Ben terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Meskipun mimpi tentang masa kecilnya bukanlah hal yang cukup membahagiakan, Ben cukup senang bisa mengingat kembali Rossa, teman-temannya, serta satu orang gadis yang selalu ia rindukan.
Dalam hati ia berniat untuk berkunjung ke Panti Asuhan Kurnia Sentosa dalam waktu dekat.
Untuk saat ini, Ben masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Tampaknya ia masih belum benar-benar pulih dari rasa kehilangan karena dalam beberapa detik ia kembali merasa sesak. Dengan terburu-buru ia melangkah keluar rumah tanpa memedulikan penampilannya yang kemungkinan besar terlihat berantakan. Ia sungguh memerlukan udara segar di luar bangunan dua lantai yang beratap tinggi tetapi terasa menghimpit tubuhnya ini.
“Rumah ini tidak sebesar itu, tapi kenapa pintu keluarnya terasa jauh sekali?” keluh Ben dengan gusar. Ia menendang salah satu daun pintu dengan keras tepat setelah ia berhasil melangkahkan kaki keluar rumah.
Pemandangan pagi hari menyapanya dengan semburat warna kuning yang menyatu dengan langit biru. Ben menyipitkan mata, kesilauan oleh cahaya matahari yang masih bersinar dengan begitu terang meski pagi belum lama datang. Teringat akan kebiasaan yang diajarkan Alisya, Ben memutuskan untuk membuang penat dengan sedikit berjalan-jalan.
Meskipun jauh lebih baik dari lingkungan lamanya, kompleks perumahan tempatnya membeli rumah baru bukanlah sebuah daerah yang cukup elite, hanya lingkungan yang biasa saja. Ben masih enggan menggunakan sebagian besar harta yang tiba-tiba saja ia dapatkan. Ia hanya memakai seluruh tabungan serta mengambil sedikit uang dari harta dadakan tersebut untuk menutupi kekurangan. Biar bagaimanapun, ia belum bisa benar-benar memastikan apakah ia benar-benar aman untuk berfoya-foya saat ini.
Seandainya Rossa bisa mengingat dengan jelas asal-usulnya, mungkin Ben tidak perlu terus merasa waspada.
Suara berdenting yang nyaring membuyarkan lamunan Ben yang sedari tadi berjalan dengan kepala tertunduk. Ia menengadah dan melihat seorang pria bertubuh kurus kering tengah mendorong sebuah gerobak berwarna hijau. Beberapa tambalan tampak menutupi kekurangan gerobak itu di beberapa titik. Tulisan yang menghias bagian kacanya hampir tidak terbaca karena sudah luntur.
Pria kurus itu terus memukul sebuah mangkuk kaca menggunakan sendok. Setiap pukulannya membuat Ben meringis. Dirinya yang lelah secara fisik dan mental, kalut, serta kehilangan tujuan hidup lantas tidak mampu untuk menahan diri. Dengan sengaja ia mendorong mangkok kaca itu hingga jatuh ke atas aspal. Pecahannya yang tersebar hampir mengenai kaki sang pedagang malang.
“Woy! Ganti rugi!” teriak pedagang itu. Namun, Ben terus saja berjalan tanpa peduli sedikit pun. Apalagi sang pedagang tidak punya waktu untuk mengejarnya karena pembeli mulai berdatangan.
“Untuk apa mereka begitu berusaha menjalani hidup?” gerutu Ben sambil merogoh saku celananya. Kedua matanya sedikit melebar, mendapati bahwa ia tanpa sengaja meninggalkan dompetnya. Beruntung, masih terdapat beberapa uang receh sisa kembalian yang bisa ia gunakan.
Pasangan pria dan wanita yang tengah berjalan-jalan memandang Ben dengan aneh. Mereka saling berbisik tanpa mengalihkan pandangan dari Ben. Tentu saja situasi seperti ini bukanlah situasi yang asing bagi Ben, tetapi sekali lagi, saat ini ia sungguh tidak mampu menahan emosi. Sehingga dalam sekejap, ia telah berdiri di depan pasangan itu. Menantang sang pemuda untuk mengatakan apa pun yang ingin disampaikan tepat di depan wajahnya.
“Lingkungan ini bukan untuk preman sepertimu!” Tanpa gentar pemuda itu mengungkapkan pendapatnya. “Merusak pemandangan saja. Apa kamu tidak bisa berpenampilan dengan lebih layak? Sebentar lagi akan banyak anak-anak yang berangkat ke sekolah. Mereka tidak boleh sampai melihatmu!”
Ben menyeringai mendengar itu. “Lantas apa yang akan kamu lakukan? Mengusirku pergi? Coba saja!” tantangnya sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. Gadis yang sedang bersama pria di depannya sedikit menjerit melihat itu. Ia memohon kepada kekasihnya untuk tidak meneruskan pertengkaran ini.
Sayangnya, Ben yang tampaknya sudah kehilangan akal memang dengan sengaja memanaskan suasana. Penasaran tentang sejauh mana sang pria bisa menahan diri. Di sisi lain, Ben juga ingin seseorang menyadarkannya dari pikirannya yang kacau dengan cara memukulnya. Namun, tidak mudah menemukan orang yang berani melakukan itu kepadanya, mengingat badannya yang besar dan tegap serta penampilannya yang sangar.
Kali ini harapannya terwujud. Tanpa pikir panjang, pria di depannya langsung melayangkan pukulan tepat di rahangnya. Sebuah tendangan juga mendarat ke perut Ben. Ben mengaduh kesakitan, tetapi sebuah senyuman kecil melengkung di bibirnya.
“Ayo, teruskan! Apa hanya segitu kemampuanmu?” tanya Ben, dengan sengaja memprovokasi sang pria asing. Ben memasang kuda-kuda meskipun ia sama sekali tidak berniat untuk membela diri. “Pukulanmu hanya terasa geli. Jika aku jadi kamu, aku tidak akan punya muka lagi untuk muncul di hadapan kekasihku.”
“Jangan sembarangan bicara!”
Dengan begitu, Ben menerima serangan tambahan di pelipis, dada, hingga kakinya. Ia membungkuk menahan sakit, tetapi tidak sedikit pun ekspresinya berubah. Keributan di antara mereka lantas menarik perhatian dari orang-orang di sekitar. Termasuk satpam yang seharusnya berada jauh di bagian depan kompleks.
Suara melengking dari tiupan peluit satpam tersebut membuat semua orang tersentak. Pria yang sedari tadi menikmati waktu dengan memukuli Ben langsung lari terbirit-birit, meninggalkan kekasihnya yang lantas mengejarnya sambil berteriak frustrasi.
Ben mendesah lelah, lalu mengangkat kedua tangannya. Tanpa mengatakan apa pun, ia melewati sang satpam yang kebingungan, berjalan menuju toko swalayan kecil yang menarik perhatiannya.
Melalui dinding kaca, ia bisa melihat minuman incarannya berjajar di salah satu rak. Tanpa pikir panjang, Ben masuk dan mengambil satu botol. Membayarnya dengan uang receh yang dimilikinya lalu meminumnya sampai habis di tempat. Remaja perempuan yang tengah menjaga kasir pun menganga melihatnya.
“Kau tampak kacau sekali.”
Ben terkesiap. Ia hampir saja tersedak saat mendengar seseorang tiba-tiba saja berbicara dari arah belakang. Secepat kilat ia berbalik, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana selain sosok berpakaian serba hitam yang baru saja berlari ke luar toko.
Insting Ben langsung mendorongnya untuk berlari mengejar orang itu. Apalagi ia yakin, bahwa orang mencurigakan tersebut membawa sebuah kamera profesional. Kamera itu didekap dengan begitu erat, seolah berisi rahasia terbesar yang tidak boleh sampai terungkap. Ben mungkin hanya bersikap paranoid, tetapi ia yakin bahwa ia tidak akan bisa tenang jika belum menangkap orang tersebut.
Tidak peduli seberapa kuatnya fisik dan mental Ben, ia tetap tidak mampu terus-terusan menahan gangguan-gangguan kecil di hidupnya. Bahkan membayangkan suara jepretan kamera saja membuatnya menggeretakkan gigi penuh amarah.
Apa yang diinginkan orang itu? Ben bukan orang yang terkenal maupun kriminal buronan, jadi untuk apa dia mengikutinya? Mungkinkah Thalia membayar seseorang untuk mengawasinya? Tidak. Thalia tidak mungkin tega melakukan itu kepadanya. Wanita itu juga pasti masih berkabung untuk melakukan hal ekstrem seperti itu. Mungkin Garry yang memutuskan untuk cari masalah dengannya.
Semua pikiran itu berkecamuk dengan sangat berisik di kepala Ben, membuat Ben sedikit kesulitan untuk mengejar sang penguntit dengan kecepatan penuh. Efek dari alkohol yang baru saja diminumnya juga sedikit mengganggu keseimbangannya. Setelah keluar dari wilayah kompleks, beberapa kali Ben hampir kehilangan nyawanya dengan berlari ke tengah jalan raya.
Oleh karena itu, bukan hal aneh jika pada akhirnya ia kehilangan jejak sosok berpakaian serba hitam tersebut.
“Sial! Pergi ke mana dia?” keluhnya sambil sedikit terengah-engah.
Ia menjambak rambutnya sendiri sambil menyandarkan diri di pagar jembatan di dekatnya. Suara air yang memenuhi selokan besar bersahutan dengan deru kendaraan di sekitar. Ben menunduk, mendapati bahwa di bawah sana ada beberapa orang yang tengah berbaring tepat di tepian. Kaki mereka menggantung ke arah selokan. Salah bergerak sedikit saja akan membuat tubuh mereka tenggelam ke dalam arus air keruh itu.
Mendapati pemandangan yang familier, Ben lantas menoleh ke sana kemari. “Lucu sekali. Kenapa aku bisa sampai di sini?”
***
Ben tertawa sinis mendapati bahwa ia tanpa sengaja kembali ke daerah pinggiran kota Patah. Rupanya ia benar-benar telah berlari terlalu jauh hingga menempuh jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan mobil.“Sepertinya aku memang harus kembali.”Bertahun-tahun tinggal di sana membuat Ben hafal setiap belokan yang harus dilaluinya. Dengan pikiran kosong pun ia akan tetap sampai ke rumah kecilnya yang semakin hari semakin menyerupai gubuk.Namun, sebelum itu, ia mengambil jalan lain menuju pantai. Beberapa orang yang terlihat masih berkumpul di sana membuatnya mengerutkan kening.“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah seharusnya penjualan sudah selesai sebelum matahari terbit?” tanya Ben sambil melihat ke arah baskom-baskom besar berwarna biru
Suara berderak pelan terus terdengar dari sebuah pintu tua. Seorang pemuda yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan sarung kotak-kotak coklat tengah membungkuk di depan pintu itu, tangannya bergerak lincah memasukkan sesuatu ke lubang kunci. Pencahayaan lampu teras yang tidak terlalu baik membuatnya sedikit merasa aman, hanya sesekali kepalanya menengadah, memastikan bahwa tidak ada orang yang tengah menyaksikan aksinya.Setelah terdengar kunci pintu terbuka, pemuda itu menarik napas dalam sambil menyingkirkan kain yang sempat menutupi hidung dan mulutnya. Dengan senyum di bibir, ia melangkah masuk ke rumah yang baru saja ia bobol itu.“Hah … mudah sekali. Kenapa dia repot-repot ganti kunci kalau kualitasnya sama saja?” Ia bicara sendiri sambil memainkan tindik di bawah bibirnya dengan lidah. Kedua mata abu-abu kebiruan yang sangat ko
“Hmm?” Ben mengangkat salah satu alisnya penuh tanya. “Menyedihkan. Kamu tidak punya alasan yang lebih bagus?” Ia menghela napas sebelum bersiap untuk mengayunkan tinjunya.Denver hampir gila rasanya. Sekilas, ia dapat melihat seluruh hidupnya terbersit di pikirannya, seolah-olah otaknya tengah meninjau kembali seluruh waktu yang telah ia habiskan dengan sia-sia. Pemuda itu lantas mengumpat. Ia sama sekali belum mau mati. Meskipun kehidupan ini bersikap kejam kepadanya, ia masih memiliki tujuan yang akan ia capai meski harus menjungkirbalikkan dunia.Sebagai pertahanan terakhir, akhirnya Denver mengambil gantungan baju yang ada di dekatnya. Menghunuskan bagian ujungnya yang melengkung tetapi berujung runcing kepada Ben dengan sekuat tenaga. Refleks Ben yang bagus membuatnya menghindar tepat waktu, dan Denver memanfaatkan saat itu untuk b
“Saran? Apa saranmu?” Ben bertanya kepada Denver dengan tidak sabar.“Sewa detektif swasta,” jawab Denver penuh percaya diri. “Seperti aku, misalnya.”Ben dan Sander mendesah kecewa bersamaan. Keduanya lantas berbalik dan mengibaskan tangan kepada Denver. “Sudah cukup, anak kecil. Sekarang, pulanglah!” perintah Sander yang pergi ke arah berlawanan dari arah yang dituju Ben.“Tunggu dulu!” Terburu-buru Denver berteriak. “Baiklah! Kalau kalian tidak percaya padaku, tidak apa-apa! Tapi libatkan aku dalam penyelidikan kasus ini!”Ben yang muak mendengarkan omong kosong Denver kembali menghadap sang pemuda. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sementara ekspresinya tidak terlihat jelas di tengah malam yang sudah semakin larut. “Dengar, anak muda. Aku tahu kamu serius dalam hal ini, tapi justru itu yang membuat aku yakin bahwa kamu seharusnya menjauh dari kasus ini. Aku akan menyelesaikannya dengan caraku, jadi kamu urus urusanmu sendiri.”
“Aku benar-benar serius soal ini.” Ben memberi penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan. Kedua mata rubahnya menatap tajam. Gurat kemarahan terlihat jelas di wajahnya. “Seseorang telah membunuh anakku. Sebaiknya kalian melakukan penyelidikan kembali.”Seorang polisi yang sedang cukup baik untuk mendengarkan keluhan Ben sedari tadi lantas menarik napas dalam. Ujung lintingan kertas yang terjepit di antara bibirnya sedikit menyala dan terbakar. Ia mengembuskan napasnya tepat di depan wajah Ben. “Kamu pikir hanya kamu, ayah yang kehilangan anaknya di kota ini? Berhenti membuang-buang waktu kami dan tuntaskan kesedihanmu sendiri. Jangan sembarangan mengarang cerita atau hidupmu akan jauh lebih buruk dari ini.”“Hanya satu kali lagi saja! Pastikan semuanya lewat kamera pengawas, satu kali lagi.” Di titik ini, Ben tidak lagi mementingkan harga dirinya lagi. Ia akan memohon dan berlutut jika diperlukan. “Jika kalian benar-benar tidak menemukan apa pun yang mencurigakan,
“Kenapa dia belum datang? Sudah jam berapa ini?” Seorang pria bertubuh tinggi dan besar bertanya dengan mulut penuh makanan. Tangan kirinya memegang sebuah ayam goreng tepung sementara tangan kanannya mencengkeram roti lapis daging. Ia terus melahap keduanya dengan rakus seolah-olah tengah dikejar waktu untuk menghabiskan seluruh tumpukan makanan yang ada di atas meja di hadapannya. “Aku sampai melewatkan jam makan malam hanya karena menunggu bocah tengik itu. Sampai kapan aku harus memakan semua camilan ringan ini?”“Ma-maafkan kami, Bos. Sebentar lagi dia pasti datang. Sepertinya dia harus mengambil jalan memutar karena polisi belakangan ini sering patroli di sekitar sini,” jawab seorang pria lainnya yang memiliki tubuh jauh lebih pendek. Sosoknya terlihat mungil saat ia menunduk sambil bergetar ketakutan di hadapan sang bos yang masih saja mengunyah.“Bilang padanya kita tidak punya banyak waktu. Kalau sampai 5 menit ke depan dia belum juga membawa barang itu ke
“Berani bayar berapa?” tanya seorang gadis dengan rambut pirang menjuntai hingga hampir mencapai pinggangnya. Riasannya di wajahnya sangat tebal, tetapi begitu cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Bibirnya terlihat semakin berisi dan merekah oleh lipstik merah cerah yang digunakannya. “Kamu tidak terlihat seperti orang yang berdompet tebal.”Mata rubah Ben menatap gadis itu tajam. Tubuhnya yang tinggi berdiri tegap tepat di hadapan sang gadis. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga Ben harus berbicara sambil sedikit menunduk. “Lakukan saja tugasmu. Jangan khawatir soal uang. Aku bukan pria yang memanfaatkan perempuan dengan tidak bertanggung jawab.”“Apa kau dengar kata-katamu sendiri? Biar bagaimanapun, memanfaatkan seseorang bukanlah tindakan seorang pria sejati,” ucap gadis itu sambil mengedipkan satu mata. Suaranya juga terdengar lebih serak dan menggoda.“Ini darurat. Aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Ben sama sekali tidak terlihat terpengaruh oleh sikap gadis itu.
“Jangan bunuh mereka! Kita bawa saja para pria itu ke markas bersama gadis ini! Tony pasti akan sangat senang mendapat lebih banyak samsak tinju untuknya bermain-main!”Susah payah Ben mempertahankan fokusnya untuk mendengar semua suara di sekitar. Posisinya yang tengah terikat kuat, serta kepalanya yang ditutup dengan karung membuatnya sedikit kesulitan bahkan untuk sekadar menarik napas, tetapi ia harus tetap menangkap sebanyak mungkin informasi yang diperlukan.Jeritan Candice tidak lagi terdengar, mungkin gadis itu telah jatuh pingsan, sama halnya dengan Sander dan Abrar yang sepertinya mulai kehilangan kesadaran setelah dipukuli oleh para penyerang. Ben sendiri merasakan sakit di sekujur tubuh. Namun, tekad kuat membuatnya masih bisa berdiri dengan tegak.Ia tidak tahu siapa yang baru saja mencegah
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”