Share

Bab 2

Memikirkan hal ini, aku ingin sekali menampar kemunafikan itu dari wajah Axel.

"Sekarang aku akan membawa Miyu ke rumah sakit lain untuk didiagnosis ulang! Aku nggak akan pernah menandatangani perjanjian ini!"

Melihat wajahku yang penuh amarah, Axel mengerutkan alisnya.

"Laras Kencana, jangan bersikap nggak masuk akal. Semalam kamu pulang dan akulah yang berada di sini sepanjang malam tanpa tidur, aku menyaksikan seluruh proses penyelamatannya."

Dia melanjutkan, "Aku tahu bahwa kamu sangat menderita, tapi faktanya sudah seperti ini. Bisakah kamu mengendalikan emosimu sedikit?"

Aku tertawa dingin.

"Kamu menyuruh seorang ibu, yang hidup dan mati anaknya nggak pasti, untuk mengendalikan emosinya?"

"Memangnya kenapa aku pulang semalam? Bukankah itu karena ibumu yang bersikeras berkata jantungnya terasa nggak enak dan ingin aku pergi merawatnya?"

Kekesalan melintas di wajah Axel.

"Jangan menyalahkan ibuku lalu menyalahkanku juga , ini memang nasib Miyu saja yang buruk."

"Tadi kamu jelas-jelas setuju untuk menandatangani perjanjiannya, tapi tiba-tiba kamu malah menarik perkataanmu. Apa kamu pikir kamu nggak terlalu emosional?"

Melihat wajahnya yang tak acuh, aku pun sudah terlalu malas untuk berbicara lebih banyak.

Yang paling penting sekarang adalah segera pindah ke rumah sakit lain, lalu melakukan diagnosis ulang dan pengobatan.

Axel yang berada di depanku, sudah bukan lagi pria yang bermain dengan putriku sambil bertelanjang kaki di lantai apartemen sewaan kami.

Aku dengan keras mendorong pintu kantor dan berjalan ke arah ICU, tanganku mengetuk nomor telepon yang tidak asing di ponselku.

Selama 7 tahun menikah dengan Axel, aku juga 7 tahun memutus hubungan dengan keluargaku.

Hal itu karena orang tua dan kakakku tidak setuju dengan pernikahan kami. Aku meninggalkan bisnis keluargaku yang kaya dan juga pindah ke kota lain, semuanya demi memulai kehidupan baru dengan Axel.

Sekarang, satu-satunya yang bisa menolongku adalah keluargaku yang selalu berada di pihakku.

Begitu teleponnya tersambung, aku tidak punya waktu untuk menjelaskan situasinya. Aku hanya mengucapkan dua kalimat dan sudah menangis tersedu-sedu.

"Ayah, Ibu, tolong selamatkan putriku. Sekarang dia harus dipindahkan ke rumah sakit terbaik di provinsi ...."

Orang tuaku pun mengesampingkan masalah di masa lalu dan segera menghubungi tim medis terbaik di provinsi.

Setelah menutup telepon, aku mendongak untuk melihat jam di dinding.

Masih ada 2 jam sampai tim pemindahan datang.

Pada saat itu, Axel buru-buru mendatangiku.

"Laras, apa yang kamu lakukan di sini! Berhenti bersikap nggak masuk akal dan ikut aku untuk menandatangani perjanjiannya. Kita sebelumnya sudah setuju, seluruh tim medis sudah menunggu."

Aku tidak menghiraukannya dan hanya terus menatap pintu ruang ICU.

Melihatku yang tidak merespons, Axel pun mulai kehabisan kesabarannya.

"Jangan bengong, ayo cepat. Jangan kecewakan dokter."

Aku menoleh dan memandangnya.

"Putrimu masih terbaring di ICU dan kamu malah nggak sabar untuk mengambil organnya?"

Axel seketika tampak agak panik.

"Bicara apa kamu? Dia adalah putri kita, bagaimana bisa aku sekejam itu."

"Hanya saja, sekarang putri kita sudah mati otak, tanpa adanya kesempatan untuk bangun lagi. Sekarang dia hanya bagaikan cangkang tanpa isi!"

"Selain itu, mendonorkan organnya adalah tindakan yang sangat bermakna. Saat menonton TV waktu itu, dia pernah bilang bahwa dia ingin hidupnya memiliki lebih banyak makna. Bukankah hal ini akan memenuhi keinginannya?"

Mendengar omongannya, aku pun dipenuhi dengan amarah.

Beberapa bulan yang lalu, Axel tiba-tiba membuat kami menonton beberapa dokumenter layanan publik mengenai donor organ.

Saat itu, putriku menangis sedih. Dia begitu kecil dan baik hati.

Hanya saja aku tidak menyangka, bahwa kebaikan putriku dan kepercayaanku akan menjadi dasar dari rencana Axel.

Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk menampar sisi kanan wajah pria itu.

"Pergi! Aku nggak akan ke mana-mana! Siapa pun nggak boleh menyentuh putriku, aku akan pindah rumah sakit!"

Axel terhuyung-huyung melangkah mundur sambil memegangi wajahnya, dia terlihat berantakan. Dia pun tidak bisa menahan diri dan berteriak, "Demi menuruti emosimu, kamu mau memaksa putri kita untuk tetap tinggal di sini, membiarkannya menjalani kehidupan yang lebih buruk daripada kematian. Apa gunanya itu?"

"Dia akan menderita karena atrofi otot, mengalami luka baring dan seluruh tubuhnya akan membusuk. Dia akan membusuk hidup-hidup! Kenapa nggak biarkan saja dia pergi dengan damai!"

Aku menatap pria asing di depanku ini, di balik bahasanya yang tinggi, terdapat kejahatan yang telah lama direncanakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status