Mata Renita menerawang. Mengingat kembali kejadian menyedihkan yang menimpa dirinya di masa lalu.
Dimulai dari pertemuan pertama dengan Krisna, pernikahan yang tak direstui sang ibu mertua pada awalnya, hingga malam kejadian saat ia diusir dari rumah dalam keadaan sedang mengandung Azzalyn.Semua ia ceritakan pada Azzalyn sambil berurai air mata. Tak ada lagi yang ditutupi.“Ibu pikir Bu Narti benar-benar perhatian dan menyayangi Ibu, karena hampir setiap malam dia membuatkan jus semangka kesukaan Ibu. Tapi suatu hari, tanpa sengaja Ibu melihat apa yang ia lakukan. Dia mencampurkan pil KB yang sudah ia haluskan ke dalam jus yang setiap malam ia berikan pada Ibu. Entah sudah berapa lama dia melakukan itu. Dia benar-benar tidak mau memiliki cucu dari Ibu.” Renita menangis.“Lalu?”“Saat tahu apa yang ia perbuat, diam-diam Ibu selalu membuang jus yang diberikannya. Dan tak lama Ibu mengandungmu. Tapi belum sempat Ibu memberitahu Krisna, tanpa sengaja pernikahan sirinya dengan Riska saat itu terbongkar. Saat itu Riska sudah hamil. Dan tentu saja dengan mudah Bu Narti mendepak Ibu dari rumah. Malam itu Ibu diusir.” Renita menyeka air matanya.“Jadi Ibu memilih pergi dan tidak memberitahu mereka kalau Ibu sedang mengandung?”“Apa gunanya Ibu bilang kalau Ibu sudah hamil? Pernikahan Ibu sudah terlanjur hancur. Ayahmu tega berkhianat dengan dalih berbakti pada Ibunya.” Air mata Renita mengalir deras.“Tolong jangan sebut dia Ayahku, Bu! Dia nggak pantas!” geram Azzalyn. “ Lagi pula sejak dulu yang aku tahu Ayah sudah meninggal,” lanjutnya.“Maafkan Ibu, Azzalyn. Ibu terpaksa berbohong. Selama ini Ibu telah mengecewakanmu.” Tangis Renita semakin menjadi.“Nggak! Bukan Ibu, tapi mereka. Orang yang sebenarnya adalah Ayah dan Nenekku. Mereka telah jahat pada Ibu. Kenapa mereka mencampakkan kita? Aku... Aku...” Azzalyn mulai menangis. Renita meraih kepala anak gadisnya itu dan memeluknya.“Saat Ibu tahu Oma Narti memberi Ibu pil KB diam-diam setiap malam, kenapa nggak langsung bilang dengan Om Kris?” tanya Azzalyn.“Nggak ada gunanya. Ibu nggak punya cukup bukti. Krisna itu sangat patuh dan penurut pada Ibunya. Kalau Ibu bilang tanpa bukti, pasti Ibu dibilang mengada-ada.”“Jahat Sekali Tante Riska. Padahal dia teman Ibu. Sampai hati dia merebut suami temannya sendiri.”“Bukan cuma teman. Kami sahabat. Riskalah yang dulu selalu mencarikan Ibu pekerjaan menyanyi di kafe-kafe kenalannya. Ibu tidak tahu kalau ternyata ia sudah menaruh hati pada Krisna sejak pertama kali Ibu memperkenalkan Krisna sebagai calon suami Ibu padanya. Riska orang pertama yang Ibu beri tahu soal kabar bahagia itu.”“Apa Oma Narti sebegitu nggak sukanya dengan Ibu?”“Iya, bahkan sejak awal dia memang menentang keinginan Krisna yang saat itu ingin menikahi Ibu. Dia tidak mau punya menantu yang hanya seorang penyanyi kafe. Dia pikir selama menjadi penyanyi, Ibu menjual diri. Dia merasa Ibu tak pantas mendampingi anaknya yang kaya dan berpendidikan. Saat itu Ibu masih sangat muda. Yang ada dalam pikiran Ibu hanya cinta dan ingin hidup bersama. Krisna meyakinkan Ibu untuk tetap menikah dan mengabaikan larangan ibunya. Krisna berjanji akan selalu mencintai dan menjaga Ibu. Tapi nyatanya...” Renita kembali tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia menutup muka dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar menahan tangis.“Hanya karena Ibu saat itu belum mengandung setelah dua tahun menikah, dia tega mengkhianati Ibu dengan diam-diam menikahi Riska yang anak orang kaya itu. Padahal Ibu belum hamil karena Oma Narti yang jahat!” Azzalyn menyimpulkan semua cerita Ibunya.“Bu Narti malu punya menantu mantan penyanyi kafe. Karena itu, sejak kembali ke rumah Mbah, Ibu tidak pernah lagi menerima pekerjaan sebagai penyanyi. Ibu nggak mau kamu malu. Ibu tahu kamu juga malu karena punya Ibu yang hanya seorang pembantu nelayan. Tapi Ibu pikir itu lebih baik daripada jadi penyanyi malam,” kata Renita.“Azzalyn nggak pernah malu apa pun keadaan Ibu. Ibu sudah berjuang keras sampai saat ini,” Azzalyn semakin kuat memeluk ibunya. Tangisnya semakin menjadi. Dada Renita basah terkena air mata Azzalyn. Baru ia sadari betapa menderita Ibunya selama ini.“Apa karena itu sampai saat ini Ibu tak menikah lagi? Ibu trauma?” tanya Azzalyn.“Ibu tak menikah lagi karena ingin fokus merawat dan membesarkanmu Azzalyn. Ibu takut kasih sayang Ibu terbagi kalau menikah lagi dan punya anak. Ibu sedih membayangkan kau yang tak mendapat kasih sayang seorang Ayah, harus kehilangan kasih sayang dari Ibu juga.”Azzalyn semakin mengeratkan pelukannya. Hatinya pedih. Selama ini ia terlalu egois, membiarkan Ibunya yang menanggung semua sendiri.“Ibu bisa minta tolong?” tanya Renita.Azzalyn melepaskan pelukannya, memandang Renita dengan mata yang membengkak akibat menangis sejak tadi.“Tolong lupakan Abyl, dan berhenti bekerja. Cari pekerjaan di sini saja. Jangan kembali ke kota itu,” pinta Renita.Azzalyn mengangguk. “Tapi Azzalyn tetap harus ke kantor, selain masih banyak barang yang tertinggal di sana, Azzalyn juga harus menghadap HRD, untuk meminta Surat Pengalaman Kerja. Biar Azzalyn punya kesempatan untuk diterima bekerja di perusahaan lain. Ibu tenang aja, Azzalyn akan mengakhiri semuanya,” kata Azzalyn mantap.Renita tersenyum. Beban di dadanya selama 25 tahun ini akhirnya terlepas. Azzalyn sudah mengetahui semuanya, dan kini ia tak menyembunyikan apa pun dari anak semata wayangnya itu.“Bu, apa setelah Ibu pergi, tak pernah sekalipun Om Kris mencari kita?”Renita menggeleng. “ Ibu nggak tahu. Setelah kejadian itu, Mbah mengajak pindah ke sini, di mana tempat ini tak ada siapa pun yang mengenal kami. Mbah tak ingin berurusan lagi dengan mereka. Begitu pula dengan Ibu.”Azzalyn kembali memeluk Ibunya.***Abyl berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang HRD. Sekitar setengah jam yang lalu, Bu Endang, Kepala HRD di kantornya mengirim chat kalau Azzalyn datang dan mengajukan surat pengunduran diri. Saat itu Abyl sedang duduk dengan Krisna, hendak menanyakan perihal tentang ibu Azzalyn yang sepertinya mengenal keluarga mereka.Begitu mendapat kabar kalau Azzalyn akan berhenti kerja di kantornya, Abyl merasa ada yang tidak beres. Ia pergi tanpa mempedulikan pertanyaan heran dari sang ayah.“Mana Azzalyn?” tanya Abyl saat sampai di ruang kantor Bu Endang. Tak dilihatnya ada Azzalyn di situ.“Emangnya Bapak nggak berpapasan tadi? Dia baru keluar sekitar lima menit yang lalu. Oh, mungkin dia singgah ke ruang kerjanya. Katanya mau ambil barang tertinggal sekaligus pamitan sama yang lain,” jawab Bu Endang. Dia termasuk salah satu yang mengetahui hubungan asmara antara Abyl dan Azzalyn.Saat Azzalyn mengantarkan surat pengunduran dirinya tadi, ia merasa heran. Karena itu ia memberi kabar pada Abyl, yang merupakan Bos muda di kantornya itu. Perusahaan ini adalah milik keluarga Krisna Hadi, dan kini Abyl yang bertanggungjawab memegang kepemimpinan di perusahaan.Abyl berbalik dan berlari menuju ruang karyawan. Tapi sesampainya di sana pun tak dilihatnya Azzalyn.“Tadi dia sebentar aja di sini Pak. Kayaknya terburu-buru. Habis pamitan, ambil barang terus pergi. Tapi kayaknya belum jauh,” kata sindy.Lagi-lagi Abyl berlari. Kali ini tujuannya ke luar, ke tempat parkir. Benar saja, dilihatnya Azzalyn yang sedang meletakkan kardus berisi barang dan mengikatnya di bagian belakang sepeda motor.“Azzalyn, kau mau ke mana? Kenapa kau berhenti bekerja di sini?” Abyl menangkap tangan Azzalyn. Membuat gadis itu terkejut. “Jangan bilang kau benar-benar menuruti Ibumu dan memutuskan hubungan kita,” imbuhnya.“Kita selesai sampai di sini, Abyl!”“Aku nggak paham apa maksud kamu, Azzalyn!” “Kita putus Abyl. Seharusnya kita memang nggak boleh punya hubungan apa-apa sejak awal. Seharusnya kita nggak usah bertemu dan nggak usah saling kenal.” “Kau menyesal sudah mengenalku? Apakah yang telah kita lewati selama ini tidak ada artinya apa-apa bagimu?” suara Abyl terdengar lemah. Ia tak menyangka semudah ini Azzalyn memutuskan hubungan mereka. Azzalyn diam. Biar bagaimanapun Abyl adalah orang yang ia cintai. Orang yang sangat ingin dia miliki seumur hidupnya. Sampai Azzalyn mengetahui kenyataan kalau dia dan Abyl bersaudara, dan Ibu Abyl yang menjadi penyebab ia dan ibunya menderita selama ini. “Bisakah kita bicarakan semuanya pelan-pelan? Jangan ambil keputusan terlalu cepat Azzalyn,” pinta Abyl. “Nggak akan ada yang berubah Abyl. Apa pun yang menjadi pembicaraan kita nanti keputusanku akan tetap sama. Aku nggak mau ada hubungan apa-apa lagi denganmu.” Azzalyn berbalik hendak menaiki sepeda motornya. Tapi Abyl cepat menangkap
Wajah Krisna pucat. Jantungnya mendadak berdebar cepat, membuat dadanya terasa menyempit. Susah payah ia mengambil napas. Abyl yang melihat ayahnya kepayahan ikut panik. Cepat ia masuk ke dalam dan mengambil obat milik ayahnya. Krisna memang punya penyakit jantung, karena itu ia pensiun dini dari perusahaannya. “Papa kenapa?” Abyl khawatir melihat wajah dan tangan ayahnya yang sama sekali seperti tak dialiri darah. “Nggak pa-pa,” Krisna menelentangkan badannya. Setelah meminum obat, keadaannya mulai pulih. “Maaf kalau Abyl buat Papa sakit,” kata Abyl menyesal. “Di mana rumah mereka?” tanya Krisna. “Di pinggiran kota. Di perkampungan nelayan. Sekitar dua jam dari sini. Papa mau ke sana?” Krisna tak menjawab. “Mau apa Pa?” tanya Abyl penasaran. “Tolong kamu rahasiakan ini. Papa ada urusan yang harus Papa selesaikan. Ada sesuatu yang mau Papa pastikan,” ujar Krisna. “Kapan Papa mau pergi? Apa perlu Abyl antar?” “Jangan! Tolong bantu saja Papa untuk mencari alasan supaya Papa b
Azzalyn menata rapi nasi dan lauk pauk di meja makan. Sebentar lagi mereka akan makan malam bersama. “Bu, udah siap semua,” katanya pada sang ibu yang sedang memijit kaki Abidin, kakeknya. “Iya. Bantu Ibu gandeng Mbah ke dapur ya.” Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengambil posisi di sebelah kiri sang Kakek. Bersama dengan ibunya ia memapah Abidin yang tampak kesulitan berjalan. Usianya yang sudah terlampau tua, ditambah lagi kesehatannya yang semakin menurun sejak kepergian istrinya 2 tahun lalu membuatnya sering sakit-sakitan. “Udah masukkan lamaran kerja ke mana aja kamu?” tanya Renita sambil menyuapi Abidin. “Azzalyn udah coba masukkan di tempat Meta sekarang kerja. Katanya lagi ada lowongan Sales Marketing.” “Udah ada panggilan interview ?” “Belum Bu. Baru juga dua hari yang lalu.” “Ibu kasihan lihat kamu yang sekarang jadi kerja sama Bi Ina,” suara Renita terdengar sedih. “Emangnya kenapa Bu?” Azzalyn menghentikan suapannya. “Ya kamu jadi jualan sayur di pasar. Pa
“Kacau sekali penampilanmu Reni. Aku heran kenapa Mas Kris bisa sangat menyukaimu, bahkan tak pernah bisa melupakanmu. Padahal kau nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan denganku.” Riska berkata dengan nada yang begitu merendahkan. “Bagaimana kau bisa ada di sini?” “Kenapa? Kau pikir kalau Mas Kris bisa datang ke sini diam-diam di belakangku, aku tak bisa melakukan hal yang sama?” “Mau apa kamu?!” Riska berjalan mendekati Renita. “Aku mau bertemu dengan sahabat lamaku. Nggak boleh?” tanya Riska sambil mendekatkan wajahnya, menatap tepat ke manik mata Renita. Renita mundur beberapa langkah. Hatinya ciut. Bola matanya bergerak ke sana kemari, memindai keadaan sekitar, berharap ada orang lain selain mereka berdua. Namun tak ada siapa pun. Mungkin karena jam makan siang membuat para Anak Buah Kapal tak berada di tempat. “Pulanglah Riska. Aku nggak mau ada hubungan apa-apa lagi denganmu dan keluargamu!” Riska mendengus. “Oh ya? Tapi sepertinya kau masih ingin punya hubungan dengan M
Azzalyn berkali-kali melihat layar HP. Ia sangat gelisah menunggu perkembangan kabar ibunya yang masih belum ditemukan hingga sekarang. Sudah lebih dari 16 jam ibunya hilang, sejak jam 1 siang kemarin. Dan sekarang sudah hampir jam 6 pagi. Paman Bandi memaksanya untuk pulang ke rumah karena tidak ada yang menjaga Abidin. Meski berat Azzalyn terpaksa menuruti. Kepalanya terasa sakit sekali karena menangis semalam-malaman dan tak sedetik pun ia bisa tidur memejamkan mata. Ia begitu cemas, takut terjadi apa-apa pada ibunya. Dengan malas ia beranjak dari tempat tidur dan keluar menuju kamar Abidin. “Mbah udah bangun? Mau sarapan dulu Mbah?” tanya Azzalyn saat melihat Abidin yang terbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit kamar. Terdengar suara kecil dan serak Abidin yang mengiyakan. Azzalyn membetulkan selimut Abidin dan mengecup kening kakeknya itu dengan perasaan sedih. Gegas ia menuju dapur, hendak membuat bubur untuk sarapan. “Makan di sini aja ya Mbah, Azzalyn nggak bisa
“Azzalyn, apa yang telah terjadi pada ibumu?” tanya Krisna dengan nada suara yang lemah. “Apa urusannya denganmu? Kehadiranmu di sini tak diharapkan. Aku bilang pergi dari sini!” pekik Azzalyn. Krisna diam, dia mengerti mengapa Azzalyn begitu sangat marah padanya. Azzalyn pasti sudah tahu hubungan mereka. “Azzalyn, tolong jangan seperti ini. Bagaimanapun aku adalah Papamu.” Azzalyn mengangkat bibir atasnya. “Cih, Papa? Apa kau pikir kau pantas disebut Papaku?” “Aku Papa kandungmu, entah kau suka atau tidak.” Tangan kiri Azzalyn kini menunjuk ke arah jasad Renita yang tertutup kain. “Lihatlah ke sana. Orang yang terbaring itu adalah Ibu sekaligus Papaku. Yang selama ini selalu ada di sampingku, berkorban dan memberikan yang terbaik untuk kehidupanku. Tapi sekarang sayangnya ia tak akan lagi bisa bersamaku.” Air mata Azzalyn mengalir deras. Hatinya kembali terluka. “Reni....” Krisna menjatuhkan kedua lututnya yang tiba-tiba terasa lemas. Berlutut di depan Azzalyn. Air matanya kini
“Ini dari CCTV di salah satu rumah warga di sekitar pelabuhan. Di video ini sekitar jam setengah 12 siang. Kamu lihat kan, itu Karyo yang baru aja pergi naik motornya mau cari makan siang. Nggak lama setelah Karyo pergi, ada mobil berwarna hitam yang berhenti. Coba kamu perhatikan, Azzalyn. Apa kamu kenal sama perempuan yang ada dalam video ini?” Bandi menjelaskan panjang lebar. Azzalyn mengamati dengan serius. Matanya membulat saat melihat sesosok wanita dalam video yang turun dari kendaraan roda empat tersebut.“Bintang, coba lihat. Itu bukannya Tante Riska?” Azzalyn memanggil Bintang yang berada di belakangnya. Pemuda itu memang meminta izin untuk ikut saat Karyo tadi menjemput Azzalyn di rumahnya.Bintang mendekat dan melihat wanita dalam video yang ditunjuk Azzalyn.“Eh, iya bener. Itu Tante Riska. Buat apa Tante Riska ke sini?”“Buka cuma itu aja,” Bandi mempercepat video. “Kalian lihat, nggak lama setelah dia berjalan ke arah pelabuhan, dia kembali lagi dengan langkah yan
“Bukankah Paman Bandi tadi bilang kalau kita nggak usah gegabah? Untuk apa kamu mau ketemu Tante Riska?”“Kamu tenang aja, aku nggak akan melakukan hal bodoh. Aku hanya ingin bicara berdua dengannya.”“Buat apa, Azzalyn? Lebih baik kita tunggu perkembangan kasus ini. Kalau kau bertemu dengannya, aku takut dia akan lebih waspada dan berusaha untuk memanipulasi barang bukti. Maaf, aku mengenal Tante Riska. Dia bukan orang yang mudah untuk dijatuhkan. Dia punya orang-orang bayaran yang tak segan untuk menyakiti musuh yang tak disukai.”Azzalyn tampak terkejut dengan pernyataan Bintang. “Apa dia punya banyak musuh sampai-sampai harus punya orang bayaran?”Bintang tertawa kecil. “Kamu pikir orang seperti mereka bisa hidup normal kayak kita? Keluarga Abyl memiliki perusahaan besar yang punya banyak saingan bisnis. Bahaya bisa mengintai mereka setiap saat. Dan selama ini yang aku tahu, Tante Riska itu yang berperan penting dalam menjaga keamanan keluarganya, terutama Abyl dan Dwita. Mere
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug