"Mas Farhan?" Rosita sangat terkejut dengan kehadiran Farhan."Kenapa kamu kaget seperti itu?" tanya Farhan sambil menatap Rosita, Rosita tampak salah tingkah."Hanya kaget saja, Mas." Rosita menjawab dengan pelan untuk menutupi kegugupannya. Ia menatap ke arah Melia dengan penuh selidik. Seketika ia merasa takut kalau sampai Melia menceritakan yang sesungguhnya terjadi.Farhan berjalan menuju ke pintu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berusaha membuka pintu."Mas, mau kemana?" tanya Rosita."Apa perlu aku jawab?" Farhan balik bertanya dengan ketus."Aku bertanya baik-baik tapi Mas malah menjawab seperti itu." Rosita malah mengomel. Farhan menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke arah Rosita."Kalian berdua sudah tidak menganggapku lagi. Aku mau pulang, nanti barang-barang kalian aku kemasi dan aku kirim ke rumah Ibu. Jadi kalau kalian pulang, langsung pulang ke rumah Ibu. Jangan pulang ke rumahku." Farhan berkata dengan tegas dan penuh amarah.Rosita terkejut mendengar kata
"Halo, Bu Rosita," sapa Liqa."Li..Liqa?" Rosita kaget mendengar suara Liqa."Iya, Bu. Ini Liqa.""Ada ayahmu disitu?""Ayah tidak mau menerima telepon dan menyuruh Liqa yang menerimanya. Ada pesan apa, nanti Liqa sampaikan.""Nggak ada, hanya tanya saja." Rosita mengakhiri panggilannya.Liqa memberikan ponsel pada Farhan."Ada apa?" tanya Farhan Liqa hanya mengangkat bahu saja."Nggak jelas, Yah! Ayah berantem dengan Bu Rosita ya?" tanya Liqa.Farhan menghela nafas panjang, kemudian menceritakan inti masalah saja. Tidak sampai detailnya."Terus apa yang akan Ayah lakukan?" tanya Liqa. "Sebelum mereka jujur pada Ayah, Ayah tidak akan menerima mereka.""Apa Ayah tidak kasihan dengan Melia yang sedang hamil?""Untuk apa dikasihani? Melia tidak menyayangi dirinya sendiri. Kamu tahu Liqa, kalau waktu bisa diputar kembali, Ayah tidak akan membuat ibumu dan kalian hidup menderita. Ayah bukanlah suami dan ayah yang baik." Nada suara Farhan penuh dengan penyesalan."Tapi menyesal pun sekara
Farhan dan Liqa langsung menoleh ke arah suara itu. Ternyata Citra yang sedang berjalan bersama dengan Clara dan Stella.Citra pun mendekati Farhan. Mereka pun tampak saling menyapa. Ada yang lain dengan sikap Clara. Ia tampak ramah dan mau menyalami Farhan dan Liqa. Liqa jadi heran dengan Clara."Tumben sikap Clara jadi baik," kata Liqa dalam hati."Mas, kapan kesini? Kok nggak mampir ke rumah?" tanya Citra."Sudah tiga hari disini, mungkin besok mau pulang.""Oh, Mbak Rosita ikut?""Iya, sedang di kost Melia.""Liqa kok nggak pernah main ke rumah Tante?" tanya Citra mengalihkan pertanyaan pada Liqa. "Maaf Tante, lagi banyak tugas." Citra tersenyum mendengar jawaban Liqa."Sekarang mau kemana?" tanya Citra lagi."Pulang ke kost," jawab Liqa."Ayo ke rumah Tante," ajak Citra.Liqa tampak ragu-ragu."Ayo Mas, ajak Liqa mampir ke rumah." Citra langsung menggandeng tangan Liqa."Iya Mbak Liqa, main ke rumah yuk?" bujuk Stella yang diikuti dengan anggukan kepala Clara."Ayo." Akhirnya F
"Ada apa Mel?" tanya Farhan ketika menerima panggilan itu."Mas, Melia pingsan. Sekarang aku sedang menuju ke rumah sakit." Ternyata Rosita yang menelpon Farhan, ia menggunakan ponselnya Melia. Karena dari tadi ia menelpon Farhan tapi tidak ada tanggapan."Hah! Jangan bercanda kamu!" seru Farhan dengan kesal. Tentu saja ia kesal dengan Rosita setelah tahu pengakuan dari Melia tadi."Bener Mas, aku nggak bohong. Sekarang sudah sampai di halaman rumah sakit menuju ke UGD." Panggilan itu pun terputus.Farhan tampak termangu, ia bimbang antara mau ke rumah sakit atau tidak. Sebenarnya ia kasihan dengan Melia, tapi ia malas berurusan dengan Rosita. Ia tadi sudah bertekad tidak akan berurusan dengan Rosita untuk sementara waktu."Rosita menelpon, katanya Melia pingsan dan sekarang dibawa ke rumah sakit." Farhan berkata dengan pelan."Pingsan kenapa?" tanya Citra."Nggak tahu! Rosita hanya bilang pingsan saja.""Ayo ke rumah sakit, kasihan Melia," saran Citra."Liqa bagaimana?""Kita ajak sa
"Jelas kamu bohong, untuk menutupi kelakuanmu yang menjijikkan itu."Rosita semakin ketakutan dan wajahnya menjadi pucat."Ramuan apa yang kamu berikan pada Melia?" selidik Farhan."Ramuan apa sih, Mas!" Rosita tetap mengelak. Ia tidak berani menatap wajah suaminya."Kalau sampai terjadi apa-apa dengan bayinya, berarti kamu pelakunya! Sudahlah, aku sudah tahu semuanya. Kami memberikan ramuan pada Melia untuk menggugurkan kandungannya.” Farhan yang mengatakan yang ia tahu.Rosita terlihat sangat cemas, Citra mulai menemukan benang merah semua ucapan Farhan dan Rosita tadi."Berarti Melia pingsan karena ramuan dari Mbak Rosita. Benar-benar ibu yang tidak baik, sangat keterlaluan," kata Citra dalam hati.Liqa masih bingung dengan perdebatan antara ayah dan ibu tirinya. Ia berusaha mencerna semua perdebatan itu. Dengan berpikir keras, perlahan ia mulai menemukan apa maksud dari semua itu. "Bu Rosita memang benar-benar kejam. Dengan anak sendiri saja seperti itu, apalagi denganku?" kata L
"Ini ada makanan dan minuman. Makanlah, kamu juga butuh tenaga untuk menjaga Melia nanti." Farhan berkata sambil menyerah sebuah bungkusan. Bagaimanapun juga, Rosita itu istrinya, masih menjadi tanggung jawabnya.Rosita tampak terharu, kemudian tangannya menerima bungkusan dari Farhan. Ia memang merasa lapar dan haus, karena belum sempat makan. Tadi, setelah memberikan ramuan pada Melia, ia sebenarnya mau makan, tapi keburu Melia pingsan.Seketika Rosita cemas, ketika ingat ia belum sempat menyimpan sisa ramuan yang diberikan pada Melia. "Bagaimana kalau Mas Farhan ke kost Melia dan menemukan ramuan itu? Apakah aku sekarang pulang dulu ya, dengan alasan mengambil pakaian. Tapi nanti Mas Farhan malah curiga. Kenapa aku ceroboh sekali," kata Rosita dalam hati, menyesali keteledorannya.Liqa tampak heran ketika melihat wajah Rosita seperti ketakutan."Bu Rosita kenapa ya? Kok seperti ketakutan," kata Liqa dalam hati.Farhan tidak menyadari semua itu, ia sibuk dengan ponselnya.Seketika
"Liqa!" Liqa yang merasa namanya dipanggil, langsung menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata ada Clara yang berjalan mendekati Liqa. Liqa baru saja selesai kuliah, ia ingin pulang untuk beristirahat."Iya, Clara. Ada apa?" tanya Liqa dengan heran sambil menghentikan langkah kakinya."Tumben Clara mendekatiku. Ada apa ya? Semoga ia berniat baik." Liqa bermonolog dalam hati."Sudah selesai kuliahnya?" tanya Clara ketika sampai di depan Liqa. Hari ini Calra terlihat anggun dengan pakaian yang terlihat mahal, berbanding terbalik dengan Liqa yang tampak sederhana."Alhamdulillah, sudah." Liqa masih memikirkan sikap Clara hari ini."Sekarang mau kemana?""Pulang.""Ayo aku antar kamu," tawar Clara. Liqa tampak ragu dengan apa yang dikatakan Clara."Jangan takut, aku tidak berniat jahat padamu. Aku malah ingin berteman denganmu. Bukankah kita ini saudara?" kata Clara menjelaskan."Ayo," ajak Clara, Liqa pun mengangguk mengikuti langkah kaki Clara menuju ke parkir mobil. Tak butuh waktu la
"Aku tidak tahu apa yang kamu rasakan, tapi aku yakin kalau kamu mampu mengatasi semua ini," kata Liqa menguatkan Clara.Clara menghapus air matanya, dengan perlahan ia mulai menceritakan semua permasalahan yang sedang ia hadapi."Beberapa hari aku hanya bisa menangis dan mengurangi interaksi dengan Papa dan Mama, juga dengan Stefan dan Stella. Aku tidak punya teman untuk bercerita dan berkeluh kesah. Akhirnya aku berpikir panjang. Kalau aku mencari orang tua kandungku, apa yang akan aku lakukan kalau sudah bertemu mereka? Bukankah mereka memang sudah membuangku? Apakah mereka akan menerimaku?""Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan Papa dan Mama. Mama sedang menangis, hatiku menjadi tersentuh. Aku pun berpikir lagi. Bukankah selama ini Papa dan Mama yang selalu ada disisiku? Selalu memenuhi kebutuhanku, dan aku merasa sangat bersalah. Selama ini sikapku sangat jelek. Aku benar-benar seperti berada di persimpangan jalan. Aku butuh orang untuk menguatkan aku.""Siang itu aku sengaja
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan