Pagi itu, Dom datang menjemput Celine. Ternyata benar, Celine setuju dengan ide Dom.Dom dan Celine berangkat ke desa dengan mobil. Perjalanan panjang itu diselimuti keheningan, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Dom mencoba menenangkan Celine, meski dirinya sendiri merasa gugup. "Tenang saja, Celine. Semua akan baik-baik saja," ujar Dom sambil menatap jalanan di depannya. Setelah perjalanan yang cukup jauh, mereka akhirnya sampai di desa. Karena mobil tidak bisa masuk ke jalan kecil menuju klinik, mereka harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Matahari sudah mulai tinggi, membuat mereka berdua merasa panas dan lelah. "Aku haus, Dom," keluh Celine dengan suara lemah. Dom mengangguk dan melihat ke sekeliling. Dia melihat sebuah kios kecil yang menjual jus buah. "Tunggu sebentar, aku akan membelikanmu jus." Dom mendekati kios itu dan memesan dua gelas jus naga. Penjualnya, seorang wanita tua dengan senyum ramah, mulai memblender jus tersebut. "Jus naga dua, Bu," kat
Beberapa hari setelah kejadian kepergian Celine, Ziva sedang bersiap-siap pergi ke kampus. Saat hendak keluar rumah, ia melihat sebuah hadiah yang tergeletak di dekat pot bunga. Ziva memungutnya dan membuka surat yang terikat rapi di atasnya. **Surat dari Raka:** *Untuk Ziva Determine, Ziva, sejak pandangan pertama, kau sangat cantik secantik bunga ini. Maaf aku tidak bisa memberikannya secara langsung. Selamat valentine Ziva. Raka.* Ziva tersenyum kecil membaca surat itu. Ada rasa hangat di hatinya, namun ia cepat-cepat menyadari bahwa ia tidak boleh larut dalam perasaannya. Ia memasukkan surat itu ke dalam tasnya dan melanjutkan perjalanan ke kampus.Namun sebelumnya, ia membuang boneka beruang itu karena ia tidak suka boneka apalagi bentuknya beruang. Pagi itu, kota tampak sibuk seperti biasa. Orang-orang bergegas dengan aktivitasnya masing-masing. Ziva naik sepeda melewati trotoar yang dipenuhi dengan pedagang kaki lima, lalu lintas yang padat, dan hiruk-pikuk kota yang tak
Di sebuah ruangan yang dingin dan suram, kelompok beruang berkumpul di markas mereka yang megah namun menakutkan. Ruangan tersebut dipenuhi dengan berbagai barang mewah yang menunjukkan kekuatan dan kekayaan mereka. Di tengah ruangan, terdapat seorang pria yang sedang diikat dan terlihat sangat lemah. Pria itu adalah Johson, salah satu teman Black D dan bawahan Kris Determine.Leon, mengenakan jas hitam yang elegan, berdiri di samping ayahnya, Brok, ketua kelompok beruang. Ayah Leon, seorang pria berwibawa dengan tatapan dingin, memperlihatkan betapa mengerikannya kekuasaan mereka di kota ini."Leon, hari ini adalah ujianmu untuk menjadi penerusku. Lihatlah ini," kata Brok sambil menunjuk Johson yang sedang terikat.Johson menatap Leon dengan mata penuh kesedihan. "Aku tidak akan memberitahumu di mana anak Kris berada. Apa pun yang terjadi, aku akan setia pada Kris dan tidak akan mengkhianatinya."Brok tersenyum sinis. "Baiklah kalau begitu. Leon, ini adalah saatnya bagimu untuk membuk
Esok paginya, Ziva merasa gelisah. Black D tidak berada di rumah setelah Black D minta izin pergi bersama teman Black D setelah acara ulang tahun Ziva semalam. Ziva mencoba menghubungi namun nomor teleponnya tidak aktif. Kekhawatiran semakin menghantui Ziva, dan dia memutuskan untuk mencari Black D sepulang dari kampus.Di kampus, saat Ziva berjalan menuju kelas, dia bertabrakan dengan Dom. Wajah Dom tampak gelisah, membuat Ziva curiga. Setelah kelas berakhir, Ziva menemukan Dom di kamar mandi dan memutuskan untuk mengintrogasinya."Kau kenapa? Kau terlihat gelisah," tanya Ziva dengan nada serius.Dom menghindari tatapannya. "Tidak ada apa-apa. Lagian bukan urusanmu.""Oh iya, kudengar-dengar Celine tidak masuk kampus lagi. Kemana dia?""A-aku tidak tahu.""Bohong! Kamu itu pacarnya, dan kamu pasti tahu dimana dia berada.""Aku sudah bilang aku tidak tahu!"Ziva semakin curiga dan hendak mendesaknya lebih jauh, ketika tiba-tiba Raka muncul. "Percuma, Ziva. Celine sudah pindah ke luar
Ketika dia sampai di sana, dia melihat beberapa polisi menghalangi jalan masuk.“Tolong, saya harus masuk! Itu tempat paman saya bekerja!” teriak Ziva histeris.Seorang polisi mencoba menenangkannya. “Maaf, Nona. Ini tempat kejadian perkara. Anda tidak bisa masuk.”Namun, Ziva terus berontak dan akhirnya berhasil menerobos masuk. Dia terkejut melihat empat orang berpakaian seragam dengan logo beruang tergeletak bersimbah darah. Matanya kemudian tertuju pada seorang pria yang berpakaian kaos, yang dikenalnya sebagai teman Black D, juga terbaring tak bernyawa.Saat itulah pandangannya jatuh pada tubuh Black D yang tergeletak di lantai barbershop, dadanya penuh dengan lubang peluru. Ziva histeris, air matanya mengalir deras. Dia berlari ke arah Ziva, berlutut di samping tubuhnya yang tak bernyawa."Om! Om Bek!" teriak Ziva sambil mengguncang tubuh Black D. "Bangun, Om, bangun!"Tangisannya memenuhi ruangan, suara isakannya membuat suasana semakin pilu. Tim medis datang untuk mengangkat tu
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela, tapi Ziva hanya merasa kehampaan. Suasana rumah terasa begitu sepi tanpa canda tawa Black D yang biasa mengisi setiap sudut ruangan. Setiap sudut rumah mengingatkan Ziva pada pamannya, dan itu membuat hatinya semakin berat.Ziva duduk di meja makan, melihat piring kosong di depannya. Air matanya kembali mengalir, mengenang saat-saat Black D selalu membuatkan sarapan untuknya. "Om Bek..." bisiknya lirih, seolah berharap pamannya bisa mendengarnya dari alam sana.Di tengah kesedihannya, Ziva teringat pada kunci yang ditemukan di tangan Black D. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan Black D darinya. Ziva kemudian mulai mencari gembok atau tempat lain di rumah yang mungkin cocok dengan kunci tersebut. Ia memeriksa setiap lemari, pintu, dan tempat tersembunyi yang mungkin ada, tapi tidak satupun yang cocok.Hari itu berlalu dengan Ziva yang terus berusaha mencocokkan kunci tersebut. Ia tidak menyerah, meskipun rasa frustasi mulai
Beberapa hari kemudian, Ziva berusaha tegar menjalani hari-harinya. Meski duka masih menyelimuti hatinya, ia mencoba fokus pada pelajaran dan aktivitas di kampus. Leon dan Raka selalu menyemangati Ziva, memberikan dukungan agar ia bisa bangkit dari kesedihannya. Untuk Leon, Ziva berusaha merespon dengan baik, namun tidak untuk Raka. Setiap kali bertemu dengannya, Ziva selalu bersikap dingin padanya.Hari itu, kampus mengadakan seminar dengan tamu istimewa, yaitu ayahnya Raka, seorang pengusaha sukses di bidang tambang emas. Pak Rob, begitu ia dikenal, akan membagikan pengalamannya mengenai peran sosial seorang kaya dalam masyarakat.Aula kampus dipenuhi mahasiswa yang antusias mendengarkan Pak Rob. Ziva, Leon, dan Raka duduk di barisan depan. Pak Rob berdiri di atas panggung, wajahnya berseri-seri dengan karisma seorang pengusaha sukses."Selamat pagi, mahasiswa-mahasiswa hebat!" sapa Pak Rob, membuka pidatonya. "Saya merasa terhormat bisa berbagi pengalaman dengan kalian hari ini. Men
Esok harinya, Ziva berusaha bersikap romantis pada Leon. Di kampus, ia memperlihatkan perhatian yang lebih dari biasanya. Saat mereka duduk di bangku taman, Ziva menatap Leon dengan mata penuh kasih sayang, meski dalam hatinya ia merasakan kebencian yang mendalam."Leon, kamu sudah makan?" tanya Ziva lembut, sembari memberikan sandwich yang ia bawa.Leon tersenyum, terkejut dengan perhatian Ziva. "Terima kasih, Ziva. Kamu sangat perhatian."Hari itu di kampus, mereka terlihat seperti pasangan bahagia. Ziva tertawa pada lelucon Leon, menggenggam tangannya saat mereka berjalan di koridor, dan tersenyum hangat setiap kali Leon berbicara. Semua orang yang melihat mereka berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang sempurna.Malamnya, Leon mengajak Ziva makan di restoran di kota. Awalnya, ia ingin mengajak Ziva makan di restoran bintang lima. Namun ia menyadari satu hal, Ziva tidak suka kemewahan. Oleh karena itu, Leon hanya mengajak Ziva makan di restoran biasa untuk menyenangkan hati Ziva.
Pagi itu, Ziva berolahraga di taman dekat rumahnya, mencoba untuk menghilangkan stres yang membelenggu pikirannya. Dengan napas teratur dan tubuh bergerak mengikuti irama, ia mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Ziva berhenti sejenak dan membuka ponselnya, melihat pesan dari Raka. Isi pesannya singkat tapi jelas: "Ziva, aku minta tolong, bisa kita bertemu?"Ziva ragu, namun entah mengapa, dorongan untuk menyelesaikan masalah membuatnya setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang cukup ramai sehingga Ziva merasa aman. Ketika tiba, Ziva melihat Raka sudah menunggunya di bangku taman, wajahnya kusut dan penuh penyesalan."Maaf, Ziva," ucap Raka, suaranya serak. "Aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Aku… aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku. Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Itu menghancurkanku melihatmu bersama orang lain…"Ziva menatap Raka dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Raka, kita suda
Pagi hari, kota itu dipenuhi dengan suasana yang meriah dan glamor. Di sebuah gedung megah yang sering digunakan untuk acara-acara besar, sebuah pesta diadakan untuk merayakan kehamilan anak seorang pengusaha kaya. Pesta ini merupakan acara besar, yang menandai pengumuman jenis kelamin anak tersebut. Ruang pesta dihiasi dengan lampu kristal berkilauan dan bunga-bunga eksotis. Tenda putih yang elegan menutupi area luar, sementara di dalam, meja-meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Musik orkestra lembut mengalun, menambah suasana yang berkelas dan penuh kehangatan. Para tamu berpakaian formal, mengenakan gaun-gaun mewah dan jas-jas elegan, menikmati hidangan dan bersosialisasi.Brok, Leon, dan Ziva diundang ke acara tersebut. Namun, hanya Ziva dan Leon yang hadir. Raka dan Nanda juga hadir, meski suasana antara mereka terasa canggung. Raka, yang tidak bisa menahan emosinya, terus memandang Ziva dari kejauhan. Pesta semakin meriah saat pengumuman tentang jenis kelamin
Pagi itu, Ziva bangun lebih awal dari Leon, merasakan udara segar yang masuk melalui jendela kamar mereka yang besar. Perasaan gelisah yang selalu ada sejak pernikahannya dengan Leon kembali menghantuinya. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Leon, lalu berjalan menuju kamar mandi.Sesampainya di sana, Ziva membuka seluruh pakaiannya, membiarkan air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, merenungkan langkah-langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Namun, ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.Leon masuk, matanya masih sedikit mengantuk, namun senyum kecil terlihat di wajahnya. "Pagi, sayang," katanya dengan suara lembut. Dia mendekati Ziva, niatnya jelas untuk bergabung dengannya di kamar mandi. Namun, ekspresi Ziva berubah seketika, tubuhnya menegang dan refleks menutupi dirinya dengan tangan.Leon berhenti di tempat, terkejut dengan reaksi Ziva. "Ad
Malam itu, setelah makan malam yang hangat namun sarat dengan keheningan penuh makna, Brok memanggil Ziva dan Leon untuk ikut dengannya ke sebuah tempat yang tak pernah mereka duga. Ziva, yang sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan dari Brok, mengikuti Leon dengan tenang namun penuh antisipasi. Mereka berjalan menuju perpustakaan pribadi Brok, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan artefak antik. Di sini, suasana terasa tenang, hampir mistis, dengan cahaya lampu gantung yang memancarkan sinar lembut di ruangan. Brok berhenti di depan salah satu rak buku yang tampak biasa saja. Namun, saat dia menyentuh sebuah buku tua dengan sampul kulit, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Rak buku itu bergeser perlahan, memperlihatkan sebuah pintu rahasia di baliknya. Ziva menatap dengan takjub, sementara Leon tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan rahasia-rahasia ayahnya."Masuklah," kata Brok dengan nada tegas, mengisyaratkan mereka untuk mengikuti.Mereka melangk
Seiring berjalannya waktu, Ziva semakin mengukuhkan posisinya sebagai istri Leon yang perhatian dan penuh dedikasi. Setiap pagi, Ziva bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus keperluan rumah, dan memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Brok semakin menyukai menantunya, merasa yakin bahwa Ziva adalah pilihan yang tepat untuk putranya.Leon dan Ziva sering menghabiskan waktu bersama, baik di rumah maupun di luar. Leon mengajak Ziva untuk berkenalan dengan para pengusaha dan rekan-rekannya, memperluas jaringan sosial mereka. Ziva selalu tampil anggun dan cerdas, memenangkan hati banyak orang dengan kepribadiannya yang menawan.Suatu hari, Leon mengajak Ziva untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis penting di sebuah hotel mewah. Di sana, mereka bertemu dengan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa mitra bisnis Brok. Leon merasa bangga memiliki Ziva di sisinya, melihat betapa mudahnya Ziva bergaul dengan semua orang."Ziva, kau benar-benar luar biasa. Kau membu
Acara pernikahan yang meriah telah usai, dan para tamu sudah mulai pulang. Leon dan Ziva akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Ruangan itu dihias dengan indah, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan kelopak bunga mawar tersebar di seluruh tempat tidur.Leon masuk ke dalam kamar, sedikit gugup namun penuh harapan. Ia menutup pintu perlahan, membiarkan Ziva masuk terlebih dahulu. Ziva tampak cantik dalam gaun tidurnya yang sederhana namun elegan. Mereka berdua berdiri canggung di tengah ruangan, merasakan ketegangan yang manis namun aneh."Ziva, ini... adalah malam yang sangat spesial bagi kita," kata Leon dengan suara lembut.Ziva tersenyum, namun ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya. "Leon, aku benar-benar lelah. Hari ini sangat melelahkan, dan aku butuh istirahat."Leon mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Tentu, aku mengerti. Kita bisa beristirahat malam ini."Mereka berdua naik ke tempat tidur, berbaring berdampingan namun dengan jarak yang terasa. Le
Pagi yang cerah di hari pernikahan Ziva dan Leon. Di rumah Ziva, suasana sibuk dan penuh kegembiraan. Ziva duduk di depan cermin besar di kamarnya. Seorang makeup artist profesional sedang merias wajahnya dengan teliti. Di sekitar Ziva, beberapa asisten membantu mengenakan gaun pengantin putih yang indah, lengkap dengan detail renda dan kristal. Bu Kiki dan beberapa teman dekat Ziva memberikan dukungan moral, membuat Ziva merasa lebih tenang."Ini adalah hari yang luar biasa, Ziva. Kau terlihat sangat cantik," kata Bu Kiki dengan senyum penuh kasih.Ziva tersenyum, meski ada sedikit kegugupan di matanya. "Terima kasih, Bu Kiki. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa dukunganmu."Setelah selesai berdandan, Ziva berdiri dan melihat dirinya di cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun pengantin itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, dan riasan wajahnya menonjolkan kecantikannya yang alami.Di sisi lain, Leon sedang bersiap di rumahnya. Ayahnya, Brok Bearpo, yang biasanya tampak
Di sebuah ruangan yang penuh dengan kemewahan dan aura kekuasaan, Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya, berdiri di depan Eleanor. Eleanor, seorang mafia kakap dengan aura yang tak kalah menakutkan, berdiri dengan anggun di hadapannya. Mereka saling menatap dengan mata penuh kewaspadaan.Brok membuka pembicaraan dengan nada sedikit meninggi, “Eleanor, meskipun kita memiliki perbedaan, aku ingin tetap profesional. Ini undangan pernikahan Leon dan Ziva.” Ia menyerahkan kartu undangan mewah itu dengan tangan kokohnya.Eleanor, yang sudah mengetahui rencana pernikahan ini melalui mata-matanya, menerima undangan itu dengan elegan. Ia membaca sekilas undangan tersebut sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Brok. “Terima kasih, Brok. Aku sudah mendengar tentang rencana ini. Kau tahu, dunia kita memang kecil, ya?” ucap Eleanor dengan senyum tipis yang penuh arti.Brok mengangguk, walau matanya tetap tajam. “Memang, Eleanor. Aku harap kau bisa hadir dan melihat bahwa kita bisa menjalin hub
Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah menerangi kota. Leon dan Ziva memulai persiapan pernikahan mereka dengan penuh semangat. Mereka berdua pergi ke berbagai tempat untuk memastikan semua kebutuhan pernikahan terpenuhi. Leon, yang tampak sangat antusias, memastikan bahwa Ziva mendapatkan semua yang diinginkannya.Leon membawa Ziva ke sebuah butik gaun pengantin terkenal di kota. Di sana, Ziva mencoba beberapa gaun, dengan Leon yang memberikan pendapatnya dengan tulus.“Aku suka yang ini,” kata Leon, sambil menunjuk pada gaun putih sederhana dengan hiasan renda yang elegan. “Kau terlihat sangat cantik.”Ziva tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Leon. Aku juga suka gaun ini.”Setelah memilih gaun, mereka juga memilih pakaian untuk Leon, memastikan semuanya serasi. Leon memilih setelan hitam klasik dengan dasi perak, yang membuatnya tampak gagah dan elegan.Selanjutnya, mereka pergi ke sebuah kafe untuk mendiskusikan tema pernikahan. Ziva menginginkan pernikahan yang sederhan