"Langsung pulang?" Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Abian. Pria itu terlihat masih konsentrasi menyetir mobil. Tidak banyak hal yang bisa aku katakan pada Abian. Jujur saja, aku malu pada dirinya yang masih saja mendukung sepenuhnya diriku. Secara tidak langsung, permasalahan yang saat ini sedang membelenggu diriku melibatkan nama Abian. Perlahan tapi pasti, nama Abian akan terus terekspos begitu saja dengan campur tangan Mas Akbar. Pasti suamiku itu akan membuat sebuah rencana."Lho, kita mau kemana Abian?" tanyaku saat menyadari arah jalan pulang berlawanan dengan arah jalan mobil."Pantai,"Pantai?Sudah berapa lama Mas Akbar tidak mengajak diriku bermain di pasir pantai dan menikmati hembusan angin pantai yang begitu menyejukkan."Putar balik, Abian.""Kenapa?""Pantai membuatku mengingat Mas Akbar. Maaf, untuk kali ini aku ingin pulang saja." Sahutku tanpa memandang wajah Abian. Wajahku sengaja melihat ke arah kaca jendela Mobil.Selang beberapa saat kemudian, Abian te
Aku begitu merasa sangat lelah dengan semua hal yang akhir-akhir ini terjadi pada diriku. Dengan kata lain, kali ini aku ingin merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku benar-benar membutuhkan istirahat untuk mendamaikan hati dan pikiranku.Saat ini, Mobil yang dikendarai oleh Abian masih betah melenggang menembus jalanan kota menuju ke rumahku. Setelah pertengkaran kecil tadi, Abian memutuskan untuk langsung mengantarkan diriku pulang ke rumah. "Kalau ada apa-apa, jangan lupa untuk menghubungi diriku." Pintanya sambil sesekali memandang wajahku. Pria berhidung mancung itu begitu perhatian terhadap diriku. Aku tahu, Ia masih menyimpan rasa cinta padaku, namun sampai kapan? "Sudah sampai. Apa kau masih mau ikut ke kantorku?"aku tak menyadari bahwa mobil telah terparkir tepat di depan gerbang rumahku."Ah, maaf Abian. Aku terlalu banyak melamun. Untuk hari ini, aku minta maaf karena beberapa kali telah membentakmu. Seharusnya, aku tahu itu adalah untuk kebaikanku."Abian mengulas Senyuma
PLAK!Aku memegangi pipiku yang terasa perih. Belum reda rasa sakitku atas hadiah tamparan keras yang dilakukan oleh Papa, kini Mas Akbar menambahkan kembali rasa luka itu. Dadaku terasa berdenyut perih mendapati bahwa suamiku sudah berani menyakiti diriku karena tidak mau melakukan hal yang menurutku begitu menjijikkan.Bukan hanya aku yang terkejut dengan polah tingkah Mas Akbar yang keterlaluan. Pria di hadapanku ini juga nampak begitu terkejut dengan perbuatannya sendiri. Mas Akbar bergegas memperbaiki resleting celananya dan mencoba untuk menyentuh pipiku yang aku rasa sudah berganti berwarna kemerah-merahan."Jangan sentuh aku!" aku menepis tangan Mas Akbar."Mawar, maafkan aku.""Kau sudah berani menyakiti diriku mas dengan menyakiti hati dan tubuhku." Aku membalikkan badan, bersiap untuk melangkahkan kakiku keluar dari kamar. Namun, dari arah belakang Mas Akbar Kembali merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya."Jangan pergi Mawar, aku mohon. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan
"Beri satu alasan, mengapa Paman harus mengirim Akbar ke luar kota." Ucap Paman begitu penasaran dengan permintaanku agar Mas Akbar dapat dipindahkan ke luar kota."Paman pernah berkata padaku, jika aku membutuhkan sesuatu, paman akan membantu apapun permintaanku."Paman Hamzah tidak langsung menjawab. Beliau terlihat tampak berpikir sebelum menjawab permintaanku."Apa kau tidak ingin bercerita hal lebih spesifik lagi, alasannya kenapa Paman harus…"aku mengubah posisi duduk menjadi berdiri."Sepertinya paman tidak bisa memenuhinya." Potongku tanpa memperdulikan ekspresi wajah tidak Suka Paman dengan sikapku yang telah memotong pembicaraannya."Duduklah Mawar, Paman belum selesai bicaranya.""Paman hanya memiliki dua jawaban. Setuju atau tidak." Akhirnya Paman Hamzah menyerah. Kepalanya mengangguk setuju dengan permintaan dariku."Paman setuju?" kembali aku menduduki Sofa."Iya, tapi Paman butuh waktu. Agar Akbar tidak terlalu mencurigai ini semua. Biarkan Akbar bekerja sementara di
Hari berikutnya, aku bertemu dengan Abian untuk membahas mengenai Restoran yang akan kami dirikan. Merasa perlu berhati-hati, akhirnya Abian membawa Siti dan Aslan untuk janji temu kali ini agar tidak ada lagi kesalahpahaman antara diriku dan Mas Akbar. Walaupun Jujur, aku sama sekali tidak terpengaruh dengan kecemburuan atau tuduhan yang telah dilontarkan kepada diriku. Tapi, mungkin berbeda dengan Abian yang merupakan seorang pembisnis muda, Ia pasti sangat membutuhkan image yang baik untuk membangun citra dirinya tetap baik Dimata dunia."Mawar, kenapa Pipimu merah sekali? Sepertinya kau terlalu banyak menggunakan blush on sehingga warnanya tampak begitu mencolok!" komentar Siti saat duduk di sebelahku.Aku dapat melihat raut wajah Abian yang ikut memperhatikan wajahku. Ia adalah saksi mata saat Papa menamparku, namun Saksi kedua penamparan yang dilakukan oleh Mas Akbar hanyalah tembok rumah yang hanya dapat diam membisu."Benarkah? Mungkin karena aku terlalu bersemangat untuk mel
Meski kadang Abian sering bersikap tidak ramah pada diriku, tapi pria berwajah tampan itu tetap mencoba untuk mengambil hatiku. Buktinya saja, sekarang tidak hanya ada aku dan Siti, Abian juga membantu diriku untuk memilih beberapa busana gamis brokat favoritku.Beberapa kali Siti mengedipkan matanya, memberi kode dirinya merasa risih dengan keberadaan Abian. "Apa kalian risih dengan keberadaanku?" tanya Abian Seperti paham dengan situasi tak nyaman ini."Sedikit. Lagian, seharusnya dirimu ikut pergi dengan Aslan." Jawab Siti terdengar tidak formal. Mungkin karena keduanya sedang berada di luar kantor. Terlebih, kami bertiga merupakan teman seangkatan semasa kuliah."Aku lebih penasaran dengan kata-kata yang kau pertanyakan pada Mawar ketimbang harus pergi bersama dengan Aslan. Lagi pula, hari ini jadwalku tidak terlalu padat."Aku menutup mulutku, terkejut mendengar jawaban Abian."Kau menguping!" sentak Siti tak terima dengan apa yang sudah Abian perbuat. Beberapa pengunjung mall y
"Jangan bicara tidak-tidak Abian, karena sampai kapanpun Mas Akbar tidak akan menceraikan diriku!" sahutku kesal dengan sikap Abian yang terlihat begitu berharap aku dan Mas Akbar bercerai.Pria itu terlihat menyilangkan kedua tangannya di dada dan memandang ke arah orang-orang yang sedang melewati kami. maklumlah, Mall semakin ramai dikunjungi oleh para ibu-ibu yang terlihat begitu bersemangat. Mungkin ingin memburu barang diskonan."Aku selalu menjalani kehidupan ini dengan kehati-hatian dalam melakukan sesuatu. Selalu memikirkan bagaimana konsekuensi yang akan aku dapatkan jika sampai salah melangkah."Aku hanya diam mendengarkan perkataan Abian. Pria itu seperti sedang menyindirku agar tidak salah dalam melangkah. Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar dan Sepertinya ada panggilan masuk. Saat melihat layar ponselku, ternyata Paman Hamzah yang sedang menghubungi diriku."Hallo, assalamualaikum Paman." Sambutku saat meletakkan ponsel pada telinga kananku. Entah mengapa, ada ras
Saat memasuki rumah, suasananya masih sepi. Sepertinya Mas Akbar belum pulang dari Hotel Paman Hamzah. Aku memilih untuk duduk santai di ruang tamu sambil menyalakan layar televisi. Pikiranku melayang membayangkan bagaimana cara Mas Akbar akan meminta izin pada Mulan, selingkuhannya itu. Pasti mereka akan bertengkar hebat dan Mulan meminta untuk tidak ditinggalkan. Jika tidak, setidaknya Mulan akan meminta agar Mas Akbar mengikutsertakan dirinya ke Jakarta."Kau sudah pulang?" Aku menatap ke arah pria yang merupakan Suamiku sedang berjalan santai menuju ke tempatku duduk.Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Mas Akbar. Wajahnya terlihat begitu kelelahan. Mungkin keduanya habis melakukan kegiatan olahraga suami istri sampai-sampai terlihat kelelahan Seperti itu.Mas Akbar duduk tepat di hadapanku."Besok aku akan ke Jakarta,""Kenapa mendadak?" aku berharap ekspresi wajahku tidak terlihat begitu datar."Paman Hamzah yang memberikan perintah agar aku bisa melihat langsung cara ke