa yang ia langitkan di sepertiga malam untuk anaknya, diijabah sama Allah, kini, Roni sudah kembali ke jalan yang benar, bukan lagi secara membabi buta marah-marah tidak jelas tanpa mencari tahu masalahnya dari dua belah pihak, padahal selama ini Bu Herlina selalu berkata pada Roni agar bertabayyun dalam menyikapi masalah, mencari kejelasan tentang sesuatu masalah hingga jelas dan benar keadaannya, karena selama ini, Roni hanya mendengar kata istrinya. Bu Herlina senang jika rumah tangga anaknya akur dan Roni begitu menyayangi istrinya tapi lihat dulu istri yang bagaimana, jika mempunyai istri seperti Melda yang banyak mudharatnya dan yang lebih parahnya tega berselingkuh, memfitnah dan ingin menghabisi nyawa Nirmala, jadi lebih baik dilepas/dicerai."Nirmala, kalau bisa nanti setelah lamaran, jangan terlalu lama jaraknya ke acara pernikahan, kalau bisa lebih cepat lebih b
Roni tidak langsung pulang kerumah, tiba-tiba saja hatinya dilanda rasa curiga yang datang menyerang begitu saja, saat itu Roni masih berada di rutan, tepatnya di parkiran, pikirannya berkecamuk, ia juga heran, biasanya ia selalu percaya pada Melda, tapi tidak kali ini.Roni kembali masuk ke dalam bukan untuk menemui Melda tetapi menemui sipir untuk meminta ponsel Melda yang dititipkan di bagian loker, siapa tau dengan memeriksa ponsel Melda, ia menemukan titik terang tentang kecurigaan yang baru saja datang menghinggap. "Saya ingin mengambil ponsel istri saya," ucap Roni."Maaf Pak, semua barang napi diberikan saat napi selesai masa jabatannya, eh, apa nih, Pak? Oh iya, iya, bisa diatur Pak. Selow saja Bapak," ucap penjaga sambil senyum sumringah menerima sejumlah uang dari Roni. Kini, ponsel dengan logo apel terbelah berwarna gold itu berada di genggaman Roni, ia tidak memeriksa ponsel itu sekarang, melainkan nanti saat di rumah. Bagai disayat sembilu, bagai mendengar petir di s
Roni terlihat keluar dari sebuah Bank sambil menenteng tas berisi sejumlah uang, ia dikawal oleh beberapa anggota ormas kelapa burung garuda. Lelaki berdarah Batak–Melayu itu terlihat masuk ke dalam mobil fortuner berwarna dark grey menuju kediaman AKP( Ajun Komisaris Polisi) Tegar Nasution. Maksud kedatangan Roni ke tempat AKP Tegar, untuk memberi uang sogok agar istrinya– Melda dapat keluar dari jeruji besi atas kasus yang menjeratnya, tak tega rasa hati Roni melihat kondisi Melda yang semakin hari badannya semakin menyusut, kulit glowingnya kini tampak menghitam disertai munculnya beberapa flek di area pipi, padahal Roni kerap kali membawakan semua kebutuhan Melda saat berada di dalam penjara, peralatan mandi, skincare, kosmetik tapi semua nihil dan tak berhasil membuat Melda tampak cantik, yang ada semakin tak terawat dan tak sedap dipandang mata. Melda tidak serasi dengan air yang ada di rutan tersebut, apalagi di dalam rutan ia harus bekerja bahkan kerap disiksa oleh beberapa
Pov Mela. Cantik, kaya, dan mendapatkan suami tampan dan tajir plus sholeh, sudah pasti menjadi impian semua wanita, tapi stock lelaki kaya di kampungku ini amatlah sedikit maklum karena rata-rata penduduknya masih berada di bawah garis kemiskinan, entah kenapa, padahal daerahku ini penghasil sawit yang lumayan tinggi di sumatera ini, bahkan pabrik kelapa sawit juga ada di daerah ini, apa karena tingkat pendidikan rendah? Adapun lelaki kaya yaitu Bang Roni–abang iparku, tapi aku tidak seberuntung Kak Melda, kakak kandungku yang bisa mendapatkan lelaki kaya, banyak yang mengatakan jika wajah Kak Melda lebih cantik daripada aku, tapi, menurutku sama cantiknya. Kak Melda berubah jadi cantik juga setelah bekerja di Pekan baru, katanya dia bekerja di sebuah perusahaan eksport import minyak, tapi aku tak yakin, secara Kak Melda cuma tamatan SD. Syarat masuk perusahaan itu pasti harus mengantongi ijazah perguruan tinggi. Ah, tidak perlu aku permasalahkan dia bekerja apa di Pekanbaru sana
Dia lagi, dia lagi, batin Raihan kesal. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak suka jika aku memeluk calon suamiku, biasa aja lah melihatnya, nanti buta pulak mata kau itu karena tatapanmu kayak, setan! " Mela berbicara dengan nada judes pada Nirmala"Perasaan aku biasa saja menatapmu, kau Lah yang sinis melihatku.""Ya wajarlah aku sinis, ngapain kau dekat-dekat calon suamiku, apa selama ini kau buta, tidak bisa melihat tatapan mesra Bang Raihan padaku."Nirmala malas menanggapi Mela, wanita secantik purnama itu pun beranjak hendak pergi. "Nirmala, tunggu." Raihan mencegah. "Biarin saja dia pergi, Bang. Ada Mela disini," ujar Mela seraya bergelayut manja di lengan Raihan. "Jaga sikapmu, Mela.""Sikap apa? Sikap apa, Bang. Jangan sebut namaku Mela jika tidak bisa membuat Abang bertekuk lutut padaku!""Ya Allah!" Raihan menjerit seraya menutup wajahnya karena Mela menaburkan sesuatu ke wajahnya lalu mengenai mata. Melihat Raihan yang seperti kesakitan, cepat Nirmala berlari m
"Mela, hei! Jangan bertindak nekat, jauhkan pisau itu dari lehermu.""Enggak. Enggak mau. Sebelum Abang janji akan menikahiku, kalau perlu pakai perjanjian hitam di atas putih.""Ga mungkin Mela, menikah ga segampang itu.""Gampang kok, tinggal panggil penghulu, udah beres. ""Menikah harus dengan pasangan yang sesuai hati kita, tidak ada keterpaksaan diantara lelaki dan perempuan.""Aku ga terpaksa, aku ikhlas, Bang.""Tapi aku yang terpaksa." Mau tidak mau Raihan harus jujur, agar wanita itu mengerti, tapi yang namanya Mela, mungkin urat malunya juga sudah putus, dia malah berteriak seperti orang kesurupan. "Tidak! Tidaak! Aku akan bunuh diri sekarang.""Apalagi, cepatlah kau bunuh diri," ucap Afis dengan geram. "Diam kau, aku tidak bicara sama kau, marbot setan!""Astaghfirullah," ucap Raihan lalu mengajak Afis untuk meninggalkan tempat itu. "Bang Raihan! Bang Raihan! Baaaaanng!" Raihan terus keluar dan tidak memperdulikan Mela. Mela yang melihat Raihan keluar setelahnya mende
Mela menghubungi nomor Raihan sambil berjalan mundur agar jaraknya jauh dengan Roni. "Bang Roni, aku bukan, Kak Melda." "Melda Sayang," ucap Roni lagi dengan parau sambil tangannya berusaha menggapai tubuh Mela. Sambungan telepon tersambung. "Bang, Bang Raihan, tolong Bang! Aku hendak di nodai Bang Roni, tolong Bang!""Posisi kamu dimana?" tanya Raihan. "Di rumahnya, tolong Bang Raihan, sepertinya Bang Roni sangat menginginkanku karena kecantikanku yang pari–"Tut tut tut sambungan telepon dimatikan, sebelum Mela menyelesaikan ucapannya. Mela mendengus kesal, lalu melemparkan Roni dengan benda apapun yang bisa ia raih. Bugh. Botol parfum milik Melda berhasil mendarat dengan indah di kening Roni, lelaki setengah mabuk itu ambruk dan tergolek di lantai. "Bang. Bang." Mela memanggil, tapi Roni tanpa reaksi, lalu ia berjalan mendekat memeriksa kondisi lelaki itu, ia meraba hidung, ternyata masih ada nafas. "Huh, pake pingsan segala, padahal kan seru tuh kalau saat aku sedang din
"Ampun Mak! Ampun!" pekik Syifa. Terdengar suara tangisan Syifa memilukan hati, Nirmala mencoba untuk menolong tapi ponselnya berdering dan nama Abdul yang tertera di layar. "Assalamualaikum Dul, kamu dimana?""Kak, Kak Nirmala, tolong aku kak.""Dul, kamu dimana?""Masih mending Pak Dedi mau sama kau Syifa, kita ini orang miskin, jangan bermimpi terlalu tinggi, Mamak saja umur 15 tahun sudah menikah." Bu Salamah masih terdengar meracau sambil sesekali terdengar suara Syifa menjerit, mulut dan tangan Bu Salamah bekerja, mulut menyakiti hati, tangan menyiksa badan gadis kecil itu. Nirmala posisinya sudah di luar, karena tadi Bu Salamah sempat mendorongnya keluar dengan penuh emosi, lalu menutup pintu dengan kasar. Dalam keadaan bimbang, harus menolong siapa, Nirmala memprioritaskan Abdul terlebih dahulu, setelahnya baru dia mengurus masalah Syifa. Dengan perasaan sedih merintih, Nirmala melangkah dengan gamang meninggalkan kediamanan Syifa. "Aku tidak tau kak, tapi, disini gelap,
"Ya Allah … apalagi ini, pelakor?""Iya, kau lah pelakor, kau tau sedang makan sama siapa?" Mela berdiri dengan mengangkat dagu sambil tangan dilipat ke dada. "Sama, Bang Raihan.""Kau tau Bang Raihan itu, siapa? Nirmala memutar bola mata malas menanggapi Mela lalu mengangkat bahu, matanya fokus menatap makanan yang terhidang, ia tidak ingin berakhir sakit, sebisa mungkin ia harus makan karena kegiatannya akan padat, apa yang Raihan katakan tadi memang benar, ia tidak boleh menzalimi tubuhnya sendiri dengan tidak menjaga kesehatan, ketika rasa lapar dibiarkan, maka penyakit akan ramah menghampiri, beda konteks jika sedang berpuasa. "Heh! Aku sedang mengajak kau bicara! Jangan diam saja, sombong kali kau jadi manusia.""Mela, apa-apaan kau? Jangan mempermalukan dirimu sendiri seperti ini, lebih baik kau pulang saja." Raihan jengah juga dengan tingkah Mela yang menunjuk-nunjuk Nirmala seolah dialah nyonya besar yang sedang berbicara pada kacungnya. "Apa Bang? Abang menyuruhku pula