"Apapun rencanamu, aku akan ikut, yang penting bagiku lahan itu tidak jatuh ke tangan yang lain. Tapi … kamu yakin rencana ini akan berjalan dengan lancar?" Koh Aliang ingin meyakinkan lagi dengan ide yang disarankan oleh Melda. "Jika kita sepakat berkata seperti ini dan tidak berubah-ubah, aku yakin pasti berhasil karena Nirmala tidak mempunyai bukti bahwa aku yang menjual lahan tersebut.""Terus, bagaimana masalah sertifikat. Nirmala mengatakan kalau ia juga menyimpan sertifikat lahan tersebut. ""Itu tidak masalah Koh, Nirmala tidak menyimpan sertifikat, dia hanya menyimpan surat kepala desa saja, Koh Aliang kan sudah mensertifikatkan lahan tersebut, berarti posisi Koh Aliang kuat."" Oke kalau begitu. Jadi untuk sekarang kita sepakat, mulai detik ini akan berkata seperti yang kau katakan, jika Nirmala menuntut lagi. ""Iya Koh, aku yakin wanita itu tidak akan bisa menuntut kita ataupun merebut lahan itu lagi, karena Koh Aliang yang sudah mempunyai sertifikat lahan tersebut. ""Ka
Nirmala menatap heran pada Roni, begitu juga Raihan, dibelakang Roni berdiri Melda yang sedari tadi sibuk membenarkan rambutnya dan sesekali menatap Raihan cukup lama. "Jangan bicara seperti itu Bang, tidak boleh merendahkan orang seperti itu.""Lelaki ini memang rendah, kalau mau kaya ya kerja, bisnis, jangan taunya cuma memanfaatkan harta dari perempuan yang berasal dari keluarga kaya.""Apanya maksud Abang?""Gara-gara lelaki ini kau habis-habisan ngasih uang ke dia." Roni menunjuk-nunjuk Raihan, sedangkan Raihan bersikap santai sambil melipat tangan ke dada berdiri di depan pintu agar anak didiknya tidak melihat tingkah keangkuhan Roni. "Ya Allah, habis-habisan bagaimana Bang, aku cuma ngasih sedekah buat Bang Raihan.""Oh, namanya Raihan," ucap Melda lembut, senyumnya merekah dan matanya membulat tak berkedip melihat Raihan yang sedari tadi santai melihat perdebatan antara Nirmala dan Roni. "Sedekah? Sedekah kau bilang? Kau jual lahan sawit bagianmu terus kau kasihkan sama dia
"Abdul, janganlah kau bercanda," ucap Nirmala pelan penuh penekanan, Abdul garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil cengengesan. Koh Aliang, berjalan seraya mendongakkan kepalanya berjalan masuk ke dalam lahan. "Sarmin, bilang sama perempuan itu! dia tidak boleh lagi datang ke lahan ini, aku tidak ingin berdebat dengannya lagi, bikin pusing!"Lek Sarmin memandang Nirmala dengan sungkan. "Maaf Non.""Tidak apa-apa Lek," ucap Nirmala pelan. "Selanjutnya bagaimana, Kak?""Kakak akan bawa kasus ini ke pihak berwajib, sebelumnya mau konsultasi dulu dengan teman yang seorang pengacara.""Iya kak, biar ga semena-mena itu si engkong, ini kita jadi ke dalam menghitung pohon kak?""Jadi dong, masa hanya karena gertakan tuh orang kita takut, ayo Dul, temani kakak!""Ayo Kak, kemon, kita buktikan sepuluh orang kayak dia itu, ga tumbang kita! "Nirmala dan Abdul berjalan dengan santai menghitung pohon dan mengira-ngira satu pohon ada berapa pelepah yang bisa menghasilkan sapu lidi dari po
"Nirmala, ampun lah, saya benar-benar minta maaf, tolong jangan diproses, saya sudah tua, jantung saya sudah tidak kuat." Koh Aliang memohon. "Nirmala bisa bisa bicara sebentar?""Bisa Bang, mau bicara apa?""Ikut saya."Raihan berjalan agak menjauh dan Nirmala mengekor di belakangnya. "Nirmala sebaiknya aman kan dulu sertifikat tanah yang ada di Koh Aliang, setelahnya baru kamu serahkan pada pihak berwajib, dia sudah meminta maaf dan mengatakan akan mengembalikan sertifikat, ya sudah kamu ambil saja, setelahnya baru diusut, Koh Aliang ini mafia penyelundupan kayu, gimana ya mengatakannya, aku khawatir sama kamu Nirmala, jangan terlalu keras, intinya kamu fokus saja sama cita-cita kamu untuk memajukan Kampung halamanmu ini, masalah kuali yang biar menjadi urusanku dan biarkan saja dia menuntut kepada Melda intinya lahan ini sudah menjadi milikmu lagi tanpa diganggu oleh keahlian dan kau bisa fokus menjalankan apa yang engkau cita-citakan.""Bang Raihan, siapa kamu sebenarnya? Kenapa
"Bang Raihan, kapan datang?" "Barusan saja, aku lihat mobil kamu parkir di depan, ya sudah aku ikut mampir, aku dan Anto juga merasa lapar.""Oh ya sudah, silahkan gabung disini Bang." Nirmala menawarkan gabung satu meja bersama mereka, sudah dua kali Raihan menyelamatkan dirinya, ada perasaan nyaman di hati Nirmala jika ada Raihan, tapi Nirmala mencoba menetralkan dan menganggap itu sebagai perasaan nyaman biasa. Tidak lebih. "Kak Nirmala, ingat ga, aku kan pernah bilang kalau Bang Raihan ini wajahnya sangat familiar, ternyata di pondok pesantren Darul hidayat kan ada baliho Bang Raihan sekeluarga di depan pintu gerbang, makanya saat aku ingat, aku langsung menemui Bang Raihan yang merupakan anak Buya Zulfikar–ayahnya Bang Raihan. "Ya Allah, maaf Bang Raihan, selama ini bukan maksud saya merendahkan dengan memberi sedekah, saya benar-benar tidak tahu kalau Bang Raihan anak dari Buya Zulfikar, sepupu-sepupu saya banyak yang pesantren di sana, termasuk Abdul ini.""Tidak apa-apa Nir
Adzan maghrib terdengar berkumandang dari toa masjid yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat tinggal Nirmala, suara Roni dan Melda juga sudah tidak terdengar. Nirmala balik ke kamarnya untuk mandi lalu menunaikan sholat Maghrib. Sebenarnya Nirmala malas untuk keluar kamar, tapi mengingat kalau dirinya belum makan sejak siang tadi, terakhir saat makan soto bersama Abdul dan Raihan, maka dari itu mau tidak mau harus ada makanan masuk ke dalam lambungnya agar tidak menimbulkan suatu penyakit nantinya, saat keluar kamar, Nirmala melirik ke arah kamar Roni dan Melda tetapi tampak sepi, cepat Nirmala berjalan ke arah kamar ibunya untuk mengajak wanita yang telah melahirkannya untuk makan malam bersamanya. "Kau makanlah Nirmala, Mamak tidak selera makan," ucap Bu Herlina sambil melipat mukenanya. "Ya sudah, kalau Mamak tidak mau makan, Nirmala juga tidak makan. Biar kita sakit sama-sama.""Ya sudah, ayolah, nanti sakit pula kau Nirmala." Bu Herlina memaksakan untuk makan karena sad
Malam beranjak semakin larut, Nirmala tidak berani keluar kamar, sedangkan Bu Herlina sedari tadi menangis karena memikirkan anak lelakinya yang bersikap emosional terhadap adik kandungnya, rasa kecewa bergelayut di hati Bu Herlina, anak lelaki yang di gadang-gadang sebagai pengganti almarhum suaminya dalam artian dalam melindungi dan mengembangkan bisnis keluarga,malah bersikap sebaliknya, dengan kasar menyakiti saudaranya dan pasangan anaknya aka menantunya malah menghabisi harta anak perempuannya, ketika ingin membuka fakta yang sebenarnya, malah terjadi percekcokan, Bu Herlina sangat menyadari tabiat menantunya memang kurang baik, tapi ia tidak berdaya jika menyuruh untuk bercerai karena ada Rafa–cucunya dari hasil pernikahan Roni dan melda walaupun ia tahu Rafa kesehariannya diurus oleh Sri–baby sitter cucunya. "Kak Nirmala! Kak! Uwak! Wak Herlina!" Suara Abdul terdengar memanggil, Nirmala gegas keluar kamar, lebih baik ia menyuruh Abdul agar menginap di rumah ini, ia merasa ti
Raihan berjalan mendekat ke arah Nirmala. "Nirmala, kenapa wajahmu?" Nirmala tertunduk merasa malu, ia menyesali kenapa tadi di rumah tidak memakai foundation B erl yang mampu mengcover bekas luka dan lebam di wajahnya, Nirmala tidak ingin terlalu mengumbar masalah di dalam keluarganya. "Tadi malam Nirmala jatuh Bang.""Jatuh?" Raihan seolah tidak percaya dan Nirmala semakin kikuk. "Bang, bagaimana sekolah ini, kasihan sekali anak-anak, mereka selalu bersemangat menuntut ilmu bersama abi mereka yang baik, tapi sekarang sekolahnya hancur," ucap Nirmala mengganti topik pembicaraan. "Saya akan mencari halaman warga kampung sini yang agak luas, nanti untuk sementara biar belajar di halaman kalau ada. Sekolah ini, abang akan bangun dengan beton, dengan fasilitas yang lengkap agar anak-anak nyaman sekolahnya kalau bisa abang ingin bangun pesantren mini di belakang sana masih luas dan abang sudah membeli tanah ini sekitar satu hektar sama kebun di belakang sana.""Abang mau bangun sekola