Share

87. Bertubi-tubi

Author: WealthyPetty
last update Last Updated: 2024-02-11 18:00:51

“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?

Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.

Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   88. Dirimu yang Asli

    “Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te

    Last Updated : 2024-02-12
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   89. Empat Tahun Kemudian

    Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga

    Last Updated : 2024-02-14
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   90. Pernikahan

    Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat

    Last Updated : 2024-02-15
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   91. Hilang dan Kembali

    “Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka

    Last Updated : 2024-02-17
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   92. Sama-Sama Bernoda

    Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.

    Last Updated : 2024-02-18
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   93. Belum Berakhir

    Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men

    Last Updated : 2024-02-19
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   1. Kepergian Menyakitkan

    “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi ….”Hanya beberapa kata awal yang mampu Ben dengar sebelum akhirnya kedua kakinya tidak lagi kuat menanggung semua kesedihan. Ia jatuh bersimpuh di depan seorang dokter yang baru saja keluar dari sebuah ruangan serba putih tempatnya menunggu sejak beberapa menit lalu.Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Satu waktu Ben tengah berlari ke luar rumah sekuat tenaga, lalu di waktu berikutnya ia harus mendengar kenyataan pahit yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya. Air matanya bahkan belum sempat mengalir, tetapi ia cukup kesulitan untuk berbicara.“A-aku tidak bisa kehilangan dia. Tolong selamatkan anakku satu-satunya, Dok!” Ben terus mengucapkan kalimat itu dengan lantang meski terbata-bata. Tidak sedikit pun peduli kepada banyaknya pasang mata yang kini menyaksikan. “Dia anak yang ceria dan sehat. Tidak mungkin dia pergi secepat ini!”Didorong oleh rasa tanggung jawab dan rasa iba, sang dokter menjelaskan dengan sabar penye

    Last Updated : 2023-10-10
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   2. Pertengkaran

    “Untuk apa kamu tanyakan itu padanya, Thalia? Kita cukup memercayai apa kata polisi!” Elina menyela pembicaraan Ben dengan Thalia. “Lagipula, kita tidak yakin apa dia sedang benar-benar sadar saat semua itu terjadi!”“Ibu!”“Tidak apa-apa, Thalia. I-itu benar.” Terburu-buru Ben berbicara. Ia tidak ingin menjadi penyebab Thalia bertengkar dengan ibunya. “Hari itu … aku sedang banyak pikiran dan sulit tidur. Jadi, aku … kumohon maafkan aku.”Air mata Thalia justru kembali mengalir deras setelah mendengar semua itu. Meski begitu, dengan tegar ia tetap menatap Ben. “Kau apa? Selesaikan ucapanmu sendiri, Ben!”Ben memejamkan matanya erat. Kedua tangan besarnya mengepal dan bergetar pelan di sisi tubuhnya. Lengan kemeja putih kusam yang telah ia gulung hingga ke siku membuat jejak dari tatonya yang telah lama dihapus terlihat begitu jelas. Sekilas, sosok Ben saat ini mirip dengan para preman di lingkungan rumahnya yang begitu menghormatinya. Apalagi rambutnya juga mulai sedikit memanjang hi

    Last Updated : 2023-10-10

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   93. Belum Berakhir

    Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   92. Sama-Sama Bernoda

    Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   91. Hilang dan Kembali

    “Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   90. Pernikahan

    Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   89. Empat Tahun Kemudian

    Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   88. Dirimu yang Asli

    “Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   87. Bertubi-tubi

    “Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   86. Kemiskinan dan Kehancuran

    Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   85. Perpisahan

    Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”

DMCA.com Protection Status