“Linar?”“Ah, iya.” “Kamu kenapa melamun di depan kotak lift?” tanya Dean tak habis pikir.“Bukan apa-apa,” jawab Linar memposisikan diri di sudut lift. Dean dan Linar hampir saja di lobby saat suara dering ponsel Dean kembali terdengar, kali ini Dean memperlambat langkahnya seolah menjaga agar Linar tak bisa melihat layar ponselnya, dan langsung ia matikan membuat Linar menatap lekat pada ponsel Dean.“Kamu duluan ya ke parkiran, aku mau ke toilet dulu, ini kuncinya.” “Sekalian mau telepon balik?” tanya Linar tak dapat menahan sindirannya.Gerakan tangan Dean sempat berhenti, membalas tatap Linar yang keras. “Iya, telepon dari Roland, pasti keperluan kantor. Kamu tenang aja aku nggak ada niatan ke kantor karena hari ini aku mau menemani kamu di rumah.”“Kenapa kamu tiba-tiba mau menemani aku di rumah? Apa karena ada Mami?” tanya Linar setengah sinis.“Maksudnya?”“Apa karena kamu khawatir Mami akan membuat aku nggak nyaman lagi, sepertinya masih banyak yang mau Mami omongin sama
“Jelas masih, dong! Gimana kalau nanti malam. Mau gue jemput atau langsung ketemuan di lokasi?”“Di lokasi aja, di kedai ice cream dekat universitas, dan gue cuma bisa ketemu siang ini, gimana?”“Ok, kita ketemu disana, gue bersiap sekarang.”“Ok, hati-hati di jalan, ya.”Linar memandang gamang layar ponsel yang sudah mati. Ini lebih baik, memakan ice cream ditemani teman yang sedang meminta pertolongannya lebih dulu dibandingkan dengan berdiam diri di kamar yang terasa dingin dengan kemelut di hati yang menyakitinya. Mengingatkannya pada.** FlashbackBruukkk...Linar terhuyung ke belakang ketika berbelok ke pintu toilet dan menabrak seorang wanita yang hendak keluar. Ia membungkuk mengambil tas tangan wanita itu dan mengembalikan pada sang pemilik. "Maaf."Wanita itu mengulurkan tangan dengan memasang tatapan datar pada wajah Linar. Tanpa senyum tapi tak cukup dibilang bersikap dingin. Hanya menatapnya datar dengan matanya yang sipit dan bibirnya yang tergores tipis tanpa senyum.
“Karena kamu. Mas Dean harus melawan Mami dan sebagian keluargaku yang lain. Hanya demi menikahi kamu yang nggak mampu memberi keuntungan apapun. Di saat Mas Dean sebenarnya bisa menikahi perempuan yang sederajat dan memberikan dia manfaat atau paling nggak yang mampu mengimbangi dia di segala aspek. Sedangkan kamu cuma pegawai biasa yang beruntung bertemu mas ku, entah apa yang dia lihat dari kamu.”Linar memandang Ista gamang, alasan yang sudah ia prediksi karena terlalu jelas. Siapapun bisa menebaknya. “Apa lagi?”“Dan kamu yang selalu diam di pojokan atau gelayutan di samping Mas Dean, menunggu kami mendatangi kamu lebih dulu. Setelah itu sok sibuk sama orang-orang yang nggak penting. Padahal kamu pendatang yang nggak diharapkan tapi kamu sendiri yang ngak bisa beradaptasi sama kita. Kamu tahu! Menjengkelkan saat kamu yang cuma diam dan orang lain akan berpikir kalau kami yang terlalu sombong untuk mengajak kamu gabung! Padahal kita memang nggak pernah satu frekuensi! Beda circle!
"Linar?!!!" sentak Dean geram.Linar terlonjak dan segera mengendalikan diri, ia mengangkat dagunya lebih tinggi melotot pada Winona, sebagai bentuk antisipasi jika Winona akan membalasnya.“Brengsek! Apa kamu baru aja menampar ku, hah?!!!” jerit Ista menatap nyalang.Sedikit pun tak merasa bergetar saat telapak tangan Ista terangkat dan siap melayang ke wajahnya. Ia tak menyesali perbuatan atau pembelaannya atas ucapan sombong dan merendahkan wanita itu. Jika saja mereka sedang tak di depan umum maka Linar akan membalas dengan mencaci maki sikap Ista yang terlalu manja dan sombong itu. Sudah lama ia ingin menegur atau membalikkan perkataan Ista. "Cukup, Ista!"Suara Dean dari arah belakang membuat keduanya menegang dengan alasan yang berbeda.Ista menurunkan tangannya seketika dan menoleh pada Dean dengan tatapan protes. “Apa?! Mas lihat ‘kan! Dia yang menampar aku lebih dulu! Sial! Dia pikir dia siapa hah!!!”“Ada alasannya ‘kan! Kesabaran aku udah habis Ista! Dan stop playing vic
“Aaarrghhh….”Linar memekik dengan keras, memiringkan tubuhnya dan rasa sakit yang terus meremas keras perutnya. Sontak ia meringis keras, dan terisak.“Mas…” rintih Linar pilu. Linar langsung teringat, hasil testpacknya. Janinnya? Dengan gemetar Linar berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang lebih mendominasi daripada tenaganya. Air matanya mengalir semakin deras dan kedua tangannya bergerak memeluk perutnya. “Darah…? Tolong…” Berharap ada yang mendengar namun mengingat ia sedang ada di kamar hotel pasti tak akan terdengar dari balik pintu ia butuh sesuatu yang lebih keras. Dengan sekuat tenaga ia menggusurkan badannya keluar dari kamar mandi, beruntung tepat di sebelah pintu terdapat nakas yang dihiasi dengan pot bunga terbuat dari kaca setinggi sepuluh sentimeter, dengan meringis tangis dan bercucuran keringat. Linar meraih pot bunga tadi dan melemparnya pada jendela kaca balkon berjarak dua meter di depannya. Praaang….Linar tersenyum meringis nyaris tersengal melihat usahanya
Linar tak menggubris. Meneruskan perjalanannya.Tak sabar, Dean pun menyusul dan berhasil menyambar pergelangan tangan Linar. "Lalu kenapa kamu tiba-tiba berubah? Sebelumnya kita baik-baik aja tapi setelah pemeriksaan kandungan kamu kenapa kamu tiba-tiba diam seolah. Aku nggak ngerti kamu marah kenapa?!""Kamu beneran nggak tahu, Mas?"Dean terdiam, mencoba menyelami arti tatapan Linar."Ya, aku memang memberikan kamu kesempatan kedua, membiarkan kamu menarik aku ke kehidupan kamu semau kamu, tapi bukan berarti kamu berhak mengabaikan aku dan melakukan kesalahan yang sama, Mas!”Mata Dean menyipit, berusaha mengelupas lapisan emosi di wajah Linar. "Apa kamu marah karena aku lebih memilih pergi ke kantor dan mengabaikan janji aku ke kamu, gitu?"Linar memutar bola matanya jengah, menyentakkan tangan Dean, tetapi Dean malah semakin mengetatkan cekalannya."Kamu tahu aku udah jelasin ke kamu! Kalau itu panggilan urusan kerjaan dan aku harus kenkantor sebentar! Aku udah janji sama kamu ng
Dean menatap nyalang, lidahnya kelu akan sikap Linar yang balik menantang. “Ada teman aku yang melihat kebersamaan kalian dan dia mengirimi aku, fotonya. Hufthh! Jangan coba mengelak karena kalian bertemu di ruang publik, siapapun bisa melihatnya ‘kan?” dengus Dean.“Karena memang sedari awal yang kami nggak berniat selingkuh Mas! Dan kami nggak pernah selingkuh! Pertemuan kami murni karena ada keperluan.” tukas Linar lelah.“Apa yang membuat aku harus percaya? Kamu bukan jenis perempuan yang terbiasa berhubungan dekat dengan seorang lelaki. Aku tau seberapa selektifnya kamu berteman. Dan dari dulu sampai sekarang kamu selalu dekat sama satu pria yaitu lelaki itu.”“Dan lelaki itu, pacar dari sahabat aku, Mas! Dan rasanya wajar aja karena kami kenal sejak awal kuliah!” jelas Linar jengah.“Terserah kamu mau percaya atau nggak? Aku lelah! Kami butuh istirahat!” Linar sengaja menekan kata kami agar Dean ingat jika ia juga sedang hamil, tak hanya dirinya yang merasakan lelah tapi jelas j
"Ada apa?""P-perutku. arrghh... " ringis Linar nyaris tak bisa bernapas.Kepanikan melapisi seluruh permukaan wajah Dean, pria itu menunduk dan menyelipkan kedua lengannya di punggung dan balik lutut Linar. Kemudian membawa Linar kembali ke tempat tidur.Linar menggigit bibir bagian dalamnya menahan nyeri di bagian bawah perutnya. Sedangkan Dean, memposisikan dirinya memeluk Linar dari belakang, pria itu menyelipkan telapak tangannya di balik pakaian Linar yang memunggungi Dean.Diam-diam, Dean ikut meringis dan menyentuhkan tangannya di perut Linar yang mengeras. Kemudian pria itu mengelusnya dengan lembut. Perlahan tapi pasti, ketegangan di perut Linar dan desah kesakitan pun berkurang. Hingga benar-benar sirna. Dan saat keduanya tersadar, Linar menyentakkan tangan Dean dari tubuhnya. "Pokoknya aku udah kasih alasan, kenapa aku nggak mau datang."Dean mendengus tipis. "Lantas. Apa kamu nggak keberatan kalau aku kasih alasan yang sama, lengkap dengan ekspresi yang kamu tunjukkan k