“Liqa, ada yang nyariin,” kata Sari ketika membuka pintu kamar Liqa.“Siapa, Bu?” Sari belum sempat menjawab, karena ia langsung keluar kamar lagi.“Siapa sih malam-malam gini nyariin aku,” kata Liqa sambil melihat jam yang ada di ponsel menunjukkan angka tujuh.Liqa beranjak dari kasurnya, bercermin sebentar dan kemudian keluar menemui orang yang mencarinya. Seketika jantung berdebar-debar melihat siapa yang datang.“Mas Keenan?” Seakan Liqa tidak percaya dengan sosok yang ada di depannya. Karena tadi siang, Keenan tampak mengabaikannya. Keenan tersenyum melihat Liqa yang duduk di sampingnya.“Apa kabar, Liqa?” sapa Keenan.“Alhamdulillah, kabar baik. Tumben Mas kesini malam-malam.”“Kangen.” Keenan menjawab sambil menatap Liqa, membuat wajah Liqa bersemu merah. Keenan tertawa melihat wajah Liqa yang tersipu malu.“Bisa kita bicara diluar? Maksudku aku mau mengajakmu keluar.” “Memangnya ada apa? Apakah penting?” tanya Liqa dengan heran, tapi jantungnya masih berdebar-debar.“Penge
“Kalau aku boleh tahu, siapa perempuan yang bersama Mas tadi.” Gantian Liqa yang bertanya pada Keenan.“Kalau melihat gestur tubuhnya, sepertinya dia ada rasa dengan Mas,” lanjut Liqa.“Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?” tanya Keenan.“Ya, tau aja! Keliatan kok.” Liqa bingung menjelaskannya.Keenan menghela nafasnya.“Memang Dian pernah berkata kalau ia menyukaiku. Pernah juga beberapa kali ribut dengan Clara karena masalah sepele. Setelah tahu aku putus dengan Clara, ia aktif mendekatiku lagi.” Keenan berkata dengan perlahan.“Terus Mas menanggapi?” “Enggaklah. Aku kan sudah punya kamu.”Ucapan Keenan membuat Liqa tersipu malu.“Tapi Dian itu cantik lho,” kata Liqa.“Cantik itu hanya fisik saja. Yang terpenting adalah seseorang yang membuat aku merasa nyaman. Dan itu aku rasakan ketika bersamamu.”Keenan berhenti sejenak, kemudian menatap Liqa dan melanjutkan berbicara.“Apa yang pernah aku katakan padamu, masih berlaku sampai sekarang. Aku memintamu mendampingi wisudaku dan aku
"Liqa!" Seseorang memanggil Liqa, Liqa menoleh dan dia sangat terkejut melihat siapa yang datang dan menghampiri mereka. Ternyata Salsa dan Sari yang baru saja datang."Salsa, Ibu?" Liqa serasa tidak percaya dengan penglihatannya. "Aku yang meminta Salsa untuk menjemput Ibu," kata Keenan menjawab rasa penasaran Liqa."Kok Ibu nggak bilang kalau mau kesini," sahut Liqa."Ibu nggak tahu. Begitu kamu berangkat, Salsa langsung datang. Sampai-sampai ia menunggu Ibu beres-beres rumah bahkan membantu Ibu. Nggak sempat lagi mau ngabarin kamu." Sari membela diri.Keenan memperkenalkan Sari pada orang tuanya. Setelah berbasa-basi, mereka pun duduk di meja yang sudah dipesan oleh Keenan. Rumah makan itu tampak ramai. Banyak orang yang datang bersama keluarganya, sepertinya mereka juga selesai wisuda dan makanan bersama keluarga.Makanan pesanan Keenan sudah mulai datang. Mereka menyantap makanan sambil berbincang penuh kekeluargaan."Apa rencana Mas Keenan setelah wisuda?" tanya Salsa."Oh, aku
Ceklek! Liqa membuka pintu, ia sangat terkejut melihat siapa yang datang."A-ayah." Suara Liqa terdengar sangat gugup. "Iya, Liqa. Ini Ayah." Farhan tersenyum."Mbak, kami nggak boleh masuk, ya?" tanya Aksa yang datang bersama dengan ayahnya."Eh, iya." Liqa menyadari kalau ia berdiri di pintu membuat orang lain tidak bisa masuk ke dalam rumah. Ia pun mempersilahkan ayah dan adiknya masuk."Siapa yang datang, Liqa?" Terdengar suara Sari bertanya pada Liqa.Farhan tampak bahagia mendengar suara yang selama ini ia rindukan."Mas Farhan," gumam Sari yang muncul di ruang tamu. Jantungnya berdetak dengan kencang melihat sosok yang pernah membuatnya bahagia dan membuat luka dihatinya."Iya," sahut Farhan dengan suara bergetar."Aksa, kapan kalian sampai disini?" tanya Sari untuk mengatasi kegugupannya. Sari tentu saja sangat terkejut dengan kedatangan mantan suaminya. Ia sudah lama tidak bertemu dengan Farhan, setelah Farhan keluar dari rumah sakit itu. Bahkan ketika ia dan Liqa bersama,
"Eh, Mas, sudah bangun? Mau aku buatkan kopi?" tanya Sari, ia tampak gugup hanya berdua saja dengan Farhan."Boleh."Sari pun segera membuatkan kopi untuk Farhan. Ia masih ingat kopi kesukaan mantan suaminya itu."Ini Mas, kopinya." Sari meletakkan kopi di meja kecil."Iya, terima kasih." Farhan tersenyum."Sini temani aku ngobrol," ajak Farhan. Mau tidak mau, Sari pun duduk."Aku belum mengucapkan terima kasih padamu, karena kamu mau membantu merawatku di rumah sakit. Sampai kapanpun aku akan mengingat kebaikanmu.""Aku melakukannya karena Mas adalah ayah dari Liqa dan Aksa," kilah Sari."Iya, aku tahu. Karena itu aku mengucapkan terima kasih. Semoga kamu selalu sehat dan bahagia.""Sama-sama, semoga Mas juga selalu sehat.""Kalau boleh tahu, apa kegiatanmu sekarang?" tanya Farhan."Santai Mas, kadang-kadang bikin video memasak. Terus diupload di medsos.""Oiya, aku lihat di YouTube sudah punya banyak subscriber ya?""Alhamdulillah. Semua konten yang aku bikin hanya untuk berbagi pen
“Kamu mencari siapa?” tanya Keenan ketika Liqa melihat ke sekeliling rumah setelah membuka pintu.“Tadi ada orang yang kesini, aku dan Ibu sengaja tidak membukakan pintu. Ayo masuk,” ajak Liqa.“Siapa yang kesini?” Keenan menjadi penasaran. Ia segera duduk untuk mendengarkan penjelasan Liqa.“Om Hendri.”“Om Hendri siapa?” Keenan mengernyitkan dahinya.“Suaminya Tante Farida, adik Ayah.”“Oh, sama siapa dia kesini?” Keenan semakin penasaran.“Kayaknya tadi sendirian, aku dan Ibu mengintip dari kamar Aksa.”“Kenapa nggak dibukain pintu?” tanya Keenan dengan heran.“Mas, aku dan Ibu tidak suka dengan Om Hendri dan Tante Farida. Mereka berdua sama saja, suka mengejek dan menghina Liqa dan Ibu. Mentang-mentang mereka kata, seenaknya saja menghina orang. Lagipula ngapain ia kesini?” Liqa berkata dengan kesal, wajahnya tampak cemberut. Keenan hanya tersenyum melihat ekspresi Liqa.“Mungkin ingin bersilaturahmi.” Keenan berusaha menenangkan Liqa.“Nggak mungkin, pasti ada maksud lain. Aku ta
“Maksud Om apa?” tanya Liqa dengan kesal.“Kalian hanya berdua disini, apa tidak menimbulkan kecurigaan warga…” Belum sempat Hendri melanjutkan ucapannya, Liqa sudah memotong.“Om, kami berdua tidak melakukan apa-apa. Kalau Om lihat, disini ada buku-buku kuliahku. Lagipula pintu depan terbuka lebar. Warga disini gak kepo, mereka juga sudah paham kalau di rumah ini ada Liqa dan Ibu. Om saja yang berpikiran negatif tentang Liqa.” Liqa berkata dengan berapi-api. Keenan menatap Liqa dan sedikit menggelengkan kepala, memberi isyarat supaya Liqa tidak melanjutkan berbicara.“Nggak usah marah-marah, Om hanya memberitahu saja. Itu tandanya Om masih perhatian sama kamu. Supaya kamu tidak salah jalan, kamu itu harus menyelesaikan kuliah.” Suara Hendri terdengar tenang.“Maaf, Om. Hubungan saya dengan Liqa tidak seperti yang Om pikirkan. Hubungan kami sehat.” Keenan angkat bicara.“Apakah ayahnya Liqa tahu hubungan kalian?” tanya Hendri.“Tahu kok, Om.” Liqa menjawab pertanyaan yang ditujukan pa
"Mas, Ayah ada disini," kata Liqa memberi tahu Keenan. Mereka bertemu di kampus, karena Keenan memang sengaja mau menjemput Liqa. Kemarin waktu Keenan ke rumah, Liqa memang tidak bercerita tentang ayahnya, takut menyinggung perasaan ibunya."O ya? Dengan siapa kesini nya? Kok kemarin nggak cerita?" "Aksa, mereka tadi malam menginap di hotel. Kemarin kan ada Om Hendri, lagipula nggak enak mau cerita, soalnya ada Ibu. Takutnya Ibu mendengar dan tersinggung.”"Iya juga, ya? Bagus itu, setidaknya Ayah berusaha untuk menjaga perasaan Ibu. Terus kesini mau ngapain? Atau hanya ingin bertemu dengan Ibu?""Hari ini Melia wisuda." Keenan hanya mengangguk-angguk saja. Liqa pernah bercerita dengan Keenan masalah Melia."Bagaimana sikap Ibu ketika bertemu dengan Ayah? Pasti canggung ya?" tanya Keenan."Awalnya sih, iya. Tapi aku salut dengan Ibu, Ibu pandai menyembunyikan rasa sakit yang pernah dialaminya. Ibu tampak terlihat enjoy ketika ngobrol dengan Ayah.""Mereka sudah sangat dewasa dalam b
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan