Setelah mengetahui kepergian Intan, kondisi kesehatan Kakek Nugraha kembali memburuk. Kakek Nugraha merasa bersalah kepada Intan dan keluarganya. Itu membuat kakek mengalami kesulitan tidur dan tidak berselera makan.
Kakek memerintahkan pada anak buahnya untuk mencari Intan di kampungnya. Namun anak buah Kakek Nugraha tidak dapat menemukan intan dan keluarganya, karena mereka sudah pindah dari sana. Mereka telah kehilangan jejak Intan.Rasa kecewa dan kesedihan membuat Kakek Nugraha semakin melemah. Apalagi ditambah pula dengan rasa kesal dan amarah pada Tommy."Tommy, kenapa kamu tega berbuat seperti itu pada gadis polos dan baik hati seperti Intan?" ucap Kakek Nugraha sambil berbaring lemah di tempat tidurnya.Tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban untuk kakek. Sejak saat itu Tommy juga tidak berani menampakkan batang hidungnya di depan sang kakek.Melihat kondisi itu, keluarga besar memutuskan untuk kembali membawa Kakek Nugraha ke Singapura untuk berobat dan menjalani perawatan di sana.Setelah mengetahui kepergian kakeknya, Tommy kembali merasa di atas angin. Kata maaf dan penyesalan yang kemarin diucapkannya di hadapan kakeknya kini bagaikan angin lalu.'Akhirnya kakek tua itu pergi dan menyerah,' batin Tommy dengan rasa lega yang tak terlukiskan.Ia kembali berpikir untuk menemui Silvy dan meminta maaf padanya. Ia tahu pasti, Silvy pasti sangat marah dan kecewa karena tindakannya kemarin.Oleh karena itu, malam itu Tommy datang ke rumah Silvy sambil membawa buket bunga yang besar. Sesampainya di depan rumah Silvy, Tommy meneleponnya.Silvy yang masih kesal awalnya enggan keluar dari rumah. Namun Tommy selalu punya cara untuk merayu dan membujuknya. Silvy akhirnya keluar dari rumah dengan memakai baju tidur tipis dan sweater. Tommy tentu tetap bisa melihat lekuk tubuh indah dari wanita itu.Tommy menelan salivanya dan menatap Silvy, ia sudah sangat ingin menerkam Silvy seperti yang biasa ia lakukan."Mau apa kamu datang kemari?" tanya Silvy dengan ketus."Sayang, jangan marah lagi, ya. Aku bawakan bunga ini untukmu." Tommy menyerahkan buket bunga yang cantik itu pada Silvy.Silvy menerimanya, namun ia hanya melihat sekilas dan meletakkannya di meja."Mudah sekali kamu meminta maaf, setelah kamu menolak dan mempermalukan aku di depan kakekmu? Aku bingung, mana ucapanmu yang bisa aku percayai? Kamu mengatakan akan menikahi aku, tapi setelah itu di depan kakekmu semuanya berubah. Kamu sendiri yang menyangkal ucapanmu itu." Silvy mengalihkan wajahnya ke dinding dan tidak mau menatap Tommy."Maafkan aku, Sayang. Aku saat itu terpaksa melakukannya. Kedatangan kakek yang sangat tiba-tiba membuat aku terkejut. Aku panik dan hanya berpikir bagaimana cara menyelamatkan posisiku. Aku sudah lama berjuang untuk jabatan dan posisi ini, sampai harus menikah dengan wanita jelek itu. Aku gak rela semuanya gagal dan hilang begitu saja," beber Tommy."Aku lelah, Mas. Kalau kamu belum bisa memberi jaminan atas hubungan ini, kita akhiri saja semuanya. Aku bisa mendapatkan pria manapun yang aku mau, anak konglomerat, CEO, semuanya mengakui kecantikanku dan memujaku. Atau aku bisa mendekati Carlo, saudara sepupumu itu. Aku yakin bisa membuat dia takluk dan jatuh ke pelukanku," tantang Silvy.Tommy memegang tangan Silvy. "Jangan begitu, Sayang. Hanya kamu wanita yang bisa menaklukkan hatiku. Aku benar-benar mencintai kamu, inilah fakta yang sebenarnya. Kamu yang kuinginkan untuk menjadi istriku selamanya."Silvy menarik tangannya dan melipatnya di depan dada. "Aku gak butuh semua rayuanmu, Mas. Yang aku minta hanya kepastian. Kapan kamu akan menikahi aku?""Aku tahu, Sayang. Secepatnya aku akan mewujudkan impian kita." Tommy mulai menarik Silvy ke dalam pelukannya dan mencumbunya. Selama beberapa hari saling bertemu, membuat Tommy harus menahan kerinduan dan hasratnya pada Silvy.Silvy melepaskan kecupan Tommy dan meletakkan jemarinya di bibir Tommy. "Tapi bagaimana dengan kakekmu? Bukankah kamu takut padanya? Kemarin saja kamu menolak untuk mengakui aku di hadapan kakekmu. Aku ragu, kamu berani mengakui hubungan kita di hadapan banyak orang, seluruh keluarga dan kolega bisnismu. Aku mau pernikahan kita sah, diketahui oleh seluruh keluargamu. Semua orang harus tahu, bahwa Silvy adalah istri Tommy, CEO Mega Jaya Grup."Tommy menarik kembali pinggang Silvy yang ramping dan memeluknya. "Kamu tenang saja, Sayang. Kali ini aku akan melakukan apapun yang kamu mau. Asal kamu tahu, kakekku sakit sejak mengetahui keadaan Intan. Dia berusaha mencari wanita itu di kampungnya dan dimana saja, tapi gak berhasil menemukan dia. Sekarang kakekku kembali dibawa ke Singapura. Aku yakin, kakek belum membuat keputusan apapun mengenai jabatan dan posisiku karena terlalu sibuk mencari Intan. Jadi posisiku aman sampai saat ini.""Tapi bagaimana kalau kakekmu kembali lagi dan tetap menentang hubungan kita? Apa kamu punya nyali untuk memperjuangkan hubungan dan status kita nantinya? Aku gak mau dipermainkan lagi, Mas. Aku juga gak butuh harapan palsu darimu," ucap Silvy.Tommy terdiam sejenak, namun sebuah senyum licik terukir di wajahnya. "Aku yakin kali ini kakek gak akan bisa kembali ke Indonesia. Aku sudah menyelidiki dan mendapatkan informasi yang akurat, bahwa penyakit kakek menjadi lebih parah dari sebelumnya. Kakek terlalu larut dalam kesedihan dan merasa bersalah pada Intan. Aku yakin kalau kakek kali ini akan tamat.""Benarkah? Jadi gak ada lagi yang bisa menghalangi kita?" tanya Silvy antusias."Tentu saja, selagi kakek dirawat di Singapura, kita bisa bergerak bebas. Kita wujudkan semua keinginan dan harapan kita. Aku akan melakukan beberapa kebijakan dan keputusan di perusahaan yang membuat posisiku semakin kokoh. Seandainya nanti kakek kembali, kita sudah sah menjadi suami istri. Dia pasti gak bisa berbuat apa-apa untuk menentang hubungan kita," jawab Tommy.Setelah mendengar ucapan Tommy, Silvy bisa kembali tersenyum."Kalau begitu, kamu harus menikahi aku secepatnya.""Baiklah, kamu atur saja semuanya, Sayang." Tommy membelai rambut Silvy."Mata Silvy berbinar, ia memegang lengan Tommy dengan erat. "Benarkah? Aku boleh mempersiapkan rencana pernikahan kita sesuai dengan impian dan keinginanku?""Tentu saja, Sayang. Lakukan apapun yang kamu mau. Aku akan selalu mendukungmu, karena aku mencintaimu. Kamu adalah permaisuriku," jawab Tommy dengan yakin."Ah.. Terimakasih, Sayang." Silvy memeluk Tommy dan tersenyum membayangkan impiannya yang akan segera menjadi kenyataan.Tommy berbisik di telinga Silvy, "Sekarang, yang paling penting kamu harus membuat aku senang dulu, Sayang. Beberapa hari ini aku sangat menderita karena gak bisa bertemu denganmu."Silvy tertawa manja, ia pasrah ketika Tommy menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tommy melucuti helai demi helai pakaian yang melekat di tubuh indah Silvy."Ah, kamu memang nakal, Mas!" Silvy tersipu malu, namun ia juga enggan melepaskan tangannya dari pundak Tommy."Kamu yang nakal, kamu selalu hinggap di pikiranku dan membuatku sangat tersiksa." Tommy merapatkan tubuh Silvy dan menjilat bibir merahnya.Godaan dan sentuhan lembut itu seakan memancing Silvy. Tubuh indahnya segera bereaksi dan merespon Tommy."Kamu selalu bisa membuat aku puas, Sayang," bisik Tommy di dekat telinga Silvy."Kamu juga, Sayang. Sejujurnya aku juga selalu merindukanmu. Kamu adalah pria yang sangat aku cintai seumur hidupku." Silvy terengah-engah. Keringat Tommy dan Silvy sudah mengucur deras.Seperti biasanya, keduanya saling memuaskan hasrat dan hawa nafsu mereka. Hubungan di antara keduanya bagaikan candu yang membuat Tommy semakin mabuk asmara dan terikat pada Silvy.Tommy tidak pernah merasa bersalah dengan kepergian Intan. Tanpa ia sadari, di luar sana, ada seorang ibu yang mengandung buah hatinya. Intan harus mengalami derita berkepanjangan karena sang suami.Tommy yang sedang rapat bersama beberapa kepala bagian di ruangannya terpaksa menghentikan rapat itu sejenak. Ia memberi isyarat untuk karyawannya dan meraih ponselnya setelah mendengar beberapa notifikasi pesan masuk.Suara itu ternyata berasal dari notifikasi SMS banking, yang menunjukkan ada transaksi keluar dari rekening tersebut. Mata Tommy terbelalak ketika melihat angka-angka yang tertera dalam pesan yang ia terima. Ada dua nominal dua ratus jutaan dan lima ratus juta. Pengeluaran sebesar itu hanya berjarak beberapa menit saja.Tommy mengerutkan keningnya, ia ingat kartu debit rekening itu dipegang oleh Silvy. Silvy memang biasa berbelanja sesuka hatinya, namun belum pernah ia melakukan transaksi dengan nominal sebesar itu dalam waktu kurang dari satu hari.'Apa yang sebenarnya ia beli?' Tommy langsung kehilangan konsentrasinya. Ia meminta rapat itu ditunda sampai besok. Ia harus segera meminta penjelasan pada Silvy.Setelah para karyawannya meninggalkan ruangannya, Tommy lang
Pagi itu Intan dan adiknya, Rudy sedang berada di kantor. Mereka menunggu perwakilan dari perusahaan lain yang akan mengajak bekerja sama."Pagi, Pak Rudy. Ini istri Bapak? Sudah berapa bulan usia kandungannya?" tanya Pak Sofyan, perwakilan PT. Cipta Mandiri. Intan hanya menyunggingkan senyum dan menjabat tangan Pak Sofyan. Memang bukan baru pertama kali ini ada yang menyangka kalau Intan dan Rudy adalah sepasang suami istri. Perut Intan yang semakin membuncit juga sudah tidak bisa ditutupi, sekalipun Intan memakai baju longgar atau jaket."Iya, Pak. Sudah enam bulan usia kandungannya," jawab Rudy.Sering kali Rudy memang terpaksa mengakui anak dalam kandungan kakaknya sebagai anaknya. Rudy tidak ingin Intan direndahkan, apalagi jika ada yang menghujatnya karena hamil tanpa ada seorang suami di sisinya.Di siang hingga sore hari, Intan menyibukkan diri, sehingga tidak terlalu merasa sedih dan kesepian. Namun saat sendirian malam hari, ia baru akan merasa sensitif dan sering menangis
"Sayang, kamu dimana? Aku sudah di rumah, tapi kamu malah belum di rumah," kata Tommy melalui panggilan ponselnya."Aku masih sama teman-teman arisan, Sayang. Satu jam lagi aku pulang." Silvy mengakhiri panggilan telepon itu sepihak. Tommy bisa mendengar tawa dan celoteh riang beberapa orang wanita yang sepertinya duduk tak jauh dari istrinya.Tommy melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur. Ia sedikit merasa kesal dengan kebiasaan baru Silvy setelah menikah. Silvy sibuk bergabung dengan para wanita sosialita, ke salon, belanja setiap hari.Bukan masalah jika Silvy bisa mengatur waktu dan tetap bisa melaksanakan tugasnya sebagai istri. Sering kali Tommy harus menjumpai rumah yang sepi saat pulang bekerja. Untungnya ada dua asisten rumah tangga yang selalu membuat pekerjaan rumah beres.Tommy keluar dari kamar dan duduk di meja makan. Masakan yang tersaji sudah dingin, Tommy tidak berselera menyantapnya sendiri. "Pak, mau saya panaskan makanannya?" tanya Bi Sumi."Gak perlu, Bi," jaw
Silvy yang merasa kesal langsung menuju ke kantor suaminya. Ia tidak peduli ketika sekretaris mencegahnya masuk ke ruangan Tommy. "Mas, aku mau bicara." Silvy membuka pintu ruangan itu. Tommy yang sedang berbincang dengan seorang pimpinan cabang terkejut."Silvy, aku sedang membicarakan masalah pekerjaan. Bisa kamu menunggu sebentar?" bisik Tommy."Aku mau sekarang, Mas. Masalah yang akan aku bicarakan juga gak kalah penting," jawab Silvy.Tommy terpaksa menghentikan pembicaraan dengan karyawannya itu. Tommy meminta karyawan itu keluar dari ruangannya.Tommy berdiri dan mendekati istrinya. "Ada apa ini?" Silvy menatap Tommy dengan tajam, ia sangat marah karena kejadian tadi."Mas, kamu sudah mempermalukan aku di depan banyak orang. Aku tadi sedang di kantor perumahan dan akan bertransaksi."Tommy menghela nafas panjang sambil menatap istrinya yang keras kepala itu. "Kamu gak boleh membuat keputusan sepenting itu sendiri. Kamu itu istriku, seharusnya kamu bicara dulu jika akan mengel
Pagi itu Intan bersiap-siap untuk bekerja. Ia merasa perutnya sedikit kencang dan sakit. Namun setelah beberapa menit rasa sakit itu hilang. Oleh karena itu Intan tetap pergi ke kantor.Setelah menempuh waktu tiga puluh menit, Intan dan Rudy tiba di kantor. Hari itu mereka sedikit sibuk dan ada beberapa janji dengan klien perusahaan. Mereka langsung berjalan dengan cepat ke elevator untuk naik ke lantai delapan.Di dalam elevator, perut Intan kembali terasa sakit."Aduh." Intan meraba perutnya dan meringis kesakitan."Mbak, kenapa?" Rudy memegang bahu Intan dengan panik."Ah, gak apa-apa, Rud. Tadi sedikit sakit, tapi sekarang sudah hilang rasa sakitnya. Mungkin keponakanmu ini semakin besar dan sangat lincah bergerak." "Biasa anak laki-laki, Mbak. Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya Rudy."Gak perlu, kamu tenang saja," jawab Intan sambil tersenyum.Intan dan Rudy menuju ruangan mereka masing-masing. Keduanya langsung menyibukkan diri dengan pekerjaan mereka.Sesuai jadwal, Rudy la
Kehidupan Intan berubah total dengan kehadiran Darren. Darren kecil sangat tampan, sehat, dan menggemaskan. Setiap orang yang melihatnya pasti ingin menggendong dan menciumnya. Sekalipun harus mengalami perubahan pola hidup, jam istirahat, dan harus merawat Darren sendiri, Intan sangat bahagia dan menikmatinya. Intan menghabiskan sebanyak mungkin waktu bersama putranya dengan menyusui, menggantikan popok, menggendong dan menemani Darren setiap malam."Mama sangat menyayangi kamu, Darren," bisik Intan malam itu. Ia sedang menidurkan Darren dalam pelukannya. Intan sadar, waktu sangat berharga dan cepat berlalu. Masa kecil Darren takkan terulang kembali dan akan menjadi kenangan terindah dalam hidup Intan.Setiap malam, Intan selalu memandangi wajah Darren yang tertidur lelap. Wajah Darren sangat mirip dengan Tommy, terutama pada bagian hidung, rambut, dan bibirnya. Kulit Darren juga putih bersih seperti sang papa."Sayang, semoga karaktermu gak seperti papamu. Kamu harus menjadi pria
Melihat foto-foto mesra Tommy dan Silvy, hati Intan terasa nyeri. Di saat dirinya berjuang menjalani masa kehamilannya yang tidak mudah, melewati malam-malam sepi, merasakan sakit dan mengidam sendirian, ternyata Tommy sedang asyik menjalani pernikahan barunya. Bahkan di saat Intan harus bertaruh nyawa untuk melahirkan Darren, Tommy tidak berada di sisinya. Intan berpikir, mungkin Tommy merasa lebih bahagia saat ini. Mungkin saja Tommy sudah menganggap dirinya mati, atau tidak pernah hadir dalam hidupnya.Malam itu, dari balkon kamarnya Intan menumpahkan air mata kemarahannya. Ia segera menghubungi Rudy untuk menemuinya di ruang keluarga."Rud, Mbak akan segera melaksanakan rencana untuk membalas Mas Tommy," katanya."Mbak yakin sudah siap? Keluarga mereka bukan orang sembarangan. Mereka mempunyai uang, aset, dan pengaruh yang besar dalam dunia bisnis," ujar Rudy."Beberapa bulan ini kita sudah mempelajari usaha mereka. Kita juga meningkatkan kapasitas dan kemampuan kita. Mbak juga t
"Mas Tommy, pulang sekarang! Kamu harus menjelaskan sesuatu padaku!" teriakan Silvy di ujung telepon membuat Tommy tersentak.Tak biasanya Silvy marah dan memaksanya seperti itu. Tommy mematikan dan menutup laptopnya. Beruntungnya hari ini tidak ada jadwal apapun, Tommy hanya memeriksa dan menandatangani beberapa berkas di mejanya.'Apa lagi yang Silvy mau? Apa dia mau memaksa untuk membeli rumah lagi? Kenapa dia gak berhenti membuat masalah?' Tommy mengurut keningnya yang terasa pusing memikirkan ulah Silvy yang beragam setiap hari.Tommy segera meninggalkan kantornya, ia tahu Silvy akan semakin meradang jika ia tidak segera pulang. Silvy bahkan pernah datang ke kantor dan meluapkan amarahnya di depan beberapa karyawan. Hal itu tentu membuat Tommy merasa sangat malu di hadapan para karyawannya.Tommy akhirnya tiba di rumah. Ia melihat penampilan Silvy sangat kacau. Silvy duduk di sofa, dengan air mata bercucuran yang membuat sebagian riasannya luntur. Tommy sama sekali tidak mengerti
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r