Leon menatap Ziva dengan senyum penuh arti. Ziva terkejut bukan main. Sudah berbulan-bulan mereka tidak bertemu, sejak Raka menjebak Leon di Inggris. Namun, Ziva berusaha menahan rasa terkejutnya dan dengan polos bertanya, "Ke mana saja kau selama ini, Leon?"Leon tersenyum lebar. "Aku ada proyek di Inggris. Tapi sekarang aku senang bisa kembali, terutama karena Raka akhirnya menikah. Mungkin ini akan mengurangi sainganku untuk mendekati gadis yang kuinginkan."Ziva merasa hatinya berdebar. Leon tidak tahu betapa rumitnya situasi ini. Sebelum sempat berbicara lebih lanjut, ayah Leon, Brok Bearpo, muncul. Brok adalah orang yang sangat diincar Ziva untuk bertemu. Sekarang, mereka bertatap muka.Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya dan pengawal pribadi, berjalan mendekati mereka. Ziva merasa jantungnya berdegup kencang, tetapi berusaha bersikap biasa saja. Brok ramah pada Ziva, menyapanya dengan suara yang dalam dan penuh wibawa. "Senang bertemu denganmu, Ziva. Aku sering mendengar tentan
Esok harinya, Ziva sedang sibuk di toko ketika Leon tiba-tiba datang. Dengan senyum hangat, Leon menyapa, "Halo, Ziva. Lama tidak bertemu."Ziva berusaha menyembunyikan perasaannya yang campur aduk. "Leon, apa kabar? Senang melihatmu."Leon membantu Ziva mengatur beberapa barang di toko. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, dan Leon tak bisa menyembunyikan kerinduannya pada Ziva. "Aku sangat merindukanmu, Ziva. Ingat saat kita sering menghabiskan waktu bersama?"Ziva tersenyum, berusaha menjaga percakapan tetap ringan. "Aku juga, Leon. Banyak yang terjadi sejak kamu pergi."Setelah selesai di toko, Ziva dan Leon pergi ke taman kota. Mereka duduk di bangku taman yang teduh, dikelilingi oleh bunga-bunga yang indah. Leon mulai menceritakan pengalamannya di Inggris. "Aku bersenang-senang dengan pekerjaanku di sana. Banyak proyek besar dan pesta mewah. Tapi, aku selalu merasa ada yang kurang."Ziva mendengarkan dengan penuh perhatian. "Senang mendengarnya, Leon. Raka dan Nanda sudah la
Raka berjalan dengan langkah berat menuju bar, pikirannya kacau oleh kecemburuan dan frustrasi. Ia duduk di bangku bar, memesan minuman demi minuman, mencoba melupakan semua masalahnya. Cahaya redup dan musik keras bar itu tidak mampu menenangkan hatinya yang bergolak.Seorang gadis dengan gaun merah ketat mendekat, matanya penuh dengan niat. "Hai, tampan. Kelihatan kamu butuh teman," katanya dengan suara menggoda.Raka menoleh perlahan, tatapannya buram akibat alkohol. "Aku... aku gak butuh siapa-siapa," gumamnya, tapi gadis itu tidak menyerah."Ayolah, sedikit hiburan gak akan merugikanmu," katanya sambil menyentuh lengan Raka dengan lembut. Ia kemudian mulai menggeser tangannya ke arah resleting celana Raka, berusaha membuatnya terangsang.Namun, Raka yang sudah mabuk berat malah merespons dengan kemarahan. "Jangan sentuh aku!" teriaknya, lalu dengan refleks memukul gadis itu.Situasi langsung menjadi gaduh. Gadis itu terjatuh dan menjerit, menarik perhatian orang-orang di sekitar.
Sore itu, Ziva baru saja selesai membereskan tokonya ketika Leon datang menjemputnya. Leon tampak rapi dengan setelan jas, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Ziva, aku mengajakmu makan malam di rumah. Ayah ingin bertemu denganmu," katanya dengan nada riang, namun ada sedikit kekhawatiran dalam tatapan matanya.Ziva terkejut dan seketika kalang kabut. Ia tahu siapa yang akan ia hadapi malam ini—Brok Bearpo, mafia terkuat yang pernah ia dengar. Namun, Ziva bersiap dengan tekad bulat. Jika ada sesuatu yang akan terjadi padanya, ia akan siap menghadapinya.Setelah berkemas dan mengenakan gaun yang elegan namun sederhana, Ziva pergi bersama Leon ke rumahnya. Rumah itu adalah sebuah mansion mewah dengan gerbang besar yang dijaga oleh beberapa pengawal. Di pintu, mereka disambut oleh Brok Bearpo dengan tongkat emasnya dan senyum tipis yang mengintimidasi."Selamat datang, Ziva," kata Brok dengan suara dalam dan tegas. "Masuklah, aku ingin kalian melihat-lihat rumah ini."Leon dan Ziva mengiku
Pagi itu, di sisi rumah yang besar dan mewah, Nanda terlihat menyiram bunga di taman. Matanya sembab, jelas habis menangis. Madam Maroon datang dan melihat Nanda yang mencoba menghapus air matanya dengan cepat."Kenapa kamu menangis?" tanya Madam dengan suara lembut namun penuh wibawa.Nanda terdiam sejenak, tidak ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Raka. "Aku hanya sedikit lelah, Madam," jawabnya pelan.Madam memandang Nanda dengan mata yang tajam, mencoba mencari kebenaran di balik kata-katanya. "Apa yang dilakukan Raka padamu?" tanyanya lagi.Nanda menunduk, berusaha menjaga senyumnya. "Ia pergi minum bersama teman-temannya, lalu meneleponku untuk menjemputnya. Malam itu... kami melakukan itu, mah... hehe," jawab Nanda dengan tawa yang dipaksakan.Madam Maroon tersenyum tipis, meskipun ia tahu Nanda berbohong. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam yang disembunyikan menantunya. "Baiklah, Nanda. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."Madam lalu
Pagi ini, suasana di rumah Raka dan Nanda dipenuhi ketegangan. Nanda dengan lembut membangunkan Raka, mengingatkannya bahwa hari ini ada acara di kantor yang penting dan mengajaknya untuk ikut serta. Namun, Raka yang masih merasa lelah langsung marah."Nanda, kenapa kamu bangunkan aku pagi-pagi? Aku ada banyak hal yang harus dikerjakan hari ini," katanya dengan nada kesal.Nanda mencoba menenangkan suaminya. "Raka, ini penting. Ini acara ulang tahun perusahaan, dan aku ingin kamu ada di sana bersamaku."Raka menggerutu, lalu memutuskan untuk pergi tanpa banyak bicara lagi. Namun, sebelum dia bisa keluar rumah, Madam menghentikannya dengan wajah marah."Raka, kamu tidak akan ke mana-mana. Kamu ikut Nanda ke acara itu. Ini bukan permintaan, ini perintah," kata Madam dengan tegas.Raka merasa terpojok dan tidak punya pilihan lain selain menurut. Dengan wajah kesal, dia ikut Nanda ke mobil. Selama perjalanan, Raka tidak menunjukkan sedikit pun rasa senang, membuat suasana di dalam mobil m
Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah menerangi kota. Leon dan Ziva memulai persiapan pernikahan mereka dengan penuh semangat. Mereka berdua pergi ke berbagai tempat untuk memastikan semua kebutuhan pernikahan terpenuhi. Leon, yang tampak sangat antusias, memastikan bahwa Ziva mendapatkan semua yang diinginkannya.Leon membawa Ziva ke sebuah butik gaun pengantin terkenal di kota. Di sana, Ziva mencoba beberapa gaun, dengan Leon yang memberikan pendapatnya dengan tulus.“Aku suka yang ini,” kata Leon, sambil menunjuk pada gaun putih sederhana dengan hiasan renda yang elegan. “Kau terlihat sangat cantik.”Ziva tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Leon. Aku juga suka gaun ini.”Setelah memilih gaun, mereka juga memilih pakaian untuk Leon, memastikan semuanya serasi. Leon memilih setelan hitam klasik dengan dasi perak, yang membuatnya tampak gagah dan elegan.Selanjutnya, mereka pergi ke sebuah kafe untuk mendiskusikan tema pernikahan. Ziva menginginkan pernikahan yang sederhan
Di sebuah ruangan yang penuh dengan kemewahan dan aura kekuasaan, Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya, berdiri di depan Eleanor. Eleanor, seorang mafia kakap dengan aura yang tak kalah menakutkan, berdiri dengan anggun di hadapannya. Mereka saling menatap dengan mata penuh kewaspadaan.Brok membuka pembicaraan dengan nada sedikit meninggi, “Eleanor, meskipun kita memiliki perbedaan, aku ingin tetap profesional. Ini undangan pernikahan Leon dan Ziva.” Ia menyerahkan kartu undangan mewah itu dengan tangan kokohnya.Eleanor, yang sudah mengetahui rencana pernikahan ini melalui mata-matanya, menerima undangan itu dengan elegan. Ia membaca sekilas undangan tersebut sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Brok. “Terima kasih, Brok. Aku sudah mendengar tentang rencana ini. Kau tahu, dunia kita memang kecil, ya?” ucap Eleanor dengan senyum tipis yang penuh arti.Brok mengangguk, walau matanya tetap tajam. “Memang, Eleanor. Aku harap kau bisa hadir dan melihat bahwa kita bisa menjalin hub
Pagi itu, Ziva berolahraga di taman dekat rumahnya, mencoba untuk menghilangkan stres yang membelenggu pikirannya. Dengan napas teratur dan tubuh bergerak mengikuti irama, ia mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Ziva berhenti sejenak dan membuka ponselnya, melihat pesan dari Raka. Isi pesannya singkat tapi jelas: "Ziva, aku minta tolong, bisa kita bertemu?"Ziva ragu, namun entah mengapa, dorongan untuk menyelesaikan masalah membuatnya setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang cukup ramai sehingga Ziva merasa aman. Ketika tiba, Ziva melihat Raka sudah menunggunya di bangku taman, wajahnya kusut dan penuh penyesalan."Maaf, Ziva," ucap Raka, suaranya serak. "Aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Aku… aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku. Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Itu menghancurkanku melihatmu bersama orang lain…"Ziva menatap Raka dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Raka, kita suda
Pagi hari, kota itu dipenuhi dengan suasana yang meriah dan glamor. Di sebuah gedung megah yang sering digunakan untuk acara-acara besar, sebuah pesta diadakan untuk merayakan kehamilan anak seorang pengusaha kaya. Pesta ini merupakan acara besar, yang menandai pengumuman jenis kelamin anak tersebut. Ruang pesta dihiasi dengan lampu kristal berkilauan dan bunga-bunga eksotis. Tenda putih yang elegan menutupi area luar, sementara di dalam, meja-meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Musik orkestra lembut mengalun, menambah suasana yang berkelas dan penuh kehangatan. Para tamu berpakaian formal, mengenakan gaun-gaun mewah dan jas-jas elegan, menikmati hidangan dan bersosialisasi.Brok, Leon, dan Ziva diundang ke acara tersebut. Namun, hanya Ziva dan Leon yang hadir. Raka dan Nanda juga hadir, meski suasana antara mereka terasa canggung. Raka, yang tidak bisa menahan emosinya, terus memandang Ziva dari kejauhan. Pesta semakin meriah saat pengumuman tentang jenis kelamin
Pagi itu, Ziva bangun lebih awal dari Leon, merasakan udara segar yang masuk melalui jendela kamar mereka yang besar. Perasaan gelisah yang selalu ada sejak pernikahannya dengan Leon kembali menghantuinya. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Leon, lalu berjalan menuju kamar mandi.Sesampainya di sana, Ziva membuka seluruh pakaiannya, membiarkan air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, merenungkan langkah-langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Namun, ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.Leon masuk, matanya masih sedikit mengantuk, namun senyum kecil terlihat di wajahnya. "Pagi, sayang," katanya dengan suara lembut. Dia mendekati Ziva, niatnya jelas untuk bergabung dengannya di kamar mandi. Namun, ekspresi Ziva berubah seketika, tubuhnya menegang dan refleks menutupi dirinya dengan tangan.Leon berhenti di tempat, terkejut dengan reaksi Ziva. "Ad
Malam itu, setelah makan malam yang hangat namun sarat dengan keheningan penuh makna, Brok memanggil Ziva dan Leon untuk ikut dengannya ke sebuah tempat yang tak pernah mereka duga. Ziva, yang sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan dari Brok, mengikuti Leon dengan tenang namun penuh antisipasi. Mereka berjalan menuju perpustakaan pribadi Brok, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan artefak antik. Di sini, suasana terasa tenang, hampir mistis, dengan cahaya lampu gantung yang memancarkan sinar lembut di ruangan. Brok berhenti di depan salah satu rak buku yang tampak biasa saja. Namun, saat dia menyentuh sebuah buku tua dengan sampul kulit, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Rak buku itu bergeser perlahan, memperlihatkan sebuah pintu rahasia di baliknya. Ziva menatap dengan takjub, sementara Leon tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan rahasia-rahasia ayahnya."Masuklah," kata Brok dengan nada tegas, mengisyaratkan mereka untuk mengikuti.Mereka melangk
Seiring berjalannya waktu, Ziva semakin mengukuhkan posisinya sebagai istri Leon yang perhatian dan penuh dedikasi. Setiap pagi, Ziva bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus keperluan rumah, dan memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Brok semakin menyukai menantunya, merasa yakin bahwa Ziva adalah pilihan yang tepat untuk putranya.Leon dan Ziva sering menghabiskan waktu bersama, baik di rumah maupun di luar. Leon mengajak Ziva untuk berkenalan dengan para pengusaha dan rekan-rekannya, memperluas jaringan sosial mereka. Ziva selalu tampil anggun dan cerdas, memenangkan hati banyak orang dengan kepribadiannya yang menawan.Suatu hari, Leon mengajak Ziva untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis penting di sebuah hotel mewah. Di sana, mereka bertemu dengan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa mitra bisnis Brok. Leon merasa bangga memiliki Ziva di sisinya, melihat betapa mudahnya Ziva bergaul dengan semua orang."Ziva, kau benar-benar luar biasa. Kau membu
Acara pernikahan yang meriah telah usai, dan para tamu sudah mulai pulang. Leon dan Ziva akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Ruangan itu dihias dengan indah, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan kelopak bunga mawar tersebar di seluruh tempat tidur.Leon masuk ke dalam kamar, sedikit gugup namun penuh harapan. Ia menutup pintu perlahan, membiarkan Ziva masuk terlebih dahulu. Ziva tampak cantik dalam gaun tidurnya yang sederhana namun elegan. Mereka berdua berdiri canggung di tengah ruangan, merasakan ketegangan yang manis namun aneh."Ziva, ini... adalah malam yang sangat spesial bagi kita," kata Leon dengan suara lembut.Ziva tersenyum, namun ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya. "Leon, aku benar-benar lelah. Hari ini sangat melelahkan, dan aku butuh istirahat."Leon mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Tentu, aku mengerti. Kita bisa beristirahat malam ini."Mereka berdua naik ke tempat tidur, berbaring berdampingan namun dengan jarak yang terasa. Le
Pagi yang cerah di hari pernikahan Ziva dan Leon. Di rumah Ziva, suasana sibuk dan penuh kegembiraan. Ziva duduk di depan cermin besar di kamarnya. Seorang makeup artist profesional sedang merias wajahnya dengan teliti. Di sekitar Ziva, beberapa asisten membantu mengenakan gaun pengantin putih yang indah, lengkap dengan detail renda dan kristal. Bu Kiki dan beberapa teman dekat Ziva memberikan dukungan moral, membuat Ziva merasa lebih tenang."Ini adalah hari yang luar biasa, Ziva. Kau terlihat sangat cantik," kata Bu Kiki dengan senyum penuh kasih.Ziva tersenyum, meski ada sedikit kegugupan di matanya. "Terima kasih, Bu Kiki. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa dukunganmu."Setelah selesai berdandan, Ziva berdiri dan melihat dirinya di cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun pengantin itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, dan riasan wajahnya menonjolkan kecantikannya yang alami.Di sisi lain, Leon sedang bersiap di rumahnya. Ayahnya, Brok Bearpo, yang biasanya tampak
Di sebuah ruangan yang penuh dengan kemewahan dan aura kekuasaan, Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya, berdiri di depan Eleanor. Eleanor, seorang mafia kakap dengan aura yang tak kalah menakutkan, berdiri dengan anggun di hadapannya. Mereka saling menatap dengan mata penuh kewaspadaan.Brok membuka pembicaraan dengan nada sedikit meninggi, “Eleanor, meskipun kita memiliki perbedaan, aku ingin tetap profesional. Ini undangan pernikahan Leon dan Ziva.” Ia menyerahkan kartu undangan mewah itu dengan tangan kokohnya.Eleanor, yang sudah mengetahui rencana pernikahan ini melalui mata-matanya, menerima undangan itu dengan elegan. Ia membaca sekilas undangan tersebut sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Brok. “Terima kasih, Brok. Aku sudah mendengar tentang rencana ini. Kau tahu, dunia kita memang kecil, ya?” ucap Eleanor dengan senyum tipis yang penuh arti.Brok mengangguk, walau matanya tetap tajam. “Memang, Eleanor. Aku harap kau bisa hadir dan melihat bahwa kita bisa menjalin hub
Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah menerangi kota. Leon dan Ziva memulai persiapan pernikahan mereka dengan penuh semangat. Mereka berdua pergi ke berbagai tempat untuk memastikan semua kebutuhan pernikahan terpenuhi. Leon, yang tampak sangat antusias, memastikan bahwa Ziva mendapatkan semua yang diinginkannya.Leon membawa Ziva ke sebuah butik gaun pengantin terkenal di kota. Di sana, Ziva mencoba beberapa gaun, dengan Leon yang memberikan pendapatnya dengan tulus.“Aku suka yang ini,” kata Leon, sambil menunjuk pada gaun putih sederhana dengan hiasan renda yang elegan. “Kau terlihat sangat cantik.”Ziva tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Leon. Aku juga suka gaun ini.”Setelah memilih gaun, mereka juga memilih pakaian untuk Leon, memastikan semuanya serasi. Leon memilih setelan hitam klasik dengan dasi perak, yang membuatnya tampak gagah dan elegan.Selanjutnya, mereka pergi ke sebuah kafe untuk mendiskusikan tema pernikahan. Ziva menginginkan pernikahan yang sederhan