“Aku benar-benar masih menyayangimu.” Thalia mengulang ucapannya. Suaranya tidak lagi bergetar, ia terlihat jauh lebih tegar dari sebelumnya. “Biar bagaimanapun, kita punya cukup banyak kenangan bersama. Demi itu semua, dan demi rasa sayangku yang masih cukup besar kepadamu, aku ingin mengatakan bahwa kamu harus lebih berusaha memperbaiki hidupmu.”
Ben sempat merasa tersentuh mendengar Thalia masih peduli kepadanya, tetapi ia lantas mengerutkan kening kebingungan. “Memperbaiki hidupku?”
“Pindahlah ke tempat tinggal yang lebih layak dan bagus. Aku tidak mau Alisya di atas sana menyaksikan bagaimana hidup orang tuanya begitu kacau.”
“Oh, kalau soal itu,” Ben berdeham dengan kikuk, “sebenarnya, aku sudah ada—“
“Yang kumaksud bukan rumah kumuh dekat pantai yang bau amis itu. Tinggallah di tempat yang lebih aman.”
“Iya, aku tahu. Thalia, sebenarnya di hari Alisya kecelakaan—“
“Jangan lagi bahas soal itu! Dengarkan saranku sebagai orang yang paling mengenalmu. Jangan pikirkan tentang meninggalkan pantai yang menjadi mata pencaharianmu. Bisnismu akan tetap berjalan meskipun kamu pindah ke kota yang lebih baik.”
Ben menarik napas dalam. Ia sangat ingin mengatakan kabar baik yang telah lama ia rahasiakan, tetapi Thalia terus saja memotong ucapannya. Wanita itu terlihat lebih tergesa-gesa dari beberapa menit lalu.
Rupanya jawaban dari kebingungan Ben datang dalam bentuk seorang pria tampan yang berdandan sangat rapi. Pria itu berjalan dengan aura penuh percaya diri. Tatapannya menunjukkan bahwa tidak ada satu pun benda maupun manusia yang mampu mengalahkan keagungan dirinya di dunia ini. Ben menahan rasa mual yang selalu timbul setiap kali ia melihat pria itu.
“Sayang, sudah selesai bicaranya?” tanya pria itu sambil mengusap rambutnya yang ditata ke belakang.
“Iya, sudah. Kenapa kamu cepat sekali datangnya, Garry?”
“Kebetulan aku sedang berada di dekat sini,” jawab Garry sambil menggenggam salah satu tangan Thalia. Setelah itu, ia mengangguk ke arah Ben. “Apa aku sudah bisa membawanya pulang? Thalia masih kurang sehat dan butuh banyak istirahat.”
Ben menggeretakkan gigi mendengar itu, baik oleh rasa cemburu maupun kesal. Ia juga tidak suka mendapati dirinya merasa rendah diri di hadapan Garry.
Oleh karena itu, meskipun ia masih mempunyai hal untuk dibicarakan dengan Thalia, Ben tetap menganggukkan kepala. “Pulanglah. Thalia terlihat sangat lelah.”
“Tentu saja. Setelah anak tercintanya meninggal, ia masih harus mengkhawatirkan mantan suaminya yang menyedihkan.” Garry mengucapkan kalimat itu dengan suara yang sangat pelan sambil berbalik. Namun, Ben masih dapat mendengarnya dengan jelas.
“Garry,” tegur Thalia tidak suka. Wanita itu lantas menatap Ben penuh penyesalan sebelum akhirnya membiarkan dirinya dituntun Garry menuju sebuah mobil MPV berwarna putih.
Ben tidak mampu berkutik hingga Thalia dan Garry benar-benar menghilang dari pandangan. Ia menggeram kesal sambil memukul pohon terdekat. “Bisa-bisanya kamu membiarkan dirimu direndahkan seperti itu, Ben!” umpatnya kepada dirinya sendiri. “Seharusnya kamu katakan sesuatu! Buktikan kalau kamu tidak serendah itu!”
Setelah puas memukuli batang sang pohon malang, Ben akhirnya berdiri sambil merogoh saku celana. Mengeluarkan sebuah kunci yang begitu berkilauan di bawah cahaya matahari, serta sebuah foto rumah dua lantai dengan cat warna krem.
“Aku sudah membeli rumah baru di daerah yang lebih layak. Seharusnya aku pergi ke sana bersama Alisya, tetapi Alisya meninggal lebih dulu sebelum aku sempat mengatakan apa pun.” Ben sibuk berbicara sendiri. Setelah menyimpan barang-barang itu kembali ke dalam saku celananya, ia menggeram hebat. “Aargh! Kenapa semuanya begitu mudah diucapkan sekarang? Kenapa tadi aku tidak bisa mengucapkan itu kepada Thalia?”
Ben menjambak rambutnya yang telah tumbuh cukup panjang hingga menyentuh leher. Memanfaatkan rasa sakit yang muncul untuk mengalihkannya dari rasa frustrasi. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil.
Ditambah lagi, angin yang semula bertiup pelan kini mulai meradang. Rintik-rintik hujan menggelitik wajah dan tangannya. Ben menengadah, memandang sebagian besar langit biru telah tertutup oleh awan tebal putih keabuan. Setetes air mendarat di kelopak matanya, membuatnya refleks terpejam.
Di tengah suara gemuruh yang menggema, Ben hanya mendengar suara isak tangis Thalia yang menolak meninggalkan pikirannya.
Ia tahu pasti bahwa saat ini ia terlihat bodoh. Bodoh dan menyedihkan, dua kata sifat yang hampir selalu mengiringi namanya sepanjang hidup.
Namun, ia akan segera menyingkirkan kedua kata yang merendahkannya itu.
Dengan satu tangan, Ben meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Sementara tangannya yang lain mengepal kuat di sisi tubuh.
“Bawa mobilnya kemari.”
***
Ben duduk dengan nyaman di kursi belakang mobil dengan bagian interior didominasi oleh warna coklat. Sebuah kaleng minuman energi berdiri di tempat minum yang tersedia di bagian tengah. Tubuh Ben berbaring nyaman di atas kursi yang jauh lebih empuk dan lembut dari tempat tidurnya selama ini. Ben berusaha keras untuk tidak tertidur demi terus memandang pemandangan di luar jendela yang terasa asing.
“Menyebalkan. Rupanya pemandangan bisa terlihat jauh berbeda tergantung dari mana aku melihatnya,” keluhnya pelan. Ia sungguh tidak pernah menganggap jalan di kota Patah sebagai pemandangan yang indah, tetapi melalui kaca mobil barunya yang sangat bening dan berkilau bahkan dalam keadaan basah karena hujan, Ben merasa seperti tengah menjelajahi dunia lain.
Sekilas ia melihat salah satu pegawainya lewat menggunakan sepeda motor. Keranjang besar dengan penutup yang rapat berada di bagian belakang. Bel khas suara pedagang ikan keliling menembus pintu mobil mewah Ben.
“Dia bekerja dengan cukup rajin bahkan di tengah hujan. Sebaiknya aku menaikkan upahnya,” gumamnya pelan. Mengundang protes dari sopirnya yang sedari tadi menyetir dengan tenang.
“Bagaimana denganku? Aku sudah melakukan cukup banyak hal untukmu, Ben! Aku bahkan jadi sopir pribadimu sekarang.” Pria itu menoleh sekilas dan menyeringai. Memperlihatkan dengan jelas bekas luka horizontal di bawah matanya. Salah satu tangannya sibuk membetulkan bagian kerah jas hitam yang tidak cocok dengan penampilannya secara keseluruhan.
“Kita bisa membicarakan kembali gajimu jika kamu berhasil membawa mobil seharga nyawaku ini dengan selamat, Sander,” jawab Ben tidak acuh.
Sander bersiul mendengar itu. “Sebenarnya kau habis merampok konglomerat mana? Atau kamu menemukan putri duyung di antara ikan-ikan yang bawahanmu tangkap? Bagaimana bisa kamu membeli mobil semewah ini dalam semalam?”
“Aku sudah membelinya sejak beberapa hari yang lalu.”
“Tidak ada bedanya! Intinya, aku harus tahu dari mana kau mendapatkan ini. Aku tidak ingin kembali terlibat dengan polisi karena masalah yang bahkan tidak banyak menguntungkanku, kau tahu.”
“Tenang saja.” Ben mencondongkan tubuh ke depan. Salah satu tangannya memegang belakang kursi pengemudi. “Anggap saja aku mendapatkan durian runtuh. Kamu tahu bagaimana aku tidak pernah melakukan hal ilegal.”
Sander menatapnya dari kaca spion dengan penuh curiga. Namun, ia akhirnya memilih untuk tidak lagi mendesak Ben. “Baiklah, Aku percaya padamu. Tapi biar kukatakan satu hal.”
“Apa itu?”
“Gantilah bajumu! Penampilan lusuhmu itu tidak cocok dengan mobil ini! Bisa-bisa orang mengira aku bos dan kaulah sopirnya di sini!”
Ben lantas terkekeh mendengar itu. “Aku tidak mungkin terlihat seburuk itu.”
“Yah ….” Sander mendengkus. “Kurasa kau benar. Semua orang hanya akan fokus kepada wajah tampanmu. Semua orang, kecuali istrimu. Apa dia yakin tidak mau kembali padamu setelah semua kemewahan yang kamu miliki ini? Setahuku, mobil mereka bahkan tidak mencapai setengah harga mobil ini.”
“Sudahlah. Kapan kita akan sampai?” Ben menghela napas lelah sambil kembali bersandar. Tidak ingin melanjutkan pembicaraan yang kemungkinan besar akan berpusat kepada hubungannya dengan mantan istrinya. “Lama sekali. Seingatku, aku tidak pernah menempuh perjalanan sejauh ini.”
“Hmm … soal itu.” Dengan gugup Sander menunjuk ke layar yang berada di samping setir mobil. Layar itu menunjukkan berbagai garis yang memiliki banyak cabang, saling berpotongan satu sama lain. Melihatnya saja dapat membuat Sander gelisah. “Sebenarnya dari tadi aku ingin bertanya padamu. Apa aku sudah mengambil jalan yang benar?”
***
“Apa ini jalan yang benar? Zamanku dulu tidak pernah ada peta seperti ini.”Ben mengangkat sebelah alisnya. “Dengarkan saja terus petunjuknya. Aku yakin sudah memasukkan alamat yang tepat.”“Tapi dari tadi aku tidak mendengar apa pun.” Sambil mengatakan itu, Sander sibuk menekan setiap tombol yang terdapat di bagian terluar layar. Ia sedikit kesulitan karena masih harus menyetir dengan fokus.Hingga akhirnya suara wanita yang berasal dari aplikasi peta itu terdengar sangat keras, mengejutkan Sander dan juga Ben. Keduanya tersentak di tempat. Sander sendiri hampir menginjak rem secara mendadak di tengah jalan raya. Dengan seringai penuh rasa bersalah, ia mengangkat salah satu tangannya tanda meminta maaf.Lagi-lagi Ben harus mengatur na
Ben terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Meskipun mimpi tentang masa kecilnya bukanlah hal yang cukup membahagiakan, Ben cukup senang bisa mengingat kembali Rossa, teman-temannya, serta satu orang gadis yang selalu ia rindukan.Dalam hati ia berniat untuk berkunjung ke Panti Asuhan Kurnia Sentosa dalam waktu dekat.Untuk saat ini, Ben masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Tampaknya ia masih belum benar-benar pulih dari rasa kehilangan karena dalam beberapa detik ia kembali merasa sesak. Dengan terburu-buru ia melangkah keluar rumah tanpa memedulikan penampilannya yang kemungkinan besar terlihat berantakan. Ia sungguh memerlukan udara segar di luar bangunan dua lantai yang beratap tinggi tetapi terasa menghimpit tubuhnya ini.“Rumah ini tidak sebesar itu, tapi kenapa pintu keluarnya terasa jauh
Ben tertawa sinis mendapati bahwa ia tanpa sengaja kembali ke daerah pinggiran kota Patah. Rupanya ia benar-benar telah berlari terlalu jauh hingga menempuh jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan mobil.“Sepertinya aku memang harus kembali.”Bertahun-tahun tinggal di sana membuat Ben hafal setiap belokan yang harus dilaluinya. Dengan pikiran kosong pun ia akan tetap sampai ke rumah kecilnya yang semakin hari semakin menyerupai gubuk.Namun, sebelum itu, ia mengambil jalan lain menuju pantai. Beberapa orang yang terlihat masih berkumpul di sana membuatnya mengerutkan kening.“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah seharusnya penjualan sudah selesai sebelum matahari terbit?” tanya Ben sambil melihat ke arah baskom-baskom besar berwarna biru
Suara berderak pelan terus terdengar dari sebuah pintu tua. Seorang pemuda yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan sarung kotak-kotak coklat tengah membungkuk di depan pintu itu, tangannya bergerak lincah memasukkan sesuatu ke lubang kunci. Pencahayaan lampu teras yang tidak terlalu baik membuatnya sedikit merasa aman, hanya sesekali kepalanya menengadah, memastikan bahwa tidak ada orang yang tengah menyaksikan aksinya.Setelah terdengar kunci pintu terbuka, pemuda itu menarik napas dalam sambil menyingkirkan kain yang sempat menutupi hidung dan mulutnya. Dengan senyum di bibir, ia melangkah masuk ke rumah yang baru saja ia bobol itu.“Hah … mudah sekali. Kenapa dia repot-repot ganti kunci kalau kualitasnya sama saja?” Ia bicara sendiri sambil memainkan tindik di bawah bibirnya dengan lidah. Kedua mata abu-abu kebiruan yang sangat ko
“Hmm?” Ben mengangkat salah satu alisnya penuh tanya. “Menyedihkan. Kamu tidak punya alasan yang lebih bagus?” Ia menghela napas sebelum bersiap untuk mengayunkan tinjunya.Denver hampir gila rasanya. Sekilas, ia dapat melihat seluruh hidupnya terbersit di pikirannya, seolah-olah otaknya tengah meninjau kembali seluruh waktu yang telah ia habiskan dengan sia-sia. Pemuda itu lantas mengumpat. Ia sama sekali belum mau mati. Meskipun kehidupan ini bersikap kejam kepadanya, ia masih memiliki tujuan yang akan ia capai meski harus menjungkirbalikkan dunia.Sebagai pertahanan terakhir, akhirnya Denver mengambil gantungan baju yang ada di dekatnya. Menghunuskan bagian ujungnya yang melengkung tetapi berujung runcing kepada Ben dengan sekuat tenaga. Refleks Ben yang bagus membuatnya menghindar tepat waktu, dan Denver memanfaatkan saat itu untuk b
“Saran? Apa saranmu?” Ben bertanya kepada Denver dengan tidak sabar.“Sewa detektif swasta,” jawab Denver penuh percaya diri. “Seperti aku, misalnya.”Ben dan Sander mendesah kecewa bersamaan. Keduanya lantas berbalik dan mengibaskan tangan kepada Denver. “Sudah cukup, anak kecil. Sekarang, pulanglah!” perintah Sander yang pergi ke arah berlawanan dari arah yang dituju Ben.“Tunggu dulu!” Terburu-buru Denver berteriak. “Baiklah! Kalau kalian tidak percaya padaku, tidak apa-apa! Tapi libatkan aku dalam penyelidikan kasus ini!”Ben yang muak mendengarkan omong kosong Denver kembali menghadap sang pemuda. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sementara ekspresinya tidak terlihat jelas di tengah malam yang sudah semakin larut. “Dengar, anak muda. Aku tahu kamu serius dalam hal ini, tapi justru itu yang membuat aku yakin bahwa kamu seharusnya menjauh dari kasus ini. Aku akan menyelesaikannya dengan caraku, jadi kamu urus urusanmu sendiri.”
“Aku benar-benar serius soal ini.” Ben memberi penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan. Kedua mata rubahnya menatap tajam. Gurat kemarahan terlihat jelas di wajahnya. “Seseorang telah membunuh anakku. Sebaiknya kalian melakukan penyelidikan kembali.”Seorang polisi yang sedang cukup baik untuk mendengarkan keluhan Ben sedari tadi lantas menarik napas dalam. Ujung lintingan kertas yang terjepit di antara bibirnya sedikit menyala dan terbakar. Ia mengembuskan napasnya tepat di depan wajah Ben. “Kamu pikir hanya kamu, ayah yang kehilangan anaknya di kota ini? Berhenti membuang-buang waktu kami dan tuntaskan kesedihanmu sendiri. Jangan sembarangan mengarang cerita atau hidupmu akan jauh lebih buruk dari ini.”“Hanya satu kali lagi saja! Pastikan semuanya lewat kamera pengawas, satu kali lagi.” Di titik ini, Ben tidak lagi mementingkan harga dirinya lagi. Ia akan memohon dan berlutut jika diperlukan. “Jika kalian benar-benar tidak menemukan apa pun yang mencurigakan,
“Kenapa dia belum datang? Sudah jam berapa ini?” Seorang pria bertubuh tinggi dan besar bertanya dengan mulut penuh makanan. Tangan kirinya memegang sebuah ayam goreng tepung sementara tangan kanannya mencengkeram roti lapis daging. Ia terus melahap keduanya dengan rakus seolah-olah tengah dikejar waktu untuk menghabiskan seluruh tumpukan makanan yang ada di atas meja di hadapannya. “Aku sampai melewatkan jam makan malam hanya karena menunggu bocah tengik itu. Sampai kapan aku harus memakan semua camilan ringan ini?”“Ma-maafkan kami, Bos. Sebentar lagi dia pasti datang. Sepertinya dia harus mengambil jalan memutar karena polisi belakangan ini sering patroli di sekitar sini,” jawab seorang pria lainnya yang memiliki tubuh jauh lebih pendek. Sosoknya terlihat mungil saat ia menunduk sambil bergetar ketakutan di hadapan sang bos yang masih saja mengunyah.“Bilang padanya kita tidak punya banyak waktu. Kalau sampai 5 menit ke depan dia belum juga membawa barang itu ke
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”