Audrey hanya mengangguk sambil menghirup udara pagi yang segar, mencoba menenangkan pikirannya. Setelah duduk dan pesawat mulai lepas landas, Audrey melepaskan sabuk pengamannya dan bersandar, memandang keluar jendela melihat kota Jepang yang perlahan mengecil dari ketinggian.
"Rasanya baru sebentar kita di sini." ujar Audrey tiba-tiba, lebih seperti berpikir keras daripada berbicara kepada Elang. Elang, yang sedang memeriksa beberapa dokumen di tablet, menoleh dan menatap Audrey. "Kita bisa kembali kapan saja. Jepang selalu bisa jadi tempat kita menghabiskan waktu bersama keluarga," jawabnya santai. "Yang penting, urusan mendesak di rumah harus kita selesaikan dulu." Audrey tersenyum kecil mendengar jawabannya. “Iya, mungkin lain kali kita bisa lebih lama.” Ia kemudian menyandarkan kepala di kursi, membiarkan dirinya rileks sembari menikmati sisa perjalanan pulang. Audrey memutusAudrey fokus pada laptopnya dengan diiringi lagu juga beberapa camilan pedas. Hingga ketukan dipintu, membuat Audrey beranjak dari sofa. Baru saja pintu terbuka, Nick yang berada diseberang pintu itu mengulas senyum. "Selamat malam nyonya, saya diperintahkan tuan Elang untuk mengatur stylish rambut anda." Audrey hanya mengangguk malas, lalu mulai mengikuti langkah Nick menuju lantai empat dimana ruangan spa pribadi berada disana. Audrey dan Nick yang memasuki lift yang menuju lantai 4. "Di lantai tiga memang ada apa Nick?" tanya Audrey penasaran. Nick yang sudah menekan tombol lift membalikkan badan. "Silahkan anda tanyakan pada tuan, nyonya. Namun walau anda penasaran mohon jangan sampai anda menginjakkan kaki dilantai itu. Sesuai peraturan yang ada." jelas Nick mencoba biasa saja. Audrey terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Baiklah, seperti yang kalian ucapkan saja." Jujur saja, dibenak audrey ia benar-benar merasa penasaran dengan isi lantai tiga itu. Audrey yang sibuk berpiki
Kicauan burung berbunyi, juga terbukanya jendela kamar Audrey yang sudah dibuka Mia untuk masuknya udara segar. Hari sekolah sudah tiba, pembelajaran baru dengan semester baru tiba. Audrey keluar dari waking closet dengan seragam yang sudah ia pakai. Rambut blonde itu ia kuncir tinggi-tinggi karena nantinya akan ada pembelajaran olahraga. Audrey turun kelantai bawah menggunakan tangga karena ingin berolahraga santai. Mia yang menunggu didepan lift menoleh saat mendengar langkah kaki menuruni tangga berbunyi cukup keras, karena sang empu terdengar berlari turun. Mata Mia melotot saat melihat Audrey, yang berlari menuruni tangga. "Nyonya, maaf kenapa ya anda turun menggunakan tangga? Apakah lift nya tidak berfungsi?" Audrey yang baru saja menginjakkan kakinya dilantai melirik sekilas. "Tidak." Mia yang mendengar itu semakin heran, "Lalu, untuk apa nyonya menggunakan tangga?" tany
Salsa langsung memutar bola matanya, sambil merespons dengan canda. "Ya ampun, Kak Audi! Kamu bikin aku deg-degan. Aku pikir benar-benar lupa beli oleh-oleh!" Audrey tertawa melihat ekspresi panik yang sempat menghiasi wajah adiknya. "Santai saja, Sa. Kakak tahu kamu pasti tidak lupa. Tapi kalau sampai lupa, wah... siap-siap saja!" Salsa tertawa, lalu mengeluarkan sebuah kantong kecil dari tasnya. "Ini dia! Aku enggak lupa kok. Ini kalung cantik dari Jepang buat Kak Audi, ini juga buat kak Mia." ujarnya sambil menyerahkan dua kotak kecil berisi kalung dengan liontin berbentuk bunga sakura. Audrey tersenyum lebar, merasa tersentuh. "Wah, terima kasih, Sa. Cantik sekali!" ujarnya sambil mengagumi kalung itu. "Kamu tahu saja selera kakak." Salsa hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum. "Yah, meski kadang kakakku ini jahil, tapi tetap aku sayang."Mia tersenyum menerima kotak perhiasan itu. "Terima kasih Salsa. Kalun
Elang yang memegang majalah segera menutup majalahnya. "Aku punya permintaan untukmu, aku ingin kamu mencoba memakai softlens berwarna. Apakah kamu bersedia?" tanya Elang panjang lebar menatap Audrey dengan lembut. Audrey mengerutkan alisnya, sedikit terkejut dengan permintaan itu. "Softlens berwarna? Untuk apa ya, Kak?" tanyanya, nada suaranya terdengar bingung. Elang meletakkan majalah di atas meja dan menatap Audrey dengan tenang. "Untuk keamanan dan terjaganya identitasmu." Audrey merenung sejenak, merasa sedikit ragu. "Apakah ini benar-benar perlu, Kak?" "Aku hanya merasa bahwa kamu akan cocok memakai softlens, karena aku akan mengajakmu mengikuti acara bisnis. Dan kukenalkan kamu sebagai istriku." jelas Elang Audrey yang terkejut langsung membelalakkan matanya, pipinya memerah karena tidak menyangka dengan pernyataan Elang. "Istri? Kakak serius?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa malunya
Audrey mencoba bersikap biasa saat semua mata tertuju pada padanya dan Elang. Elang mengulas senyum manis, berbeda ketika berada dirumah yang cenderung berwajah datar dan sering marah. Lampu-lampu flash begitu banyak dan menyilaukan, namun Audrey berusaha untuk tidak terpengaruh. Setelah difoto beberapa kali mereka segera memasuki ruangan area terlarang yang hanya bisa dimasuki oleh orang yang diundang. Baru saja masuk, Elang langsung dikerubuni beberapa pria lalu ia diperkenalkan, setelahnya Audrey digiring pelayan untuk menuju ke tempat para wanita. Audrey yang baru saja duduk, memakan beberapa makanan yang ada dimeja itu segera menyeka bibirnya, takut ada kotoran kotoran yang menganggu penampilannya. "Nyonya ini dari keluarga mana ya?" tanya wanita yang terlihat seusia Maudy. Audrey tersenyum, "Keluarg
Elang yang sedari tadi berbincang dengan para tamu undangan, mengalihkan pandangannya mencari Audrey. "Saya permisi sebentar, sepertinya saya kehilangan istri saya." ujar Elang dengan tawa kecil kepada para pria yang masih berada disana. Pria yang memakai kacamata itu mendengus, "Sejujurnya saya saja tidak mengetahui bagaimana istri anda Tuan Loues. Apakah anda tidak berniat memperkenalkannya dengan kami?" tanyanya dengan nada bercanda. Elang terkekeh. "Astaga, yang benar saja Tuan Mark, saya permisi dulu." pamitnya kepada semua orang lalu segera pergi mengakhiri percakapan yang tidak ada ujungnya itu. Elang yang berjalan dengan melihat sekeliling dihampiri oleh seorang wanita, "Apakah Tuan Loues sedang mencari istri anda?" tanya wanita itu ramah. "Ah iya, Nyonya Dom. Apakah anda melihatnya?" jawab Elang dengan mengulas senyum. Nyonya Dom mengangguk, "Nyonya Mikie membawanya pergi, namun saya tidak mengetahui pasti kemana mereka pergi." jelasnya singkat Elang yang menden
Keesokan harinya, Audrey terbangun dengan panik saat melihat jam dinding yang menunjukkan bahwa ia sudah terlambat. Tanpa berpikir panjang, ia segera bersiap dan memilih menuruni tangga dengan cepat, melewatkan sarapan yang sudah disiapkan di meja. Mia, yang sudah menunggu di bawah, terkejut melihat Audrey yang berlari menuruni tangga dengan rambut yang sedikit acak-acakan. "Nyonya, apakah Anda tidak akan sarapan dulu?" tanya Mia dengan nada cemas. Audrey sambil mengenakan sepatu dengan terburu-buru hanya melambaikan tangan. "Tidak, aku sudah terlambat. Ayo kita pergi sekarang!" Mia segera mengangguk, lalu mengikuti Audrey menuju mobil yang sudah siap di depan mansion. Audrey duduk di dalam mobil sambil menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah berlari tadi. "Hari ini benar-benar dimulai dengan kacau." gumamnya pelan. Mia, yang duduk di sebelahnya, tersenyum lemb
Monica selalu melihat Audrey sebagai kunci penting dalam memperkuat posisi Leo di dunia bisnis. Audrey, meskipun hanya berasal dari panti asuhan, entah bagaimana bisa membuat perusahaan besar seperti Mikie, mau bekerja sama dengan Leo. Ini adalah kesempatan yang langka, dan bagi Monica, kehilangan Audrey berarti kehilangan peluang yang sangat berharga. Namun, di balik perhitungannya yang rasional, Monica tidak bisa menghilangkan rasa benci yang timbul setiap kali ia memikirkan latar belakang Audrey. Baginya, Audrey tidak pantas berdiri sejajar dengan Leo, meskipun gadis itu cerdas dan memiliki pesona yang tak terbantahkan. Di satu sisi, Audrey adalah berkat terbaik yang pernah datang dalam hidup Leo, tetapi di sisi lain, asal-usul Audrey sebagai anak panti asuhan selalu menjadi duri dalam hati Monica. "Jika saja dia berasal dari keluarga yang lebih layak." seringkali Monica bergumam sendiri, merasa terjebak antara ambisinya untuk m