Dan pasukan matahari hitam secara terang terangan meminta maaf pada tuan Lee atas kebodohan dan kecerobohan anak buahnya pada keluarga tuan Lee.mereka datang jauh-jauh dari negara di seberang pulau hanya untuk bertemu tuan Lee seorang. Cien Lung pemimpin utama matahari hitam tiba di Surabaya semalam dan pagi ini secara khusus menemui tuan Lee di tempat tinggalnya.Empat mobil hitam memasuki pelataran rumahegah tuan Lee, para pria bersetelan jas dengan mata sipit keluar dari dalam mobil, Zui dan pasukannya sudah berdiri di pelataran dan menyambut mereka. Rumah megah Tuan Lee kini nampak mencekam, dua kelompok besar di asia tenggara berkumpul dalam satu tempat.Jika saja orang sekitar tau, mungkin kaki mereka akan gemetar hebat dan bersembunyi agar tak terlibat."Apa kabar Tuan Lee" tuan Cien dengan ramah menyapa lebih dulu, dirinya merasa tak enak hati akan apa yang sudah terjadi."Aku baik-baik saja, bagaimana penerbanganmu?" Tuan Lee mengusap lembut lengan tangan tuan Cien."Menyena
Rumah Karanganyar.Setelah bertemu dengan Mutia, Sri merasa lebih baik, meski beberapa kali Mutia dan Lala pernah berselisih paham, dia tau Mutia anak yang baik, Aini yang membuatnya jadi membenci Lala, Sri memahami hal itu.Sri menatap wajah Lala dalam tidurnya, gadis kecil itu semakin hari semakin melupakan dirinya, terkadang dia bangun menjadi orang lain, terkadang mengingat ibunya hanya dalam beberapa menit. Ingin rasanya dia membalas semua kejahatan Aini, namun apakah adil bila dia membalas seorang ibu yang masih memiliki anak."Apa semua baik-baik saja?" Satria berdiri di sisi Sri, mengusap punggung wanita itu dengan lembut."Ya, semua baik, apa lagi yang lebih baik dari ini sayang, kita hanya bisa berharap keajaiban datang, namun entah kapan itu akan terjadi." Sri menatap suaminya dengan wajah berkaca-kaca, seolah segala rasanya sedang a bercampur menjadi satu.Satria merangkul sang istri dari belakang, menciumi pipi Sri dengan lembut, berusaha menenangkan hati gundah wanita y
Satria membopong tubuh sang istri ke atas sofa, berusaha menyadarkan Sri yang terlihat pucat tanpa daya."Sayang, bangun." Bisiknya menyandarkan tubuh kecil itu pada tubuhnya sebelum wanita itu membuka mata.Sri merasakan aroma khas kayu putih di hidungnya, perlahan matanya terbuka dan kembali menghadapi kenyataan yang membuatnya tak bisa berhenti menitikan air mata lagi."Lala pergi sayang, kenapa dia harus benar-benar pergi?" Ucapnya dalam suara yang bergetar.Satria memeluk tubuh kecil itu dengan kuat, berusaha menenangkan hati istrinya yang patah meski ia sendiri sedang berusaha meraba kenyataan yang membuatnya harus menahan perih."Mungkin ini yang terbaik sayang, Lala sudah tidak merasakan sakit lagi." Ucapnya perlahan dan membuat Sri semakin menangis.Tak ada yang bisa melawan takdir dari yang kuasa, sekuat apapun raga berusaha menjalankan semua jika Allah berkehendak untuk hambanya pulang, maka siapapun harus siap menghadapinya.Sementara semua alat di lepas dari tubuh kecil L
Mutia tertunduk dengan tangis membasahi pipi, tak terlalu mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi, namun dia menatap Satria dengan wajah basah."Apa Mutia bisa bertemu Mama Lala? dimana Mama Lala?"Satria mencoba tersenyum, mengusap rambut gadis kecil itu dengan perlahan."Ayo kita temui mama Lala." Ucapnya lalu menggandeng tangan gadis itu keluar kamar dan berjalan melewati lorong menuju kamar besar di sudut lantai 2.Pintu besar berukir berwarna putih di buka lebar, Sri terbaring di temani Raya sahabatnya, gadis itu mendekat perlahan, Sri yang sedang menangis berusaha tersenyum saat Mutia fatang mendekat."Kematilah sayang." Ucapnya pelan lalu membawa Muti ikut naik ke atad ranjangnya.Meski sempat terlihat ragu, Muti akhirnya duduk juga di sisi Sri."Tante sakit?" Gadis itu bertanya dengan polosnya, membuat Sri merasa hangat saat di perhatikan."Tante gak sakit.""Tapi tante pucat sekali, apa semua karena Lala?"Sri hanya bisa diam, dia tak mau lagi mengingat semua kepahitan yang
Satria membopong tubuh sang istri ke atas sofa, berusaha menyadarkan Sri yang terlihat pucat tanpa daya."Sayang, bangun." Bisiknya menyandarkan tubuh kecil itu pada tubuhnya sebelum wanita itu membuka mata.Sri merasakan aroma khas kayu putih di hidungnya, perlahan matanya terbuka dan kembali menghadapi kenyataan yang membuatnya tak bisa berhenti menitikan air mata lagi."Lala pergi sayang, kenapa dia harus benar-benar pergi?" Ucapnya dalam suara yang bergetar.Satria memeluk tubuh kecil itu dengan kuat, berusaha menenangkan hati istrinya yang patah meski ia sendiri sedang berusaha meraba kenyataan yang membuatnya harus menahan perih."Mungkin ini yang terbaik sayang, Lala sudah tidak merasakan sakit lagi." Ucapnya perlahan dan membuat Sri semakin menangis.Tak ada yang bisa melawan takdir dari yang kuasa, sekuat apapun raga berusaha menjalankan semua jika Allah berkehendak untuk hambanya pulang, maka siapapun harus siap menghadapinya.Sementara semua alat di lepas dari tubuh kecil L
Di rumah baru Fandi, rombongan mobil datang dan memenuhi halaman rumah, Haryati yang sedang menyirami tanaman terdiam melihat beberapa orang berjas hitam turun dengan tergesa dan berjalan ke arahnya, ya, mereka adalah orang-orang Satria dan Sri."Ada apa?" Dua orang Yuan yang bertugas sebagai penjaga rumah Fandi mendekati rombongan pengawal Satria, mereka tak tau jika Yuan berada dalam sekapan keluarga Hwang."menyingkirlah jika tak ingin ada darah tumpah di tanah rumah ini!" Ancaman itu datang di sertai senjata yang bahkan siap melesatkan pelurunya."Apa yang terjadi?" Hariyati begitu panik, terbayang sesuatu yang buruk terjadi pada anak lelakinya."Ibu Hariyati?" Seorang lelaki kepercayaan Arman membuka kaca mata hitamnya, melirik orang-orang Yuan yang bahkan kini tal berkutik."Ya, saya Haryati, ada apa?" Dia nampak cemas menatap bergantian orang-orang misterius di hadapannya itu."Anda harus ikut kami.""Kemana? apa terjadi sesuatu pafa putraku.""Tidak, nyonya Meilin ingin bertem
Mata berkerut wanita itu terbuka, seolah dia sedang mendengarkan sesuatu yang salah dia dengar."Lala? cucuku Lala? dia sudah meninggal bagaimana bisa afa pemakaman lagi untuknya?" Haryati terlihat binggung namun tetap berpikir semua itu benar."Apa yang terjadi ini?" Tanya Haryati lagi dan semua pengawal itu terdiam."Tunggu, aku akan ikut!" Ucapnya lalu berjalan masuk ke dalam rumah, tak memberi celah pada siapapun untuk bertanya. "Ada apa bu?" Fani mendekat saat melihat ibunya dalam kekalutan."Diam saja kamu!" Ucap Haryati lagi dan berbegas masuk menganti bajunya.Sementara Fani yang penasaran bergegas ke depan dan mellihat dua kelompok sedang beradu pandang dalam diam, seolah mereka akan saling serang kapanpun."Ada apa ini?" Tanya Fani pada siapapun yang ada di ada di sana namun hampir semua diam tak menjawab."Katakan sesuatu, apa kalian bisu!" Ucapnya lagi, menunggu jawaban yang tak juga dia dapat.Fani lalu berjalan kembali masuk ke dalam rumah, melihat ibunya sudah datang k
Setelah pemakaman, Sri kembali ke kamar nya, Mutia masuk bersama Raya dan duduk di sisi ranjang. Sri mencoba tersenyum, bagaimanapun Mutia pasti juga merasa sedih dengan meninggalnya Lala."Sudah makan?" Sri bertanya hanya sebatas itu."Ya, sudah. Tante baik-baik saja?" Mutis bertanya lagi, ia tak ingin Sri bersedih seperti saat pemakaman."Tante baik, kenapa Mutia tanya begitu?"Gadis itu terdiam dan menundukkan kepala, dirinya merasa bertanghung jawab atas apa yng sudah menimpa Lala."Ada apa sayang?" Raya bertanya pada Mutia, membelai lembut rambut gadis itu dan menatap kegelisahan di matanya yang kecil."Apa Lala sakit karena di culik itu?"Sri dan Raya berpandangan, Satria kemudian mendekat dan memperhantika tangan Lala gemetar."Ada apa sayang? katakan Mutia, ada apa?" Satria berusaha menenangkn Mutia."Semua yang terjadi itu karena Mama!" Bisiknya dalam diam, dia lalu kembali menundukkan kepala."Kenapa Mutia bilang begitu?"Mutia mengingat dengan jelas bagaimana mamanya merenc
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil