Melihat foto-foto mesra Tommy dan Silvy, hati Intan terasa nyeri. Di saat dirinya berjuang menjalani masa kehamilannya yang tidak mudah, melewati malam-malam sepi, merasakan sakit dan mengidam sendirian, ternyata Tommy sedang asyik menjalani pernikahan barunya. Bahkan di saat Intan harus bertaruh nyawa untuk melahirkan Darren, Tommy tidak berada di sisinya. Intan berpikir, mungkin Tommy merasa lebih bahagia saat ini. Mungkin saja Tommy sudah menganggap dirinya mati, atau tidak pernah hadir dalam hidupnya.Malam itu, dari balkon kamarnya Intan menumpahkan air mata kemarahannya. Ia segera menghubungi Rudy untuk menemuinya di ruang keluarga."Rud, Mbak akan segera melaksanakan rencana untuk membalas Mas Tommy," katanya."Mbak yakin sudah siap? Keluarga mereka bukan orang sembarangan. Mereka mempunyai uang, aset, dan pengaruh yang besar dalam dunia bisnis," ujar Rudy."Beberapa bulan ini kita sudah mempelajari usaha mereka. Kita juga meningkatkan kapasitas dan kemampuan kita. Mbak juga t
"Mas Tommy, pulang sekarang! Kamu harus menjelaskan sesuatu padaku!" teriakan Silvy di ujung telepon membuat Tommy tersentak.Tak biasanya Silvy marah dan memaksanya seperti itu. Tommy mematikan dan menutup laptopnya. Beruntungnya hari ini tidak ada jadwal apapun, Tommy hanya memeriksa dan menandatangani beberapa berkas di mejanya.'Apa lagi yang Silvy mau? Apa dia mau memaksa untuk membeli rumah lagi? Kenapa dia gak berhenti membuat masalah?' Tommy mengurut keningnya yang terasa pusing memikirkan ulah Silvy yang beragam setiap hari.Tommy segera meninggalkan kantornya, ia tahu Silvy akan semakin meradang jika ia tidak segera pulang. Silvy bahkan pernah datang ke kantor dan meluapkan amarahnya di depan beberapa karyawan. Hal itu tentu membuat Tommy merasa sangat malu di hadapan para karyawannya.Tommy akhirnya tiba di rumah. Ia melihat penampilan Silvy sangat kacau. Silvy duduk di sofa, dengan air mata bercucuran yang membuat sebagian riasannya luntur. Tommy sama sekali tidak mengerti
"Ayo masuk, Mas!" ajak Velicia tanpa rasa segan."Di sini saja! Aku gak mau berlama-lama bicara sama kamu! Aku gak akan masuk ke dalam kamarmu!" tegas Tommy."Baiklah, aku juga senang bicara di sini, supaya semua orang yang ada di sini tahu, ada seorang CEO yang datang menemui aku. Siapa tahu ada di antara mereka yang merekam kita dan membagikan videonya. Kita pasti akan cepat terkenal, Mas," jawab Velicia dengan santai."Apa maksudmu? Kamu mau mengedarkan berita yang gak benar lagi? Hentikan! Aku bisa menuntutmu!" gertak Tommy.Velicia tidak gentar dengan ancaman Tommy. Dia justru tertawa dengan keras dan secara sengaja menarik perhatian beberapa tetangga kosnya.Tommy semakin terdesak, terpaksa ia mendorong Velicia masuk ke dalam kamar kosnya. Velicia tersenyum dan menutup pintu kamarnya."Mau minum apa, Sayang?" tanya Velicia."Gak perlu! Aku gak punya banyak waktu. Kenapa kamu mengedarkan foto-foto itu? Kamu mau menjebak aku dan mengambil keuntungan dariku? Apa maumu Velicia?" ser
Tanpa terasa, dua minggu berlalu dengan sangat cepat. Intan alias Caroline sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk bertemu kembali dengan Tommy.Hal yang paling utama tentu adalah kesiapan mentalnya. Ia bukan lagi wanita lemah dan penurut yang selalu menunduk dan taat di depan Tommy.Intan sudah membaca berita mengenai dugaan perselingkuhan Tommy yang kembali merebak. Ia sama sekali tidak terkejut dengan berita itu. Intan hanya teringat bagaimana pedihnya rasa hatinya ketika mendapati sang suami telah mendua.'Ternyata kamu gak pernah merasa puas, Mas. Kamu kembali bermain api dan menyakiti wanita,' batin Intan.Namun beberapa hari setelah berita perselingkuhan Tommy itu menyeruak, berita itu kembali reda. Velicia telah menepati janjinya setelah menerima uang dari Tommy.Intan mengerti bahwa Tommy telah menggunakan kuasa dan materi yang ia miliki untuk meredam berita viral itu. Pada malam sebelum acara pembukaan kantor mereka di Jakarta yang akan mengundang beberapa perusahaan terna
Acara pertemuan itu berjalan dengan lancar. Tommy langsung kembali ke rumah setelah acara itu berakhir.Dalam perjalanan ke rumah, pikiran Tommy melayang tak menentu. Tommy berpikir dengan keras dan bertanya-tanya dalam hatinya.'Siapa gadis itu? Kenapa aku merasa dia gak asing? Aku merasa seperti pernah mengenal dia. Apa kami pernah berjumpa di luar negeri? Atau di acara perusahaan lain?' Entah dari sisi mana, tapi ada ekspresi wajah dan gaya Caroline yang mengingatkan Tommy pada seseorang.Cukup lama Tommy merenung dan berusaha menemukan jawaban. Sampai di suatu jalan sepi ia menghentikan mobilnya secara mendadak. "Caroline mirip dengan Intan." Tommy berbicara sendiri."Ah, tapi dia gak mungkin Intan! Caroline sangat cantik, anggun, dan berkelas. Mungkin hanya mirip, atau ada yang salah dengan diriku. Kenapa tiba-tiba aku ingat sama Intan? Tommy, mustahil kamu merindukan Intan!"Ponsel Tommy tiba-tiba berbunyi, ia melihat nomor asisten pribadi kakeknya muncul di layar. Jantung Tom
"Bukan begitu, Kek. Mana mungkin aku berpikir seperti itu? Aku benar-benar senang melihat Kakek sudah kembali sehat," jawab Tommy berusaha tersenyum dan bersikap normal. Namun semua itu justru membuat suasana semakin canggung dan kaku."Ah, Kakek tahu sejak dulu kamu selalu memberontak dan melawan Kakek. Salah satu buktinya adalah kamu tetap menikahi wanita itu." Kakek Nugraha menunjuk wajah Silvy.Silvy menundukkan kepalanya semakin dalam. Wajahnya terasa panas karena ia sadar bahwa tatapan semua orang di ruangan itu tertuju padanya."Jangan seperti itu, Kek! Silvy sudah sah menjadi istriku. Tommy harap Kakek dan seluruh keluarga bisa menerima Silvy sepenuhnya," bisik Tommy."Silakan saja berusaha, karena Kakek tetap pada pendirian Kakek. Kakek bisa merasakan Intan lebih baik dan tulus padamu." Kakek Nugraha memberi isyarat pada perawatnya untuk mengantarnya ke ruang tengah untuk menemui tamu yang lain.Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh tinggi dan tampan masuk bersama kedua o
'Dasar Carlo, masih saja dia suka cari muka di depan kakek! Awas saja nanti! Akan kucari cara supaya kakek benci dan marah sama Carlo,' batin Tommy saat keluar dari ruang kerja Kakek Nugraha.Silvy yang sudah menunggu bisa membaca ekspresi wajah Tommy yang kusut dan lesu, bahwa telah terjadi sesuatu yang membuat suaminya itu kecewa."Ayo kita pulang!" ajak Tommy.Tommy dan Silvy berpamitan pada kakek dan semua anggota keluarga. Di dalam mobil, Tommy tidak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya. Wajahnya semakin cemberut, Tommy juga menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia juga membunyikan klakson berulang kali karena merasa tidak sabar dengan kendaraan di depannya."Sabar, Mas! Kalau kamu emosi seperti itu, kita bisa kecelakaan. Memangnya tadi apa yang kakek bicarakan?" Silvy memegang tangan suaminya.Tommy mendengus kesal. "Seperti dugaan kita sebelumnya, kakek tetap gak suka sama kamu. Kakek menentang pernikahan kita. Kakek malah memuji Carlo dan akan mempromosikan dia. Aku benc
Pagi itu Silvy kembali duduk menunggu giliran di depan ruangan dokter kandungan. Ia membawa sebuah amplop panjang berisi hasil pemeriksaan atas kondisi kesuburannya. Silvy sama sekali tidak mengerti hasil yang tertera di dalamnya. Tak sabar rasanya ia menunggu penjelasan dari dokter.Ia melihat sekelilingnya dengan gelisah. Setiap detik dan menit terasa sangat lama berjalan. Silvy melihat setiap pasien yang dipanggil masuk ke ruangan dan keluar dengan berbagai ekspresi wajah yang berbeda.Ada yang tersenyum dan menangis haru sambil mengusap perut yang sudah mulai membesar. Ada pula yang berwajah muram, mungkin karena hasil pemeriksaan dokter yang kurang baik. Silvy hanya berharap saat ia keluar dari ruangan dokter itu, ia akan menerima kabar baik mengenai kondisi tubuhnya. Ia dan suaminya membutuhkan anak ini untuk tetap bertahan dalam keluarga Tommy.Setelah menunggu selama hampir satu jam, akhirnya nama Silvy dipanggil oleh perawat. Silvy masuk ke dalam ruangan dengan senyum penuh
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r