"Rosa, sudah berapa bulan kandunganmu? Nak." Ustadzah Maya bertanya kepadaku, wajah nya mengulas senyum, kemudian mengambil posisi duduk di sampingku.
Untung saja, jarak dudukku dan Suneng masih berjarak lumayan, hingga Ustadzah Maya bisa duduk tepat di sampingku."Sudah mau enam bulan, Ustadzah!" sahutku."Oh, semoga lancar sampai hari H nya ya sayang!" ucap Beliau. "Aamiin, terimakasih, Ustadzah." Aku berkata dengan mengulas senyum kepadanya.Seorang wanita muda, cantik yang kuperkirakan berumur sebelah tahun itu berjalan dengan tersenyum simpul menuju ke arah kami."Assalamualaikum, Ummi, di panggil Abi ke kamar!" ucapnya. "Walaikumsalam," ucap kami serentak! Dengan melempar pandangan ke arahnya. "Iya, kamu duluan saja, nak! Nanti Ummi nyusul," lanjut Ustadzah.Anak perempuan itu pun mengangguk, ia kembali masuk ke dalam, untuk menyampaikan pesan kepada Abinya.Pagi yang syahdu, di temani rintik hujan yang mengalun-alun, membuat mata ini enggan untuk terbuka."Rosa .... Bangun! Ayo sarapan!" teriakkan Mamah selalu menggema setiap pagi. Semenjak hamil, aku selalu tidur setelah menunaikan ibadah salat subuh.Dan, Mamah lah yang akan kerepotan setiap pagi membangunkanku.Aku seperti anak kecil yang merepotkan ucap Mamah setiap kali membangunkanku yang begitu sulit.Namun aku selalu berkilah, bahwa ini bawaan dari cucunya yang sedang aku kandung.Disaat sarapan pagi, aku mengutarakan niatku untuk membuka bisnis baru di bidang kuliner."Kamu yakin? Kamu kan nggak ada basic ke arah sana, nak!" seru Mamah dengan mengernyitkan dahi."Kan itu masih termasuk bisnis, Mah."Mamah menghela napas panjang. "Biarin sajalah, Mah. Yang penting Rosa sungguh-sungguh!" sahut Papah."Pah, kan Rosa lagi mengandung begitu, apa nggak sebaiknya nunggu melahirkan dulu?" tany
Degup jantung kian cepat, kala perawat masuk ke dalam ruang UGD dengan pakaian yang berbeda.Mereka membawaku ke ranjang yang memiliki roda, aku di bawa keluar ruang UGD yang di sambut Mamah di depan ruangan dengan wajah panik berurai air mata.Laki-laki yang masih belum kutahu namanya itu pun masih berdiri di samping Mamah."Ros, kamu yang kuat dan semangat sayang! Jangan panik ya nak, berdoa terus, agar di permudah persalinannya."Aku tersenyum seraya mengangguk! Dan memusut pelan tangan Ibu yang memegang tanganku memberi semangat.Aku di bawa masuk ke dalam ruang operasi. Melewati serangkaian persiapan untuk operasi._______________"Selamat ya Ibu Rosa, bayi nya perempuan! Cantik," ucap Bu Dokter Trisa, yang membantu operasiku melahirkan bayi sebelum waktunya."Dok, mana bayi saya?" tanyaku."Bayinya masih di Ruang NICU, bayi ibu lahir prematur, harus mendapat pengawasan ketat dulu.""Ya
"Bagaimana keadaan bayi saya? Dok." Aku bertanya dengan khawatir, kondisi bayi mungilku itu, yang harus lahir sebelum waktunya.Dokter menghela napas berat, tatapan sendu ia layangkan kepadaku, pikiranku langsung menangkap aroma kekecewaan."Kami beserta team medis lainnya, sudah berusaha sebaik mungkin, namun Allah SWT lebih sayang dengan anak Ibu. Maafkan kami." Ucapan Dokter perempuan itu sukses membuat hatiku luluh lantak, hancur berkeping-keping.Tubuhku bergetar hebat, jantungku berpacu kuat menahan rasa sakit di hati yang luar biasa."Mah ...." Ucapanku tercekat, tenggorokanku mendadak sakit, dadaku sesak bagaikan terhimpit batu besar.Mamah pun tak sanggup berkata-kata, isak tangisnya membuai bagaikan alunan musik yang mengundang air mata.Mataku berkaca menatap Mamah, kupaksakan mulut yang membeku ini untuk berkata. "Maa--aah .... Apa salah Rosa? Mengapa Rosa harus kehilangan lagi? ...."Dengan terbata-b
"Dari mana saja kamu? Pah. Bahkan cucumu sudah di kebumikan, kamu baru datang!" Mamah berteriak dan memukuli dada bidang Papah, Papah diam membisu, namun air matanya meluruh.Aku hanya mampu memandang wajahnya sesaat, lalu kembali menatap tanah basah bertabur bunga di depanku.Papah memeluk erat Mamah. "Maafkan Papah," hanya kata-kata itu yang ia ucapkan.Aku diam membisu. Dengan langkah gontai, Airin memegang erat lenganku, menuntunku menuju mobil.Kami semua kembali menuju pulang ke rumah, pandanganku kembali kosong, pikiranku di penuhi dengan dendam dan dorongan untuk membalas.Setibanya kami di rumah, aku merebahkan diri di ruang keluarga bersama Airin, Mamah dan juga Papah."Pah, tolong jelaskan! Papah dari mana saja? Kenapa penampilan Papah lusuh begini?" tanya Mamah.Papah menghela napas berat. "Papah dan anak buah menyelidiki Ibu mertua Rosa! Sepertinya ada permainan di keluarga mereka. Papah curiga
"Papah .... boleh bicara berdua?" tanyaku. Mamah menatap heran kepadaku, begitu juga dengan Airin.Papah mengangguk, ia pun berjalan menuju ruang kerjanya, aku mengekor Papah. Ruang kerja Papah sudah dibuat kedap suara, jadi, apapun yang kami bicarakan, tidak akan terdengar dari luar.Papah duduk di sofa, aku pun duduk bersebrangan dengan Papah.Aku menghela napas pelan, mengatur napas."Pah, apa yang Papah lakukan?" tanyaku, menyelidik.Papah mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Papah."Pah, serius! Mana mungkin Papah bisa berlaku seperti ini. Rosa yakin betul, Papah dalang di balik kematian tragis keluarga Gunawan."Papah tertawa sumbang. "Kamu tunggu saja! Mereka semua akan lenyap! Mereka tidak tahu berhadapan dengan siapa," ucap Papah.Aku syok mendengar penuturannya, beginikah aslinya Papah. Aku tercengang, melihat api dendam di manik matanya."Rosa, kamu harus tau! Bagi Papah,
Hari ini aku menjemput Brian di Bandara, anak Tante Nora."Kak Rosa!" teriak Brian, seraya melambaikan tangannya. Aku yang tadinya celingukan mencari-cari wajah Brian dari banyaknya orang yang datang pun tersenyum ke arahnya."Ayo, Kakak nggak bisa lama-lama nih, masih banyak kerjaan menumpuk di kantor.""Iya, ayo."Mobil melaju ke arah rumah, Tante Nora menyambut kedatangan anaknya dengan senyum mengembang."Aduh, pangeran Mamah sudah besar." Tante Nora memeluk Brian penuh kerinduan. Berpisah dengan anak semata wayang tidaklah mudah, apalagi ia tinggal seorang diri saat itu.Tante Nora tipikal orang yang enggan menyusahkan keluarganya, itu sebabnya kami tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya."Te, bagaimana kondisi Mamah? Apa ada perubahan?" tanyaku."Lumayan, Ros. Hari ini dia sudah mau makan siang bersama Tante, di ruang makan. Kamu nggak makan dulu? Ros.""Sukurlah, ak
"Em, sebelumnya, saya mau bertanya dulu! Apakah, Nak Rosa. Sudah punya calon?" tanya Bu Ustadzah Maya dengan wajah tersenyum simpul.Entah perasaan apa ini? Rasanya sedikit berdebar."Belum, Ustadzah! Ada apa ya? Bu.""Alhamdulillah jika belum, anak Ibu, mau ngajak kamu ta'aruf. Apakah kamu bersedia?"Hatiku kian berdebar, merasa beruntung tentu saja! Sebab, lelaki yang di depanku ini. Selain ganteng, ia juga pandai dalam ilmu agama.Bahkan kenaikan hatinya, serta kepiawaiannya dalam bertausiah sudah tidak di ragukan lagi.Namun perasaanku justru dalam di lema, beberapa hari ini pikiranku di kuasai orang lain, yang tengah dekat denganku. Julian."Rosa, di jawab pertanyaan Ustadzah Maya, nak." Perkataan Mamah mengejutkanku dari lamunan."Emm .... Maaf ustadzah Maya, tanpa mengurangi rasa hormat. Bolehkah saya meminta waktu satu Minggu untuk berpikir?" tanyaku.Biar bagaimana
Bab50 "Julian, apa ini nggak terlalu cepat?" tanyaku."Tidak, untuk apa berlama-lama dekat, nanti kamu diambil orang."Aku semakin dilema, hatiku selalu merasa nyaman dan kagum pada Julian.Sedangkan dengan Fahrianur, aku memang tidak pernah dekat dengannya, namun aku juga mengaguminya.Wajar, selain tampan rupawan, Fahri memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, tentu hal itu baik untuk dunia dan akhiratku.Sedangkan Julian, dia pun tak kalah tampan, juga mapan. Namun, pengetahuan agamanya aku kurang tahu."Boleh minta waktu untuk berpikir?" tanyaku."Satu hari, hanya satu hari.""Baiklah, besok aku akan ngasih jawabannya."Panggilan telepon pun diakhiri dengan ucapan salam.Aku menyukai Julian, namun aku juga berat menolak Fahri. Ya ampun, aku bingung kalau begini.Aku memilih bergegas pulang, dan membawa kerjaanku yang tertunda ke rumah."Amira, saya hari ini pulang lebih awal, kamu h
Bab89"Siska, aku akan berusaha lebih keras lagi, untuk mencukupi kebutuhan kita. Tapi bisakah, kita pulang dan biarkan Leha, menikmati kebahagiaannya?"Jalu berkata dengan pelan, berharap Siska mendengarkan permintaannya."Tapi, Mas! Leha hidup enak, masa kita orang tuanya, hidup blangsak?""Leha, sudahlah! Biarkan saja kami tinggal bersama kalian," kata Siska, kembali memasang wajah memelas."Maaf, Bu! Leha tidak bisa," tegas Leha. "Lagi pula, selama ini Leha berjuang hidup sendiri. Semenjak Bapak menikahi Ibu, dia bahkan tidak lagi menengokku di rumah Nenek. Jadi, kurasa aku berhak menolak kehadiran kalian.""Mas, anakmu itu!" pekik Siska, menahan emosi dalam dadanya."Sudah! Aku juga lelah dengan sikapmu. Dari tadi kuminta baik-baik, tapi kamu terus bersikeras mengacaukan hari bahagia Leha. Dia itu putriku! Bukan putrimu, jadi tidak usah bersikap seperti ini. Kamu harus tahu, tidak ada kewajiban dia mengurus kamu dan aku."
Bab88 Leha tersenyum sumringah. Ketika calon suaminya, berjalan mendekat ke arahnya. "Terimakasih," bisik Briyan. "Aku beruntung!" ungkapnya dengan suara lembut. "Sudahlah, aku malu dilihati banyak orang," sahut Leha dengan wajah bersemu merah. "Haha, masa malu! Kita akan menikah," balas Briyan. Dikejauhan. Juna sangat sakit hati, melihat mantan istrinya, berbahagia bersama lelaki lain. "Leha ...." suara lelaki itu, membuat Leha sangat terkejut. Leha menoleh, ke arah asal suara."Bapak!" pekiknya. Melihat Jalu datang, bersama istrinya. Leha berjalan cepat, ke arah Jalu. "Bapak, beneran ini Bapak?" tanya Leha tidak percaya. Lama Jalu menghilang, meninggalkan Leha dan Ibunya, yang bernama Ratih. Ratih meninggal, saat usia Leha, sudah menginjak satu tahun. Cerita pilu dia terima, Leha lahir dalam penjara. Namun tetap saja, dia buah hati yang tidak bersalah apa-apa. Perbu
pov Juna°"Mas, kamu cari kerja dong! Jangan nyantai aja kerjaannya, gak guna banget jadi laki-laki." Amel berteriak kasar kepadaku, ketika melihatku duduk termenung di teras rumah.Bagaimana aku bisa bekerja, sedangkan kesana kemari saja selalu di curigai. Di tuduh yang bukan-bukan lagi."Sabar dong! Kan sudah bikin lamaran juga, tapi memang belum ada panggilan kerja." Aku menyahut dengan kesal."Ya cari yang lain kek, kerja apa gitu, yang penting dapat uang." Amel berucap menggebu-gebu."Mel, kamu nih maksa banget. Mas juga pusing!" ucapku dengan berusaha setenang mungkin, meredam amarah dalam dada.Amel menghembuskan napas panjang. "Ibu sama anak sama-sama cuma jadi benalu saja. Nggak bisa bantu apa-apa, kalau aku tidak hamil, aku nggak akan sudi hidup bersama kalian." Aku berkata sambil melangkah pergi dengan teriakan dan emosi yang meletup-letup.Aku hanya terdiam, kali ini masa bodo.Aku juga ingin
Notifikasi pesan singkat masuk.Aku meraih benda pipih itu, lalu membuka pesan, yang berasal dari Brian."Ada waktu nggak? Mau ngajak makan malam!"tanya Brian di pesan itu."Boleh, jam berapa?"balasku."Jam tujuh ya! Aku jemput. Bawa Baim juga,"balasnya lagi."Oke."______________Tepat jam tujuh malam, aku dan Baim sudah siap di ruang tamu, menunggu kedatangan Brian.Tak lama kemudian, terdengar suara deru mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Aku tersenyum, meski belum melihat sosok Brian memasuki rumah. Namun aku sudah yakin, yang datang adalah Brian, yang sudah janjian dengan kami.Benar saja, wajah sumringah dengan ucapan salam memasuki pintu depan rumah."Assalamu'alaikum!" ucapnya sambil tersenyum dan berjalan menuju ke arah aku dan Baim. Wajah manis, kumis tipis kulit putih badan tegak itu kini menggendong bayiku dengan penu
Akhirnya, hari ini sidang keputusan cerai antara aku dan Mas Juna. Sebentar lagi, aku akan menyandang status single parents. Tidak masalah, yang penting hidupku tenang dari Benalu, dan aku bisa memulai hidup baru yang semoga saja lebih baik dari ini.Aku datang kepersidangan. Semoga hari ini lancar tanpa kendala, setelah melewati beberapa rangkaian. Hakim pun akhirnya memutuskan menyetujui gugatan ceraiku.Hari ini, Senin tanggal 08 Februari 2021. Aku resmi bercerai dari Arjuna Mahesa.Aku lega, akhirnya terbebas status dari laki-laki penyelingkuh itu.Saat aku keluar dari ruangan sidang. Terlihat dari kejauhan, Mas Juna berlari tergopoh-gopoh ke arahku."Ada apa?" tanyaku bingung, melihat Mas Juna yang begitu panik mendatangiku."Bagaimana hasil sidangnya?" tanyanya masih dengan napas memburu turun naik. Akibat ia berlari-larian."Beres, kita resmi bercerai." Aku menjawab santai pertanyaannya."
"Bu, diluar ada yang datang! Tetapi saya tidak mengenalinya.""Oke, Bi. Nanti saya temui." Bi Surti pun mengangguk, ia lalu kembali ke ruang tamu, melanjutkan aktivitas nya membersihkan rumah."Leha, mungkin itu Satpam yang kumaksud." Brian menimpali.Aku mengangguk, kami berdua pun berjalan menuju pintu keluar. Sedangkan Brian menggendong Baim dan duduk di kursi tamu.Aku mempersilahkan lelaki yang bertubuh kekar, berkepala plontos itu masuk ke dalam rumah."Silahkan duduk!" ujarku. "Bi, buatkan minum!" titahku kepada Bibi yang masih berkutat dengan kerjaannya."Baik, Bu." Bibi berlalu menuju dapur."Saya yang di minta Pak Brian, untuk menjadi Satpam di rumah Ibu Leha.""Oh, perkenalkan nama kamu!" ujarku."Saya Tejo! Umur tiga puluh lima tahun. Hanya seorang yang lulus SMP, mohon di terima bekerja, saya berjanji akan bekerja dengan baik.""Baiklah,
Semoga dengan kejadian ini, Mas Juna maupun Amel langsung jera untuk bermain-main serong. Ada harga yang ia harus bayar, dari setiap pengkhianatan. Aku Leha, selalu berusaha mencintainya dengan tulus, namun ia bukanlah lelaki yang tepat sepertinya. Jadi aku pun harus mengikhlaskannya.Kini, aku akan membesarkan anakku seorang diri, tidak masalah.Setelah aku menerima uang kompensasi dari Amel, aku pun segera menghubungi Nora, agar ia segera meninggalkan rumahnya Amel.Sengaja, agar Mas Juna dan Amel semakin frustasi, mencari keberadaan Nora.'Untung saja si bodoh, Nora, masih menurut.' batinku tertawa bahagia, membayangkan Amel dan mas Juna yang semakin panik. Sebab Nora masih memiliki video Mesum mereka.__________Lima bulan telah berlalu, aku tidak pernah tahu lagi kabar tentang Mas Juna dan keluarganya.Aku bersantai di ruang keluarga, sambil memainkan gawai milikku.Aku tersentak, melihat video mesum ma
°pov Juna°"Hah? Jual Nora? Apa maksud kamu, Mel?" aku bertanya dengan mimik wajah bingung."Maa--afkan aku, Mas. Aku salah ngomong!" ujarnya lagi."Terus bagaimana? Mel, mas juga nggak punya uang, buat bantu kamu!" ujarku."Bagaimana kalau kita jual rumah saja, lebihan uangnya untuk kita ngontrak! Mas janji, akan membelikan rumah yang lebih besar lagi dari yang kamu miliki," bujukku kepada Amel, meskipun kenyataannya, aku juga buntuk akal. Bagaimana mungkin aku mampu membelikan Amel rumah baru, sedangkan saat ini saja, aku hanya seorang pengangguran."Janji ya, Mas.""Janji sayangku!" rayuku, sambil mengumbar senyum. Aku terus melajukan motor menuju pulang ke rumah, sesampainya di rumah. Aku dan Amel bersiap menawarkan rumah yang kami tempati ini, ke media sosial.Sehari tidak ada respon, hingga hari terakhir dari perjanjian kami dengan Leha, akhirnya aku dan Amel lega. Rumah Amel laku
pov Juna° flashback.Nora, ia datang memasuki ruang perawatan Ibuku, sebenarnya ibu sudah mulai pulih dan di perbolehkan pulang hari ini. Namun kedatangan Nora membawa kabar buruk."Kak, aku di usir lagi sama Leha, ia juga sepertinya sudah tahu, bahwa kakak main gila sama Amel."Mendengar penuturan Nora, rasanya dadaku berdegup kencang, napasku memburu cepat.Amel yang sedari dari masih bersamaku di dalam ruangan Ibu pun mendekat."Ada apa? Mas." Amel bertanya dengan mimik wajah bingung, melihat Nora yang sesegukkan menangis."Nora diusir, Mas pulang dulu, kamu bisa kan jagain Ibu dan Nora dulu."Amel mengangguk, aku pun bergegas menuju parkiran mobil. Aku panik, ketika melihat mobil yang tadinya di pinjam Amel, tidak ada di parkiran.Aku berlari kembali masuk ke dalam."Mel ..., mobil kamu parkir dimana?" tanyaku dengan napas memburu, lelah rasanya berlari-lari d