Plak!
Prang!Ragaku terhuyung ke belakang karena tak siap dengan tamparan di pipi, sehingga bokongku sukses mendarat di lantai dapur yang keras. Mangkuk kaca berisi sup daging pun melayang dan jatuh terburai. Isinya berserak bersamaan dengan kepingan pecahan kaca. Bahkan, pecahan dari mangkuk ada yang menyabet kaki. Perih.Aku kaget bukan kepalang mendapat perlakuan secara tiba-tiba dan kasar seperti itu. Apa ini? Kualihkan pandangan pada sosok tersebut. Netra membeliak tak percaya. Mas Reno?Ya, Mas Reno—suamiku. Pria tampan berperawakan tinggi dan tegap itu sedang bertolak pinggang menatapku nyalang."M-mas?! Ada apa? Kenapa pulang-pulang malah nampar Malaya?" tanyaku dengan suara yang bergetar menahan rasa sakit di pipi sekaligus di hati.Bekas tamparan Mas Reno kutekan kuat. Rasanya panas dan sedikit perih. Sejak kapan Mas Reno tiba? Mengapa aku tak mendengar suara deru mesin mobilnya? Apa karena terlalu asyik dengan kesibukan di dapur, sampai-sampai suami pulang pun aku tak menyadari? Dengan masih terduduk netraku kembali menyusuri lantai yang penuh tumpahan sup. Sayangnya, batinku."Kau keterlaluan Malaya. Sungguh keterlaluan! Apa kurangnya aku di matamu sampai tega ngelakuin ini semua?! Bahkan, kau sanggup mencoreng nama baik keluargaku! Kenapa, hah?!" bentaknya menudingku dengan telunjuk tepat ke arah wajah.DegAda yang berdenyut di sudut hatiku saat Mas Reno dengan gamblangnya menyebut kata 'Kau' padaku, padahal seumur-umur berumah tangga dengannya kata itu begitu 'Tabu' di telinga kami berdua.Netra lelaki yang kupanggil 'My love' itu memerah dan berair. Napasnya naik turun tak beraturan dengan cepat. Rahang yang tampak mengeras itu mengatup rapat. Aku sangat takut—takut melihat ia yang seperti bukan dirinya. Sungguh, aku benar-benar tak mengerti. Suamiku itu pergi pagi untuk mencari nafkah dengan kehangatan, mengapa malamnya pulang dengan penuh api dendam kemarahan, padahal ia adalah sosok yang sangat lembut dan penyabar.Sekesal apa pun Mas Reno terhadapku, ia tak akan pernah memasang raut muka semenakutkan itu. Pun, selama kami berpacaran hingga menikah tak pernah ia berlaku kasar. Jangankan memukul seperti ini meninggikan suara saja tak pernah ia lakukan.Tapi kini, tangan yang suka mengelus pipi dan membelai rambut hitam legam panjang milikku itu, tangan yang suka menautkan jari jemari jika kami saling berjalan bersama, malam ini, ya, malam ini mampu melakukan kekerasan terhadap fisikku."T-tapi kenapa, Mas? Malaya beneran nggak ngerti kenapa mas bisa marah sampai segitunya. Beri penjelasan, Mas," tanya dan ucapku dengan suara lemah dan bergetar sembari berusaha menahan tetesan bening dari pelupuk mata. Aku benar-benar syok diperlakukan seperti ini."Jangan banyak drama! Pura-pura nggak tau dan sok polos! Aku yakin, kau sebenarnya sudah tau kenapa aku begitu marah dan sanggup menamparmu!" cebiknya menatapku tajam."Mas ... Malaya beneran nggak tau apa-apa. Kalaupun Malaya melakukan kesalahan, beritahunya, kan, bisa baik-baik."Aku menekan nada bicara selembut mungkin. Berusaha menahan gejolak di dada walau hatiku sudah terlanjur sakit. Bagaimana pun ia suami yang harus aku hormati. Mas Reno orang yang lembut, pasti dengan kelembutan ini ia akan menyadari kesalahannya yang menegurku dengan kekerasan. Manalagi kurasakan ujung bibir yang semakin perih, membuatku tak bisa membuka mulut lebih lebar. Penasaran, kuraba di mana rasa sakit itu muncul dengan punggung jari telunjuk. Benar saja. Noda merah telah berada samar di sana. Sepertinya ujung bibirku robek."Tadinya aku nggak percaya Malaya. Kutepis semua kabar dan berita tantang tingkah lakumu di luaran sana. Tapi apa yang aku dapatkan! Pengkhianatan! Kau berkhianat, Malaya! Kau perempuan ular! Kau perempuan busuk!""Mas!" teriakku kecewa. Lelaki yang paling kusanjung itu begitu tega mengucapkan kata-kata yang tak pantas padaku. Demi Tuhan, aku tak pernah berkhianat di atas janji suci pernikahan kami. Apa alasan Mas Reno bisa berkata dan berpikiran sepicik itu terhadapku?Buliran bening tak mampu lagi kubendung. Akhirnya ia jebol juga. Bagai curahan air dari langit buliran itu terus saja membanjiri pipi. Dalam mata mengabur, kulihat Mas Reno membuka tas kerjanya dengan tangan bergetar dan terburu-buru."Apa ini? Siapa dia? Sudah berapa lama kalian saling berhubungan?!" teriaknya sambil melempar sesuatu ke arahku.Aku yang masih bergeming di lantai dengan pikiran yang berkelana tiba-tiba tersentak kala benda yang dilemparkannya mengenai wajah. Pedas di pipi dan sakit di bokong tak lagi kuperdulikan. Lembaran-lembaran yang beterbangan di udara, kini menjadi fokusku.Plek.Selembar foto jatuh di bawah kaki. Cepat kupungut salah satunya. Mataku membulat seketika begitu melihat apa yang tercetak di dalam foto."Astaghfirullah. A-apa ini?"Terlihat di sana seorang wanita yang sedang terbaring telentang dengan hanya ditutupi selembar selimut putih. Dari leher, bahu dan tangannya polos terbuka. Wanita itu terlihat kelelahan. Di sampingnya seorang pria juga ikut tertidur dengan posisi tertelungkup. Tangannya melingkar di perut sang wanita. Wajah mereka saling berhadapan hingga tak ada jarak yang memangkas di antaranya. Intim. Itulah yang bisa dideskripsikan jika se-siapapun melihat foto itu.Pria yang ada di foto membelakangi, hingga tak kelihatan dengan jelas wajah siapa itu. Namun, tidak dengan wajah sang wanita. Ia benar-benar terlihat dengan sangat jelas dan dia adalah ... aku sendiri."A-apa maksudnya ini, Mas?" jeritku histeris membuang foto seraya beringsut ke belakang dengan bokong. Tubuhku gemetar begitu juga dengan kedua tangan, turut gemetar seraya menjambak rambut. Takut—aku benar-benar takut dengan apa yang barusan kulihat.Tersadar dengan sekelilingku yang penuh dengan tebaran foto, kuraih kembali beberapa lembar untuk memastikan. Sama saja. Semua itu adalah foto-foto yang menampilkan wajahku dengan pose beraneka. Lelaki yang bersamaku pun tetap tak kuketahui siapa orangnya. Seluruh posenya membelakangi kamera, hanya wajahku saja yang tersorot."Kau bertanya apa?! Seharusnya aku yang bertanya padamu, Malaya. Apa ini!? Kau berselingkuh di belakangku, hah?! Kau berani berbuat mesum lalu mengabadikannya seperti ini?! Menjijikkan Malaya. Sangat menjijikkan! Kusangka kau wanita terhormat, tapi ternyata kau tak ubahnya seperti wanita penjaja kenikmatan di luaran sana!"DegKembali aku beringsut mundur dengan tubuh yang masih bergetar demi mendengar caci maki dari mulut seseorang yang paling kucintai di dunia ini. Tega! Crees"Aauuw."Nahas, saat mundur telapak tanganku malah menancap beling kaca. Pecahan itu sukses membuat sobekan besar di sana. Tanpa bisa dicegah lagi darah memuncrat begitu banyak hingga menodai pakaian yang kugunakan. "Maaas ... sakiiit, tolongin," histerisku demi rasa yang kini membelenggu telapak tangan. Perih dan berdenyut mulai merajai. Apalagi aku begitu phobia dengan yang namanya ... darah. "Tolong, Mas!" pintaku lagi dengan tangis yang semakin menjadi jadi. Aku tak bisa bergerak. Tungkai kakiku begitu lemas hanya untuk sekedar berdiri setelah melihat foto tadi dan kini ... malah melihat darah yang bercucuran. Bukannya berniat membantuku, Mas Reno berjalan cepat ke arah meja makan. Ia mengambil gelas yang berisi air di atas meja dan .... ByuurWajah beserta bajuku basah seketika. Pria itu menyiramkan seluruh air yang ada di
Bagai dihantam godam besar ke dada, aku merasa hancur berkeping. Mas Reno mengusirku dari rumah ini? "Tidak, Mas! Malaya nggak mau! Ini semua salah paham. Itu bukan Malaya. Pasti ada seseorang yang menginginkan kehancuran rumah tangga kita! Demi Allah dan Rasul-Nya. Malaya berani bersumpah! Malaya tak pernah mengkhianati cinta kita. Malaya—""Cukup! Kau tak perlu menjelaskan apa pun lagi. Semua bukti sudah jelas di foto-foto itu! Bahkan, aku juga sudah melihat video mesum kamu, Malaya! Aku ma-lu! Sangat malu dan jijik melihatnya!"Lagi. Ragaku bagai tersetrum ribuan volt saat Mas Reno berkata demikian. Tadi foto, sekarang ia bilang video mesum? Bisa gila diri ini jika terus-terusan dicecar dengan dosa yang tak pernah kulakukan sama sekali. "Video? Video apa lagi, bangsat!? Video appa!!! Huhu." Aku bertambah kalap. Tak memedulikan bahasa apa yang keluar dari mulutku. Pun, tak memedulikan lagi bila putriku terganggu dari tidurnya. Sebah di dada yang tak tertahankan lagi membuatku ingi
Mas Reno berbalik badan. Ia tampak kaget melihatku yang sudah berdiri di antara baju dan barang pribadi yang telah berserak akibat ulahnya tadi. "Mas, mari kita bahas semuanya dengan kepala dingin," kataku mencoba berucap dengan nada yang lembut. "Tidak Malaya. Tak ada yang perlu kita bahas lagi untuk ke depannya. Seribu kesalahanmu masih bisa aku maafkan, tapi jika masalah rumah tangga sudah berkaitan dengan perselingkuhan, aku tak akan sudi untuk berdamai. Tak ada kata tolerir untuk pengkhianatan! Kau jelas-jelas telah berselingkuh di belakangku dengan lelaki lain. Bahkan, sampai sanggup tidur dengannya. Berbagi peluh, berbagi erangan, berbagi kenikmatan!" ucapnya dengan nada tak se-menggebu-gebu tadi, tetapi penuh penekanan tegas di indra pendengaran. "Dari mana mas mendapatkan semua foto-foto menjijikkan itu?!" tanyaku akan asal usul foto jahanam yang menjadi bukti kuat Mas Reno menuduhku telah berselingkuh. "Dari mananya foto-foto itu kamu tak perlu tahu, Malaya," balas Mas R
Suamiku terus memaksa hingga berhasil membawaku berdiri dengan tangan yang masih menjambak. Sementara aku berusaha menguatkan pertahanan dengan mengeraskan tubuh di lantai. Tapi apa daya, tenagaku tak sebanding dengan tenaga lelaki itu. Dua kali hentakan dan tarikan di tangan ia berhasil membuatku berpindah posisi. "Sakit, Mas. Hentikan!" jeritku meminta. Akan tetapi, ayah dari putriku itu benar-benar tak ada rasa iba dan peduli. Ia terus saja membawaku hingga sampai di depan pintu utama.Darah kembali membasahi kasa yang membungkus luka. Mas Reno menghentikan perbuatannya sesaat untuk membuka pintu. Begitu benda ber-engsel itu terbuka tangan ini di tarik lagi hingga kami berdua berada di teras. Bruk! "Aaw," teriakku kesakitan. Hujan lebat disertai petir menyambut tubuhku yang didorong paksa oleh Mas Reno, hingga terjatuh di lantai berbaping block. Rintik air hujan laksana jarum yang dengan leluasa menembus hijab dan piyama. Lutut seketika perih, tapi aku gegas bangkit mencoba berl
Bagaikan besi panas yang ditancap ke ubun-ubun, otak langsung pecah. Begitulah yang kurasakan. Dengan entengnya bibir sang kekasih hati mengutarakan keraguan dari buah cinta kami. Sehina itukah diriku di matanya? Aku menghentikan tangan yang hendak mengangkat Qairen, berbalik badan dan menyeret langkah untuk mendekati papa dari anakku itu. Dengan pasti telapak tangan yang terluka naik ke udara dan, Plak! Plak! Dua tamparan dari tanganku mendarat di pipi lelaki bajingan itu dengan mulus. Ia hanya membalas dengan kekehan kecilnya lalu meludah ke lantai. Benar-benar bukan Mas Renoku. "Biadab! Iblis! Kau sanggup mengatakan Qairen bukan anakmu, hah! ? Kau boleh menghinaku! Kau boleh menyakitiku, tapi tidak untuk anak tak berdosa itu, Reno Armasyah! Camkan itu!" ucapku pedas padanya tanpa embel-embel 'Mas' lagi karena penghormatanku sudah hilang untuknya. Hatiku telah sakit untuk caci makinya pada diri ini. Namun, semuanya tak sebanding dengan rasa sakit dan benci yang kurasakan atas
Sekali lagi kutelusuri pahatan sempurna pada diri bocah kecil itu. Dimulai dari mata, bibir, hidung, dagu dan seluruh inti wajahnya. Perkataan Mas Reno tadi seketika mengganggu dan menyentil egoku. Diri pun ter-sugesti manakala tiba-tiba teringat dengan ucapan tante beserta sepupu-sepupuku yang selalu mengatakan jika wajah Qairen tak sedikit pun menuruni wajah dari papanya. Tak hanya mereka, Mama Chintya—mertuaku dan Ruri—adik ipar juga sama. Jika berkunjung dan menggendong Qairen selalu membubuhi perkataan yang menyakitkan. Wajah anakku lebih mirip seperti wajah papa tetangga. Menyedihkan memang, walaupun dalam candaan. Namun, tak seharusnya mereka mengatakan itu pada cucu dan ponakan sendiri. Hanya kedua orangtuaku saja yang tak akan berkata demikian. Mereka selalu menjaga perasaanku dengan mengatakan bila wajah anak kecil masih berubah-ubah mengikuti umur. Tanggapi saja ocehan mereka sebagai candaan semata tanpa harus memasukkannya ke dalam hati. Mengingat itu semua menjadikan n
Aku sedikit tersentak dengan semua persyaratan yang diajukan Mas Reno. Jika balik ke masa lalu, segala yang ada di rumah ini 90% nya adalah hasil dari kerja kerasku semasa gadis dan juga pemberian papa dan mamaku. Mas Reno tak ikut andil apa pun di dalamnya. Ia hanyalah seorang pria sederhana yang kuangkat derajatnya hingga bisa menduduki jabatan bagus di perusahaan Om Abi—adik kandungnya Papa. Bagaimana dengan tak tahu malunya, ia meminta semua harta itu tanpa ingin membagi sedikit pun kepadaku dan Qairen, padahal di dalam persyaratanku tak ada sedikit pun aku membahas harta buatku dan perceraian. "Bagaimana, Malaya? Kenapa kau lama sekali berpikirnya? Apa kau takut dengan persyaratan dariku? Jika benar begitu—""Baiklah Reno Armansyah. Aku menyetujui semua persyaratan darimu," potongku cepat tak ingin berlama-lama lagi berinteraksi dengannya. Lagian, sedari awal akulah orang yang menggaungkan persyaratan pra nikah itu. Air dalam gelas kuteguk habis, setelah itu meninggalkannya sen
Aku masih bisa memaklumi jika Mama yang marah denganku dan berucap tak semestinya, tapi mendengar Ruri berkata dan berlaku kasar serta menamai diri ini, aku tersinggung. Harga diri serasa sedang diinjak-injak olehnya. Memang kami seumuran, tapi aku adalah kakak iparnya. Tidak sepantasnya ia berkata seperti itu walau seribu kali diri ini membuat kesalahan. Aku tak suka! "Ya, kau tak perlu pegang-pegang Mama, Malaya. Mama merasa jijik dengan tanganmu itu yang sudah penuh dengan dosa! Seperti tangan wanita murahan!" ucap Mama Chintya menimpali perkataan anak gadisnya. DegAku benar-benar kaget mendengar penuturan dari mulut Mama Chintya sendiri. Ia berbeda, tidak seperti Mama Chintya yang biasa kukenal. Gigi-gigiku sampai bergemelutuk menahan geram. Selama tiga tahun lebih mengenal wanita itu, ia merupakan sosok yang memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan. Keibuan, lembut, perhatian dan penyabar menjadi ciri khasnya. Dari situ pula dapat kusimpulkan bila sifat Mas Reno menurun
"Bukankah Dokter Aslan sedang di luar kota, ya, Om?" tanyaku begitu nama dokter itu disebutkan.Bayang-bayang akan penglihatanku atas dirinya di rumah sakit tadi menghantarkan pada pikiran negatif. "Luar kota?" Om Abi membeo akan pertanyaanku. "Iya, Om tidak tau?" balasku. "Ck! Iya, mungkin Om kamu lupa. Iya, iya, Dokter Aslan udah balik dari luar kota. Baru aja. Tadi ... Tante sendiri yang memintanya untuk kemari," jelas Tante Nilam mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut. "Oh, ya udah. Kalau begitu Malaya mau memeriksa jasad mama dulu. Mari, Om, Tante."Kusudahi membaur dengan mereka. Selanjutnya aku menuju jasad mama yang telah ditutupi lebih banyak lagi kain jarik. Kusentuh kaki membujur itu pelan-pelan. Mama ... maafkan Malaya. Karena Malaya, sampai membuat mama seperti ini. Bu Laila menatapku iba, begitu juga kedua wanita yang masih setia berada di sebelahnya. "Bu, maafkan saya, ya," ucapku pada ketua pemandi jenazah itu. Aku merasa jika sikap dan perkataanku yang men
"Oh, tadi saya lihat sama Non Syafira di taman samping, Non. Coba lihat dulu, mana tau masih di sana," jawabnya. "Baik, terima kasih, ya," ucapku lagi. "Sama-sama, Non," balasnya. Aku berpindah ke samping rumah. Kediaman mamaku memang begitu besar. Setiap sudut dipenuhi dengan berbagai aneka bunga bermacam warna. Di taman belakang tumbuh berbagai pohon buah dan pohon peneduh. Seperti pohon mangga, pohon rambutan, pohon ketapang, dan beberapa pohon lain yang aku lupa namanya. Kata mama, dulu—ia sendiri yang menanam dan merawatnya hingga sampai sesempurna ini. Ah, itu dia. Ternyata, putri kecilku memang sedang bersama tantenya—Syafira. Mereka menikmati gemercik air pancur yang diperuntukan untuk kolam ikan mas Koi kesayangan almarhum papa. Tawa dan canda terlihat dari raut dan bibir mereka. Aku berniat mendatangi keduanya melalui lorong yang menghubungkan kamar para pembantu dengan taman di mana gadis beda generasi itu berada. "Kenapa kamu ikutan bersuara di sana, Naina! Bagaimana
"Maaf, ibu dan bapak-bapak sekalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dari pihak ahli bait, sebaiknya kita semua kembali ke depan saja. Biarkan masalah ini ditangani dan diselesaikan dulu oleh pihak keluarga. Mari semuanya!"Pak RT berinisiatif membubarkan para pelayat yang masih memenuhi ruangan. Di ujung sana, tampak Bu Laila dan kedua temannya begitu kerepotan saat menjawab tanya dari beberapa ibu-ibu pelayat. Dapat kurasakan tatapan aneh dari berpuluh pasang mata itu setelah mungkin mendapatkan jawaban dari para pemandi jenazah itu. Bisik-bisik menjadi pelengkap. Ibarat sebuah hidangan di atas meja, akulah yang dijadikan menu utamanya. "Ayo bapak dan ibu sekalian, kita menunggunya di depan saja!" ulang Pak RT memberi perintah dan ajakan pada mereka yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan tempat asal keributan. Kemungkinan tak enak hati untuk tak mengindahkan titah orang berpengaruh di lingkungan ini, akhirnya pada pelayat berangsur-angsur beranjak. Walaupun demikian, a
"Sialan kau! Berani-beraninya ikut campur urusan ma-ji-kan! Singkirkan tanganmu itu dariku! Atau ... kau akan menyesal saat ini juga!" perintah Mas Reno dengan menekanan kata 'majikan' untuk lelaki yang juga berstelan koko itu—Norman."Saya nggak akan ikut campur, Tuan Reno, andaikan anda bisa memperlakukan Non Malaya dengan lebih manusiawi!" sahut lawan bicara dari putra kebanggaan mama Chintya itu. Ucapannya terdengar santai. Namun, tegas di telinga. "Lancang! Kau itu hanya seorang jo-ng-os di rumah ini! Tak pantas menceramahiku!"DegMas Reno, tega sekali bibirnya mengeluarkan kata-kata itu. Bagai orang tak beradab, begitu entengnya ia mencela orang lain hanya karena status pekerjaan. Hei, apa pria itu lupa dengan status yang pernah ia sandang dahulu? Ya, status yang hampir sama persis dengan lelaki yang barusan ia hina. Mas Reno benar-benar telah mengubah sifat dan perangainya. Sifat dan perangai yang dulu begitu kubanggakan di dirinya kini telah memudar. Seiring memudarnya cint
"Apa-apaan kamu ini, Malaya? Kamu udah nggak waras, ya? Permintaan kamu itu sungguh gila. Mama udah meninggal. Kenapa harus mempersulit lagi?!"Aku membalikkan badan ke aska suara. Tak tahu darimana, tiba-tiba Mas Reno muncul. Tak segan, pria itu mengataiku gila dan tak waras di tengah keramaian dengan suara keras. Namun, aku tak ambil pusing. Kuanggap ucapannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada faedahnya. Kembali badan kubalikkan ke arah papa tiriku. "Bagaimana, Om? Om setuju, kan, kita bawa lagi mama ke rumah sakit sekarang?" ucap dan tanyaku mengulang keinginan pada lelaki yang bergelar suami kedua mamaku itu. "Kamu ini memang benar-benar sudah gila, ya!" tukas Mas Reno sambil memaksa tubuhku untuk kembali melihat ke arahnya dengan penuh amarah. Amarah yang tersulut karena aku tak mengindahkan perkataannya tadi. Mungkin! Terlihat jelas jika pria itu menolak usulanku mentah-mentah. Padahal, aku tak meminta pendapatnya sama sekali. "Ay ...."Om Santo akhirnya membuka mulut. Na
Apa putriku bersama papanya? Atau dengan Om Santo? Otakku langsung terhubung kembali pada dua nama tersebut. "Tadi sama Tuan Reno, Non. Non Qai endak mau dipegang siapa-siapa kecuali ama papanya," jawab Mbok Lani terlihat tak enak hati. Raut wajahnya menyirat rasa bersalah. Aku terdiam sebentar."Yaudah, gak papa, kok, Mbok. Saya hanya khawatir aja. Takut anak itu merengek kayak di rumah sakit tadi kalau sama orang lain. Tapi kalau sama papanya, bagus lah," timpalku berusaha bersikap sewajarnya.Entahlah. Padahal kalau boleh jujur, aku sedikit gelisah saat tahu Qairen bersama pria itu. Pria yang meragukan darah dagingnya sendiri. Terlihat tubuh mama sudah diletakkan di atas meja khusus untuk memandikan mayit. Bu Laila, yang kuketahui selaku ketua dalam seluruh proses pardu kifayah jenazah di lingkungan kami melakukan tugasnya.Dimulai dengan doa memandikan jenazah, lalu mengguyur tubuh mama dengan air wewangian beberapa kali. Dilanjutkan dengan memberi sabun. Mengguyur air kembali
"Sul—""Mbak!!!"Pekik amarah tenggelam saat tanganku buru-buru disentak seseorang. Itu Syafira. Aku mendengus kaget sekaligus kesal pada gadis bermanik biru muda akibat ditimpa soflens itu. Sementara, ia membelalak disusul gelengan beberapa kali agar aku menghentikan maksud. "Mbak, sabar! Jangan buat keributan! Kasihan Bunda, Mbak. Suasana masih dalam berduka. Biarkan aja dulu. Setelah mama mbak dimakamkan, aku sendiri yang akan mengusirnya nanti!"Dengan tegas Syafira menenangkanku. Mungkinkah sedari tadi ia mengawasiku saat sadar akan kehadiran Sultan di sini? "Istighfar, Mbak. Mbak mau buat keributan saat jenazah masih terbaring di sana? Mbak mau buat almarhum bunda sedih? Mbak nggak sayang sama bunda? Hem?" ulangnya menasehatiku dengan tanya yang telak menyudutkan hati. "Astaghfirullah al-azim."Seketika aku beristighfar. Menetralkan rasa yang membuncah di dada. Benar apa kata Syafira. Aku tak boleh meloloskan amarah di tengah keramaian. Logika dan sabar harus bermain. Apalagi
Kututup buku yang berisi ayat Yasin, tahtim, tahlil, dan doa tersebut lalu meletakkannya di sebelah tubuh membujur mama. Netra dengan kelopak yang terasa menutup akibat bengkak karena tangis, terus menjurus pada si empu pemberi salam, walaupun begitu payah kurasakan. Hufh. Aku menghela napas berat. Kehadiran wanita ini membuat suasana hatiku kembali kacau. Andaikan diminta untuk memilih, dengan tegas aku akan memilih agar ia tak perlu hadir. Karena jika ada sosoknya, atmosfer seketika bisa berubah—panas dan gerah. Lihatlah. Baru mendengar salamnya saja, kusadari bila seluruh mata di ruangan ini menjurus tak mau melepas arah pada wanita langsing, tetapi sedikit berisi itu, saat dirinya berjalan angkuh dan berlenggak lenggok mendekati jasad mama. Di belakangnya mengekor dua orang gadis modis yang tak kalah cantik. Salah satunya persis seperti wanita itu. Berjalan angkuh dengan dagu terangkat tinggi, sedangkan gadis satunya lebih sopan, melangkah dengan membungkukkan sedikit badan.
"Biar saya sendiri saja, Mbak," ucapku seraya melepas tangan Mbak Hanum yang masih setia melingkar di pinggang. "Non—"Gadis itu menggantung ucap saat telapak tangan kunaikkan ke arahnya. Ia pun terdiam dan berhenti berkata-kata, di mana, aku pun tak lagi memedulikan reaksi kedua wanita beda generasi itu atas tingkah lakuku. Kecamuk yang menyerang mental membuatku mengesampingkan sikap dan sopan santun. Huff. Gegas aku berlalu tanpa sepatah kata. Seumpama raga tak lagi bertulang, kuayun kaki menuju rumah. Sesampainya di ruang keluarga yang telah disulap menjadi ruang berkabung, aku berhenti sebentar. Beberapa jarak dari jenazah mama yang sudah dibaringkan menghadap kiblat, aku mematung. Menatap dalam tubuh kaku beliau yang ditutup kain batik serta dilapisi selendang putih transparan. Beberapa orang menatapku iba. Bisik-bisik yang tak dapat diartikan menemani kebisuanku. "Nak Malaya, kenapa bengong di sini? Ke sana, yuk! Kita yasinan." Aku membuang pandang ke samping saat seseora