Beranda / Urban / Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya / 63. Terjun ke Jurang Bersamaku

Share

63. Terjun ke Jurang Bersamaku

Penulis: WealthyPetty
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-08 18:00:41

Beberapa bulan lalu .... 

“Wah, waah …. Kerja para anak buahmu semakin baik, ya.”

Tony yang sedari tadi sibuk memantau jalannya bisnis sambil menikmati ayam goreng kesukaannya lantas berbalik setelah mendengar suara merdu dari wanita yang menjadi kekasihnya. Bibirnya yang dipenuhi remah makanan lantas tersenyum lebar, bersamaan dengan kedua tangan yang terentang ke depan. “Lilii. Kupikir kamu tidak akan datang hari ini?”

“Aku punya banyak waktu luang sejak anak dan menantuku tidak lagi hidup menumpang di rumahku,” jawab sang wanita sambil memainkan jaring di topinya. Kerutan di sudut bibirnya terlihat samar oleh tebalnya bedak yang melapisi. “Ups! Maksudku, anak, menantuku, dan mantan menantuku. Thalia sudah bebas dari Ben dan baru saja menikahi Garry, pria yang

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   64. Perubahan Rencana

    Sejak Alisya lahir, Elina mungkin tidak pernah memandang cucunya itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Selalu datar, seolah-olah ia hanya sedang berhadapan dengan anak tetangga, bocah yang sama sekali tidak punya hubungan dengannya. Baru kali ini, ada ekspresi berbeda saat Elina melihat Alisya.Bukan, bukan kasih sayang. Biar bagaimanapun Alisya tetap seorang gadis merepotkan, yang hanya tahu indahnya dunia. Tidak sadar akan seberapa menderitanya orang di sekitarnya berjuang untuk mempertahankan senyum di bibirnya. Elina selalu cemburu melihat betapa Alisya terlihat muda dan enerjik.Mungkin karena itulah, tanpa sadar kini kedua matanya memelototi Alisya dengan garang. Sang cucu bukan hanya telah mengganggu urusannya, tetapi juga melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui. Ada sedikit rasa cemas di dada Elina, takut kalau-kalau Alisya akan segera kabur d

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-09
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   65. Saling Curiga, Saling Waspada

    “Katamu semua akan baik-baik saja. Tapi sekarang lihat aku! Baju ini sangat sesak, aku juga mulai muak melihat dinding kusam dan jeruji berkarat!” Tony berteriak, hampir tidak bisa menahan diri dari memukul meja di hadapannya. Dengan kasar ia membuka kancing bagian atas baju tahanan yang ia kenakan. “Pakaian macam apa ini? Sangat menyesakkan! Mereka bahkan tidak mengizinkan aku untuk membawa bajuku sendiri!”Elina yang berpakaian sangat tertutup dengan masker menutupi bagian bawah wajahnya sempat melirik ke arah petugas yang berjaga tidak jauh dari tempatnya menemui Tony. Sebuah kaca dengan beberapa lubang kecil menghalangi dirinya dari bersentuhan langsung dengan sang tahanan, membuat Elina sedikit kecewa karena dia jadi tidak bisa menegur Tony dengan pukulan.Helaan napas berat akhirnya keluar setelah Elina melepas maskernya. “Be

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-10
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   66. Pergilah

    Ben mengerutkan kening sambil menyilangkan kedua tangan. Ia berdiri menyandar ke dinding gedung Rumah Sakit Jiwa, sosoknya sedikit tersembunyi oleh sebuah pohon yang tumbuh besar dan rindang. Cuaca sangat cerah dengan matahari yang tidak terlalu terik dan suhu udara yang cukup segar, sama sekali tidak ada alasan bagi Ben untuk berlindung di pojokan. Namun, pria itu memiliki alasan lain yang membuatnya terpaksa menyingkirkan diri dari keramaianSenyum kebahagiaan menghiasi orang-orang di sekitar, baik pasien yang mengenakan seragam biru terang maupun staf yang mendampingi. Sebagian kecil pasien ditemani oleh orang-orang tercinta, bercengkerama guna melepas kerinduan yang terpendam akibat terpisah selama proses perawatan. Sementara sebagian besar lainnya cukup merasa puas hanya dengan beraktivitas di luar ruangan.Semua pemandangan itu membuat Ben semakin r

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-11
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   67. Seni Merendahkan

    Sudah setengah jam berlalu sejak Ben memarkirkan mobil mewahnya di pelataran parkir yang ia kira tidak akan pernah ia datangi. Kedua tangan pria itu masih siap di atas setir, kunci masih berada di tempatnya, sehingga apabila ia berubah pikiran, tidak akan lama untuknya pergi dari sana. Namun, kedua mata Ben terus menolak untuk mengalihkan pandangan dari bangunan bercat putih dan biru di hadapannya.Beberapa orang berseragam terlihat mondar-mandir di balik pintu kaca. Kerut di kening mereka hampir serupa, seperti tatapan mereka yang sangat tidak ramah. Sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang polisi yang mengabdi kepada masyarakat.Kenangan buruk yang terngiang di kepala membuat kedua tangan Ben menggenggam setir dengan semakin erat. Dirinya yang dulu berteriak-teriak memohon pertolongan di gedung itu dan berakhir diabaikan, lalu harus pulang menyaksikan orang yang berusaha ia tolong telah meregang nyawa dengan sia-sia. Dirinya yang dulu begitu direnda

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-13
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   68. Tekad Ben

    “Tidak bisa, ya?” Ben bertanya dari balik punggung Jack. Dengan bebasnya menyeringai lebar tanpa khawatir Jack akan melihatnya. “Kalau tidak bisa, tidak apa-apa. Tidak usah mengkhawatirkan pemberianku, aku tidak akan memintamu untuk mengembalikannya.”Ben telah membuang panggilan sopan dalam kalimatnya, merujuk kepada Roby dengan kata ‘kamu’ dan bukannya ‘Anda’ seperti tadi. Hal ini membuat Jack merasa familier, rasanya ia pernah melakukannya, atau bahkan sering. Ia sering berbicara dengan tidak hormat kepada orang yang menurutnya berasal dari kalangan rendahan.Jack masih membeku, susah payah ia menelan ludah dengan gugup. Mobil di hadapannya ini memiliki harga fantastis yang tidak akan pernah bisa ia beli meski menabung seumur hidup. Telapak tangannya saja menolak untuk menyentuh dan hanya mengambang dengan kikuk. Jack takut satu sentuhan dari kulitnya yang kasar akan menggores permukaan mobil itu dan membuatnya harus mengganti rugi dengan jumlah uang yang besar.

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-14
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   69. Dendam Tidak Bisa Diwakili

    Langkah kaki Sander cepat, tetapi tidak menimbulkan suara. Bahkan deru napasnya pun dengan mudahnya tersamarkan oleh suara embusan angin yang melewati celah di antara bangunan-bangunan tua di sekitar. Bangunan-bangunan itu saling berhimpitan dan hanya menyisakan sedikit jarak, sesekali Sander harus berjalan kepiting untuk bisa lewat.Suara-suara binatang malam saling bersahutan, Sander sempat merasa aneh karena biasanya yang terdengar hanya suara serangga yang familier di telinga. Namun, dengan segera ia mengabaikannya. Bukan hal aneh jika ada seseorang yang menyelundupkan hewan liar ke tempat yang sangat terpencil ini. Jika beruntung, mungkin Sander akan bisa memergoki tindak kriminal juga.“Bau inilah yang paling tidak bisa kutahan,” gerutu pria itu setelah ia berhasil melewati gang-gang sempit. Kini ia disambut oleh hamparan rumput tinggi nan bas

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-15
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   70. Aslam

    Seumur hidup, Ben tidak suka kepada orang-orang yang sok tahu tentang hidupnya. Terutama orang-orang yang seenaknya menilai bahwa hidupnya sangat menyedihkan hanya karena ia adalah anak yatim piatu yang besar di panti asuhan miskin di pinggiran kota. Biasanya Ben kecil akan langsung mengamuk dan membentak orang yang berani mengasihaninya secara terang-terangan.Seiring waktu berlalu, ia belajar untuk tidak menghiraukan omongan orang, berpikir bahwa menegur mereka yang berotak kosong dan berhati sempit hanya akan membuang-buang waktu. Meskipun sesekali ia masih akan mencoba mengintimidasi orang-orang seperti itu, Ben lebih sering mengabaikannya.Namun, ia menemukan ada hal lain yang juga mampu membuatnya sebal, yaitu, rasa puas yang dirasakan orang-orang setiap kali dugaan mereka terbukti benar. Kekesalan yang Ben rasakan karena hal ini mungkin tidak sebesar saa

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-17
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   71. Panggilan Darurat

    “Jadi …,” Ben menghela napas sambil menatap Aslam. Jari-jari pemuda itu sibuk menari di atas papan ketik laptop yang seolah-olah muncul dari udara kosong. “… adikmu ini seorang peretas?”“Jangan menyebutnya seperti itu!” larang Ashana sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulut. Ia lalu berbisik. “Dia selalu memandang dirinya jauh lebih tinggi dari para peretas yang hanya suka bermain-main.”“Lalu aku harus menyebutnya apa? Kamu bilang selama ini dia diam-diam membantumu menggali informasi, kan?”“Yah, begitulah.”“Berarti benar dia adalah peretas. Peretas ilegal!”Brak!Ben dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-18

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   93. Belum Berakhir

    Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   92. Sama-Sama Bernoda

    Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   91. Hilang dan Kembali

    “Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   90. Pernikahan

    Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   89. Empat Tahun Kemudian

    Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   88. Dirimu yang Asli

    “Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   87. Bertubi-tubi

    “Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   86. Kemiskinan dan Kehancuran

    Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   85. Perpisahan

    Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”

DMCA.com Protection Status