Share

4. Mimpi Buruk

Penulis: WealthyPetty
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-10 17:55:35

Melihat pintu rumahnya yang tidak terkunci, Ben segera berbalik dan mengecek pagarnya. Seketika menyadari bahwa sedari tadi deretan kayu itu tidak berada dalam posisi tertutup rapat.

Aneh. Ben sangat yakin bahwa ia telah menutup rapat pintu rumah dan pagarnya sebelum pergi tadi. Tidak peduli seberapa terburu-burunya dirinya, ia tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama yang telah merenggut nyawa anaknya secara tidak langsung. Kedua tangan Ben sedikit bergetar mengingat kejadian malam itu, tetapi ia segera kembali menenangkan diri sebelum melangkah masuk.

“Siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersembunyi seperti tikus kecil!” Teriakan Ben dipantulkan kembali oleh keempat dinding rumahnya. Cat putih kusam yang mulai mengelupas menambah ketegangan suasana. Ben berjalan mengendap dengan mata melebar, mengawasi setiap sudut.

Tidak banyak perabotan yang berada di dalam rumahnya. Hanya ada sebuah karpet plastik di dekat pintu masuk. Kompor dan meja kecil berada di salah satu sudut terjauh. Dua ruangan lain yang tersisa hanyalah kamar tidur yang sempit serta kamar mandi.

Tidak ada satu pun tempat bersembunyi yang layak. Bahkan lemari miliknya tidak memiliki pintu. Dalam hitungan detik, Ben telah selesai memeriksa setiap sudut tersembunyi.

Ia tidak menemukan siapa-siapa.

Pria itu menghela napas berat. “Apa aku benar-benar lupa menutupnya?” gumamnya kepada diri sendiri. Mau tidak mau ia percaya bahwa ini adalah kesalahannya karena ia benar-benar tidak lagi mempunyai sisa tenaga untuk berpikiran buruk.

Lagipula, ia juga tidak peduli jika memang ada orang yang telah menerobos ke dalam rumahnya. Orang itu bisa melakukan apa yang mereka mau, dan apabila Ben memergokinya, Ben akan sangat senang memanfaatkan kesempatan ini untuk menyalurkan amarah yang terus ia pendam.

Sayangnya, sampai beberapa jam berikutnya pun Ben tidak mendapatkan kesempatan itu. Ia hanya terus berbaring di atas karpet plastiknya yang sedikit lengket oleh sisa tumpahan kopi. Keheningan yang terus berlanjut membuat otaknya memutar kembali kumpulan memori terburuk yang ia alami sejak satu tahun lalu.

Pertengkaran tanpa henti, perjalanan pulang pergi ke pengadilan, serta berlembar-lembar kertas yang harus dibaca dan ditandatangani terus berenang-renang di dalam pikirannya. Hingga akhirnya semua warna dan suara seolah-olah direnggut dari hidupnya. Ben merasakan sepi luar biasa setiap kali ia pulang ke rumah yang kosong.

“Thalia sudah bahagia bersama Garry. Kamu juga harus menemukan bahagiamu sendiri tanpa melibatkan kami.”

Tidak ada yang salah dengan apa yang mantan ibu mertuanya katakan. Sudah lama Ben mengetahui bahwa tidak ada lagi kesempatan untuknya memperbaiki rumah tangganya yang sudah terlanjur pecah menjadi beberapa bagian. Thalia sudah membangun kisah baru bersama Garry yang tampan, berpendidikan, juga kaya raya. Sungguh berbanding terbalik dengan Ben yang membutuhkan puluhan tahun hanya untuk sekadar memiliki rumah sendiri. Jarak antara dirinya dan Thalia tidak mampu lagi ia ukur.

Hanya kehadiran Alisya yang menjadi benang penghubung di antara mereka.

Ben cukup bersyukur Thalia bersedia mengizinkannya menghabiskan waktu bersama Alisya setiap akhir bulan. Anak gadisnya yang ceria dan baik hati selalu mampu mewarnai hari-harinya. Bahkan beberapa jam sebelum malam nahas itu, Ben mendapati dirinya selalu tersenyum setiap kali Alisya menceritakan pengalamannya di sekolah.

“Pokoknya teman sekelasku itu hampir semua tingkahnya kocak banget! Mereka ketahuan lagi rekam video tari nyeleneh di depan kelas sama guru yang baru dateng, terus bukannya kabur, malah minta guru itu buat nilai siapa yang gerakan pinggangnya lebih luwes.” Ben ingat bagaimana kedua mata Alisya benar-benar berbinar saat menceritakan itu. Meskipun Ben sama sekali tidak peduli dengan teman yang diceritakan sang gadis, tetapi tanpa sadar ia juga sempat tertawa bersama sang anak.

“Oh, iya! Terus ekskul jurnalis juga kedatangan narasumber seorang wartawan yang usianya masih cukup muda. Orangnya baik banget dan nyaman buat diajak curhat. Dia juga yang kasih aku tips buat Ayah yang pelupa!”

“Tips?” Saat itu Ben sungguh tersentuh menyadari bahwa Alisya cukup peduli kepadanya hingga membicarakannya dengan orang lain.

“Iya! Jadi, setiap kali Ayah mau ngerjain tugas sehari-hari ….”

Entah sejak kapan Ben tertidur lelap. Ingatannya tentang Alisya terpotong begitu saja seiring kesadarannya tenggelam ke dalam alam mimpi. Mimpi tentang malam yang begitu gelap, dirinya yang berjalan sempoyongan sampai sulit untuk sekadar meraih kenop pintu, hingga rasa sakit dari ujung kerikil yang menggores telapak kakinya.

Perasaan panik malam itu datang kembali dalam wujud lain di mimpinya. Cahaya lampu jauh yang menyilaukan dari sebuah mobil begitu membutakan bahkan dari posisinya yang berada di sisi jalan raya. Ben menyaksikan dengan horor bagaimana Alisya yang sedang berjalan pelan tidak terlihat memiliki kesempatan untuk menghindari mobil yang melaju kencang.

“Alisya!” Ben memanggil nama sang gadis sambil berlari kencang. Namun, bukannya semakin dekat, jarak di antara mereka malah terus bertambah hingga sosok Alisya terlihat semakin mengecil di kejauhan. “Alisya! Berhenti menjauh! Kembalilah kemari, Nak!”

Ben sudah memaksa pita suaranya untuk berteriak sekuat tenaga, telinganya bahkan berdenging mendengar suaranya sendiri. Sayangnya, Alisya sama sekali tidak mendengarnya dan terus saja berjalan dengan kepala tertunduk.

Bulu kuduk Ben berdiri, seluruh tubuhnya semakin terasa kaku oleh ketakutan yang semakin menghimpit dadanya. Pria itu hanya bisa termangu saat apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Tubuh Alisya terpental tepat setelah bagian depan mobil yang mengebut itu menabraknya.

“Tidak!”

Ben terbangun dengan napas menderu serta keringat yang mengalir deras di pelipis. Salah satu tangannya yang terulur ke depan bergetar hebat. Ia segera menarik kembali tangannya untuk mengusap wajahnya kuat-kuat.

“Baiklah,” ia bergumam seorang diri, “jika memang mimpi buruk ini akan membuatku terus mengingat kesalahanku, aku akan terima. Semoga dengan begini Alisya akan dapat memaafkanku suatu saat nanti.”

Mengucapkan harapan itu dengan lantang hanya membuat Ben semakin gelisah. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam sambil mengatur deru napasnya sendiri.

Saat Ben kembali membuka mata, ia melihat layar ponselnya menyala. Beberapa pemberitahuan pesan masuk terpampang di sana, sebelum cahaya layar itu kembali redup.

Ben sungguh tidak ingin melakukan apa pun saat ini, tetapi ia juga memiliki tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, dengan enggan ia meraih benda pipih itu.

Sesuai dugaan, beberapa pesan awal berasal dari para pelanggannya yang menanyakan ketidakhadirannya pagi ini. Ben memang sudah mempercayakan tugasnya kepada para pegawainya yang tidak berjumlah banyak, tetapi seharusnya ia masih turun tangan dalam menyelesaikan pekerjaan yang memiliki skala lebih besar. Beberapa pemilik restoran tampak mencoba meneleponnya, tetapi menyerah setelah Ben tidak kunjung mengangkatnya.

Ben berniat untuk kembali bekerja besok pagi sambil terus memeriksa kotak pesannya. Ia baru saja akan meletakkan ponselnya kembali saat sebuah pesan menarik perhatiannya.

Matanya melebar melihat nama Thalia berada di bagian nama pengirim pesan.

“Maafkan aku atas sikapku tadi. Jika ada waktu, mari kita bertemu lagi. Hanya kita berdua. Tentukan saja waktu dan tempatnya. Garry sudah memberi izin.”

Ben membaca pesan itu di dalam hati dan berkali-kali membacanya ulang hingga kepalanya pusing dan matanya terasa kering. Ia akhirnya memilih untuk kembali berbaring, kali ini menghadap ke arah jendela kecil yang berada di samping pintu masuk.

Kepalanya pasti benar-benar pening karena ia sempat berpikir bahwa ada seseorang yang baru saja mengintip dari jendela. Ben mengabaikannya dan kembali memejamkan mata.

Sayup-sayup, telinganya menangkap suara seorang perempuan yang berbisik.

“Ketemu.”

***

Bab terkait

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   5. Perasaan Thalia

    Pertemuan antara Ben dan Thalia baru terjadi beberapa hari kemudian. Dengan sengaja Ben terus menundanya, berniat memberikan waktu untuk mereka berdua menenangkan diri masing-masing terlebih dulu. Ia tidak bisa memikirkan tempat pertemuan selain makam anak mereka tercinta. Berpikir bahwa setidaknya, ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengunjungi tempat peristirahatan Alisya bersama Thalia. Ben tiba beberapa menit lebih dulu. Semua pekerjaan hari ini telah ia titipkan kepada pegawai kepercayaan. Sambil membawa satu buket bunga mawar merah kesukaan Alisya, Ben berjalan pelan melewati makam demi makam. Hingga akhirnya langkahnya terhenti. Kedua matanya sedikit melebar melihat keadaan makam Alisya. “Apa ini? Siapa yang ….” “Garry yang mengerjakan semuanya.” Ben menoleh ke arah Thalia yang baru saja berbicara. Berbeda dengan hari di saat Alisya dimakamkan, kali ini wanita itu mengenakan pakaian yang lebih kasual. Tidak ada selendang yang menutupi rambut hitamnya yang digulung k

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-02
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   6. Rahasia Ben

    “Aku benar-benar masih menyayangimu.” Thalia mengulang ucapannya. Suaranya tidak lagi bergetar, ia terlihat jauh lebih tegar dari sebelumnya. “Biar bagaimanapun, kita punya cukup banyak kenangan bersama. Demi itu semua, dan demi rasa sayangku yang masih cukup besar kepadamu, aku ingin mengatakan bahwa kamu harus lebih berusaha memperbaiki hidupmu.”Ben sempat merasa tersentuh mendengar Thalia masih peduli kepadanya, tetapi ia lantas mengerutkan kening kebingungan. “Memperbaiki hidupku?”“Pindahlah ke tempat tinggal yang lebih layak dan bagus. Aku tidak mau Alisya di atas sana menyaksikan bagaimana hidup orang tuanya begitu kacau.”“Oh, kalau soal itu,” Ben berdeham dengan kikuk, “sebenarnya, aku sudah ada—“

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-03
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   7. Kenangan Masa Lalu

    “Apa ini jalan yang benar? Zamanku dulu tidak pernah ada peta seperti ini.”Ben mengangkat sebelah alisnya. “Dengarkan saja terus petunjuknya. Aku yakin sudah memasukkan alamat yang tepat.”“Tapi dari tadi aku tidak mendengar apa pun.” Sambil mengatakan itu, Sander sibuk menekan setiap tombol yang terdapat di bagian terluar layar. Ia sedikit kesulitan karena masih harus menyetir dengan fokus.Hingga akhirnya suara wanita yang berasal dari aplikasi peta itu terdengar sangat keras, mengejutkan Sander dan juga Ben. Keduanya tersentak di tempat. Sander sendiri hampir menginjak rem secara mendadak di tengah jalan raya. Dengan seringai penuh rasa bersalah, ia mengangkat salah satu tangannya tanda meminta maaf.Lagi-lagi Ben harus mengatur na

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-04
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   8. Ben yang Kacau

    Ben terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Meskipun mimpi tentang masa kecilnya bukanlah hal yang cukup membahagiakan, Ben cukup senang bisa mengingat kembali Rossa, teman-temannya, serta satu orang gadis yang selalu ia rindukan.Dalam hati ia berniat untuk berkunjung ke Panti Asuhan Kurnia Sentosa dalam waktu dekat.Untuk saat ini, Ben masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Tampaknya ia masih belum benar-benar pulih dari rasa kehilangan karena dalam beberapa detik ia kembali merasa sesak. Dengan terburu-buru ia melangkah keluar rumah tanpa memedulikan penampilannya yang kemungkinan besar terlihat berantakan. Ia sungguh memerlukan udara segar di luar bangunan dua lantai yang beratap tinggi tetapi terasa menghimpit tubuhnya ini.“Rumah ini tidak sebesar itu, tapi kenapa pintu keluarnya terasa jauh

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-05
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   9. Bunga Bakung

    Ben tertawa sinis mendapati bahwa ia tanpa sengaja kembali ke daerah pinggiran kota Patah. Rupanya ia benar-benar telah berlari terlalu jauh hingga menempuh jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan mobil.“Sepertinya aku memang harus kembali.”Bertahun-tahun tinggal di sana membuat Ben hafal setiap belokan yang harus dilaluinya. Dengan pikiran kosong pun ia akan tetap sampai ke rumah kecilnya yang semakin hari semakin menyerupai gubuk.Namun, sebelum itu, ia mengambil jalan lain menuju pantai. Beberapa orang yang terlihat masih berkumpul di sana membuatnya mengerutkan kening.“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah seharusnya penjualan sudah selesai sebelum matahari terbit?” tanya Ben sambil melihat ke arah baskom-baskom besar berwarna biru

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-06
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   10. Pencuri Kelas Teri

    Suara berderak pelan terus terdengar dari sebuah pintu tua. Seorang pemuda yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan sarung kotak-kotak coklat tengah membungkuk di depan pintu itu, tangannya bergerak lincah memasukkan sesuatu ke lubang kunci. Pencahayaan lampu teras yang tidak terlalu baik membuatnya sedikit merasa aman, hanya sesekali kepalanya menengadah, memastikan bahwa tidak ada orang yang tengah menyaksikan aksinya.Setelah terdengar kunci pintu terbuka, pemuda itu menarik napas dalam sambil menyingkirkan kain yang sempat menutupi hidung dan mulutnya. Dengan senyum di bibir, ia melangkah masuk ke rumah yang baru saja ia bobol itu.“Hah … mudah sekali. Kenapa dia repot-repot ganti kunci kalau kualitasnya sama saja?” Ia bicara sendiri sambil memainkan tindik di bawah bibirnya dengan lidah. Kedua mata abu-abu kebiruan yang sangat ko

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-07
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   11. Aku Punya Cara

    “Hmm?” Ben mengangkat salah satu alisnya penuh tanya. “Menyedihkan. Kamu tidak punya alasan yang lebih bagus?” Ia menghela napas sebelum bersiap untuk mengayunkan tinjunya.Denver hampir gila rasanya. Sekilas, ia dapat melihat seluruh hidupnya terbersit di pikirannya, seolah-olah otaknya tengah meninjau kembali seluruh waktu yang telah ia habiskan dengan sia-sia. Pemuda itu lantas mengumpat. Ia sama sekali belum mau mati. Meskipun kehidupan ini bersikap kejam kepadanya, ia masih memiliki tujuan yang akan ia capai meski harus menjungkirbalikkan dunia.Sebagai pertahanan terakhir, akhirnya Denver mengambil gantungan baju yang ada di dekatnya. Menghunuskan bagian ujungnya yang melengkung tetapi berujung runcing kepada Ben dengan sekuat tenaga. Refleks Ben yang bagus membuatnya menghindar tepat waktu, dan Denver memanfaatkan saat itu untuk b

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-08
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   12. Mata Abu-Abu

    “Saran? Apa saranmu?” Ben bertanya kepada Denver dengan tidak sabar.“Sewa detektif swasta,” jawab Denver penuh percaya diri. “Seperti aku, misalnya.”Ben dan Sander mendesah kecewa bersamaan. Keduanya lantas berbalik dan mengibaskan tangan kepada Denver. “Sudah cukup, anak kecil. Sekarang, pulanglah!” perintah Sander yang pergi ke arah berlawanan dari arah yang dituju Ben.“Tunggu dulu!” Terburu-buru Denver berteriak. “Baiklah! Kalau kalian tidak percaya padaku, tidak apa-apa! Tapi libatkan aku dalam penyelidikan kasus ini!”Ben yang muak mendengarkan omong kosong Denver kembali menghadap sang pemuda. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sementara ekspresinya tidak terlihat jelas di tengah malam yang sudah semakin larut. “Dengar, anak muda. Aku tahu kamu serius dalam hal ini, tapi justru itu yang membuat aku yakin bahwa kamu seharusnya menjauh dari kasus ini. Aku akan menyelesaikannya dengan caraku, jadi kamu urus urusanmu sendiri.”

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-09

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   93. Belum Berakhir

    Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   92. Sama-Sama Bernoda

    Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   91. Hilang dan Kembali

    “Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   90. Pernikahan

    Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   89. Empat Tahun Kemudian

    Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   88. Dirimu yang Asli

    “Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   87. Bertubi-tubi

    “Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   86. Kemiskinan dan Kehancuran

    Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   85. Perpisahan

    Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status