[Mas, aku ke rumah Bapak. Tadi Ibu menelpon lagi, Bapak sakit.][Mas nanti menyusul ke rumah Bapak ya?][Bapak semakin parah, Citra dan Haris juga disuruh pulang sama Ibu.][Mas, kok ponselmu nggak aktif sih! Mentang-mentang sedang bersama Liqa, tidak mau diganggu! Ini penting Mas, Bapak sudah kritis.]"Kalau kritis kenapa nggak dibawa ke rumah sakit?" gumam Farhan.Tak lama kemudian ada pesan yang masuk lagi.[Mas kok nggak menyusulku? Aku menginap di rumah Bapak.]Rosita melihat kalau nomor Farhan sedang aktif karena itu ia pun menelpon Farhan."Mas, kenapa sih kok ponselnya dinonaktifkan?" tanya Rosita."Ngedrop," jawab Farhan."Bapak kritis, Mas.""Sekarang dimana?""Di rumah.""Kalau kritis kenapa nggak dibawa ke rumah sakit?""Bapak yang nggak mau.""Terus disitu hanya menunggu saja? Tanpa pengobatan?""Tadi sudah memanggil dokter."Farhan pun mengakhiri panggilannya, kemudian berganti pakaian dan pergi menuju rumah mertuanya. Sampai dirumah mertuanya, tampak Rosita yang tertid
Brak! Farhan memukul meja makan, wajahnya tampak merah karena dari tadi menahan emosi, dan akhirnya emosi itu ia ledakkan."Kamu itu anak nggak ada sopan santunnya sama orang tua ya? Ayah disini sebagai orang tuamu yang membiayai kamu! Kalau kamu tidak setuju dengan peraturan Ayah, silahkan keluar dari rumah ini, cari Ayah lain yang bisa memenuhi gaya hidup mewahmu itu! Seharusnya kamu itu bersyukur, bisa hidup enak, dibiayai kuliah, diberikan semua yang kamu butuhkan! Tapi apa yang kamu lakukan? Jangankan bersyukur, berterima kasih saja tidak pernah!" Farhan benar-benar marah sampai ia menggebrak meja.Rosita dan Melia sangat kaget mendengar Farhan marah. Terutama Melia, ia sangat shock! Ia pikir Farhan masih tunduk dengan ibunya, ternyata Farhan sudah berubah."Kamu juga terlalu memanjakan Melia, semua keinginannya selalu kamu turuti. Masih mending, aku mau menerima Melia lagi, mengingat ia sudah membuat malu. Bagaimana kalau aku sudah tidak mau menerima Melia disini? Mau tinggal di
"Bu, kembalikan harta Sari yang masih ada. Kita sudah terlalu banyak memakan harta anak yatim-piatu," kata Riswan. Ia berbaring di tempat tidur.Riswan sengaja mengumpulkan anak dan menantunya. Hanya istri Haris yang tidak ikut datang. Semua yang hadir disitu tampak terkejut mendengar penuturan Riswan. Termasuk Farhan. "Harta Sari? Memangnya Sari punya harta?" tanya Rosita."Jangan dengarkan bapakmu! Dia kalau ngomong suka ngelantur. Hartanya Sari sudah habis untuk biaya hidup Sari selama ikut kita," kilah Yana."Bu, kita sudah tua. Bertobatlah, memohon ampunan pada Allah. Ingat kelakuan zalim kita kepada Sari. Beberapa hari ini aku memimpikan Ningsih, mungkin ia menagihku untuk mengembalikan hartanya pada Sari.""Sudahlah, Pak. Bapak istirahat saja, jangan banyak berbicara." Yana masih berusaha mengalihkan pembicaraan ini."Memangnya harta Sari itu banyak?" tanya Rosita lagi."Iya, kami yang menghabiskannya untuk membiayai kalian sampai kuliah. Malah Sari tidak kami kuliahkan. Bapak
"Enak saja milik Sari! Tapi sertifikat itu kan atas nama Bapak semua." Yana tidak terima kalau sertifikat disebut sebagai milik Sari. Ia tahu persis kalau sertifikat-sertifikat itu semua atas nama Riswan. Memang tadinya atas nama orang tua Sari. Tapi begitu orang tua Sari meninggal, dan Sari masih dibawah umur, semua sertifikat diganti atas nama Riswan. Riswan hanya tersenyum mendengar penuturan istrinya, tapi tidak mau menjawabnya. Yana semakin penasaran."Atau jangan-jangan sertifikat itu sudah Bapak ganti atas nama Sari?" tanya Yana sambil menatap tajam suaminya."Sudahlah Bu. Aku capek, ingin tidur dulu," kata Riswan dengan mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.."Kalian keluar saja, aku mau tidur." Riswan berkata sambil memejamkan matanya. Yana, Rosita dan Haris pun keluar dari kamar. Citra masih berada di dalam kamar, ia ingin menunggui bapaknya. Citra memang lebih dekat dengan Riswan, sifatnya pun mirip dengan Riswan."Bapak, cepat sehat ya? Nanti Citra ajak ke rumah Cit
"Kok bawa-bawa Melia," protes Rosita."Diam kamu! Atau semua aku ceritakan disini kelakuanmu dan anakmu!" Farhan menggertak Rosita, Rosita pun terdiam.Yana dan Haris masih penasaran dengan apa yang terjadi diantara Rosita dan Farhan. Tapi melihat sikap Farhan, mereka pun hanya dia saja, tidak berani untuk bertanya lebih dalam lagi.Semua diam termenung dengan pikiran masing-masing."Kalau sampai semua tahu tentang Melia, mereka bakal mencemooh aku. Jangan sampai Mas Farhan buka mulut. Mudah-mudahan Citra dan Irwan juga tidak buka mulut," kata Rosita dalam hati."Kenapa sekarang Rosita tunduk pada Farhan? Pantas saja Rosita jarang memberiku uang, pasti ia sudah tidak berani minta uang dengan Farhan atau Farhan mengurangi jatahnya Rosita." Yana bermonolog dalam hati. Ia pun kemudian masuk ke dalam kamar untuk melihat suaminya."Bagaimana kondisi Bapak?" tanya Yana."Tidur pulas, Bu," jawab Citra yang duduk di kursi dan Irwan berbaring dilantai yang sudah dialasi karpet.Yana mendekati
"Tante Citra, dipanggil Ibu," kata Melia yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Melia langsung masuk kembali ke dalam rumah, tanpa menyapa Bu Tari dan Liqa. Seolah-olah tidak melihatnya."Permisi ya, Bu. Saya ke dalam dulu," pamit Citra."Iya, Nak. Silahkan." Bu Tari berkata sambil tersenyum."Tuh lihat, Melia tidak mau mengenal kita. Persis kayak ibunya." Bu Tari berkata dengan sinis."Biarkan saja, Nek. Anggap saja memang kita tidak saling mengenal." Liqa membesarkan hati neneknya. Tanpa mereka sadari, dari kejauhan Farhan mengamati mereka. Farhan sedih melihat kelakuan anak tirinya yang mengabaikan Bu Tari dan Liqa. Sejak kejadian penggerebekan itu, Farhan sudah tidak mau bertegur sapa dengan Melia. Kalau Melia tidak menyapanya, ia tidak bakal mau menyapa duluan. Sepertinya Melia memang berusaha menghindari Farhan."Kita pulang saja, Liqa," ajak Bu Tari."Iya, Nek.""Pamitan ke dalam dulu ya?" Bu Tari mengajak Liqa masuk ke dalam untuk berpamitan dengan besan perempuannya.Tampa
Di tempat lain, tampak Bu Tari sedang duduk santai bersama suami dan cucunya. Bu Tari masih merasa kesal dengan sikap Rosita dan Melia."Kenapa sih, Bu? Bapak lihat dari tadi kok seperti ada yang dipikirkan?" tanya Pak Umar."Nggak ada apa-apa, Pak. Hanya saja Ibu masih kesal dengan sikap Rosita dan Melia." Bu Tari menjawab pertanyaan suaminya."Sudahlah, Nek! Nggak usah dipikirkan, Liqa sudah biasa kok!" Liqa menimpali ucapan neneknya."Memangnya ada apa?" Pak Umar jadi penasaran. Bu Tari pun menceritakan tentang kejadian tadi. Tentu saja dengan penuh emosi."Nggak usah dipikirkan. Ibu kan tahu bagaimana watak mereka. Anggap saja angin lalu." Pak Umar mencoba menenangkan istrinya yang tampak emosi."Padahal Liqa itu kan anaknya Farhan! Seharusnya ia juga menganggap Liqa sebagai anaknya." Bu Tari masih saja tidak terima dengan sikap Rosita."Liqa nggak apa-apa kok, Nek?" sahut Liqa."Kamu yang sabar ya, Liqa? Kok bisa-bisanya ayahmu terpikat perempuan ular itu." Bu Tari menyesalkan k
"Mbak, kapan sih Mbak Rosita bisa berpikir positif? Selalu saja suudzon. Kalau Mbak pikir aku mau menguasai rumah ini, Mbak salah besar! Aku tidak pernah berpikir akan melakukan itu. Aku hanya ingin merawat Ibu, mumpung aku masih bisa melakukannya." Citra menjawab dengan ketus."Ternyata kamu sadar diri juga ya? Apa mentang-mentang kamu sudah kaya kamu nggak butuh uang? Sombong!" cibir Rosita."Mbak semua orang butuh uang, tapi tidak rakus!" Jawaban Citra terasa menampar wajah Rosita."Kamu pikir aku rakus ya?" Rosita membentak Citra."Nggak ada yang ngomongin Mbak rakus, aku hanya mengingatkan diriku sendiri supaya jangan rakus." Citra masih berdebat dengan Rosita."Sudahlah, jangan ribut-ribut! Malu kalau sampai tetangga mendengarnya!" Haris berkata cukup keras untuk melerai perdebatan antara kakak dan adik Haris.Terdengar suara ribut-ribut di kamar, sampai berteriak-teriak. Semua yang ada disitu segera menuju ke kamar."Ada apa ini?" teriak Rosita ketika melihat Melia dan Clara ad
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan