Share

Bab 3

Di momen yang menegangkan itu, seseorang tiba-tiba datang dan memegang Axel.

"Nak, Nak, kamu nggak apa-apa?"

Itu adalah ibu mertuaku. Dia melihat wajah bengkak Axel dengan sedih, lalu berbalik untuk memarahiku.

"Laras! Bagaimana bisa kamu memukul Axel seperti ini? Kamu bertingkah seperti setan!"

"Situasi Miyu sudah nggak bisa diselamatkan, ini bukan salah Axel, jadi jangan melampiaskannya pada dia!"

"Selain itu, apa salahnya menandatangani sebuah perjanjian donor? Seseorang yang sudah mati nggak mungkin bisa hidup lagi! Pokoknya, dia akan dikremasi. Apa kamu akan terus mengurusnya di rumah?"

Makin berbicara, ibu mertuaku menjadi makin gelisah. Lama-kelamaan perkataannya menjadi absurd. Aku pun marah, dengan mata memerah, aku mengangkat tanganku dan menampar pipi kiri Axel dengan keras.

Setelah dua tamparan, Axel tampak tercengang. Ibu mertuaku tidak menduganya, dia berteriak sambil menyentuh wajah putranya dengan sedih.

Aku menatap dingin telapak tanganku yang merah.

"Apa sakit? Harusnya sakit. Seharusnya kamu bisa merasakan penderitaan anakmu!"

"Cepat pergi! Kalau kamu bicara lagi, aku akan memukulmu dengan termos!"

Ibu mertuaku melotot, mulutnya gemetar saking marahnya.

"Setan! Dasar setan!"

Situasi pun menjadi kacau. Axel menahan amarahnya dan bertanya padaku, "Laras, apa kamu sudah puas memukul dan mengomel? Apa kamu sudah puas melampiaskan amarahmu?"

"Ikut aku tanda tangan! Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan, sebelumnya kamu sudah mengangguk di ruang dokter. Kamu nggak bisa menarik kata-katamu lagi!"

Setelah mengatakan itu, dia merebut ponselku dari tanganku dan dengan paksa mencengkeram kedua lenganku. Dia mendorongku dengan bantuan Ibu mertua.

Aku menggertakkan gigi dan sekuat tenaga memberontak. Melihat bahwa aku tidak bisa melawan mereka berdua, aku pun berteriak, "Dokter! Suster! Satpam?! Di sini ada orang yang mau menculikku!"

Beberapa suster buru-buru datang. Namun begitu melihat Axel yang tak asing, mereka pun ragu-ragu berhenti.

Axel memaksakan sebuah senyum.

"Bukan apa-apa, istriku hanya sedikit emosional. Kami nggak akan merepotkan kalian."

Aku dengan keras kepala terus berteriak, "Merekalah yang memulainya. Kalau kalian nggak menghentikan mereka, aku akan terus berteriak sepanjang perjalanan dan membuat semua keluarga pasien keluar dan melihat!"

Para suster pun bertukar pandang dan terpaksa maju untuk menghalangi kami.

Axel dengan enggan melepaskan cengkeramannya, jantungku yang berdegup kencang akhirnya menjadi tenang. Aku cepat-cepat melirik jam.

Masih ada 1 jam sampai tim pemindahan datang.

Selama aku bisa bertahan 1 jam lagi, aku bisa membawa putriku pergi dari sini selamanya!

"Axel, ada apa? Kami sudah menunggu tapi kalian nggak datang juga."

Terdengar suara yang memesona, itu adalah Sarah.

Wanita itu menatap Axel dengan penuh kasih sayang. Melihat wajah bengkak Axel, dia buru-buru mendekat untuk memeriksa.

Begitu melihatnya, sikap kasar Axel seketika menjadi lembut.

"Bukan apa-apa. Sarah nggak mau menandatanganinya, jadi kami sedikit bertengkar."

Sarah mengangkat kepalanya dan melihatku yang memiliki rambut berantakan.

"Bu Laras, putrimu sudah mengalami kematian otak. Menandatangani perjanjian donor adalah sesuatu yang telah kamu setujui sendiri."

"Rumah sakit sangat berterima kasih atas kebajikan dan kontribusimu. Aku juga mengerti, bahwa selalu ada hambatan psikologis yang harus susah payah diatasi dalam hal seperti ini."

"Tenang saja. Meskipun anak itu sudah nggak lagi di sini, hidupnya akan terus berlanjut dengan cara lain ...."

Aku berteriak dan menyela pidatonya yang munafik itu, "Omong kosong, anakku nggak mati otak. Diagnosismu palsu! Tanda tangan perjanjian apanya, sekarang juga aku mau pindah dari rumah sakit ini!"

Sarah menggelengkan kepalanya, berpura-pura teraniaya.

"Bu Laras, aku tahu kamu sedih, tapi tolong jangan fitnah aku. Oke?"

"Aku telah berusaha menyelamatkan putrimu selama hampir 10 jam, aku terjaga sepanjang malam dan masih harus mengobati pasien lain. Tapi, kamu malah memandangku sebagai dokter gadungan!"

"Seluruh tim kami sudah siap untuk penandatanganan perjanjian, wartawan juga sudah menunggu. Bagaimana kamu mau aku menjelaskan hal ini kepada mereka?"

Para pasien dan suster di sekeliling pun tak bisa menahan diri dan mulai berbisik-bisik.

"Dokter Sarah adalah salah satu dokter terbaik di rumah sakit, bagaimana mungkin dia salah diagnosis?"

"Menurutku ibu ini terlalu emosional, sehingga membuat keributan."

"Hei, walaupun kasihan, dia tetap salah. Dokter Sarah sudah bekerja keras dan malah diomeli seperti ini, bukankah ini termasuk penyerangan!"

Melihat penonton yang mengkritikku, Axel menunjukkan senyum angkuh.

"Laras, sekarang kamu terlalu emosional. Ayo kita masuk ke dalam kantor dan berbicara, oke?"

Sambil berbicara, dia hendak menarikku lagi.

Aku dengan waspada melangkah mundur.

"Siapa pun jangan sentuh aku!"

Di samping, Sarah memberi isyarat kepada suster lainnya.

Seorang satpam tiba-tiba datang entah dari mana, satpam itu mencengkeram bahuku dan dengan paksa menahanku ke dinding.

Sarah menginstruksikan suster yang ada di sana, "Dia terlalu emosional, dia harus segera disuntik obat penenang!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tati Artati
saya menyukai ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status