Terima Kasih Kak Jaz dan Kak Usman atas dukungan Gem-nya.(. ❛ ᴗ ❛.) ini adalah bab bonus hari ini. Akumulasi Gem: 27-09-2024 (Malam): 4 Gem tinggal satu Gem lagi, dapet bonus bab nih, hehehehe... othor minta maaf bab bonus ini agak terlalu malam update-nya, karena lagi ada banyak tugas di kantor. oke, selamat membaca(◠‿・)—☆
John Doo membeku di tempat ketika dia mendengar suara itu. Dia tahu betul milik siapa suara itu berasal. Satu tahun yang lalu, dia harus mendengarnya hampir setiap hari di kantornya. Ini adalah suara Jeremy Blackwood, pemilik Blackwood Corporation—keberadaan yang tak terbantahkan di seluruh perusahaan. Jantung John Doo berdegup kencang. Setelah didiagnosis menderita penyakit kanker paru-paru, Jeremy Blackwood berhenti muncul di kantor. Semua direktur di perusahaan itu tampaknya berpikir bahwa Blackwood Corporation akan terjerumus dalam perang warisan dan posisi CEO mungkin akan jatuh ke tangan anak-anak Jeremy Blackwood. John Doo sendiri cukup beruntung mendapat jabatannya sebagai CFO pada situasi ini. Ketika semua orang mulai panik di perusahaan, ayahnya—demi mendapatkan lebih banyak saham—mendorong John Doo ke garis depan. John menyadari bahwa dia tidak akan pernah bisa mendapatkan posisi itu dengan kemampuannya sendiri. Dan sekarang, pemilik asli Blackwood Corperation
Ryan terdiam sejenak, matanya menatap Jeremy Blackwood dingin dan berkata, "Aku memberimu, keluarga Blackwood, kesempatan. Tapi kalian tidak menghargainya!" Nada suara Ryan yang dingin membuat semua orang di ruangan itu terdiam. Jeremy Blackwood, yang tadinya penuh percaya diri, kini terlihat gugup. Dia tidak menyangka Ryan akan sesulit itu untuk dibujuk dan disanjung. Dengan ragu-ragu, Jeremy berkata, "Ini salahku karena tidak mendidik anak-anakku dengan baik, Tuan Ryan. Hari ini, aku akan meminta maaf kepadamu karena sikap anakku yang memalukan itu!" Setelah mengatakan itu, Jeremy Blackwood berbalik dan berteriak kepada pria yang merajuk di sudut, "Morris! Datanglah kemari dan cepat minta maaf secara langsung kepada Tuan Ryan!" Morris, yang sedari tadi bersembunyi di sudut ruangan, keluar dengan enggan. Wajahnya merah padam, campuran antara malu dan marah. Dia berdiri di depan Ryan dengan kepala tertunduk, tidak mengatakan apa pun. "Apa yang kau tunggu?" bentak Jeremy. "Ber
Setelah Jeremy pergi, Hanna tersentak bangun dari lamunannya dan menarik tangan John. "John, apa yang harus kita lakukan..." Suara Hanna yang genit dan manja membuat John tidak tahan lagi. Dengan gerakan cepat, dia mengangkat tangannya dan menampar Hanna dengan keras, suara tamparannya bergema di seluruh ruangan. "Semua ini salahmu, JALANG!" teriak John, matanya berkilat penuh amarah. "Kaulah alasan aku kehilangan segalanya! Beraninya kau bertanya padaku apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Kau ingin mati? Gali lubang dan kubur dirimu " "S-sayang…" Hanna mencoba berbicara, namun belum sempat eia menyelesaikan perkataannya, John mendaratkan tendangan pada tubuhnya yang masih terhuyung. "Lebih baik kau tutup mulut dan matamu yang merendahkan itu! Tidak akan ada yang bisa menyelamatkanmu selanjutnya! Minggir dari sini!" Wajah Hanna sepucat kertas, bibirnya bergetar menahan tangis. Matanya telah kehilangan cahayanya yang dulu, digantikan oleh ketakutan dan keputusasaan. Dia
Selama dua jam penuh, Ryan telah menyadari bahwa Jeremy Blackwood mengikuti mereka. Pria tua itu sering kali tampak hendak berbicara tetapi akhirnya menelan kata-katanya. Ryan tidak menghiraukannya dan membiarkan Jeremy Blackwood mengikuti mereka sesuka hatinya. Ryan yakin, seseorang yang berada di ambang kematian tidak akan mampu berbuat banyak. "Ryan," bisik Adel, mendekatkan dirinya ke Ryan. "Bukankah orang yang terus mengikuti kita itu Jeremy Blackwood?" Ryan mengangguk santai. "Ya, biarkan saja dia. Dia tidak akan mengganggu kita." Adel menatap Ryan dengan pandangan bingung. "Tapi... bukankah dia orang penting? Apa tidak apa-apa membiarkannya seperti itu?" Ryan tersenyum misterius. "Percayalah padaku, Adel. Semua akan baik-baik saja." Setelah pesta belanja mereka berakhir, Ryan dan Adel menggunakan lift ke tempat parkir. Begitu mereka menemukan mobil dan hendak meletakkan pakaian, mereka melihat Jeremy Blackwood membawa setumpuk pakaian. "Kenapa kamu di sini?" tanya
Kota Golden River, di tengah kawasan perumahan yang tenang, sebuah rumah besar bertengger di tengah danau. Bangunan megah itu berdiri kokoh, dikelilingi oleh taman yang luas dan terawat sempurna. Ini adalah kediaman salah satu keluarga paling berpengaruh di Golden River—Keluarga Hilton! Sejarah Keluarga Hilton di Kota Golden River dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno Nexopolis, di mana leluhur Keluarga Hilton adalah seorang jenderal di kerajaan Nexopolis ratusan tahun lalu, sebelum akhirnya berubah menjadi Republik Nexopolis seperti sekarang ini. Konon, jenderal legendaris itu pernah pergi berperang sendirian dan membunuh hampir ribuan musuhnya, sebelum akhirnya berhasil mundur dari perang dengan selamat. Sejak saat itu, nama Keluarga Hilton semakin makmur dan disegani. Meski perlahan-lahan mengalami kemunduran seiring berjalannya waktu, Keluarga Hilton berhasil mempertahankan kedudukan mereka di antara Empat Keluarga Besar di Kota Golden River. Posisi mereka tetap tidak te
*Apartemen Grand City* Ryan dan Adel kembali ke apartemen dengan cukup banyak tas belanjaan. Suasana hangat menyambut mereka begitu melangkah masuk, kontras dengan keributan yang baru saja mereka alami di mal. Adel, yang masih diselimuti euforia setelah sesi belanja mereka, segera menuju dapur. "Aku akan menyiapkan makan malam spesial untuk merayakan hari ini!" serunya riang. Ryan tersenyum melihat antusiasme Adel. "Kau tidak perlu repot-repot," ujarnya, meski dalam hati ia senang dengan perhatian Adel. "Tidak apa-apa," balas Adel sambil mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas. "Anggap saja ini ucapan terima kasihku untuk semua yang terjadi hari ini." Hampir setengah jam berlalu, aroma lezat mulai menguar dari dapur. Adel sibuk memasak, sementara Ryan duduk di meja makan, mengamati dengan takjub keterampilan Adel di dapur. Tak lama kemudian, Adel menyajikan hidangan yang membuat mata Ryan melebar: dua piring ayam panggang lada hitam, sepiring sayur capcay, dan semangkuk sup jamur.
Ryan sedikit tercengang dengan pertanyaan itu. Akan tetapi, dia langsung terkekeh setelah itu, berpura-pura memasang ekspresi garang. "Benar sekali. Sejujurnya, aku adalah pembunuh profesional kelas atas. Aku bisa melompat dari atap ke atap, serta melompati tembok. Dan aku telah membunuh banyak orang. Kau yakin masih ingin membiarkanku tinggal di apartemenmu? Kalau-kalau aku punya pikiran mesum, hehe..." Adel menghela napas lega saat mendengar jawaban Ryan. Di dunia ini, tidak ada pembunuh yang akan mengakui dirinya sebagai pembunuh begitu saja. Terlebih lagi, melihat tingkah laku Ryan, masuk akal jika dia suka menghajar seseorang, tapi membunuh? Apalagi membunuh orang-orang terkemuka di Kota Golden River? Itu terlalu jauh. "Berhentilah membual," ujar Adel, menggelengkan kepalanya. "Untuk beberapa hari ke depan, kita harus pulang lebih awal. Pembunuhnya pasti masih berada di Kota Golden River dan siapa tahu mereka akan datang mencari kita suatu hari nanti? Kau dengar aku? Jangan
Lindsay berbalik. Sambil menggoyangkan tubuhnya yang menggairahkan, dia berjalan santai ke depan Ryan. "Sepertinya aku benar, kau benar-benar Ryan yang seharusnya meninggal lima tahun lalu. Siapa mengira yang orang terkenal tidak berguna dari Keluarga Pendragon itu tidak hanya kembali, tetapi juga membawa kekuatan yang mengerikan bersamanya…" Sebelum Lindsay selesai berbicara, sepasang tangan besar mencengkeram lehernya yang jenjang dan mengangkatnya. Tiba-tiba, seluruh tubuhnya merasakan sensasi dingin yang mencekam, seolah-olah ia berada di gua es. "Apa yang ingin kamu katakan?" desis Ryan, suaranya rendah dan berbahaya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Ryan melepaskan cengkeramannya dan melempar Lindsay. Dengan refleks yang terlatih, Lindsay menahan jatuhnya dengan salto ke belakang. Wajahnya tampak tercengang, tidak menyangka Ryan akan bereaksi sekeras itu. Seni bela diri kuno yang dipelajari Lindsay memang tidak terlalu kuat, tetapi juga bukan sesuatu
Ibu Yura Dustin yang tadinya tak sadarkan diri perlahan membuka mata. "Ibu! Ibu baik-baik saja?" Yura nyaris menangis bahagia. "Air... aku mau air hangat..." pinta sang ibu lemah. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arah Ryan. Permintaan itu persis seperti yang ia prediksikan! Seorang pramugari bergegas mengambilkan air hangat. Setelah meminumnya perlahan, warna mulai kembali ke wajah ibu Yura. Wanita itu menatap Ryan dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. Namun melihat pemuda itu sedang beristirahat, ia memilih diam. "Berkat pemuda ini aku baik-baik saja," ujarnya lembut pada kerumunan. "Semuanya silakan bubar." Sang dokter masih ingin protes, namun petugas keamanan segera membawanya pergi ke belakang. Keributan mereda, namun tatapan penasaran terus tertuju pada Ryan sepanjang sisa penerbangan. Para penumpang kelas satu yang kebanyakan pebisnis dan tokoh berpengaruh bisa merasakan ada yang istimewa dari pemuda misterius itu. Banyak yang ingin menyerahkan kartu nama,
Pramugari yang dipanggil segera membuat pengumuman mencari dokter di pesawat. Tak lama kemudian seorang dokter datang memeriksa kondisi wanita itu. "Apa penyakit ibumu?" "Dokter, ibu saya menderita CORD stadium akhir," Yura menjelaskan panik. "Selama ini bergantung pada obat, tapi sekarang obatnya hilang..." "Apa?!" sang dokter melotot. "Kenapa bepergian dengan penyakit seserius itu? Kau tidak tahu ini butuh pengobatan rutin?" Tanpa buang waktu ia memberi instruksi pada pramugari. "Cepat beritahu kapten untuk mendarat di kota terdekat! Kalau tidak, bahkan dokter ajaib pun tak akan bisa menyelamatkannya!" Tepat saat pramugari hendak berlari ke kokpit, sebuah suara tenang terdengar. "Tidak perlu mendaratkan pesawat. Aku bisa menolongnya." Semua mata tertuju pada Ryan. Yura masih panik–dia tahu betul betapa mengerikannya PPOK stadium akhir. Tanpa obat dan peralatan medis profesional, mustahil mengobatinya! Sang dokter mendengus. "Jangan bercanda! Nyawa sedang dipertaruhkan!"
Pagi itu, suasana Bandara Riveria tampak ramai seperti biasa. Di area keberangkatan domestik, Ryan berdiri dengan santai diapit oleh dua wanita cantik–Adel dan Rindy. "Kau yakin tidak mau kami ikut?" tanya Adel dengan nada khawatir. Tangannya menggenggam lengan Ryan erat, enggan melepaskan. Ryan tersenyum tipis. "Tidak perlu. Selain itu, Galahad dan Lancelot akan menjaga kalian selama aku pergi." Ia melirik kedua pengawalnya yang berdiri tak jauh dari sana. "Lagipula, aku hanya pergi sebentar. Paling lama satu minggu." "Tapi..." Adel masih tampak ragu. "Sudahlah," Rindy menyela sambil tersenyum jahil. "Biarkan saja dia pergi. Toh dia pasti akan kembali–kecuali kalau dia berani selingkuh di Ibu Kota." Ryan tertawa kecil mendengar ancaman terselubung itu. Ia mengacak rambut Rindy dengan gemas. "Mana berani aku selingkuh kalau punya dua wanita secantik kalian?" "Gombal!" Rindy menepis tangan Ryan dengan wajah merona. Pengumuman keberangkatan pesawat RD8978 menggema di terminal,
Ryan menepuk bahu Lancelot dengan gestur menenangkan. "Masalah ini tidak mendesak," ujarnya tenang. "Aku akan berangkat ke Ibu Kota lebih dulu. Kau dan yang lain dari Guild Round Table bisa menyusul nanti. Saat ini, fokusmu haruslah meningkatkan kekuatan." "Baik, Ketua Guild," Lancelot membungkuk hormat. Setelah berpamitan dengan kedua bawahannya, Ryan teringat sesuatu. Eagle Squad pasti memiliki pengaruh di Ibu Kota–akan lebih mudah jika mereka yang mengatur perjalanannya. Baru saja ia hendak menghubungi Sammy Lein, sebuah mobil yang terparkir di luar vila membunyikan klakson. Ryan menggeleng geli sebelum melangkah menuju kendaraan itu. Seperti dugaannya, Sammy Lein dan Patrick telah menunggu di dalam. "Jangan bilang kalian menunggu di sini selama sepuluh hari," godanya sambil masuk ke dalam mobil. "Aku tak akan percaya." Sammy Lein tertawa canggung. "Tuan Ryan mungkin tidak tahu, tapi Eagle Squad telah beberapa kali mencoba menemui Anda. Nona Rindy selalu mengatakan Anda
"Muridku," suaranya bergema dalam kekosongan, "di dunia ini terdapat 3000 Dao Besar dan Dao Kecil yang tak terhitung jumlahnya! Sepanjang hidupku, aku menekuni Dao Pembantaian dan niat pedang." Pedang Suci Caliburn berdengung di tangannya, beresonansi dengan kata-katanya. "Pedang adalah raja dari segala senjata. Baik untuk menyerang maupun bertahan, tak ada yang menandinginya!" "Pedang Pembelah Langit yang akan kuwariskan padamu memiliki tiga jurus. Setiap jurus mengandung hukum Dao Agung yang kusempurnakan. Jika kau memiliki kekuatan yang cukup, teknik ini mampu menghancurkan langit itu sendiri!" "Itulah mengapa ia dinamakan Pedang Pembelah Langit!" Lelaki tua itu mengacungkan Caliburn tinggi-tinggi. Niat pedang yang terpancar darinya begitu pekat hingga membuat udara bergetar. Ryan bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang hanya dengan menatapnya. "Jurus pertama–Naga Membelah Langit!" Pedang di tangannya bergerak bagai kilat, menciptakan bayangan naga raksasa yang me
Sebagai kultivator yang baru mengenal enam ranah–Body Tempering, Qi Gathering, Foundation Establishment, Golden Core, Nascent Soul, dan Heavenly Soul–Ryan paham betul besarnya kesenjangan kekuatan mereka. Setiap ranah terbagi menjadi sembilan tingkat. Dan kini, sebagai kultivator Foundation Establishment, ia harus menghadapi praktisi ranah Nascent Soul! 'Bagaimana mungkin aku bisa menang?' batinnya frustrasi. Seolah membaca pikirannya, lelaki tua itu melepaskan sinar pedang ke arah kepala Ryan. Dalam sekejap ia telah muncul di hadapan pemuda itu. "Kau ingin tahu mengapa aku menggunakan ranah yang jauh lebih tinggi?" suaranya dalam dan berat. "Akan kuberitahu!" "Dao Pembantaian berada di ambang hidup dan mati," lelaki tua itu melanjutkan dengan nada serius. "Dengan teknik ini, kau bahkan bisa membunuh mereka yang jauh lebih kuat darimu!" Dia menghentakkan pedangnya, menciptakan gelombang tekanan yang membuat Ryan terhuyung. "Jika kau mampu bertahan dari seranganku, kelak saat meng
Di sebuah bangunan megah nan misterius di Ibu Kota, Lucas Ravenclaw duduk dengan tenang sembari menyeka pedangnya yang berwarna merah darah. Pedang itu berpendar dengan energi qi yang tak kalah kuat dari Pedang Suci Caliburn. Meski tak melepaskan aura apapun, kehadirannya saja sudah menciptakan tekanan berat yang membuat orang biasa kesulitan bernapas. Di hadapannya, seorang lelaki tua berambut putih berlutut dengan tubuh gemetar. "Tuan Lucas, saya telah menyelidiki orang-orang yang mengikuti Anda hari ini. Mereka berasal dari Provinsi Riveria, namun asal-usul sebenarnya masih belum jelas." "Heh," Lucas Ravenclaw mendengus dingin. "Sudah bertahun-tahun berlalu, belum ada yang berani berbuat kurang ajar seperti ini. Apakah mereka ingin mati?" "Terus selidiki. Begitu tahu siapa yang mengirim mereka, bunuh semuanya. Jangan sisakan satu pun." Lelaki tua itu mengangguk patuh sebelum teringat sesuatu. "Tuan Lucas, mengapa Anda tiba-tiba kembali ke Ibu Kota kali ini?" Lucas Ravenclaw
Ryan melepaskan pelukannya dari Rindy dan duduk di sofa. Ia tak ingin membuat kedua gadis itu khawatir dengan menceritakan pertarungannya melawan Sergei Anri dan Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural. "Hanya urusan bisnis biasa," jawabnya santai. "Beberapa masalah kecil yang harus diselesaikan." Meski ekspresi kedua gadis itu menunjukkan ketidakpercayaan, mereka memilih tidak mendesak lebih jauh. Jika Ryan memilih menyembunyikan sesuatu, pasti ada alasannya. Ryan bangkit untuk mengambil segelas air. Saat meneguknya, ia teringat sesuatu yang penting. "Ada yang harus kuberitahu pada kalian," ujarnya serius. "Aku perlu berlatih dalam isolasi selama sepuluh hari ke depan untuk sebuah terobosan penting dalam kultivasiku." Ia meletakkan gelasnya sebelum melanjutkan, "Selama sepuluh hari ini, aku akan mengurung diri di kamar lantai tiga. Galahad dan beberapa praktisi dari Guild Round Table akan berjaga di luar. Jika kalian perlu keluar, mereka harus menemani kalian." "Penga
"Tuan Ryan, kumohon lepaskan ayahku!" jeritnya serak. Jika sang ayah tewas, Keluarga Anri akan kehilangan pilar pendukungnya! Meski merasa kasihan pada temannya, Juliana tetap berkata tegas, "Tuan Ryan, Anda tidak perlu mempertimbangkan perasaan saya. Dia pantas mati." Jika Sergei Anri dibiarkan hidup, dia pasti akan mencari kesempatan membalas dendam. Dan saat itu terjadi, keluarga Herbald pasti akan terseret. Melihat Juliana tak berniat campur tangan, Riselotte semakin putus asa. "Tuan Ryan, aku bersedia melakukan apapun! Kumohon lepaskan ayahku!" "Membiarkannya pergi?" tanya Ryan tenang. Mendengar nada lunak itu, harapan membuncah dalam dada Riselotte dan Sergei Anri. "Ya, ya!" Riselotte mengangguk penuh semangat. Namun detik berikutnya, kilatan dingin melesat–kepala Sergei Anri terpisah dari tubuhnya. "Mengapa aku harus mendengarkanmu?" suara Ryan bergema dingin memenuhi ruangan. "Jika kulepaskan dia hari ini, siapa yang akan melepaskanku di masa depan?" "Tidak membunuhmu