"Maaf, apa betul bentuk jari kananmu, seperti ini?" tanya Pak Gibran dengan raut wajah heran, sembari mengangkat jari jemariku, yang memang jari jempol dan jari telunjuk menyatu."E--e betul, Pak ini sejak saya lahir, sudah begini, kata pengasuh di panti asuhan." Aku menarik tanganku cepat rasa malu tersirat di wajahku, semua orang tertuju padaku."Panti asuhan? Kamu tinggal di sana?" pertanyaan Pak Gibran membuat aku semakin bimbang sekaligus terheran mengapa sedetail itu menanyakanku."Iya, Pak, saya dari bayi di asuh di sana, kata pengasuh di panti asuhan, sejak bayi saya ditinggalkan di depan pintu panti asuhan, Pak.""Apa nama, panti asuhannya kalau saya boleh tahu?" tanyanya lagi lalu Riko berdehem membuat Pak Gibran mengalihkan pandangan ke semua orang."Kalian minta tanda tangan dengan Riko saja, saya ada perlu sedikit dengan anak ini," titah Pak Gibran lalu semua karyawan berpindah tempat ke Riko.Aku melipir ke tepi tempat yang sedikit lapang dari mereka, kulirik sekilas Rin
Mobil terparkir di depan sebuah rumah mewah cat berwarna putih, Pak satpam segera membukakan pintu pagar, aku terpana melihat halamannya yang cukup luas di tanam berbagai buah-buahan.Tubuh kekar body guard yang sering ku dengar di TV, berdiri menyambut kedatangan kami."Aku kira ada hajatan atau syukuran, ya Rin, tetapi kenapa tampak sepi, kita hanya yang datang."Aku tampak terheran-heran melihat tidak ada tamu yang datang."Mungkin hanya kita saja yang di undang," jawab Ririn sembari menuntun anakku masuk sedangkan aku masih terbengong melihat rumah bak pesis istana megah, yang seumur hidup baru kali ini aku tapaki.Setelah masuk ke dalam ruangan diriku lebih terpaku lagi melihat isi rumah Pak Gibran, Ririn, Dimas tampak terkagum-kagum. Riko mempersilahkan kami duduk di sofa ruang tamu yang sangat empuk"Kalian tunggu di sini, dulu saya permisi ke dalam menemui Pak Gibran," ujar Riko lalu pergi ke belakang."Mimpi apa kita semalam, ya, Din! Datang ke rumah orang kaya. Bos atasan kit
"I--itu punyaku waktu masih bayi," celetukku ingin meminta yang di bawa asisten rumah tangga di rumah ini.Bagaimana tidak switer yang dibuat dengan benang wol dirajut menggunakan tangan, serta kalung yang bermotif huruf D, terbuat dari manik-manik kecil, benda itu sengaja aku tinggalkan di panti asuhan, sekarang berada di sini."Ini, benar switer punya kamu? Tak sengaja aku menyuruh Wati membawa kenangan masa kecilmu dulu." Pak Gibran berbicara lalu mendadak menangis tergugu."Eh, Pak. Kenapa? Ada apa?" tanya Riko mulai panik dengan sikap Pak Gibran."Wati?! Apa betul kau yang menemukan Dinda waktu masih bayi di depan pintu panti asuhan kala waktu masih hujan?!" Pak Gibran tak mempedulikan ucapan Riko. Tangannya memegang dada, sembari terus menatap Mak Wati serius."I--iya, betul, pada waktu itu memang aku menemukan Dinda di saat malam pada waktu hujan." Mak Wati tergagap sekilas menatap wajahku sendu."Bearti, selama ini dugaanku benar, hmmm, maafkan ayahmu ini, Nak." Pak Gibran me
Sejak kejadian itu aku akhirnya, tinggal di rumah mewah yang tak pernah aku duga, sebelumnya, aku tidak lagi bekerja menjadi karyawan sawit, malah menggantikan ayahku untuk menerima laporan, tetapi bisa saja tidak turun secara langsung ke lapangan. Namun, aku terasa jenuh berdiam diri tak ada teman di rumah, Bagas sudah di bawa oleh ayahku sekitar dua minggu yang lalu ke luar negeri. Bagas akan bersekolah di sana di sekolah terkenal dengan biaya yang mahal, ayahku semua yang handle. Sudah aku bicarakan pada ayahku, Bagas itu tidak pernah duduk di bangku SD, bagaimana dia sekolah sedangkan umurnya sudah sepuluh tahun lebih. "Tenang, dia akan ikut tes pribadi di sana, diajari berhitung serta membaca sampai bisa," ujar ayahku sehingga aku merasa tenang, semoga Bagas menjadi anak yang membanggakan orang tua nantinya. *** Banyak sepasang mata melihat perubahan diriku yang berubah drastis, mata mereka jelalatan melirik dari atas sampai bawah, Ririn tersenyum memanggilku setelah aku men
Asisten rumah di rumah tangga ini nampak tergopoh-gopoh berlari ke arahku. Diriku yang sedang sibuk mencatat semua gaji karyawan sawit lantas mendongak cepat."Non! Di luar temen, Non datang," celetuk Bik Surti sembari badan membungkuk."Suruh mereka masuk, Bik. Antar mereka dekat kolam renang temuin saya." Aku bergegas melangkah ke belakang setelah menyuruh Bik Surti memanggil mereka kembali masuk.Bik Surti pun mengangguk cepat, berbalik badan dan aku pun ikut meninggalkannya."Din, rupanya kau di sini, pake acara suruh, nemuin kamu di sini segala." Ririn cemberut masam sembari meletakkan tas besarnya dengan sembarang asal."Suamimu, mana? Kok nggak diajak di sini, Rin?" tanyaku lalu mengambil tas jinjing milik Ririn dan meletakkannya di meja yang tak jauh dari kolam renang."Ada, tuh lagi duduk di sofa ruang tamu, lagi males dia ke sini, Din. Enak banget, ya, jadi konglomerat kayak kamu, ketemu orang tua dapet warisan pula, eh mumpung kau sedang banyak duit kenapa nggak diceraikan
Rupanya Bagas dan ayahku yang datang dengan Riko yang menjadi teman seharian sekaligus sopir ayahku. Terlihat Bagas begitu riang, serta kulit terlihat bersih dan badan berisi."Bu, kok nggak nyambut kedatangan kami di pintu." Bagas nampak cemberut dengan bibir mengerucut masam."Anak pintar, ibumu itu mungkin capek." Tawa Ayah terdengar terkekeh seraya mengusuk kepala Bagas dengan gemas."Bagaimana dengan sekolahmu di sana, Nak?" tanyaku sedikit ingin tahu tentang keseharian Bagas gimana sekolah di sana."Alhamdulilah, sekolahnya di sana lancar tidak ada kendala apapun, berhitung serta membaca, alhamduliah sudah bisa dia." Ayahku yang menyahut, tersirat rasa bangga pada cucunya."Masya Allah! Alhamdulilah, Nak. Ibu bangga padamu, semoga kau nanti menjadi anak yang sukses, ya, rajin-rajin saja belajar, kalau capek jangan lupa istirahat." Ucap syukur tiada henti terlontar di mulutku, cukup lama aku memeluk tubuhnya yang sekarang gemuk berisi.Kulirik sekilas Riko yang sedari tadi diam t
Mobil terparkir rapi di depan rumah, Ibu mertuaku, eh hampir lupa wanita itu sudah aku anggap mantan mertuaku, tak sudi rasanya memanggil dengan sebutan itu lagi mengingat masa laluku yang begitu pahit bersama anaknya.Terlihat pintu rumah, bahkan jendela semua tertutup tak ada tanda-tanda kehidupan serta aktivitas di rumah ini."Kayaknya, mereka sudah tidak tinggal di sini lagi, deh. Din," ujar Ririn sembari terjingkat-jingkat karena kotoran ayam banyak tergeletak di teras.Pandanganku terlempar ke samping rumah, yang terdapat telaga kecil untuk mengambil air, di sana saksi kejadian naas yang dialami anakku Mona, yang pelakunya ayahnya sendiri."Akan aku buat hidup ayahmu sengsara, Nak." Aku membatin dalam hati, jujur hatiku sakit, air mataku menetes."Eh! Dinda mau cari, Marni, ya. Mereka tidak lagi tinggal di sini, rumah ini sudah mereka jual." Tiba-tiba datang tetangga samping rumah ini sembari matanya tiada henti menatapku."Hah! Jual?! Tinggal di mana mereka sekarang?" tanya Rir
Tubuh Mas Seno menggeliat, bangun mengucek mata, tak lama itu matanya tiada henti tanpa berkedip menatapku."Noh! Anak kesayangan Ibu, tidur mulu kerjaannya, apa nggak malu apa hidup begini, nggak kerja!" cerocos Cantika, tiada henti mencemooh Mas Seno, sembari kedua tangan bersedekap di dada."Kamu bisa diam, nggak, Can? Ini ada tamu, tolong hargai," timpal Ibu lalu melempar senyum manis ke arahku.Baru kali ini aku melihat dia tersenyum padaku, mungkin taktik dia setelah aku berubah, seperti ini."Seno, Dinda mau bicara sesuatu denganmu, lekas sana cuci muka dulu." Suara ibu mertuaku tampak lembut jikalau berbicara dengan Mas Seno."Eh! Kamu, Din! Mau jemput aku, ya?" tanyanya dengan mata berbinar, aku melirik ke wajah Winda terlihat kusut masam."Tidak! Aku ke sini cuma hanya minta tanda tanganmu untuk cerai! Jikalau kau tak datang di persidangan tak masalah, aku anggap cerai ini secara ghaib," celetukku dengan jijik menatap sok baiknya ini.Dulu kemana dia, tak pernah memperlakuka
"Din, ambil napas, lalu hembuskan, 'kan aku sudah bilang jangan kau bawa mereka ke sini, jadi runyam, bukan? Mereka itu dasarnya memang tak tahu malu," celetuk Ririn duduk di tepi ranjang di sampingku."Aku membawa, mereka ke sini, memberi mereka pelajaran, Rin agar tak semena-mena denganku lagi, jujur Rin, aku dendam pada mereka,"jawabku berapi-api sembari mencengkram kuat alas kasurku."Dendam, tetapi kau bawa ke sini, tidak ada cara lain, membalaskan sakit hatimu, itu?" tanya Ririn.Baru ingin aku menjawab bunyi suara gaduh dari arah dapur terdengar nyaring, aku dan Ririn bergegas bangkit berlari tergopoh-gopoh.Mataku membulat dengan sempurna, melihat makanan di atas meja makan habis berserakan, piring dan gelas pecah berhamburan ke lantai.Terlihat Bik Nur, memungut pecahan beling di lantai ubin, ayahku menghela napas menyaksikan ini semua.Dimas dan Riko yang baru datang cepat membantu Bik Nur, memungut pecahan gelas dan piring itu."Hati-hati, kacanya, Nur," ujar Riko hati-hati
"Ada apa Bik Nur?" tanyaku juga, ikut panik apa yang sedang terjadi."Itu, Non, keluarga yang baru itu, tadi teriak-teriak mau makan katanya, sudah aku bilang tunggu, Pak Gibran dan Nyonya Dinda dulu, mereka masih tak peduli." Bik Nur berbicara sembari napasnya terengah-engah.Aku yang mendengar mereka tak sabaran, seperti itu membuatku diriku naik pitam, bergegas aku melangkah sedikit berlari kecil.Telingaku mendengar Bik Nur memanggil ayahku serta Bagas.Benar saja yang dikatakan Bik Nur, mereka antusias menyusun makanan di atas meja, mata mereka berbinar melihat lau-pauk yang terpampang di atas meja, ayahku, Bagas, Riko, Ririn serta Dimas tergopoh-gopoh berlari dari belakang."Eh! Dinda, kami sudah lapar, Din mau makan," celetuk ibu mertuaku tanpa ada rasa malu sedikit pun."Maaf, di rumah ini makan malam sehabis shalat maghrib, bukan jam tiga sore, seperti ini," sahutku cepat dengan sorot mata tak suka memandang mereka."Din! Biarkan saja mereka makan jam segini, mungkin mereka l
Aku ingin menguji berapa besar kesabaran mereka tinggal di rumah ini."Cantika! Cantika!" Suaraku menggelegar memanggil adik Mas Seno yang masih berada di dalam kamar.Lama daun pintu tak terbuka, terlihat Rahmat mengesot ke lantai ubin keluar dari kamar yang berbeda."Ada apa, Din? Ada yang bisa dibantu?" tanya Rahmat memperlihatkan wajah belas kasihnya kepadaku.Aku yang menatap dirinya merasa ada belas kasihan dengan keadaannya sekarang, tetapi lintasan pikiranku teringat dengan sikap jahat mulutnya membuat belas kasihku pudar."Aku bukan memanggil dirimu, yang aku panggil Cantika," ujarku seraya melipat kedua tangan."Biar aku saja, Din. Mungkin Cantika beristirahat," kilah Rahmat lagi yang membuat diriku semakin jengah."Cantika! Keluar mggak kamu sekarang!!!" Aku tak mempedulikan rengekan Rahmat, suaraku menggelegar pecah memanggil Cantika berulang kali.Knop pintu tampak diputar terlihat Cantika menyembul dari balik pintu, rambutnya acak-acakan, mata terlihat merem melek."Ada
"Apa?! Satu keluarga?!" Ririn kaget mendengar ibu mertuaku minta satu keluarga pindah ke rumahku."Heh! Kenapa kamu yang sewot?! Bukan punyamu juga rumah Mbak Dinda," celetuk. Cantika tiba-tiba."Heh! Cantika aku memang pembantu di rumah, Dinda, tetapi kalian satu keluarga minta tinggal di rumah Dinda, terbuat dari apa muka kalian?!" tunjuk Ririn sembari berkacak pinggang.Cantika murka berusaha menarik tubuh Ririn, untung saja cepat aku lerai."Baik! Mulai hari ini kalian semua boleh tinggal di rumahku, tapi kalian hanya numpang tidak gratis! Bagaimana?!" Aku memberi usul seperti itu supaya mereka mengurungkan niat mereka yang ingin tinggal bersamaku, semoga mereka mengerti apa arti menunpang secara tidak gratis."Din! Kamu mau tinggal serumah lagi sama mereka, apa--?" ucapan Ririn terpotong dengan cepat olehku. "Biarkan saja, Rin asal mereka bisa berubah." Aku sengaja memuji mereka di depan Ririn, mengingat aku sudah tahu sifat mereka yang sangat suka dipuji."Benarkah?! Kapan kami
Pov Winda.Aku Winda Jaya Kusuma sama, seperti Dinda seorang anak yatim piatu, masuk di keluarga toxic, seperti Bu Marni yang gila dengan harta dan uang, aku terpaksa menikah dengan Rahmat yang mandul demi menutupi kehamilanku dengan pria yang lain.Untung saja Rahmat gampang aku bodohi, tetapi tidak dengan Ririn yang sudah tahu dengan kelakuanku semuanya.Dulu pernah aku ingin merebut Dimas dari Ririn. Namun, aku kalah, Dimas lebih memilih Ririn yang tak bisa hamil seumur hidup, yang membuat diriku heran apa istimewanya Ririn bagi Dimas.Setelah menikah dengan Rahmat, aku disuruh tinggal bersama ibunya, aku awalnya dikatakan menantu pemalas, dibenci, dimaki, ingin rasanya merobek mulut lemes mereka termasuk Cantika, akhirnya aku menemukan ide agar mereka takluk dan tunduk kepadaku.Aku pergi ke sebuah dukun ternama di kampung sebelah, meminta agar diriku di sanjungi, tetapi dukun itu malah menawariku tentang pelet nasi kangkang, awalnya aku ragu-ragu untuk melakukannya, tetapi meliha
"Tidak bisa begitu dong, Bu Marni, yang berbuat jahat harus dipenjara, biarpun keluarga sekalipun!" bentak Ririn Tak terima."Aku mohon, Din jangan penjarakan aku, apa kau tak kasihan dengan Ibu dan adikku?" Mas Seno menangis bersimpuh di kakiku.Aku yang terasa mulai naik pitam menendang dada Mas Seno hingga terjengkang wakaupun sudah tumbang masih tetap ingin meraih kedua kakiku."Apa kau, tak tahu malu, hah?! Memang kau manusia paling munafik yang aku temui dimuka bumi ini?! Kau bilang minta kasihan sama Ibu dan adikmu, tetapi kenapa kau tak merasa kasihan sedikit pun terhadap anak kandungmu wahai Seno yang terhormat?!" Aku benar-benar berbicara kasar di depan mukanya, aku tak peduli berapa banyak air liur yang muncrat mengenai wajahnya.Air mataku luruh bak menganak sungai, kalau mengingat ada hukum di dunia ini sudah aku habisi tubuhnya dengan melempar ke kandang harimau, mungkin binatang pun tak mau memakan manusia kejam melebihi iblis, seperti dia. "Aku, tahu aku salah aku khi
Tubuh Mas Seno menggeliat, bangun mengucek mata, tak lama itu matanya tiada henti tanpa berkedip menatapku."Noh! Anak kesayangan Ibu, tidur mulu kerjaannya, apa nggak malu apa hidup begini, nggak kerja!" cerocos Cantika, tiada henti mencemooh Mas Seno, sembari kedua tangan bersedekap di dada."Kamu bisa diam, nggak, Can? Ini ada tamu, tolong hargai," timpal Ibu lalu melempar senyum manis ke arahku.Baru kali ini aku melihat dia tersenyum padaku, mungkin taktik dia setelah aku berubah, seperti ini."Seno, Dinda mau bicara sesuatu denganmu, lekas sana cuci muka dulu." Suara ibu mertuaku tampak lembut jikalau berbicara dengan Mas Seno."Eh! Kamu, Din! Mau jemput aku, ya?" tanyanya dengan mata berbinar, aku melirik ke wajah Winda terlihat kusut masam."Tidak! Aku ke sini cuma hanya minta tanda tanganmu untuk cerai! Jikalau kau tak datang di persidangan tak masalah, aku anggap cerai ini secara ghaib," celetukku dengan jijik menatap sok baiknya ini.Dulu kemana dia, tak pernah memperlakuka
Mobil terparkir rapi di depan rumah, Ibu mertuaku, eh hampir lupa wanita itu sudah aku anggap mantan mertuaku, tak sudi rasanya memanggil dengan sebutan itu lagi mengingat masa laluku yang begitu pahit bersama anaknya.Terlihat pintu rumah, bahkan jendela semua tertutup tak ada tanda-tanda kehidupan serta aktivitas di rumah ini."Kayaknya, mereka sudah tidak tinggal di sini lagi, deh. Din," ujar Ririn sembari terjingkat-jingkat karena kotoran ayam banyak tergeletak di teras.Pandanganku terlempar ke samping rumah, yang terdapat telaga kecil untuk mengambil air, di sana saksi kejadian naas yang dialami anakku Mona, yang pelakunya ayahnya sendiri."Akan aku buat hidup ayahmu sengsara, Nak." Aku membatin dalam hati, jujur hatiku sakit, air mataku menetes."Eh! Dinda mau cari, Marni, ya. Mereka tidak lagi tinggal di sini, rumah ini sudah mereka jual." Tiba-tiba datang tetangga samping rumah ini sembari matanya tiada henti menatapku."Hah! Jual?! Tinggal di mana mereka sekarang?" tanya Rir
Rupanya Bagas dan ayahku yang datang dengan Riko yang menjadi teman seharian sekaligus sopir ayahku. Terlihat Bagas begitu riang, serta kulit terlihat bersih dan badan berisi."Bu, kok nggak nyambut kedatangan kami di pintu." Bagas nampak cemberut dengan bibir mengerucut masam."Anak pintar, ibumu itu mungkin capek." Tawa Ayah terdengar terkekeh seraya mengusuk kepala Bagas dengan gemas."Bagaimana dengan sekolahmu di sana, Nak?" tanyaku sedikit ingin tahu tentang keseharian Bagas gimana sekolah di sana."Alhamdulilah, sekolahnya di sana lancar tidak ada kendala apapun, berhitung serta membaca, alhamduliah sudah bisa dia." Ayahku yang menyahut, tersirat rasa bangga pada cucunya."Masya Allah! Alhamdulilah, Nak. Ibu bangga padamu, semoga kau nanti menjadi anak yang sukses, ya, rajin-rajin saja belajar, kalau capek jangan lupa istirahat." Ucap syukur tiada henti terlontar di mulutku, cukup lama aku memeluk tubuhnya yang sekarang gemuk berisi.Kulirik sekilas Riko yang sedari tadi diam t