Rita memakai kacamata hitamnya saat melihat ketiga keponakan Apriyanto sudah berdiri di samping mobil. Ia sengaja memakai kacamata agar ketiga anak itu tidak melihat kemarahan yang ia rasakan dan terpantul pada kedua sorot matanya. Akibat bertemu dengan sekutu ibu mertuanya, Rakmi. Namun ia cukup puas bisa membuat wanita bermulut seperti ular berbisa itu menjadi tak berkutik.Si Kecil, Rio langsung berhambur memeluknya. "Rio kangen Bunda," ujarnya dengan wajah terbenam pada perut Rita.Rita membalas dengan mengusap kepala anak itu pada bagian belakang. "Bunda juga kangen Rio. Rio mau tinggal dengan Bunda?"Anak itu mendongak dengan wajah penuh keceriaan serta harapan. "Sungguh? Kami semua?""Iya," jawab Rita dengan sungguh-sungguh. Kedua anak Yesi yang lain ikut memeluknya dan Evita segera berkata, "Ayo cepat pergi Bunda. Keburu Papa pulang."Mereka segera melerai pelukan dan memasukan semua barang dan pergi dari sana. "Titip rumah ya, Bu," pamit Rita pada sosok Asih balas mengangg
Rita melirik pada Yesi yang kini memejamkan mata di jok penumpang. Ia tidak ragu sedikitpun dengan pernyataan wanita itu. Intuisinya sebagai seorang ibu juga sangat yakin jika makam yang tadi mereka singgahi adalah makam Bian. Rita mengulum senyum saat kembali teringat mereka juga mengunjungi makam Angel.Memperkenalkan anak Rita yang lain kepada para keponakannya. Biar saja ikatan antara dirinya dan Apriyanto berakhir tapi ikatan batinnya dengan ketiga malaikat yang seperti halnya dilakukan oleh mama mereka, terlelap di bangku belakang, tetap terjalin selamanya. Rita sesungguhnya masih penasaran dengan nisan yang dikatakan oleh Novi. Siapa yang dikubur di sana jika selama ini memang Yesi yang mengurusi? Apakah anaknya kembar dan mereka dimakamkan secara terpisah atau bagaimana? Pemikiran ini membuat mental Rita lelah luar biasa. Begitu sampai di rumah. Rita membawa keempatnya ke pondok samping. "Kalian akan tinggal di sini. Di rumah utama hanya ada 2 kamar jadi tidak akan cukup. Ke
Hendro termenung menatap rumah Apriyanto di Dongo. Sudah hari ketiga ia di sini tetapi tidak melihat kemunculan bayi Asmi. Hendro menjambak rambutnya kasar. Hendro sudah berkeliling Kabupaten untuk mencari keberadaan anak itu tetapi tidak juga ditemukan. "Di mana kamu, Zidan?" gumamnya sarat putus asa.Mata Hendro melotot tajam begitu mendapatkan pesan dari Asih jika Yesi dan ketiga anak mereka telah meninggalkan rumah. Kepala Hendro terasa nyeri saat ini."Sial! Nggak mungkin Yesi tahu."Hendro bergegas memeriksa tasnya, hingga menumpahkan semua isinya di atas ranjang. Raut wajahnya semakin panik saat tidak menemukan apa yang dicarinya, kunci brankas. Ia pun menepuk dahinya saat teringat kalau meninggalkan kunci tersebut di dalam laci pada meja kerjanya. Akibat buru-buru pergi demi mencari buah hatinya yang lain beginilah akibatnya. Suara ketukan di pintu depan membuatnya menegakkan tubuh dan bergegas membukakan pintu. Hendro tertegun menatap seorang wanita menggendong bayi laki-la
Hari beranjak senja dan Rita merasakan perubahan suhu pada tubuhnya membuatnya berkeringat dingin. Kejutan akhir-akhir ini rupanya mulai mempengaruhi fisiknya. Rita masih terbayang-bayang dengan keberadaan bocah kecil memiliki tompel seperti papanya itu sampai saat ini. Banyak dugaan berkecamuk di hati, banyak menduga tapi tak berani menjatuhkan sangka."Nggak mungkin dia anakku? Anakku sudah meninggal dan cuma satu saja," gumamnya. Lidahnya menolak tetapi dalam hati bersorak. Berseru lantang meyakini anak itu adalah si jantung hati. Banyak hal harus segera ia bicarakan dengan Arka. Termasuk juga masa depan Eshan dan pendidikannya. Ia harus mencari Asmi untuk mendapatkan akte kelahiran anak itu atau mencari tahu keberadaan wanita bernama Heni yang selama ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan putranya. Saat ini ia sedang duduk di teras depan menunggu Arka pulang kerja. Terlihat seperti seorang istri yang ideal, sudah cantik dan rapi pada sore hari menyambut kedatangan sa
Eshan memperhatikan bagaimana Pribadi memeriksa keadaan Rita dan kemudian menuliskan resep untuk diberikan kepada Eli. "Anda harus banyak istirahat dan jangan terlalu berpikir yang berat-berat. Jika tidak Anda bisa mengalami vertigo nanti."Rita hanya mengangguk mengiyakan. Sementara Eshan yang mendengarkan hal itu, merasa ragu untuk menanyakan siapa orang tua kandungnya. Begitu melihat wanita yang ia panggil tante terbaring sakit. Eshan sedih melihatnya, walau mereka belum lama bertemu tetapi Eshan yakin jika ia menyayangi Rita. Mungkin malah lebih dari rasa sayangnya kepada wanita yang selama ini ia anggap sebagai mama kandungnya. Pantas saja mamanya yang itu tidak pernah ada waktu untuk Eshan, jika pun bertemu tidak ada hari tanpa wanita itu berbicara ketus kepadanya. Sedangkan dengan Rita, tidak pernah sekalipun wanita cantik itu meninggikan suaranya. Bahkan Rita selalu menyediakan masakan rumah untuknya. Suara deru mobil mengalihkan perhatian Eshan dan ia bergegas terlebih dahul
Pribadi mengulurkan sebuah amplop berlogo Rumah Sakit tempatnya bekerja. "Hasil tes DNA sudah keluar. Kamu benar, dia memang anakmu."Senyum Arka mengembang sempurna, raut bahagia terpancar jelas di wajahnya. "Kamu memang Dokter terbaik," ujarnya seraya meremas bahu Pribadi.Pribadi meremas bahu Arka sekilas. "Kamu berhak mendapatkannya, mengingat dulu bagaimana depresinya kamu karena Rita menikah dengan Apri."Wajah Arka memucat dan melirik sekilas ke dalam rumah dengan raut cemas."Ada apa? Jangan khawatir dia tidak akan tahu jika kamu dulu hampir gila," tambah Pribadi lagi.Namun mereka tidak menyadari jika Rita berdiri di balik pintu. Wajahnya yang pucat semakin memucat mendengar dan jelas tak bisa membayangkan bagaimana penderitaan yang dialami Arka. Batal menikah, kecelakaan, pemulihan sekaligus depresi karena harus menerima kenyataan bahwa calon istri menikahi salah satu sahabatnya. Kehilangan harapan atas hak pada anak yang dikandung sang kekasih. Rita jelas tidak bisa membaya
Sepekan telah berlalu, kesehatan Rita sudah semakin membaik dan anak-anak sudah memulai kegiatan belajar mengajar di Sekolah yang baru. Salah satu sekolah dengan sistem penjagaan keamanan terbaik yang ada di kota untuk Eshan dan ketiga anak Yesi. Sebagai orang tua mereka tentu berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk mengingat masih harus berurusan dengan keluarga Suhardiman. Mereka tidak ingin Hendro atau siapapun mengganggu keempat anak yang masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini.Disisi lain Rita tidak bisa mengesampingkan pikiran tentang keberadaan anak yang memiliki tanda lahir seperti papanya itu. Hati kecilnya tak bisa melupakan begitu saja keberadaan anak itu, walau seperti informasi yang diberikan oleh Eli, anak itu dirawat dengan baik dalam keluarga sederhana. Semakin ia berusaha melupakan dan menerima kenyataan atau bersyukur lebih tepatnya karena sudah menemukan salah satu buah hati masih dalam keadaan hidup tiada lain adalah Eshan, jauh di lubuk hatinya
"Katakan apa yang kamu pikirkan atau rasakan?" Begitulah pertanyaan yang dilontarkan oleh Arka setelah mereka memastikan Eshan sudah tidur semalam karena jelas pembicaraan mereka tidak untuk didengar oleh anak-anak."Sebelum aku jatuh sakit. Aku bertemu dengan seorang anak.""Anak?""Iya, anak kecil. Lebih muda dari Eshan dan dia memiliki tanda lahir, tompel seperti milik Papa. Dia tampan dan mirip Mas Apri," terang Rita dengan mata berkaca-kaca. "Aku yakin bukan hanya berhalusinasi," tambahnya cepat-cepat begitu Arka tampak tercengang dibuatnya.Arka segera merubah mimik wajah begitu bisa menguasai rasa terkejutnya atas informasi baru ini. Pantas saja Rita merasa depresi. Apakah semuanya mungkin jika anak Rita lagi-lagi tidak meninggal tetapi sengaja dipisahkan darinya.Arka berdehem sebelum berkata, "Aku sangat yakin kamu tidak berhalusinasi tetapi kita harus memastikan dulu jika Jabang Bayi Kliwon memang masih hidup, jikapun dia lahir umurnya masih belum cukup bukan?""Namanya Bia
Arka terdiam di dalam mobil saat sebuah mobil polisi berhenti di belakangnya. Dadanya bergemuruh hebat, ia sungguh yakin tidak ada seorangpun yang menghubungi polisi. Nathan juga tadi sudah tidur di kamar tamu. Sorot senter mengenai kaca mobil hingga membuat matanya silau. Arka berusaha mengangkat kedua tangannya guna menghalau sinar senter tersebut agar bisa melihat siapa orang yang berada di luar sana.Kunci pintu terbuka tiba-tiba secara otomatis bersamaan dengan pintu belakang mobilnya terbuka tiba-tiba dan sosok serba hitam menjerat lehernya dengan kabel ulir.Arka berusaha meronta dan menghalau kabel tersebut, menahan dengan tangannya seraya tangannya yang lain berusaha meraih sosok yang berada di belakang. Saat ia berusaha meloloskan diri, tak berselang lama terdengar suara tembakan dari belakang mobilnya. Orang yang memegang senter menyilaukan itu roboh dan suara langkah tergesa yang sangat dikenalnya mendekat ke arah mobilnya."Lepaskan jerat itu atau a
"Engh … engh … engh …!" Deru napas Ambro menggebu dengan geliat tubuh yang terbatas. Ambro tahu ada suara mendesis hewan melata tak jauh darinya.'Jangan biarkan ularnya dekat-dekat Ambro, Tuhan! Ambro takut digigit!'Kaki dan tangan anak itu dalam keadaan telanjang dan menggigil terikat di sebuah kursi dengan mulut pun juga terikat. Ia tak bisa berteriak karena juga tak tahu di mana kini berada. Hanya terdengar tetes suara air dari keran yang tak tertutup rapat dan suasana di sini senyap, gelap dan sangat dingin, serta badan pun terasa nyeri ditambah lagi ia haus dan lapar.Sejak ia sadarkan diri lima jam yang lalu, dirinya sendirian. Takut pasti, tapi bagaimana lagi. Ia tahu sang ibu dan saudara-saudaranya pasti tak ada di sini.'Tuhan, Ambro takut. Mamak mana, Tuhan? Ambro nggak mau mati. Kasihan Mamak.'Sementara itu di luar bangunan gudang terbengkalai itu. Narto duduk di bawah pohon menatap kosong ke arah langit malam. Ra
Pengintaian di beberapa titik dan rumah yang sering disinggahi oleh Narto masih tidak membuahkan hasil. Pria itu seperti tertelan bumi bersama dengan Ambro si bocah kecil."Bagaimana apa terlihat pergerakan di dalam rumah?" tanya Michael Alsaki pada anak buahnya."Tidak ada, Ndan. Sudah pasti anak itu dibawa pergi.""Geledah rumahnya.""Siap, laksanakan."🌺Arka duduk termenung di teras belakang rumah Daya. Malam semakin menua, seharian ini ia hanya di rumah menemani kekasih hati yang terguncang hebat. Selain Ambro yang belum diketahui keberadaannya, Arka juga harus menahan diri untuk mencari Narto yang sampai detik ini belum menghubungi entah apa maunya, sementara Entin dan anak-anaknya sekarang berkumpul di sini. Biarkanlah polisi yang bekerja walau hatinya tak tenang.Ingin ikut membantu pun, hati tak tega meninggalkan Rita dan Eshan yang sangat terpukul. Putranya tampak sangat kehilangan sang sahabat. Eshan mengurung diri di kama
"Kamu tidak mengerti, tidak akan pernah bisa mengerti karena apa? Karena otakmu yang kecil itu hanya berisi tentang bule bangsat itu. Bisa-bisanya kamu masih memikirkan dia setelah jadi istriku. Kamu pikir aku nggak tahu, jika kamu sering menyebut namanya selama kita menyatu?! Hah!Jawab aku Rakmi! Kamu pikir aku nggak tahu kamu nggak pernah setia! Buktikan kalau aku salah. Aku yang sudah terzolimi di sini maka dari itu aku harus memiliki semuanya, aku sudah bekerja sangat keras untuk memajukan perkebunan ini. Dia hanya pemilik tanah. Kamu dengar itu Rakmi, laki-laki pujaanmu itu hanya pemilik tanah, aku akan hancurkan dia bahkan Daya dan anak keturunannya tidak akan mendapatkan apapun," tukas Yusuf Suhardiman."Mas, jangan begitu. Kasian dia, Mas.""Halah … sok aja kamu hanya mencoba menarik simpatinya saja. Dia tidak akan pernah berpaling kepadamu. Kalau bukan aku yang menikahi kamu, nggak ada orang yang mau sama kamu. Das
Satu hari sebelumnya"Aku mau kamu membawa pergi jauh Ambro. Jangan sampai Rita menemukan anak itu. Kalau perlu kamu matikan saja dia."Percakapan Rakmi yang membelakangi Apriyanto membuat pria itu yang awalnya melamun tentang penyesalan kedatangan Rita dan bagaimana akhir dari wanita yang dicintai malah berseteru dengan sang ibunda sadar dari lamunannya."Iya habisi saja dia. Seharusnya kamu sudah lakukan itu sejak dulu. Aku tidak mau punya cucu penerus dari rahim Rita.""Ibu apa maksudnya itu?" tanya Apriyanto yang kini duduk di bangku, "apa aku masih punya anak? Bukankah anakku sudah mati?""Iya anakmu sudah mati," jawab Rakmi tenang seraya menyimpan kembali ponselnya."Ibu bohong! Aku tahu anakku masih hidup. Maka dari itu aku akan membuat perjanjian dengan Rita.""Kamu sudah gila!" bentak Rakmi dengan mata melotot ke arah Apriyanto."Ibu yang gila," balas Apriyanto dengan gerakan."Lancang kamu Apri
Rita bersedekap duduk di kursi anyaman rotan yang berada di dalam kamar Arka. Pikirannya mengembara pada kejadian seharian kemarin yang sangat menguras fisik dan mentalnya sekaligus mengguncang batinnya dengan segala peristiwa yang terjadi. Perseteruan dengan Rakmi sampai pada pengakuan Yesi yang sudah ia perkirakan dan tetap membuat dirinya sangat kecewa serta berita baik yang membuktikan bahwa Ambro adalah buah hatinya dengan Apriyanto.Lalu kembalinya Arka dengan raut wajah letih walau terbalut dengan senyum tetapi hal itu tidak bisa menutupi kepekaan Rita, ia sudah berjanji untuk memberikan perhatian untuk pria tercintanya. Rita tak bisa tidur nyenyak, bahkan semalam ia hanya bisa memejamkan mata selama 3 jam setelah kembalinya Arka pada pukul 1 dini hari karena itulah pada jam 4 pagi ini ia duduk menyendiri di kamar Arka."Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang? Kamu nggak tidur?" Suara serak Arka, ciri khas bangun tidurnya memenuhi malam yang hening.Rita y
"Jika kamu memang masih ingin membantu Yesi dan anak-anaknya, tolong jauhkan mereka dari cucuku. Mama nggak mau sampai Eshan terpengaruh omongan yang tidak-tidak. Bagaimanapun ada gen Rakmi di tubuh mereka," tegur Daya begitu Rita selesai menemani Eshan tidur siang.“Cucuku masih sangat polos untuk direcoki urusan orang dewasa. Sebaiknya kamu pindahkan mereka atau Mama yang mencarikan tempat tinggal lainnya,” tambah Daya.Rita melirik ke arah dapur tempat Yesi berada sedang bercengkrama dengan Eli dan pengurus rumah tangga sebelum meraih tangan Daya dan mengajaknya masuk ke kamar mamanya.“Ma, sebelum Rita menjawab hal itu sebetulnya ada apa? Kenapa Mama meminta kami ke sini?”“Janu yang menyuruh.”“Abang Janu? Kenapa?”“Kamu tahu tidak di mana Arka?”“Sedang meninjau gudang yang terbakar bersama Abang Kenzo.”“Itulah sebabnya, Janu meminta kalian ke
"Brengsek! Bisa-bisanya Apri menuduhku sengaja kecelakaan. Otaknya memang sudah tidak beres," sungut Rita dalam perjalanan pulang dengan Erwin.Erwin tak mengucapkan sepatah katapun melihat sendiri kondisi Apriyanto memang bisa dikatakan demikian. Bisa jadi pria itu memang sudah mengalami depresi mendalam. Apalagi ada ibunya tadi datang, Apri sempat mematung tidak percaya jika sang ibu akan kembali berhadapan dengan Rita dan juga Rita yang ia ketahui selama ini sebagai wanita pengalah bisa begitu berani membalas Rakmi.“Apa yang akan kamu lakukan pada mertuamu itu?”“Kami masih mengumpulkan bukti dan sepertinya nanti Mama dan Abang yang akan turun tangan langsung.”Erwin mengangguk. “Ya, sebaiknya kamu berkonsentrasi dulu untuk masalah perceraian dan anak. Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan si Arka?”Rita mendesah dan menunjukkan raut wajah bersalah. “Jujur aku sampai lupa waktu membangun kemesraan denganny
Deru napas semakin memburu, kedua tangan mengepal erat di samping tubuh."Siapa kaki tanganmu?" tanya Rita, dingin sedikit bergetar karena emosi yang semakin membumbung tinggi, sementara batinnya tidak karuan."Kaki tanganku? Yang menyingkirkan anakmu atau calon suamimu dulu?" balas Apriyanto tak kalah datar dan dingin.'Anak?!'Punggung Rita sudah lembab bukan gerah tetapi karena keringat dingin yang mengalir. Matanya melotot tajam terlihat jelas kecewa, sakit hati dan amarah hingga titik peluh menghiasi wajahnya."Jadi kamu tahu siapa yang menabrakku sampai anakku mati, hah?!"Gelegar tawa membahana dari kamar khusus di mana Apriyanto ditempatkan. Apriyanto yang awalnya memunggungi Rita segera berbalik tapi tidak beranjak dari tempatnya duduk bersila di atas ranjang.Seraya menunjuk ke arah Rita, ia berkata, "Kamu yang ceroboh sampai bisa tertabrak! Kamu yang sok mandiri supaya mendapatkan perhatian lebih dari ibuku, sengaja melakuk