"Ini jam 8 pagi dan kau keluar dari kamar Nona Visha?!"Madoka berulang kali menatap Javier, kemudian beralih pandang ke jam tangan yang melingkar dipergelangannya.Benar-benar jam 8 kurang 15 menit."Damn! Aku mau melaporkan ini nanti pada Tuan Luca!" seru Madoka sambil melompat ke sana-sini.Wajah jahil Madoka semakin terlihat."Jangan gila! Aku—" "Aku apa?!" goda Madoka saat Javier menggantung kalimatnya.Wajah Javier terlihat seperti tak sehat ketika ia memohon, "Jangan bicara aneh-aneh dengan Bos." Bahkan kejahilan Madoka pun surut memlihatnya. "Ada apa? Apa kau mau membahas malam pertamamu denganku?" tanya Madoka yang terlihat sangat serius.Javier mendengus tapi tidak tertawa. Ia sedang dalam tekanan batin yang besar.Karena kedatangan Luca membuatnya harus turun dari tempat tidur dan melanggar permintaan Visha yang pertama tadi.Ia seharusnya menemani Visha sampai wanita itu bangun. Tapi tidak mungkin ia melakukannya di saat pemimpin klannya sudah dalam perjalanan menuju ke
“Apa kau selalu berpakaian seperti ini, Navisha, putri semata wayang Ayah?” tanya Luca sambil menutup wajahnya dengan panik. Membayangkan sang putri berada di rumah berisi para lelaki, membuatnya berpikir dua kali untuk membiarkan Visha tinggal lebih lama lagi di Indonesia. “Tentu saja tidak. Tidak setiap hari ada yang berisik di depan kamarku. Aku hanya panik saja, karena tak percaya mendengar suaramu, Ayah!” kilah Visha sambil mengencangkan pelukannya. Luca menatap Visha dengan pandangan tidak percaya sehingga ia bertanya lagi, “Benar begitu?” “Iyes! Aku selalu siap sebelum keluar kamar kok. Dan lagi, biasanya mereka memang sudah ada di kantor, memantau keluarga Adinata. Sekarang semua sudah selesai, jadi mereka lebih santai mungkin,” celoteh Visha beralasan. Putri Luca itu kemudian menarik pelan pergelangan tangan sang ayah, supaya bisa masuk ke kamarnya. “Dante masih tidur, tahu sedang weekend,” kekeh Visha sambil masuk lagi ke dalam kamar mandi setelah ia mengambil pakaian g
“Ma, kau baik-baik saja?” Raffael bertanya dengan raut wajah panik dan khawatir. Ia tengah menemani Gregorry saat Asisten Rumah Tangganya menelepon dan memberitahu kalau sang ibu pingsan di apartemen yang baru saja ia belikan untuknya. Karena kondisi, Raffael akhirnya menjual rumah mewahnya untuk membeli apartemen yang sedang turun harga. Dan lagi, ia berpikir kalau sang ayah sudah meminta ibunya untuk membersihkan kediaman Adinata, untuk menyambut kepulangannya. Febriella yang terbaring lemas di tempat tidur meneteskan air mata ketika melihat wajah kusut putranya. “Bagaimana kabar ayahmu, Nak?” tanya Febriella dengan bibir gemetar, menahan isakannya. “Tenang saja, Ma. Yang penting Mama sehat dulu. Papa sudah memanggil Om Radjiv untuk mendampinginya.” Mendengar itu, Febriella pun terlihat lebih tenang. “Mama mau kembali ke rumah saja, Raffa. Kalau Papamu tidak berencana menceraikan Mama, Mama akan menunggu sampai ia bebas.” Raffael setuju. “Yang penting Mama sehat dulu. Oke?”
“Hm?”Kerutan di dahi Visha pun muncul, karena ia yakin, tidak ada yang mengikutinya. Kalau Javier mengikuti, pasti memanggilnya dengan sebutan ‘Nona’.Dan ketika Visha menoleh ke arah sumber suara, ia terkejut mendapati Raffael berdiri di sana sambil menatapnya dengan pandangan menilai.“Selamat siang, Tuan Raffael. Saya tidak tahu Anda sedang berada di restoran ini. Apa ada yang anda butuhkan?” tanya Visha sambil mendorong pintu kamar mandi itu tetapi menunda langkahnya.“Visha, Sayang. Jangan seperti orang asing. Kita kenal lebih dalam dari hanya sekedar—”“Calon pembunuh dan korban?” sindir Visha memotong ucapan Raffael yang benar-benar membuatnya muak.Visha tidak habis pikir, dengan dasar apa Raffael masih memanggilnya dengan sebutan intim seperti itu.‘Sayang?! Cuih! Persetan!’ rutuk Visha dalam hati.Wanita itu menambahkan, sebelum Raffael menyela ucapannya, “Sudah baik aku tidak menyerahkan bukti-bukti kejahatan Anda pada kepolisian, jangan memaksa saya melakukannya.”Tapi te
"Aku dan Javier kenapa?" tanya Visha dengan nada tenang, namun tatapannya mengancam Madoka dengan konsekuensi atas keberaniannya mencampuri urusan sang majikan.Melihat respon Visha, Madoka pun meringis. Ia tidak jadi melanjutkan pertanyaannya itu. Karena Madoka tak mengambil kesempatan untuk melanjutkan ucapannya—apapun resiko yang akan ditanggungnya, Visha memilih untuk memberikan pertanyaan, "Ke mana kau bawa Raffael itu?""Sepertinya anak buah Bos Luca yang mengintai daerah ini memberitahu Bos. Jadi, ia menyuruh 2 anak buah kesayangannya, yang biasa membereskan orang-orang seperti itu." Madoka menjelaskan sambil mengikuti Visha di belakang. Ia tetap siaga, mengamati kalau-kalau ada orang lain yang terlihat mencurigakan.Visha mengangguk. Ia tahu, urusan Raffael ini tidak akan selesai sampai Luca puas. Tentu saja. Luca tidak mungkin membiarkannya bernapas lega di bumi ini. Tiba di ruang makan mereka, makanan Dante sudah habis. Anak laki-laki itu pun langsung meminta Visha untuk
"Ha?" Luca terkejut mendengar jawaban Raffael. bukan isi jawabannya, melainkan keberaniannya mengatakan kalimat itu."Iuven ... apa kau dengar bajingan ini mengatakan apa?" Luca terkekeh lalu menoleh pada Iuven yang sejak tadi juga tertawa sambil menggelengkan kepala.Iuven mencoba menjawab di sela tawanya, "Kurasa keberaniannya itu akan sirna kalau tahu kau siapa, Tuan Luca.""Aku tidak peduli siapa kau! Cepat lepapskan aku, atau kau akan menyesal sudah menggangguku!"Secepat kilat, sebuah pisau tajam sudah bertengger di samping leher Raffael, siap menebas nyawanya.Javier sudah di sana menggeram rendah, membuat Luca terpukau dengan kecepatannya. Bahkan Iuvn bertepuk tangan, rindu juga ia melihat aksi Javier."Hati-hati dengan lidahmu, Tuan Raffael. Kau tidak tahu kapan 'itu' akan membunuhmu.' Luca menekankan kata 'itu' merujuk pada lidah dan juga pisau yang ada di samping lehernya."Jai, kau bilang kalau Visha, yang notabene adalah putriku, memegang posisi sebagai calon istrimu? Ba
“Iuven?” tanya Javier tak percaya dengan cerita Visha.Sambil keluar dari gedung bandara, majikan perempuannya itu baru saja menjelaskan bahwa Luca akan meminta Iuven untuk memegang kendali atas Perusahaan Adinata Group.Mereka baru saja mengantar Luca sampai Bandara dan sekarang akan bergerak menuju ke perusahaan, yang baru saja dibeli Visha beberapa hari lalu.Visha menoleh menatap Javier untuk mengetahui kenapa bodyguardnya itu terkaget-kaget mendengar nama itu. “Yes. Nama yang aneh ya, sampai kau kaget begitu, Jav?”Menyadari kalau dirinya hampir saja kelepasan, Javier terkekeh canggung. Tidak ada yang tidak tahu siapa Iuven, kalau mereka bekerja di dunia mafia.Tak hanya soal siapa itu Iuven, Javier kaget karena ternyata itulah yang terjadi setelah subuh tadi Luca bertemu Iuven.Dan kejadian subuh tadi sama sekali tidak boleh diketahui oleh Visha.“Apa dia juga seorang mafia?” tanya Visha yang tak kunjung mendapat kejelasan apakah Javier mengenal pria bernama Iuven itu atau tidak
"Nah, tidak perlu, Lev. Aku akan mewawancarai mereka setelah 3 bulan percobaan." Mendengar keputusan sang atasan, Leviant pun hanya bisa menyetujuinya. Ia tahu, Visha sudah cukup berpengalaman dengan tugas sebagai CEO, secara dirinya adalah CEO Viensha Ltd di Italia."Kalau begitu, saya akan memberitahu mereka, Nona." Leviant pun pamit, meninggalkan Visha dan Javier berdua di ruangan tersebut."Apa benar tak masalah?" tanya Javier yang sepertinya kurang setuju Visha menerima ketiga calon sekretaris itu begitu saja."Nah, mereka pilihan Damian. Aku tak ingin mencap buruk sebelum tahu kinerja mereka." Visha menyandarkan punggungnya, melepas penat sesaat.Sementara itu Javier terkekeh sambil menempatkan posisinya duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu."Jadi, apa kau sudah mencap buruk tiga pelamar itu, setelah mendengar penilaian Lev?"Cengiran kekanakan pun menghiasi wajah Visha, lalu ia berkomentar, "Seperti itulah. Nah ... kesampingkan itu, Jav. Kau masih utang 2 perminta