“Apa ini jalan yang benar? Zamanku dulu tidak pernah ada peta seperti ini.”
Ben mengangkat sebelah alisnya. “Dengarkan saja terus petunjuknya. Aku yakin sudah memasukkan alamat yang tepat.”
“Tapi dari tadi aku tidak mendengar apa pun.” Sambil mengatakan itu, Sander sibuk menekan setiap tombol yang terdapat di bagian terluar layar. Ia sedikit kesulitan karena masih harus menyetir dengan fokus.
Hingga akhirnya suara wanita yang berasal dari aplikasi peta itu terdengar sangat keras, mengejutkan Sander dan juga Ben. Keduanya tersentak di tempat. Sander sendiri hampir menginjak rem secara mendadak di tengah jalan raya. Dengan seringai penuh rasa bersalah, ia mengangkat salah satu tangannya tanda meminta maaf.
Lagi-lagi Ben harus mengatur napas untuk menahan amarahnya, tetapi kali ini ia gagal. “Tidak ada naik gaji untukmu, Pak Tua!”
Teriakan kecewa Sander mungkin akan mampu terdengar oleh para pengemudi di mobil lain.
Setelah lama berputar-putar, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Ben langsung mengusir Sander pergi, sementara mantan preman itu dengan senang hati kembali mengemudi sendirian. Ia mengatakan sesuatu soal rencananya memamerkan mobil Ben ke teman-teman yang lain. Ben sama sekali tidak peduli dan hanya memaksa Sander untuk segera menghilang dari hadapannya.
Kini hanya ada Ben sendiri yang berdiri di depan bangunan dua lantai berwarna krem dan coklat pudar. Dua daun pintu hitam besar dengan gurat vertikal tipis menantinya. Ben menyentuh sebuah kotak asing yang berada tidak jauh dari kenop pintu, jejeran angka seketika muncul karenanya. Pria itu lantas terdiam sejenak, mengingat-ingat angka sandi yang telah ia atur sebelumnya.
Tanggal ulang tahun Alisya.
Namun, jari-jarinya menolak bergerak untuk menekan angka itu. Alhasil, Ben memilih cara lama, yaitu membuka pintu menggunakan kunci biasa.
Langkahnya menggema saat ia memasuki rumah yang sebelumnya ia persiapkan untuk Alisya itu. Bagian dalamnya terlihat jauh lebih berkelas dibandingkan bagian luar, tetapi Ben sama sekali tidak merasa senang.
“Sekarang harus kuapakan rumah ini?” Ia bertanya entah kepada siapa. Kakinya terus berjalan menyusuri lantai yang tidak memiliki goresan sedikit pun. Ben sampai melepas sepatunya karena tidak ingin mengotori permukaan berwarna putih bersih itu.
Kedua matanya melihat setiap perabotan yang ada. Mau tidak mau ia jadi membandingkan semuanya dengan rumah lamanya yang bahkan tidak mempunyai kursi untuk bersantai. Kini, Ben mempunyai satu set sofa mewah lengkap dengan meja kaca besar, dan bahkan setelah semua perabotan itu, lantai satu rumahnya masih mempunyai lahan yang cukup luas.
Sebuah lemari kayu besar berperan sebagai pembatas antara ruang depan dan dapur. Ben hanya menolehkan kepalanya sekilas untuk melihat ke ruangan lain, sebelum akhirnya ia mendudukkan diri di atas sofa tunggal. Seketika merasakan kenyamanan dari lembutnya serta empuknya sofa itu.
“Pantas saja harganya tidak masuk akal. Sander akan menggila jika tahu total uang yang kuhabiskan untuk rumah ini beserta isinya.”
“Kenapa kamu sampai menghabiskan uang sebanyak ini?” Ben bisa membayangkan dengan jelas bagaimana Sander akan bertanya kepadanya.
“Tentu saja untuk Alisya.” Tanpa sadar Ben mengucapkan jawabannya keras-keras. “Seharusnya sekarang dia ada di sini bersamaku. Seharusnya dia sedang berlarian melihat-lihat kamar barunya. Dengan semangat membicarakan warna cat dinding dan dekorasi yang dia inginkan, juga ….”
Tidak. Ben tidak boleh kembali terpuruk seperti ini. Ia sangat sadar akan hal itu, sehingga ia segera duduk tegak dan menarik napas dalam. Alisya tidak boleh melihat ayahnya menjadi lemah. Di mana pun jiwa Alisya kini berada, Ben harus tetap menjadi teladan yang baik baginya.
Namun, Ben sungguh tidak bisa menyingkirkan rasa bersalahnya. Bahkan setelah malam menjelang pun, ia tidak mampu tidur di kasur barunya dan lebih memilih untuk berbaring di atas karpet ruang tamu. Punggungnya bersandar kepada kaki sofa. Alas tidur yang tidak begitu empuk serta kerasnya kaki sofa yang menusuk punggungnya terasa begitu familier, hingga Ben mampu menyambut kenangan lama dalam bentuk bunga tidur.
Kenangan paling terdahulu yang masih Ben ingat sampai sekarang adalah kehidupannya di usia enam tahun, kurang lebih 29 tahun yang lalu. Ia berdiri sendirian di tengah lorong yang terdengar ramai oleh canda tawa dari puluhan anak di ruangan paling ujung. Senyum menghiasi wajah anak-anak itu, sementara Ben hanya mengamati dalam diam dan tanpa ekspresi.
Ben menunduk. Melihat mobil-mobilan berwarna merah menyala di tangannya. Mobil itu terlihat begitu keren dan dapat dikendalikan menggunakan remot. Seharusnya, semua anak akan begitu iri melihatnya memiliki mainan itu. Namun, kenapa Ben tetap sendirian tanpa satu pun teman?
“Sekarang kamu juga merupakan bagian dari keluarga ini.” Wanita paruh baya yang meminta untuk dipanggil Rossa pernah berkata dengan lembut kepada Ben. “Tenang saja. Anak-anak yang lain pasti akan sangat senang berteman denganmu.”
Nyatanya, Ben tetap sendirian bahkan sampai malam menjelang. Perhatian terbesar yang ia dapatkan dari anak lain hanyalah tatapan penuh tanya.
Tidak tahan, akhirnya di suatu hari, Ben memutuskan untuk melakukan sesuatu.
“Hai.” Ia menyapa seorang anak perempuan yang tengah bermain dengan boneka.
Anak perempuan itu terlihat melebarkan matanya sambil melirik ke kanan dan kiri. Dengan ragu ia tersenyum. “Hai. Ternyata kamu bisa bicara.”
Ben mengerutkan kening. “Tentu saja bisa. Memangnya ada anak yang gak bisa bicara?”
“Kadang-kadang ada anak yang seperti itu di sini.”
“Di mana dia sekarang?”
“Gak tahu. Mungkin sudah dipindahkan ke panti asuhan yang lain.”
Perlahan, kepala Ben mengangguk mendengar itu. Pembicaraan ini tidak berjalan seperti yang ia inginkan, tetapi setidaknya ia berhasil berbicara dengan seseorang selain Rossa. Ben terus berusaha untuk tetap melanjutkan interaksi ini selagi anak-anak lain yang lebih berisik masih sibuk berebut mainan di sudut lain ruangan.
“Kamu mau pinjam mobilku?” tawarnya sambil menyodorkan mainan kesayangannya. “Ini pemberian orang tuaku.”
“Wah! Beneran boleh pinjam?” Sang gadis kecil tampak berbinar, tetapi ia sama sekali tidak mengambil mobil-mobilan itu dan justru sibuk menggenggam tangannya sendiri. “Tapi … simpan saja. Nanti rusak. Itu, kan, peninggalan mama dan papamu.”
Ben yang heran mendengar jawaban anak itu lantas menggelengkan kepala dengan wajah mengerut. “Ambil aja. Kalau rusak, aku tinggal minta belikan lagi?”
“Minta ke Rossa?”
“Ke orangtuaku, lah.”
“Tapi, kan …,” bibir sang gadis kecil sedikit bergetar seolah-olah ia akan segera menangis, “kamu belum tahu kapan kamu bakal punya orang tua yang baru.”
“Orang tua baru?” Ben yang akhirnya mulai mengerti apa maksud anak perempuan itu lantas membelalakkan mata. Usianya yang masih terlampau muda untuk mengendalikan emosi membuatnya kelepasan. Ia membanting mobil-mobilan kesayangannya ke lantai. Sekuat tenaga menahan tangis saat melihat mainan itu sedikit pecah di beberapa bagian. “Aku gak perlu orang tua baru! Mama sama Papa bakal menjemputku lagi nanti!”
Terkejut oleh Ben yang tiba-tiba mengamuk, sang gadis malang langsung menangis. Tetesan air mata mengalir deras di pipinya, bersamaan dengan suara merengek yang nyaring. Dalam sekejap, perhatian semua orang yang berada di sana mengarah kepada mereka berdua.
Seorang pengasuh panti yang berusia jauh lebih muda dari Rossa lantas memeluk dan menepuk pelan pundak sang gadis. Dengan hati-hati, ia bertanya kepada Ben. “Ada apa? Kalian berdua berantem?”
“Dia yang mulai! Dia bilang aku bakal punya orang tua baru! Padahal Mama sama Papa bakal segera menjemputku!” jawab Ben dengan sedikit tergesa-gesa. Tidak ingin sang gadis kecil yang masih menangis mendahuluinya.
Jawaban Ben membuat air muka sang pengasuh berubah keruh. Ia terlihat membuka dan menutup mulutnya berkali-kali, tetapi pada akhirnya ia memusatkan seluruh perhatiannya untuk menenangkan anak yang menangis di pelukannya.
Seharusnya, situasi akan membaik berangsur-angsur setelah sang anak perempuan berhenti menangis. Namun, hari itu mungkin telah ditakdirkan untuk menjadi hari terburuk bagi para pengasuh panti, karena salah satu anak laki-laki seusia Ben yang kebetulan mendengar semuanya tiba-tiba saja mengatakan sesuatu dengan lantang.
“Orang tuamu sudah pergi dan gak bakal pernah datang lagi. Sama seperti orang tuaku dan teman-teman yang lain!”
“Sean ….” Pengasuh yang masih sibuk menenangkan sang gadis kecil mencoba menghentikan pertengkaran lain yang kemungkinan besar akan terjadi. Sayangnya, ia sendiri tidak bisa berbuat banyak.
Ke mana perginya para pengasuh lain saat mereka dibutuhkan?
“Kita semua sama! Kita itu anak yang dibuang! Anak-anak di sekolah bilang begitu!”
“Nggak! Aku beda! Aku cuma main sebentar di sini sampai Mama dan Papa menjemputku!” teriak Ben. Meski suaranya terdengar lantang dan yakin, ia sendiri kini mulai menangis. Kedua kakinya tidak berhenti mengentak lantai dengan gusar. Ia menggosok wajahnya yang basah dengan lengan. “Mama, Papa! Aku mau pulang sekarang! Teman-teman di sini jahat!”
Adanya satu orang tambahan yang menangis membuat seluruh anak yang tersisa mulai terisak. Baik yang berusia di bawah lima tahun, maupun yang jauh lebih besar dari itu. Tampaknya, seluruh kebenaran yang tiba-tiba saja diungkapkan oleh salah satu teman mereka membuat mereka tidak lagi mampu memendam semua kesedihan yang selama ini tersembunyi di balik sikap ceria mereka. Kenyataan pahit yang selalu berusaha mereka abaikan kini kembali ke permukaan.
Jauh di dalam lubuk hati, anak-anak itu pasti selalu bertanya-tanya mengapa mereka tidak memiliki kehidupan yang sama seperti teman-teman di sekolah. Rasa kesepian mereka memang bisa terobati karena kehadiran satu sama lain serta dukungan para pengasuh, tetapi pada akhirnya, peran orang tua tidak bisa tergantikan begitu saja.
Kehadiran Ben yang jauh lebih berani mengungkapkan isi hatinya membuat ketenangan palsu Panti Asuhan Kurnia Sentosa pecah begitu saja.
Entah apa yang membuat Ben begitu menggila di hari itu. Ia bukan hanya mengguncang seluruh panti asuhan dengan suara tangisannya, tetapi juga amukannya. Tubuh kecilnya yang baru saja sedikit melebihi tinggi satu meter terus berkeliling dan menghancurkan setiap benda yang dilihatnya. Susah payah para pengasuh mencoba menghentikannya, tetapi mereka baru berhasil setelah banyak benda rusak dan Ben menderita luka-luka ringan.
Tentu saja, setelah hari itu, Ben semakin kesulitan untuk berteman.
Ben berhenti berusaha dan menerima rasa sepi sebagai satu-satunya teman. Ralat. Ia masih mempunyai Rossa yang sangat sabar menghadapinya. Rossa benar-benar berbeda dari para pengasuh yang lain. Wanita itu bersikap sangat lembut dan keibuan, ia juga tidak pernah terlihat ragu maupun takut. Tanpa sadar Ben menjadi bergantung kepadanya, tetapi Rossa tidak terlihat keberatan.
Sayangnya, Rossa yang hampir berusia 50 tahun sering jatuh sakit dan hanya beristirahat di kamarnya yang berada jauh di belakang bangunan utama panti. Jika sudah begitu, Ben akan menghabiskan waktunya sendirian di luar. Memainkan mobil mainannya yang rusak di atas rumput-rumput kering. Terkadang ia juga bersembunyi di balik jajaran jemuran seprai agar tidak terlihat oleh anak-anak lain.
Suatu hari, perubahan besar terjadi. Ben telah berusia 15 tahun saat itu, dan masih belum mengembangkan kemampuan sosial yang cukup baik. Namun, ia mulai ingin berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain setelah seorang gadis asing dengan senyum manis mengulurkan tangan kepadanya.
Ben ragu untuk menyambut uluran tangan itu, karena sang gadis sama sekali tidak terlihat seperti anak-anak panti asuhan lain. Rok terusan yang dikenakannya berwarna begitu cerah, hampir terlihat seperti baru. Setahu Ben, anak-anak panti hanya selalu memakai pakaian bekas yang disumbangkan kepada mereka.
Lantas Ben bersedekap dan bertanya dengan ketus. “Siapa kamu?”
***
Ben terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Meskipun mimpi tentang masa kecilnya bukanlah hal yang cukup membahagiakan, Ben cukup senang bisa mengingat kembali Rossa, teman-temannya, serta satu orang gadis yang selalu ia rindukan.Dalam hati ia berniat untuk berkunjung ke Panti Asuhan Kurnia Sentosa dalam waktu dekat.Untuk saat ini, Ben masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Tampaknya ia masih belum benar-benar pulih dari rasa kehilangan karena dalam beberapa detik ia kembali merasa sesak. Dengan terburu-buru ia melangkah keluar rumah tanpa memedulikan penampilannya yang kemungkinan besar terlihat berantakan. Ia sungguh memerlukan udara segar di luar bangunan dua lantai yang beratap tinggi tetapi terasa menghimpit tubuhnya ini.“Rumah ini tidak sebesar itu, tapi kenapa pintu keluarnya terasa jauh
Ben tertawa sinis mendapati bahwa ia tanpa sengaja kembali ke daerah pinggiran kota Patah. Rupanya ia benar-benar telah berlari terlalu jauh hingga menempuh jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan mobil.“Sepertinya aku memang harus kembali.”Bertahun-tahun tinggal di sana membuat Ben hafal setiap belokan yang harus dilaluinya. Dengan pikiran kosong pun ia akan tetap sampai ke rumah kecilnya yang semakin hari semakin menyerupai gubuk.Namun, sebelum itu, ia mengambil jalan lain menuju pantai. Beberapa orang yang terlihat masih berkumpul di sana membuatnya mengerutkan kening.“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah seharusnya penjualan sudah selesai sebelum matahari terbit?” tanya Ben sambil melihat ke arah baskom-baskom besar berwarna biru
Suara berderak pelan terus terdengar dari sebuah pintu tua. Seorang pemuda yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan sarung kotak-kotak coklat tengah membungkuk di depan pintu itu, tangannya bergerak lincah memasukkan sesuatu ke lubang kunci. Pencahayaan lampu teras yang tidak terlalu baik membuatnya sedikit merasa aman, hanya sesekali kepalanya menengadah, memastikan bahwa tidak ada orang yang tengah menyaksikan aksinya.Setelah terdengar kunci pintu terbuka, pemuda itu menarik napas dalam sambil menyingkirkan kain yang sempat menutupi hidung dan mulutnya. Dengan senyum di bibir, ia melangkah masuk ke rumah yang baru saja ia bobol itu.“Hah … mudah sekali. Kenapa dia repot-repot ganti kunci kalau kualitasnya sama saja?” Ia bicara sendiri sambil memainkan tindik di bawah bibirnya dengan lidah. Kedua mata abu-abu kebiruan yang sangat ko
“Hmm?” Ben mengangkat salah satu alisnya penuh tanya. “Menyedihkan. Kamu tidak punya alasan yang lebih bagus?” Ia menghela napas sebelum bersiap untuk mengayunkan tinjunya.Denver hampir gila rasanya. Sekilas, ia dapat melihat seluruh hidupnya terbersit di pikirannya, seolah-olah otaknya tengah meninjau kembali seluruh waktu yang telah ia habiskan dengan sia-sia. Pemuda itu lantas mengumpat. Ia sama sekali belum mau mati. Meskipun kehidupan ini bersikap kejam kepadanya, ia masih memiliki tujuan yang akan ia capai meski harus menjungkirbalikkan dunia.Sebagai pertahanan terakhir, akhirnya Denver mengambil gantungan baju yang ada di dekatnya. Menghunuskan bagian ujungnya yang melengkung tetapi berujung runcing kepada Ben dengan sekuat tenaga. Refleks Ben yang bagus membuatnya menghindar tepat waktu, dan Denver memanfaatkan saat itu untuk b
“Saran? Apa saranmu?” Ben bertanya kepada Denver dengan tidak sabar.“Sewa detektif swasta,” jawab Denver penuh percaya diri. “Seperti aku, misalnya.”Ben dan Sander mendesah kecewa bersamaan. Keduanya lantas berbalik dan mengibaskan tangan kepada Denver. “Sudah cukup, anak kecil. Sekarang, pulanglah!” perintah Sander yang pergi ke arah berlawanan dari arah yang dituju Ben.“Tunggu dulu!” Terburu-buru Denver berteriak. “Baiklah! Kalau kalian tidak percaya padaku, tidak apa-apa! Tapi libatkan aku dalam penyelidikan kasus ini!”Ben yang muak mendengarkan omong kosong Denver kembali menghadap sang pemuda. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sementara ekspresinya tidak terlihat jelas di tengah malam yang sudah semakin larut. “Dengar, anak muda. Aku tahu kamu serius dalam hal ini, tapi justru itu yang membuat aku yakin bahwa kamu seharusnya menjauh dari kasus ini. Aku akan menyelesaikannya dengan caraku, jadi kamu urus urusanmu sendiri.”
“Aku benar-benar serius soal ini.” Ben memberi penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan. Kedua mata rubahnya menatap tajam. Gurat kemarahan terlihat jelas di wajahnya. “Seseorang telah membunuh anakku. Sebaiknya kalian melakukan penyelidikan kembali.”Seorang polisi yang sedang cukup baik untuk mendengarkan keluhan Ben sedari tadi lantas menarik napas dalam. Ujung lintingan kertas yang terjepit di antara bibirnya sedikit menyala dan terbakar. Ia mengembuskan napasnya tepat di depan wajah Ben. “Kamu pikir hanya kamu, ayah yang kehilangan anaknya di kota ini? Berhenti membuang-buang waktu kami dan tuntaskan kesedihanmu sendiri. Jangan sembarangan mengarang cerita atau hidupmu akan jauh lebih buruk dari ini.”“Hanya satu kali lagi saja! Pastikan semuanya lewat kamera pengawas, satu kali lagi.” Di titik ini, Ben tidak lagi mementingkan harga dirinya lagi. Ia akan memohon dan berlutut jika diperlukan. “Jika kalian benar-benar tidak menemukan apa pun yang mencurigakan,
“Kenapa dia belum datang? Sudah jam berapa ini?” Seorang pria bertubuh tinggi dan besar bertanya dengan mulut penuh makanan. Tangan kirinya memegang sebuah ayam goreng tepung sementara tangan kanannya mencengkeram roti lapis daging. Ia terus melahap keduanya dengan rakus seolah-olah tengah dikejar waktu untuk menghabiskan seluruh tumpukan makanan yang ada di atas meja di hadapannya. “Aku sampai melewatkan jam makan malam hanya karena menunggu bocah tengik itu. Sampai kapan aku harus memakan semua camilan ringan ini?”“Ma-maafkan kami, Bos. Sebentar lagi dia pasti datang. Sepertinya dia harus mengambil jalan memutar karena polisi belakangan ini sering patroli di sekitar sini,” jawab seorang pria lainnya yang memiliki tubuh jauh lebih pendek. Sosoknya terlihat mungil saat ia menunduk sambil bergetar ketakutan di hadapan sang bos yang masih saja mengunyah.“Bilang padanya kita tidak punya banyak waktu. Kalau sampai 5 menit ke depan dia belum juga membawa barang itu ke
“Berani bayar berapa?” tanya seorang gadis dengan rambut pirang menjuntai hingga hampir mencapai pinggangnya. Riasannya di wajahnya sangat tebal, tetapi begitu cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Bibirnya terlihat semakin berisi dan merekah oleh lipstik merah cerah yang digunakannya. “Kamu tidak terlihat seperti orang yang berdompet tebal.”Mata rubah Ben menatap gadis itu tajam. Tubuhnya yang tinggi berdiri tegap tepat di hadapan sang gadis. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga Ben harus berbicara sambil sedikit menunduk. “Lakukan saja tugasmu. Jangan khawatir soal uang. Aku bukan pria yang memanfaatkan perempuan dengan tidak bertanggung jawab.”“Apa kau dengar kata-katamu sendiri? Biar bagaimanapun, memanfaatkan seseorang bukanlah tindakan seorang pria sejati,” ucap gadis itu sambil mengedipkan satu mata. Suaranya juga terdengar lebih serak dan menggoda.“Ini darurat. Aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Ben sama sekali tidak terlihat terpengaruh oleh sikap gadis itu.
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”