Intan.. Intan, dimana kamu?" teriak Tommy.
Ia melihat kondisi rumah yang sepi dan lampu belum dinyalakan. Tommy segera berlari ke kamar Indah. Ia membuka lemari dan melihat semua pakaian dan barang milik Indah sudah lenyap. Di lemari hanya tersisa gaun yang pernah ia belikan untuk Intan.Tommy mengambil ponselnya dan berusaha menelepon Intan. Namun nomor ponsel istrinya sudah tidak aktif. Tommy melihat rekaman kamera pengawas di halaman. Ia melihat Intan keluar rumah dengan membawa sebuah tas."Jadi kamu berani kabur? Harusnya aku mengawasimu lebih ketat!" geram Tommy.Tommy risau dan menelepon Silvy untuk mencurahkan isi hatinya. Gadis itu justru merasa senang karena istri sah Tommy sudah mengalah dan pergi. Silvy merasa sudah memenangkan pertandingan."Tenang saja, Sayang, kalau Intan pergi, berarti sudah gak ada penghalang di antara kita. Apa kamu merasa sedih dan kehilangan dia?" Silvy membelai wajah Tommy."Bukan begitu, Sayang. Aku hanya takut kakek tahu dan marah padaku. Kakek sangat menyayangi Intan. Aku takut kakek akan menurunkan jabatanku dan mengalihkannya pada orang lain.""Sayang, jangan terlalu risau! Bukankah katamu kakek sedang sakit parah? Aku yakin kakek gak akan tahu kalau kamu gak menceritakan kepergian Intan pada siapapun. Aku akan datang ke rumahmu dan menginap, Sayang." Silvy menutup telepon itu sepihak.Setengah jam kemudian, Silvy datang ke rumah Tommy dengan sangat gembira. Ia terlihat sangat sehat, tidak seperti kemarin yang selalu mengeluh tidak enak badan dan mencari perhatian Tommy.Silvy tersenyum membayangkan dirinya akan menjadi nyonya di istana megah itu. Ia menelusuri ruangan demi ruangan di rumah itu. Ia merasa selangkah lagi impiannya akan terwujud, tanpa ada penghalang atau persoalan lagi.Silvy memeluk Tommy dengan erat dan mengecup bibirnya. "Sayang, kamu akan segera menikahi aku, kan?"Tommy terdiam sejenak, otaknya terasa buntu saat memikirkan jabatannya yang bisa saja terancam jika tiba-tiba Kakek Nugraha mengetahui semuanya. Namun sang kekasih justru tertawa gembira dan ingin segera merayakam kemenangan."Sayang, kenapa diam saja? Apa kamu ragu dengan hubungan kita? Sampai kapan aku harus menunggu kamu menikahi aku? Aku bosan menjalin hubungan tanpa kepastian ini. Aku lelah selalu menjadi wanita kedua di hidupmu!" rengek Silvy.Tommy menarik tangan Silvy dan memeluknya. "Iya, aku akan segera menikahimu, Sayang. Sabarlah sebentar lagi!" Tommy menelusuri lekuk tubuh indah Silvy dengan tangannya. Ia juga mencium kening dan pipi Silvy bertubi-tubi.Namun baru saja keduanya merasa bahagia dan saling bercumbu, bel rumah tiba-tiba berbunyi. Tommy segera melepaskan pelukannya dari sang gadis.Tommy membuka pintu rumahnya untuk melihat siapa tamu yang datang. Ia sangat terkejut ketika melihat siapa yang ada di balik pintu."Kakek.. bukannya Kakek di luar negeri?"Tommy menatap pria renta yang duduk di atas kursi dengan gemetar. Walaupun kondisi kesehatan Kakek Nugraha sedang kurang baik, tetapi beliau tetap berwibawa dan masih disegani dalam keluarga besar Tommy.Di belakang Kakek Nugraha ada seorang sekretaris pribadinya dan orang kepercayaannya."Tommy, mana Intan?" Tatapan kakek langsung membuat sikap Tommy berubah, ia ketakutan dan berusaha mencari jawaban yang tepat."Kakek, ayo masuk dulu!"Kakek Nugraha bertambah kesal ketika melihat seorang wanita asing berpakaian minim ada di dalam rumah."Eh, siapa kamu? Kenapa kamu ada di rumah cucu saya?" Kakek Nugraha menatap Silvy dengan tajam."Kakek, aku.."Sebelum Silvy menyelesaikan kalimatnya, Tommy langsung memotong, "Kakek, aku bisa menjelaskan semuanya.""Mana Intan?" teriak kakek lagi.Tommy tidak bisa menemukan alasan dan jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa sebenarnya sang kakek sudah merasa curiga padanya atau telah mendapatkan laporan dari anak buahnya. Tommy terpaksa mengaku dengan jujur mengenai apa yang sebenarnya terjadi. "Mm.. Intan pergi dari rumah, Kek. Aku sudah berusaha menghubunginya dan mencarinya, tapi..""Apa?! Kenapa cucuku pergi dari rumah ini? Apa yang kamu lakukan padanya, Tommy? Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa kamu?" Kakek Nugraha menunjuk wajah Silvy."Namaku Silvy, Kek. Aku dan Tommy saling mencintai dan akan menikah," jawab Silvy."Apa?! Tommy, beraninya kamu melakukan ini! Dan kamu wanita gak tahu diri, apa kamu buta? Tommy sudah mempunyai istri. Apa kamu sengaja menggoda pria beristri dan mengincar hartanya?" bentak Kakek Nugraha. Tommy bisa melihat dengan jelas, bahwa sang kakek tidak menyukai gadis yang ia cintai.Wajah Silvy pucat pasi, tubuhnya gemetar. Ia menatap Tommy, berharap pria itu akan membelanya. Namun jawaban Tommy justru bertolak belakang dengan keinginan hati Silvy."Kakek, ini hanya salah paham, aku dan Silvy gak punya hubungan apapun," kata Tommy."Tapi, Mas. Kenapa kamu gak mengakui hubungan kita? Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?" protes Silvy. "Kakek, aku gak bohong. Aku memang mempunyai hubungan dengan Tommy dan dia berjanji akan menikahi ku.""Sst.. Jangan sembarangan bicara! Pergi dari rumah ini!" Tommy menyeret Silvy keluar dari rumah itu. Silvy tentu memberontak dan tidak mau keluar dari rumah itu. Selangkah lagi impiannya menjadi seorang istri CEO dan nyonya di rumah itu akan menjadi kenyataan, tapi kini semua seolah lenyap begitu saja."Sayang, kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini? Baru saja kamu berjanji akan segera menikahi aku." Suara Silvy masih terdengar ketika Tommy menutup pintu besar itu dan menguncinya.Tommy kembali masuk dan duduk di sofa berhadapan dengan kakeknya. Ia yang biasanya gagah dan tidak takut dengan siapapun, kini menunduk gemetar di hadapan sang kakek."Kakek, aku bisa menjelaskan semuanya. Ini hanya salah paham. Silvy memang mengejar dan mengharapkan cintaku, tapi aku selalu berupaya menolak dia. Aku dan Silvy hanya berteman," kata Tommy."Kamu pikir kakekmu ini anak kecil yang bisa dibohongi? Kakek sudah melihat semua perbuatanmu, Tommy. Kakek tahu apa yang kamu lakukan pada Intan dan mengapa ia pergi dari rumah. Asal kamu tahu, walaupun Kakek sedang sakit, tapi semua keputusan perusahaan masih ada di tangan Kakek. Jabatanmu masih bisa Kakek copot kapan saja."Tommy mengangkat wajahnya, ia mulai terlihat cemas, karena usahanya akan hancur begitu saja jika Kakek Nugraha melaksanakan ancamannya."Kakek, maafkan aku. Tolong beri aku kesempatan lagi! Aku akan mencari Intan secepatnya dan membawanya kemari." kata Tommy."Kakek sangat kecewa dengan sikapmu, Tommy. Kakek pikir setelah kamu menikah dengan Intan, kamu bisa bersikap dewasa dan bijak. Kakek akan menangguhkan jabatan pimpinan tertinggi perusahaan sampai kamu bisa menunjukkan perubahan sikapmu. Jika ada calon yang lebih baik darimu, maka Kakek akan memberikan jabatan itu padanya.""Tapi, Kek.. Setidaknya lihatlah hasil pekerjaanku selama ini! Aku bekerja dengan sangat baik dan berhasil memberi keuntungan besar untuk perusahaan ini." Tommy berusaha keras untuk membela dirinya.Namun Kakek Nugraha mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk Tommy agar ia tak lagi banyak bicara. "Keputusan Kakek sudah bulat, Tommy. Mungkin hasil kerjamu memang cukup baik, tapi karakter dan sikapmu tidak cukup memenuhi standar yang Kakek tentukan bagimu."Kakek Nugraha meninggalkan rumah Tommy begitu saja. Meninggalkan Tommy yang merasa putus asa dan semakin membenci Intan."Argh.. Semua ini karena kamu, Intan! Semua usahaku selama ini menjadi sia-sia hanya karena kamu. Awas kamu Intan! Aku akan menemukanmu dan menyeretmu kembali ke rumah ini!" teriak Tommy."Bu, ada yang mau aku bicarakan sama Ibu," kata Intan pagi itu.Ibu Intan duduk di samping Intan dan menatapnya. "Ada apa, Nak? Sepertinya ada sesuatu yang serius."Intan menundukkan kepalanya dan menghela nafas panjang. "Sebenarnya Intan melarikan diri dari rumah, Bu." "Apa?! Jadi suamimu gak mengetahui kepergianmu? Dia gak tahu kalau kamu ada di sini?""Mungkin sekarang dia sudah tahu kalau Intan pergi, Bu," jawab Intan lesu."Tapi kenapa, Nak? Ada masalah apa antara kamu dan suamimu? Bukankah selama ini kalian selalu bahagia dan harmonis?" tanya Ibu Intan.Mata Intan mulai berkaca-kaca, ia menggigit bibirnya untuk menahan perasaannya sekuat tenaga. Namun hati yang teramat sakit membuatnya tak mampu bertahan. Air mata mulai mengalir di pipinya."Maaf kalau selama ini Intan berbohong, Bu. Intan menutupi semua kenyataan yang terjadi dari Ibu dan Bapak, juga semua orang. Intan hanya gak mau Ibu dan Bapak sedih memikirkan keadaan Intan." Intan menyeka air matanya."Apa yang sebenarnya
Setelah mengetahui kepergian Intan, kondisi kesehatan Kakek Nugraha kembali memburuk. Kakek Nugraha merasa bersalah kepada Intan dan keluarganya. Itu membuat kakek mengalami kesulitan tidur dan tidak berselera makan.Kakek memerintahkan pada anak buahnya untuk mencari Intan di kampungnya. Namun anak buah Kakek Nugraha tidak dapat menemukan intan dan keluarganya, karena mereka sudah pindah dari sana. Mereka telah kehilangan jejak Intan.Rasa kecewa dan kesedihan membuat Kakek Nugraha semakin melemah. Apalagi ditambah pula dengan rasa kesal dan amarah pada Tommy. "Tommy, kenapa kamu tega berbuat seperti itu pada gadis polos dan baik hati seperti Intan?" ucap Kakek Nugraha sambil berbaring lemah di tempat tidurnya.Tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban untuk kakek. Sejak saat itu Tommy juga tidak berani menampakkan batang hidungnya di depan sang kakek. Melihat kondisi itu, keluarga besar memutuskan untuk kembali membawa Kakek Nugraha ke Singapura untuk berobat dan menjalan
Tommy yang sedang rapat bersama beberapa kepala bagian di ruangannya terpaksa menghentikan rapat itu sejenak. Ia memberi isyarat untuk karyawannya dan meraih ponselnya setelah mendengar beberapa notifikasi pesan masuk.Suara itu ternyata berasal dari notifikasi SMS banking, yang menunjukkan ada transaksi keluar dari rekening tersebut. Mata Tommy terbelalak ketika melihat angka-angka yang tertera dalam pesan yang ia terima. Ada dua nominal dua ratus jutaan dan lima ratus juta. Pengeluaran sebesar itu hanya berjarak beberapa menit saja.Tommy mengerutkan keningnya, ia ingat kartu debit rekening itu dipegang oleh Silvy. Silvy memang biasa berbelanja sesuka hatinya, namun belum pernah ia melakukan transaksi dengan nominal sebesar itu dalam waktu kurang dari satu hari.'Apa yang sebenarnya ia beli?' Tommy langsung kehilangan konsentrasinya. Ia meminta rapat itu ditunda sampai besok. Ia harus segera meminta penjelasan pada Silvy.Setelah para karyawannya meninggalkan ruangannya, Tommy lang
Pagi itu Intan dan adiknya, Rudy sedang berada di kantor. Mereka menunggu perwakilan dari perusahaan lain yang akan mengajak bekerja sama."Pagi, Pak Rudy. Ini istri Bapak? Sudah berapa bulan usia kandungannya?" tanya Pak Sofyan, perwakilan PT. Cipta Mandiri. Intan hanya menyunggingkan senyum dan menjabat tangan Pak Sofyan. Memang bukan baru pertama kali ini ada yang menyangka kalau Intan dan Rudy adalah sepasang suami istri. Perut Intan yang semakin membuncit juga sudah tidak bisa ditutupi, sekalipun Intan memakai baju longgar atau jaket."Iya, Pak. Sudah enam bulan usia kandungannya," jawab Rudy.Sering kali Rudy memang terpaksa mengakui anak dalam kandungan kakaknya sebagai anaknya. Rudy tidak ingin Intan direndahkan, apalagi jika ada yang menghujatnya karena hamil tanpa ada seorang suami di sisinya.Di siang hingga sore hari, Intan menyibukkan diri, sehingga tidak terlalu merasa sedih dan kesepian. Namun saat sendirian malam hari, ia baru akan merasa sensitif dan sering menangis
"Sayang, kamu dimana? Aku sudah di rumah, tapi kamu malah belum di rumah," kata Tommy melalui panggilan ponselnya."Aku masih sama teman-teman arisan, Sayang. Satu jam lagi aku pulang." Silvy mengakhiri panggilan telepon itu sepihak. Tommy bisa mendengar tawa dan celoteh riang beberapa orang wanita yang sepertinya duduk tak jauh dari istrinya.Tommy melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur. Ia sedikit merasa kesal dengan kebiasaan baru Silvy setelah menikah. Silvy sibuk bergabung dengan para wanita sosialita, ke salon, belanja setiap hari.Bukan masalah jika Silvy bisa mengatur waktu dan tetap bisa melaksanakan tugasnya sebagai istri. Sering kali Tommy harus menjumpai rumah yang sepi saat pulang bekerja. Untungnya ada dua asisten rumah tangga yang selalu membuat pekerjaan rumah beres.Tommy keluar dari kamar dan duduk di meja makan. Masakan yang tersaji sudah dingin, Tommy tidak berselera menyantapnya sendiri. "Pak, mau saya panaskan makanannya?" tanya Bi Sumi."Gak perlu, Bi," jaw
Silvy yang merasa kesal langsung menuju ke kantor suaminya. Ia tidak peduli ketika sekretaris mencegahnya masuk ke ruangan Tommy. "Mas, aku mau bicara." Silvy membuka pintu ruangan itu. Tommy yang sedang berbincang dengan seorang pimpinan cabang terkejut."Silvy, aku sedang membicarakan masalah pekerjaan. Bisa kamu menunggu sebentar?" bisik Tommy."Aku mau sekarang, Mas. Masalah yang akan aku bicarakan juga gak kalah penting," jawab Silvy.Tommy terpaksa menghentikan pembicaraan dengan karyawannya itu. Tommy meminta karyawan itu keluar dari ruangannya.Tommy berdiri dan mendekati istrinya. "Ada apa ini?" Silvy menatap Tommy dengan tajam, ia sangat marah karena kejadian tadi."Mas, kamu sudah mempermalukan aku di depan banyak orang. Aku tadi sedang di kantor perumahan dan akan bertransaksi."Tommy menghela nafas panjang sambil menatap istrinya yang keras kepala itu. "Kamu gak boleh membuat keputusan sepenting itu sendiri. Kamu itu istriku, seharusnya kamu bicara dulu jika akan mengel
Pagi itu Intan bersiap-siap untuk bekerja. Ia merasa perutnya sedikit kencang dan sakit. Namun setelah beberapa menit rasa sakit itu hilang. Oleh karena itu Intan tetap pergi ke kantor.Setelah menempuh waktu tiga puluh menit, Intan dan Rudy tiba di kantor. Hari itu mereka sedikit sibuk dan ada beberapa janji dengan klien perusahaan. Mereka langsung berjalan dengan cepat ke elevator untuk naik ke lantai delapan.Di dalam elevator, perut Intan kembali terasa sakit."Aduh." Intan meraba perutnya dan meringis kesakitan."Mbak, kenapa?" Rudy memegang bahu Intan dengan panik."Ah, gak apa-apa, Rud. Tadi sedikit sakit, tapi sekarang sudah hilang rasa sakitnya. Mungkin keponakanmu ini semakin besar dan sangat lincah bergerak." "Biasa anak laki-laki, Mbak. Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya Rudy."Gak perlu, kamu tenang saja," jawab Intan sambil tersenyum.Intan dan Rudy menuju ruangan mereka masing-masing. Keduanya langsung menyibukkan diri dengan pekerjaan mereka.Sesuai jadwal, Rudy la
Kehidupan Intan berubah total dengan kehadiran Darren. Darren kecil sangat tampan, sehat, dan menggemaskan. Setiap orang yang melihatnya pasti ingin menggendong dan menciumnya. Sekalipun harus mengalami perubahan pola hidup, jam istirahat, dan harus merawat Darren sendiri, Intan sangat bahagia dan menikmatinya. Intan menghabiskan sebanyak mungkin waktu bersama putranya dengan menyusui, menggantikan popok, menggendong dan menemani Darren setiap malam."Mama sangat menyayangi kamu, Darren," bisik Intan malam itu. Ia sedang menidurkan Darren dalam pelukannya. Intan sadar, waktu sangat berharga dan cepat berlalu. Masa kecil Darren takkan terulang kembali dan akan menjadi kenangan terindah dalam hidup Intan.Setiap malam, Intan selalu memandangi wajah Darren yang tertidur lelap. Wajah Darren sangat mirip dengan Tommy, terutama pada bagian hidung, rambut, dan bibirnya. Kulit Darren juga putih bersih seperti sang papa."Sayang, semoga karaktermu gak seperti papamu. Kamu harus menjadi pria
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r