"Assalamualaikum, Bu," salam James. Bu Halima yang baru saja masuk ke dalam rumah, kini harus kembali lagi keluar untuk menemui James. "Waalaikumusalam," balas Bu Halimah, setelah membuka pintu. Terlihat wajah lesu James, yang sangat tidak sedap dipandang. Bu Halimah meminta menantunya untuk masuk dan berbicara empat mata tanpa gangguan. Bu Halimah berpamitan pada putrinya, dengan alasan pergi berbelanja kebutuhan dapur. Rima enggan ditinggal sang ibu, karena hatinya benar-benar sedang sanat terluka saat ini, akibat ucapan sang anak tiri. "Kamu harus membicarakannya dulu pada James, jika suamimu tidak menemukan jalan, maka ibu yang akan memberikan caranya," ujar Bu Halimah mencoba menenangkan sang anak. Setelah mengatakan itu, Bu Halimah mengambil dompetnya dan berlalu dari hadapan Rima. James yang mengetahui mertuanya ingin pergi, menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi langsung ditolak oleh sang mertua. "Kalian bicarakan dulu sebaik mungkin, jangan menggunakan emosi di situas
James nampak frustasi, dia menyugar rambutnya dan menjabaknya dengan kesal. Lalu, mengusap wajahnya kasar. Rima baru melihat suaminya seperti saat ini, dia merasa keputusannya menjauh adalah kesalahan. Akan tetapi, dia belum bisa menerima hinaan anak sambungnya yang dilontarkan berkali-kali. Rasanya sangat menyakitkan. "Sherly semakin lepas kontrol, jika kamu seperti ini. Dia hanya ingin meluapkan rasa kecewanya padaku, tapi kamulah yang jadi sasaran empuknya. Aku menikahimu bukan hanya karena ingin menyalurkan hasrat saja, tapi karena aku yakin, kamulah yang terbaiak untuk keluarga kecilku. Saat ini, ada duri yang menusuk kaki kita sangat dalam, Semua tergantung kita, bagaimana cara mengambil durinya, agar semua tidak tersakiti. Pelan, tapi pasti." James tidak lagi merayu Rima, hanya mengatakan apa yang ada di benaknya. James menunduk dalam, dia benar-benar kalut. Anaknya sedang terluka dan depresi berat, istrinya sudah lelah dipernikahan mereka yang baru seumur jagung. "Aku moho
"Enggak niat, Bu. Tadi saya ingin menanyakan masalah kelanjutan laporan mengenai kasus Sherly pada Pak James, tapi saya tunggu di luar mereka tidak keluar, meski sudah beberapa kali mengucapkan salam," bantah Satria.Bu Halimah melemparkan senyum sinis, tapi berusaha untuk tetap terlihat menghormatinya. Wanita paruh baya itu baru tahu, jika Satria memang benar-benar mencintai Rima. Hatinya pun ikut goyah saat mengetahui kebenaran dari Satria, tentang mengapa dirinya meninggalkan Rima dan baru kembali lagi. Semata-mata, untuk mengejar pendidikan, dan Satria pun sudah berusaha mencari Rima saat dia kembali."Lebih baik, kamu menanyakannya melalui telepon atau wa saja. Jangan sampai kamu jadi duri dalam daging, dan kamu akan mendapatkan fitnah!""Seperti janji saya, Bu. Saya akan menunggu Rima, cinta di hati saya untuknya tidak akan pernah usai atau hilang." jawab Satria dan dia langsung berpamitan.Bu Halimah hanya bisa menatap punggung lelaki yang hampir menjadi menantunya, akak tetapi
"Doakan hatiku kuat, Mas!" jawab Rima dengan suara berat. James langsung mengambil ke dua tangan Rima, dan duduk bersimpuh. Mengatakan doa yang tulus dari atinya, agar pernikahnya dengan Rima akan langgeng dan semua baik-baik saja. "Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi. Jika istrimu masih mau di sini, biarkan saja, mungkin bisa menghilangkan rasa yang masih tersimpan di dadanya dan makin menguatkan tekadnya untuk terus menjadi istri dan ibu yang baik," saran Bu Halimah. James hanya mengangguk, tapi setelah Bu Halimah masuk ke dalam, lelaki berjenggot tipis itu merengek dan meminta Rima untuk pulang bersamanya. Terpaksa diiyakan oleh Rima. "Bu Rima harus pulang," pamit Rima dan Bu Halimah mencoba memahaminya. Sebagai ibu, Bu Halimah tidak ingin anaknya menjadi di umur pernikahannya yang baru. Akan tetapi, dia juga merasa kasihan pada anak semata wayangnya. *** "Mas, mampir ke super market, ya. Ada banyak yang mau aku beli, tapi kalau kamu sibuk, aku sendirian saja!" pinta Rima.
"Masa lupa dengan muridnya, Bu? Apa karena sekarang hidup enak, jadi bisa melupakan masa lalu?" ejek remaja yang ada di depannya. Rima mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba menontrol diri agar tidak kelepasan. "Tubuh Sherly sangat hangat dan aku sangat menikmati desahannya!" bisilk remaja itu. Mendengar itu, tubuh Rima menegang. Matanya mulai berembun, dadanya naik turun. meski sudah berusaha mengatur napas sebaik mungkin. "Jika ibu tidak membuat ulah, maka hal ini tidak akan terjadi! Tubuh Sherly sebagai bayarannya," Rima melayangkan tangannya untuk membungkam mulut remaja yang mulai keterlaluan menurutnya. Namun, sayang. Tanganya langsung di halangi oleh tangan remaja yang menyunggingkan senyuman smirk di wajahnya. "Bu, ibu harus meminta maaf pada kakaku yang depresi akibat ibu tinggal menikah dengan ayah Sherly!" terang remaja yang makin membuat Rima kesal. "Lepas, Sandi!" ronta Rima, mencoba melepaskan tangannya. "Aku tidak ada hubungannya dengan
"Sayang!" tegur James, yang melihat istrinya diam mematung. James menepuk pundak istrinya, saat panggilannya diabaikan. Rima yang menyadari, jika dirinya tidak lagiberbicara pada Sandi, langsung tersadar. "I-iya, Mas!" serunya dengan nada suara yang sumbang. James menanyakan kenapa dia diam mematung dan seperti ketakutan, Rima hanya membalas dengan mengajaknya pulang, tanpa memberi tahu ada apa dan kenapa. "Aku harus menemui Sandi dan keluarganya!" gumam Rima. *** Tiga hari berlalu, bagaikan tiga tahun bagi Rima. Melihat tingkah Sherly yang semakin hari, semakin tidak terkontrol dan juga dirinya selalu mengingat perkataan dari Sandi. "Apakah aku penyebab utama Sherly seperti ini, lalu aku harus bagaimana untuk membayarnya!" oceh Rima. James yang baru pulang dari kantor merasa heran dengan istrinya,yang masih sering melamun setelah pulang dari super market tempo hari. "Assalamualaikum," sapa James, tapi diabaikan oleh Rima. Lelaki bertubuh tegap itu memeluk istrinya yang namp
"Sayang! Aku tidak bisa menjalankan apa yang ingin kulakukan. Aku seperti ayah yang tidak bisa menjaga anaknya dan tidak bisa memberi perlindungan padanya!" lirih James dan Rima hanya bisa mengusap rambut suaminya. Tanpa mereka sadari, Sherly menatap dan mendengar perbincangan mereka dari balik pintu, ada denyut di hatinya yang merasa bersalah kepada kedua orang di depannya. Sherly mengurungkan niatnya untuk mengambil minum, karena keberadaan papa dan ibu sambungnya yang masih belum bisa dia terima. "Mas, besok aku ijin pergi agak lamaan, ya. Ada sesuatu yang harus aku urus!" ijin Rima. "Mau aku anter?" tawar James dan langsung ditolak oleh wanita cantik yang memangkunya. "Enggak, Mas. Aku bisa sendiri, kamu fokus pada kerjaan dan bisnis kamu saja. Apalagi usaha yang mau kamu bangun untuk Sherly di kota Surabaya baru aja di mulai. Masa depan mereka harus kita utamakan setelah ini," ujar Rima. James hanya mengangguk, karena dia cukup lega. Rima mau menerima alasannya tidak menggug
Rima hanya menjawab melalui senyuman dan sentuhan pada tangan James. membuat lelaki itu merasa sangat banga pada istrinya yang masih setia menemainya. Sherly seperti biasa, mengintip melihat ayah dan bunda tirinya. Kemudian kembali ke ranjang, dan memakan makanannya dengan sangat lahap. Dia tau, jika masakan itu adalah karya dari bunda tirinya. Rima segera membersihkan meja tempat dia dan James sarapan, kemudian mengambil buku-buku lamanya yang dia minta ambilkan pada suaminya beberapa waktu lalu. Sembari membaca, dia juga mengawasi Sherly agar tidak melakukan hal yang berada di luar dugaannya. "JIka kalian tidak terjamah oleh hukum, maka aku yang akan membalasnya!" oceh Rima, ketika membaca buku tentang cara meracik racun. "Bu, non Sherly tidak ada!" teriak sang pembantu,ketika akan mengambil pakaian kotor. Rima langsung beranjak dari duduknya dan berlari menuju kamar Sherly, dan benar saja, dia tidak ada di sana, Hati Rima langsung berdenyut, entah ada apa dengan anak sambungny
Rima melukai sedikit peni*s Dito, membuat remaja itu meringis kesakitan. "Baru tergores! Belum terpotong!" ancam RIma dan Dito hanya mengangguk. Rima kembali pergi, dengan membawa serta belati yang melukai Dito, sedangkan Dito memaki wanita yang tengah menyanderanya dengan kata-kata kasar. Remaja itu tidak menyangka, jika Rima bisa berbuat sejauh ini. Bahkan dirinya menjadi ciut berhadapan dengan ibu tiri dari remaja yang dia lece*hkan. "Brengsek!" teriaknya. Rima hanya tersenyum mendengar makian dari Dito, kemudian dia berjalan dengan cepat untuk keluar dari persembunyian. Kemudian dia membuka CCTV yang terhubung dengan laptopnya, menghidupkannya kembali dengan posisi semula, meski sedikit dimodifikasi. "Bu, sudah benarkan saya keluar dari sana?" tanya Bik Irah yang masih memegang alat pel. "Sempurna, Bik. Sekarang bibik masak aja, untuk sarapan kita," pinta Rima. "Besok saja membersihkannya, sehari enggak dibersihkan, enggak masalah." Rima menjawab sebelum Bik Irah bertanya, da
Pagi-pagi sekali, Rima keluar dari rumah. Menuju ke supermarket terdekat, mengambil beberapa cemilan, roti dan juga susu. Kemudian menuju kasir, untuk membayar semua yan sudah dibeli olehnya."Makasih, ya, Mbak!" ujarnya setelah sang kasir memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong yang dibawa oleh Rima."Sudah semua, ya, bersama titipannya," balas sang kasir dengan lirih di ujung kata-katanya.Rima keluar dengan membawa kantong yang berisi penuh dengan semua aneka camilan, dan dia taahu, jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan sangattajam, sembari berpura-pura memgang minuman."Kalian masih mengintaiku?" gumam Rima kesal.Ponsel Rima berbunyi, dan wanita itu langsung menerima panggilan dari ternyata dari Satria. Mantan kekasihnya itu menanyakan, apakah dirinya aman setelah menerima bingkisan darinya ataau tidak. Rima membaritahu Satria, jika dirinya aman dan sudah sampai di rumah.Semalam, Rima menanyakan tentang efek samping dari penggunaan obat itu pada Satria. Bagaima
"Bukan begitu, sayang. Aku_"Rima langsung memotong ucapan James dengan cepat."Sudahlah, Mas. Yang penting aku selalu jaga hati dan tubuhku hanya untuk kamu,"Rima langsung mengakhiri panggilan, dan meletakan ponselnya di atas meja. Mendengkus kesal, karena merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri."Bibik aja yang angkat!" ucap Rima malas. "Bilang saja, aku sedang tidak mau diganggu!" Rima menambahkan sedikit permintaan.Bik Irah mengangguk dan segera menerima panggilan dari James untuk kedua kalinya. Seperti dugaan Rima, Bik Irah bisa diandalkan. Rima meyakini, jika suaminya itu bertanya banyak hal pada Bik Irah. Terbukti jawaban dari wanita tua di sampingnya itu, yang kadang tersenyum dan terkadang terlihat khawatir."Siap, Pak!"Di akhir panggilannya, dan Bik Irah meletakkan ponsel Rima kembali di tempatnya semula."Apa aja yang ditanya Mas James, Bik?" Rima bertanya seperti menyelidik."Pak James hanya khawatir pada ibu, dan menanyakan apa ibu pernah pergi dalam waktu yang lam
Rima terlihat marah pada Satria, yang menyangkal tentang keterlibatan Sandi dalam kasus anak sambungnya. "Aku mendengar sendiri, jika dia menggauli Sherly dan mengatakan hal tidak senonoh padaku!" bantah Rima. "Tidak, yang aku tahu, dia tidak ikut dalam pencab*lan itu!" Satria masih kukuh pada ucapannya. "Dan kamu sudah tahu siapa saja yang melakukan hal bejad itu, kan?" tanya Satria kemudian. "Pergila, aku hanya meyakini apa yang memang terjadi dan kuketahui!" Rima pun tidak merubah keputusannya. "Jangan gegabah, nanti kamu salah sasaran!" ketus Satria. Lelaki itu, lalu berpamitan dan meninggalkan Rima yang masih yakin dengan apa yang akan direncanakannya. Sedangkan Satria menghela napas panjang, terlalu sulit untuk membuktikannya sekarang. Rima duduk di kursinya dan kembali menyesap teh lemon buatannya, Menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. "Bu, saya melihat diary milik non Sherly," bisik Bik Irah. Perhatian Rima teralihkan, meminta Bik Irah untuk mengambilnya. Wanit
Ayah Dito langsung memperintahkan anak buahnya untuk mengeledah seisi rumah dan melihat CCTV yang terpasang di rumah Rima. Sedangkan Rima dan Bik Irah duduk dengan santai di meja makan, bahkan Rima menyedu teh lemon hangat dan menyesapnya perlahan. Setengah jam mereka mencari dan berputar-putar dengan sangat teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari, dengan kesal ayah Dito mendekati Rima. Mengacungkan senjata dan mengancam wanita yang pura-pura lemah itu. "Cepat, katakan di mana anakku?" tanyanya dengan menekan ujung pist*lnya di pelipis Rima. Satria yang melihat itu tentu saja sangat geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini, karena baju yang sedang dia kenakan. "Saya sudah mengijinkan bapak untuk mencari anak bapak di sini, dan apakah saya mengijinkan bapak untuk mengancam saya?" tanya Rima yang makin membuat emosi lelaki di depannya memuncak. "Kamu tidak tau siapa saya?" tanyanya dengan membentak Rima, dan matanya melotot sempurna. Sehingga memperlihatkan am
Rima langsung mengakhiri panggilan dan menatap remaja yang mulai sadar akan keberadaannya yang menyedihkan."Tante, Lepasin aku!" teriak Dito dan hanya ditangapi dengan senyum hina dari Rima.Dito terus memaki, ingin rasanya Rima membalasnya. Akan tetapi disadarkan oleh Bik Irah yang menanyakan tentang makanan yang dia bawa tadi.Rima berjalan ke meja, lalu mendekati Dito yang masih terus menhardiknya. Tatapan Rima, sebenarnya membuat nyali Dito sedikti ciut, tapi dia tidak mau kalah dari wanita yang dia anggap tidak ada apanya."Kamu butuh asupan untuk terus menghardikku, jika tidak kamu akan kelapan dan tidak ada yang bisa menolongmu. Bahkan harta orang tuamu yang sangat banyak itu! Ingat, kamu belum membuatku merasakan kenikmatan yang kamu tawarkan," ujar Rima dengan nada penuh penekanan.Dito diam, setelah mendengar penuturan Rima, mungkin dia berpikir, benar apa yang dikatakan Rima. Dirinya tidak akan bisa keluar dengan selamat, jika dirinya tidak memiliki tenaga.Rima meminta Bi
Rima meletakkan dompet Dito, dan menguyur tubuhnya berkali-kali. Sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal yang menjijikkan, akan tetapi tuntutan dari pembalasan dendamnya, mengharuskan dirinya melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya.Sejenak Rima berpikir, dan satu ide muncul dalam benaknya dan ingin segera dia laksakan."Wooow, kamu cantik sekali," puji Dito, setelah Rima keluar dari kamar mandi.Rima tidak menyangka, remaja yang seusia Sherly sudah sangat mendewakan S*x. Seharusnya dia dan Sherly bisa menikmati masa-masa remaja yang menyenangkan."Tante, bisa ambilkan obat di saku depanku?" pinta Dito, yang masih tetap terikat dengan tubuh gemetaran.Dengan santai, Rima mengambil celana Dito yang tadi dia lepaskan dan dilempar jauh. kemudian mengambil sebuah plastik klip berukuran 7 x 10cm di dalam sakunya. Ketika melihatnya, Rima tau, obat apa yang dimaksud oleh Dito.Semua yang direncanakan Rima, berbeda dengan kenyataannya, tapi cukup membuat dirinya bersemangat. Dengan
Dengan susah payah, Rima dan pembantunya--Bik Irah, memindahkan Dito ke ruang rahasia yang ditemukan oleh Rima beberapa waktu lalu. "Bik, sebaiknya bibik pulang kampung saja. Jika terjadi sesuatu, bibik tidak akan terkena imbasnya," ujar Rima dengan menggenggam kedua tangan renta milik Bik Irah. "Sherly sudah seperti cucu bibik, dari dia lahir, besar, ditinggalkan ibunya, dan sekarang tertimpa kesialan gegara lelaki seperti ini, Bibik enggak akan biarkan mereka hidup dengan tenang." Dengan semangat dia menolak permintaan Rima. Rima menghembuskan napas kasar, dia tidak ingin orang lain mendapatkan masalah karena perbuatannya, tapi dirinya pun tidak bisa menjalankan sesuatunya seorang diri. "Kalau saja waktu itu bibik tidak melihat kemaluan yang ibu mut*lasi, maka bibik tidak akan pernah bisa membalaskan rasa sakit melihat orang yang disayang terluka!" tambah Bik Irah. Ya, waktu itu Rima pulang bersama Sherly dengan keadaan yang tidak pernah dia pikirkan. Rima terlihat tegar, setela
"Saat Mas James sudah mengucapkan ijab qobul, maka tanggung jawabku pun bertambah, termasuk membalas perlakuan mereka pada orang yang menyakiti anak-anak!" ujar Rima."Aku akan menungu kamu untuk di sisiku. Aku tidak rela kamu harus berkorban begitu banyak!" ujar Satria yang dibalas dengan senyuman sinis dari Rima.Satria tahu, Rima tidak akan mudah berpaling setelah menentukan apa yang dia mau. Jika pun berpaling, maka dia akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat teliti. Seperti saat Rima menerima James dan menghilangkan kenangannya dengan Satria. lelaki bertubuh tegap itu hanya bisa mnegela napas, karena terlambat datang memenuhi janjinya. Saat ini, dia hanya ingin dekat dengan wanita yang dia jadikan belahan jiwa sejak dia berjanji pada Bu Halimah dulu.Rima sudah memastikan ikatan yang dibuatnya cukup kuat dan tidak mudah lepas, dia menatap remaja yang sangaqt angkuh diusianya saat ini. Tentu semuanya karena ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya, dan juga cont