Beberapa saat dalam keheningan yang telah tercipta antara diriku dan Siti, sahabatku itu nampak menatap marah padaku."Ceraikan saja Akbar dan buat dia menyesal."Aku menggeleng cepat berusaha untuk terlihat baik-baik saja dihadapan Siti."Mau menangis?"kembali aku menggeleng sambil tersenyum."Mawar, sumpah aku nggak tahan sama semua ini. Aku ingin sekali Menghajar Akbar Sekarang juga. Tapi, siapa pengirim video ini? Nomornya masih belum kau save." Komentar Siti tersadar bahwa nomor tersebut belum tersimpan."Apa bisa kita lanjutkan besok saja? Dan video itu…apakah Mas Akbar bersama dengan wanita itu?"Siti berulang kali mengelus dadanya, berusaha untuk menetralkan emosi dalam jiwanya."Ya, mereka berhubungan seks di dalam kamar mandi. Apa kau mau lihat? Mending aku hapus..""Jangan! Itu adalah bukti-bukti yang aku miliki. Jika suatu saat nanti akan tiba waktunya, pasti Mas Akbar akan mengelak dan dengan bukti tersebut, pasti Mas Akbar tidak dapat membela diri lagi."Siti segera men
Abian tidak memperdulikan umpatan dan teriakan kemarahan mas Akbar. Pria yang dulu aku kenal dengan sifat sabarnya itu dengan cepat menarik tubuhku menjauh dari jangkauan Mas Akbar. Aku dapat melihat beberapa pasang mata penuh kekesalan menatap kepergianku dengan Abian. Tubuhku sama sekali tidak berontak atau sekedar mengatakan kata tidak saat Abian menuntun langkahku untuk bergegas keluar dari mall.Sesampainya di parkiran mobil, jujur aku merasa ragu dengan keputusanku pergi meninggalkan Mas Akbar."Tidak Abian, aku harus menolong suamiku."Abian tidak tinggal diam. Pria itu membuka pintu mobilnya dan mendorong tubuhku agar masuk kedalam."Abian, ini salah."Pria itu sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapanku. Mobilnya terus melaju keluar dari parkiran mall.Kali ini, aku menyerah pada keadaan. Biarkan kali ini aku bersandar pada pendirian Abian, walaupun aku tahu jika diriku kali ini salah meninggalkan Mas Akbar dalam keadaan seperti itu."Masih menyalahkan diri sendiri?"aku me
Suasana mendadak menjadi hening setelah diriku memberanikan diri untuk melemparkan pertanyaan pada Papa. Pria berumur lima puluh tahun itu terlihat mengalihkan pandangannya dariku."Jawab Pa…" lirihku sambil sesekali melemparkan senyum agar terlihat tegar di hadapan beliau.Papa tidak menjawab pertanyaanku. Pria berkacamata itu memilih untuk pergi meninggalkan diriku dan duduk di samping Mama. Kepalanya tertunduk dan tidak berani menatap wajahku."Ayo sayang, kita ke kamarmu." Mama beranjak dari tempat duduknya dan segera memapah tubuhku untuk berjalan.Rasanya begitu menyakitkan hati ini saat mengetahui orang yang seharusnya menjadi sandaran tempat untuk mengeluhkan kondisi hidupku, justru malah membuat suasana hatiku semakin kacau saja."Mawar, coba lihat mama." Aku menatap wanita yang telah bersusah payah melahirkan diriku ke dunia ini."Apa mama juga tidak percaya padaku?""Bagaimana kalau kalian bercerai saja, itu adalah pilihan terbaik Mawar. Rumah tanggamu sudah terlampau banya
"Kenapa lama sekali?" Mulan menatap kesal wajah pria yang baru saja memasuki kamar. Karena tak mendapatkan Jawaban, Mulan bergegas menghampiri suaminya yang terlihat begitu lesu."Apa yang terjadi?" Mulan mengelus lembut pundak Akbar. Pria berwajah tampan itu menyandarkan tubuhnya pada Sofa. Sudah sejak satu jam lalu, Mulan telah meninggalkan rumah sakit, karena luka yang dibuatnya sendiri tidak terlalu parah sehingga dokter sudah memperbolehkan Mulan pulang dengan catatan, dalam waktu tiga hari Ia harus kembali kontrol."Aku bertemu dengan istriku dan Selingkuhannya."Mulan hampir saja tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Akbar. Ini adalah kabar gembira bagi Mulan. Jika istri pertama suaminya itu benar-benar berselingkuh, besar kemungkinan Akbar akan menuntut cerai pada istri pertamanya."Lalu, apa yang terjadi Mas? Apa kau akan menceraikannya?"Akbar Mendelik tajam pada Mulan."Apa maksudmu bicara begitu? Apa kau mengharapkan agar aku dan istriku bercerai?"Mulan bungkam. Ia men
"Langsung pulang?" Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Abian. Pria itu terlihat masih konsentrasi menyetir mobil. Tidak banyak hal yang bisa aku katakan pada Abian. Jujur saja, aku malu pada dirinya yang masih saja mendukung sepenuhnya diriku. Secara tidak langsung, permasalahan yang saat ini sedang membelenggu diriku melibatkan nama Abian. Perlahan tapi pasti, nama Abian akan terus terekspos begitu saja dengan campur tangan Mas Akbar. Pasti suamiku itu akan membuat sebuah rencana."Lho, kita mau kemana Abian?" tanyaku saat menyadari arah jalan pulang berlawanan dengan arah jalan mobil."Pantai,"Pantai?Sudah berapa lama Mas Akbar tidak mengajak diriku bermain di pasir pantai dan menikmati hembusan angin pantai yang begitu menyejukkan."Putar balik, Abian.""Kenapa?""Pantai membuatku mengingat Mas Akbar. Maaf, untuk kali ini aku ingin pulang saja." Sahutku tanpa memandang wajah Abian. Wajahku sengaja melihat ke arah kaca jendela Mobil.Selang beberapa saat kemudian, Abian te
Aku begitu merasa sangat lelah dengan semua hal yang akhir-akhir ini terjadi pada diriku. Dengan kata lain, kali ini aku ingin merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku benar-benar membutuhkan istirahat untuk mendamaikan hati dan pikiranku.Saat ini, Mobil yang dikendarai oleh Abian masih betah melenggang menembus jalanan kota menuju ke rumahku. Setelah pertengkaran kecil tadi, Abian memutuskan untuk langsung mengantarkan diriku pulang ke rumah. "Kalau ada apa-apa, jangan lupa untuk menghubungi diriku." Pintanya sambil sesekali memandang wajahku. Pria berhidung mancung itu begitu perhatian terhadap diriku. Aku tahu, Ia masih menyimpan rasa cinta padaku, namun sampai kapan? "Sudah sampai. Apa kau masih mau ikut ke kantorku?"aku tak menyadari bahwa mobil telah terparkir tepat di depan gerbang rumahku."Ah, maaf Abian. Aku terlalu banyak melamun. Untuk hari ini, aku minta maaf karena beberapa kali telah membentakmu. Seharusnya, aku tahu itu adalah untuk kebaikanku."Abian mengulas Senyuma
PLAK!Aku memegangi pipiku yang terasa perih. Belum reda rasa sakitku atas hadiah tamparan keras yang dilakukan oleh Papa, kini Mas Akbar menambahkan kembali rasa luka itu. Dadaku terasa berdenyut perih mendapati bahwa suamiku sudah berani menyakiti diriku karena tidak mau melakukan hal yang menurutku begitu menjijikkan.Bukan hanya aku yang terkejut dengan polah tingkah Mas Akbar yang keterlaluan. Pria di hadapanku ini juga nampak begitu terkejut dengan perbuatannya sendiri. Mas Akbar bergegas memperbaiki resleting celananya dan mencoba untuk menyentuh pipiku yang aku rasa sudah berganti berwarna kemerah-merahan."Jangan sentuh aku!" aku menepis tangan Mas Akbar."Mawar, maafkan aku.""Kau sudah berani menyakiti diriku mas dengan menyakiti hati dan tubuhku." Aku membalikkan badan, bersiap untuk melangkahkan kakiku keluar dari kamar. Namun, dari arah belakang Mas Akbar Kembali merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya."Jangan pergi Mawar, aku mohon. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan
"Beri satu alasan, mengapa Paman harus mengirim Akbar ke luar kota." Ucap Paman begitu penasaran dengan permintaanku agar Mas Akbar dapat dipindahkan ke luar kota."Paman pernah berkata padaku, jika aku membutuhkan sesuatu, paman akan membantu apapun permintaanku."Paman Hamzah tidak langsung menjawab. Beliau terlihat tampak berpikir sebelum menjawab permintaanku."Apa kau tidak ingin bercerita hal lebih spesifik lagi, alasannya kenapa Paman harus…"aku mengubah posisi duduk menjadi berdiri."Sepertinya paman tidak bisa memenuhinya." Potongku tanpa memperdulikan ekspresi wajah tidak Suka Paman dengan sikapku yang telah memotong pembicaraannya."Duduklah Mawar, Paman belum selesai bicaranya.""Paman hanya memiliki dua jawaban. Setuju atau tidak." Akhirnya Paman Hamzah menyerah. Kepalanya mengangguk setuju dengan permintaan dariku."Paman setuju?" kembali aku menduduki Sofa."Iya, tapi Paman butuh waktu. Agar Akbar tidak terlalu mencurigai ini semua. Biarkan Akbar bekerja sementara di