Terima Kasih Kak Agus, Kak Sofyan, Kak Ian atas dukungan Gem-nya Dan berkat Kak Agus yang memberi 5 Gem sekaligus siang ini, total tambahan Gem menjadi 11. Itu artinya, ada satu bab bonus tambahan lagi hari ini \(^_^)/ Di tunggu~ Akumulasi Gem: 25-09-2024 (Sore): 1 Gem (Reset)
Menyadari beberapa orang yang lewat menoleh ke arah mereka, Adel menatap Ryan dengan tajam dan berkata, "Omong kosong. Jika kau menginginkanku, kau harus mengambil bintang dari langit dan membawanya kepadaku!" Ryan mengangkat alisnya, ekspresinya berubah serius. "Benarkah?" tanyanya dengan nada yang sulit ditebak. Adel tidak menyadari kilatan aneh di mata Ryan. Dalam benaknya, Ryan hanyalah seorang pria desa yang kebetulan memiliki formula ajaib entah dari mana. Namun bagi Ryan, permintaan Adel terdengar seperti lelucon kecil. Ryan tahu bahwa pada tingkat kultivasi tertinggi, seseorang dapat melintasi luar angkasa, mengendalikan matahari dan bulan sesuka hati. Betapa tidak berartinya memetik bintang dari langit baginya? Tentu saja, ini bukan sesuatu yang bisa ia lakukan sekarang, tapi suatu hari nanti. Melihat ekspresi serius Ryan, Adel mulai panik. Dia tidak menyangka Ryan akan menanggapi candaannya dengan begitu serius. "Ya, ya, ya," kata Adel cepat-cepat, mengangguk-angguk
Ryan mengamati wanita itu. Meskipun dia terlihat cukup menarik, tapi menurut Ryan, tampang wanita itu berada beberapa tingkat lebih rendah dibandingkan dengan Adel. Terlebih lagi, sangat kebetulan bahwa Ryan juga mengenali wanita itu. Dia adalah teman sekelas Ryan dan Adel di SMP—Hanna Chick. Ryan mengingatnya dengan jelas karena beberapa alasan. Selain fakta bahwa Hanna pernah menjadi teman Selly, Hanna juga sering mem-bully Ryan. Hinaan keluar dari bibirnya seperti ular yang menyemburkan bisa—"Ryan sampah", "Sampah keluarga Pendragon", atau variasi lain dari hinaan yang sama. Seorang pria jangkung dan tampan yang mengenakan barang-barang bermerek berdiri di samping Hanna. Mata pria itu menatap dada besar Adel penuh nafsu tanpa malu, membuat Ryan ingin memutar bola matanya. "Adel, aku tidak percaya itu kamu!" Hanna berseru dengan nada yang dibuat-buat ceria. "Kenapa kamu tidak menghadiri acara reuni SMP tahun lalu? Kudengar kamu sekarang bekerja di Snowfield Group? Apakah kam
Di Butik Louis Vuitton, suasana elegan dan mewah menyambut Ryan dan Adel begitu mereka melangkah masuk. Aroma parfum mahal menguar di udara, bercampur dengan wangi kulit asli yang khas. Lantai marmer yang mengkilap memantulkan cahaya dari lampu kristal di atas, menciptakan atmosfer kemewahan yang nyaris memabukkan. Melihat penampilan Ryan dan Adel, pelayan toko tampak agak skeptis. Matanya menyapu pakaian Ryan yang sederhana dan sedikit usang, lalu beralih ke Adel yang mengenakan pakaian olahraga. Namun, profesionalisme mengambil alih dan dia tetap melayani mereka dengan sopan. "Selamat datang di Louis Vuitton," sapa pelayan itu dengan senyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu?" Adel, yang masih terlihat sedikit gugup, mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko. Dia jelas tidak begitu paham dengan mode busana pria, tetapi tekadnya untuk membuktikan sesuatu pada Hanna membuatnya nekad. Ryan, di sisi lain, hanya berdiri diam dengan ekspresi tenang. Dia bisa merasakan kegugup
Petugas kasir butik Louis Vuitton mengulurkan tangan untuk mengambil kartu debit di tangan Adel. Sebelum dia bisa melakukannya, Adel menarik tangannya kembali dengan tiba-tiba. Gerakannya yang mendadak membuat kasir itu terlonjak kaget. "Nona, Anda..." petugas itu berusaha berbicara, namun Adel memotongnya dengan cepat. Adel berpura-pura melihat pakaian itu sekali lagi. Alisnya saling bertautan membentuk kerutan dan berkata, "Aku sudah memutuskan bahwa warna pakaian ini sama sekali tidak cocok untuknya. Kita cari yang lain saja." Tanpa menunggu jawaban siapa pun, Adel meraih tangan Ryan dan bergegas menuju pintu keluar. Ryan, yang sejak tadi hanya diam mengamati, mengikuti langkah Adel tanpa protes. Dia bisa merasakan ketegangan dalam genggaman Adel dan tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. 'Kalau ada yang tahu aku tidak punya cukup uang di kartuku, aku akan benar-benar mempermalukan diriku sendiri,' pikir Adel panik. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai me
Ryan tidak tahan lagi dengan ucapan Hanna. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, Hanna masih tetap sama. Kata-katanya selalu tinggi, seakan status yang dia miliki jauh lebih tinggi dari orang-oranh di dunia ini. Ryan tidak pernah bisa memahami dari mana orang seperti Hanna mendapatkan kepercayaan diri mereka. Hanna akhirnya menyadari kehadiran Ryan setelah dia menyela pembicaraannya. Dia mengamati Ryan dari ujung kepala sampai ujung kaki, matanya menyipit meremehkan. "Oh, aku lupa tentangmu, dasar orang desa miskin," ujar Hanna dengan nada mengejek. "Aku baru saja mulai bertanya-tanya apa pekerjaanmu sebenarnya. Jangan bilang kau seorang pemulung? Kami punya beberapa air mineral di mobil. Kau mau?" Hanna dan pacarnya tertawa terbahak-bahak, seolah-olah mereka baru saja mendengar lelucon terbaik sepanjang masa. Ryan menggelengkan kepalanya, senyum tipis tersungging di bibirnya. Dengan nada tenang namun sedikit percaya diri, dia berkata, "Aku seorang Dewa Pengobatan. Seorang Dewa
Hanna melangkah maju dan meludah dengan nada menuduh, "Jangan kira kau bisa lolos dengan kartu debit palsu! Jika transaksi ini gagal, kau akan masuk penjara karena penipuan!"Matanya berkilat penuh kebencian, seolah-olah dia berharap Ryan akan langsung hancur di tempat. Adel, yang berdiri di samping Ryan, tampak pucat pasi. Dia menarik lengan Ryan dengan cemas."Ambil kembali kartunya, Ryan," bisik Adel panik. "Kita pergi sekarang! Tidak apa-apa. Lebih baik dipermalukan daripada dikirim ke kantor polisi dan dipenjara!"Ryan mengalihkan pandangannya ke Adel, yang tampak seperti hendak mencabut rambutnya sendiri karena frustasi. Dia tersenyum lembut, "Apa kau kurang percaya padaku, Adel? Apa aku terlihat miskin di matamu?"Adel hampir pingsan mendengar pertanyaan itu. Masalahnya bukan apakah Ryan terlihat miskin atau tidak, tapi dia benar-benar miskin! Setidaknya itulah yang Adel yakini selama ini.Apa yang terjadi selanjutnya di luar dugaan semua orang. Selain menyerahkan kartu itu ke
Tidak ada yang menyangka bahwa Ryan akan menyerangnya tiba-tiba. Adel, yang berdiri di samping Ryan, merasakan campuran emosi yang luar biasa. Di satu sisi, ada kepuasan yang tak terlukiskan melihat Hanna akhirnya mendapat balasan atas semua hinaan dan cercaannya. Namun di sisi lain, jantungnya berdebar kencang memikirkan konsekuensi dari tindakan Ryan. 'Sial,' batin Adel. 'Kita benar-benar dalam masalah besar kali ini.' Sebuah realisasi menghantam Adel—setiap kali dia membawa Ryan keluar, pria itu selalu berhasil membuat masalah! Kata 'toleransi' sepertinya tidak ada dalam kamus Ryan. Yang ada hanyalah amarah yang mengerikan dari seorang pria yang tak kenal takut! Adel teringat insiden beberapa hari lalu, ketika Ryan memberi pelajaran pada keluarga Shaw di Hotel dan berakhir di kantor polisi. Jika bukan karena dia melakukannya untuk membela diri, Ryan pasti sudah menghadapi konsekuensi yang jauh lebih buruk. Namun, situasi kali ini berbeda. Ryan-lah yang memulai konfronta
John Doo membeku di tempat ketika dia mendengar suara itu. Dia tahu betul milik siapa suara itu berasal. Satu tahun yang lalu, dia harus mendengarnya hampir setiap hari di kantornya. Ini adalah suara Jeremy Blackwood, pemilik Blackwood Corporation—keberadaan yang tak terbantahkan di seluruh perusahaan. Jantung John Doo berdegup kencang. Setelah didiagnosis menderita penyakit kanker paru-paru, Jeremy Blackwood berhenti muncul di kantor. Semua direktur di perusahaan itu tampaknya berpikir bahwa Blackwood Corporation akan terjerumus dalam perang warisan dan posisi CEO mungkin akan jatuh ke tangan anak-anak Jeremy Blackwood. John Doo sendiri cukup beruntung mendapat jabatannya sebagai CFO pada situasi ini. Ketika semua orang mulai panik di perusahaan, ayahnya—demi mendapatkan lebih banyak saham—mendorong John Doo ke garis depan. John menyadari bahwa dia tidak akan pernah bisa mendapatkan posisi itu dengan kemampuannya sendiri. Dan sekarang, pemilik asli Blackwood Corperation
Ketika Wendy merasakan angin menderu di sekelilingnya, dia tiba-tiba menyadari bahwa dia telah melakukan sesuatu yang gila! Ini lantai kesepuluh!Jantungnya berdegup kencang saat gravitasi menarik tubuhnya ke bawah. Pandangannya tertuju pada tanah yang semakin dekat di bawah sana. Meskipun dia sudah mulai berkultivasi, dia bukanlah dewa yang bisa terbang!'Bodoh! Apa yang kulakukan?' pikirnya panik. Wendy ingin menampar dirinya sendiri atas tindakan impulsif ini. Mengapa dia tiba-tiba melompat dari gedung? Hanya karena melihat sosok mencurigakan yang mirip Ryan?Besok pagi, headline koran Riverdale pasti akan berbunyi: [Dosen muda Universitas Negeri Riverdale bunuh diri karena stres. Haruskah sistem pendidikan direformasi?]Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Di usia dua puluhan, dia bahkan belum pernah pacaran! Padahal dia sudah menemukan seseorang yang disukainya, tapi kini akan mati sebelum sempat mengungkapkan perasaan.Saat tubuhnya hampir menyentuh tanah, sebua
Ryan tersenyum melihat kepanikan Wendy. "Tidak apa-apa. Aku memang tidak berencana tinggal lama di apartemen ini." Ia menatap Wendy dengan kilatan tertarik. "Lagipula, sepertinya aku menemukan telah seorang genius. Kalau kau berkultivasi dengan baik, mungkin aku yang harus bergantung padamu nanti.""Benarkah?" Wajah cemas Wendy berubah terkejut. "Kalau begitu aku akan berlatih keras mengolah teknik Jiwa Es. Aku akan melindungimu di masa depan!"Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, wajah Wendy langsung memerah, takut Ryan akan salah paham.Ryan mengeluarkan beberapa buku teknik beladiri tipe es yang telah disiapkannya. "Bawa ini juga. Dengan bakatmu, kau pasti bisa menguasainya dengan cepat.""Baiklah." Wendy menerima buku-buku itu. Dia hendak mengatakan sesuatu lagi ketika terdengar ketukan di pintu."Sudah larut, sebaiknya aku pulang..." Wendy bangkit untuk membuka pintu.Seorang pria asing berdiri di ambang pintu. Dia melirik Wendy sekilas sebelum tatapannya beralih pada Ry
Setelah memberikan beberapa instruksi lain, Ryan meninggalkan Guild Round Table. Jika tebakannya benar, ayahnya berada di tangan Guardian Nexopolis, Zeke Fernando, atau Keluarga Ravenclaw.Karena Larry tidak bisa bergerak, dia harus menanganinya sendiri.Ryan mengetahui lokasi kediaman Keluarga Ravenclaw, namun dia juga merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Karena itu, ia memutuskan untuk kembali ke apartemennya terlebih dahulu.Menggunakan telepon rumah, Ryan menghubungi Conrad Max dan memintanya membawakan beberapa tanaman obat.Setengah jam kemudian, Conrad Max tiba dengan semua yang diminta. Ketika melihat Ryan, matanya dipenuhi ketakutan sekaligus kekaguman. Insiden di arena seni bela diri telah tersebar ke seluruh ibu kota–bagaimana Lucas Ravenclaw gagal mengalahkan Ryan, dan seorang Guardian terbunuh!Ryan kini menjadi yang tak terbantahkan dalam peringkat grandmaster Nexopolis. Dan dia mencapai prestasi ini di usia dua puluhan–sesuatu yang belum pernah terjadi s
Di Guild Round Table, Ryan membuka mata tepat pukul lima sore. Ia duduk tegak, merasakan luka-lukanya telah pulih signifikan. Yang mengejutkan, entah bagaimana ia berhasil menembus ke ranah Golden Core tingkat kelima. "Bagaimana ini bisa terjadi?" Wajah Ryan menunjukkan sedikit keterkejutan. Ia terluka parah dan belum mengedarkan teknik kultivasi. Bagaimana mungkin bisa menembus tingkatan dengan sendirinya? Ini sungguh aneh. Apakah hal seperti ini benar-benar mungkin? Saat Ryan masih terheran-heran dengan terobosan tiba-tiba ini, perhatiannya tertuju pada batu giok naga yang melayang di udara. Energi qi mengalir deras dari batu itu memasuki tubuhnya. "Mungkinkah karena Kuburan Pedang?" gumamnya sambil mengepalkan tangan. Batu Giok Naga itu kembali muncul di telapak tangannya. "Larry seharusnya sudah membawa ayah kembali sekarang." Ryan menatap batu di tangannya dengan penasaran. "Aku juga harus menanyakan padanya tentang batu ini. Apa sebenarnya hubungan antara Keluar
Larry terjebak dalam situasi sulit. Di satu sisi ada perintah Ryan, di sisi lain dia berhadapan dengan Guardian yang bahkan tidak segan mengancamnya secara terbuka. Pada saat itu, tetua Sekte Hell Blood keluar dengan senyum menjilat. Dia membungkuk dalam pada Zeke Fernando. "Tetua Zeke, sungguh suatu kehormatan Anda berada di sini!" Larry tertegun. Zeke Fernando adalah tetua Sekte Hell Blood? Dan dari cara tetua lain membungkuk padanya, jelas statusnya sangat tinggi dalam sekte tersebut! Amarah membuncah dalam dada Larry saat menyadari pengkhianatan ini. Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Zeke Fernando melirik tetua yang membungkuk padanya dan mendengus. "Dasar tidak berguna! Kau bahkan tidak bisa menangani masalah kecil seperti ini dengan benar. Memalukan nama Sekte Hell Blood!" Wajah tetua itu memucat. Dia hanya bisa menunduk dalam-dalam, tidak berani membantah. Setelah menimbang situasi dengan cermat, Larry berkata, "Tuanku, aku bisa melepaskan
Setelah beberapa saat menenangkan diri, tetua itu mengambil keputusan. "Jika tenaga medis Nexopolis tidak cukup kompeten, kita akan membawa mereka ke Gunung Langit Biru! Para praktisi di sana pasti bisa menyembuhkan mereka." "Ya, sebaiknya kita segera pergi dari sini..." Namun sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, seorang pelayan bergegas masuk dengan wajah panik. "Tuan! Gawat! Kediaman ini telah dikepung pasukan praktisi! Larry Brave sudah menerobos masuk!" "Apa?!" Aaron Ravenclaw menggeram marah. "Larry berani menyerang Keluarga Ravenclaw?" Dia melirik tetua Sekte Hell Blood dan membungkuk hormat. "Tuan, saya akan segera kembali." Tetua itu menatap rekannya yang terluka dan Lucas Ravenclaw sebelum mengangguk. "Jika ada masalah, beritahu saja. Kekuatan Sekte Hell Blood bukan sesuatu yang bisa diganggu semut-semut kecil." Aaron Ravenclaw bergegas menuju aula utama dimana lebih dari selusin praktisi keluarga sudah bersiaga. "Larry," sapanya dengan tawa mengejek. "Bukankah kau p
Larry menyapu pandangannya ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah arena sebelum beralih pada kerumunan penonton. Hanya ada satu emosi yang terpancar dari mata mereka–ketakutan yang begitu dalam. Apa yang baru saja terjadi di sini telah meninggalkan trauma yang tak terhapuskan. Larry bisa merasakannya dari atmosfer mencekam yang menyelimuti arena. "Apa sebenarnya yang terjadi?" gumamnya sambil mengedarkan pandangan. Matanya menangkap sosok pemuda yang dikenalnya–salah satu murid dari akademi bela diri tempatnya mengajar dulu. Tanpa ragu Larry menghampirinya. "Kau, ceritakan padaku apa yang terjadi di sini!" Tubuh pemuda itu masih gemetar hebat. Dengan terbata dia menjawab, "Pa-paman Larry... Ryan, dia..." "Ada apa dengan Ryan?" desak Larry. "Dia melumpuhkan Lucas Ravenclaw..." Larry mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?" "Bahkan para tetua Sekte Hell Blood tidak sebanding dengannya..." lanjut pemuda itu dengan suara bergetar. "Ryan mengalahkan mereka semua dengan mudah!"
Pemuda yang tadinya dianggap sombong dan tidak tahu diri itu ternyata masih berdiri tegak di arena. Meski tampak sangat lemah, fakta bahwa dia masih hidup membuat semua orang tercengang. "Dia... dia masih hidup?" "Bagaimana mungkin? Anak ini benar-benar beruntung!" Di tengah bisik-bisik kebingungan, seseorang tiba-tiba menunjuk ke suatu arah dengan mata terbelalak. "Lihat! Guardian itu... Guardian itu mati!" Serentak semua mata mengikuti arah yang ditunjuk. Di kejauhan, tubuh sang Guardian tertancap kaku di dinding, berlumuran darah dan tak bernyawa. Keheningan mencekam menyelimuti arena. Tidak ada yang berani bersuara, semua wajah dipenuhi ketidakpercayaan. Dengan satu serangan pedang, Ryan telah membunuh seorang Guardian! "Mustahil..." bisik seseorang gemetar. "Sejak kapan Guardian menjadi selemah ini?" Semua orang menghirup udara dingin saat mata mereka beralih pada sosok Ryan. Tubuh mereka gemetar tanpa bisa dikontrol. Pemuda yang tadinya mereka remehkan kini tamp
Selama ini Ryan menyimpan Pedang Clarent, menunggu momen yang tepat. Sebelumnya ia masih waspada terhadap para praktisi tersembunyi yang mungkin mengawasi pertarungan. Tapi sekarang, meski enggan menggunakannya, Ryan tidak punya pilihan lain. Guardian sialan ini benar-benar membuatnya murka. Menyerahkan teknik bela dirinya? Melumpuhkan kultivasi? Ide konyol macam apa itu? "Aku memberimu waktu sepuluh detik untuk memikirkannya," ucap Guardian itu dengan nada angkuh. "Sepuluh..." "Tidak perlu menghitung," potong Ryan datar. "Aku menolak." Ekspresi Guardian itu membeku sejenak sebelum wajahnya dipenuhi amarah. "Karena kau menolak, aku akan menghargai keinginanmu! Kau benar-benar kelelahan dan sangat lemah, jadi mari kita lihat bagaimana rencanamu untuk bertahan hidup." Detik berikutnya, hembusan angin kencang menerpa arena saat gelombang tekanan tak terlihat menyapu. Guardian itu berdiri dengan angkuh, memancarkan aura bagai dewa yang tak tersentuh. Kepala Keluarga Jorge