Tubuh William dan Olivia basah kuyup tapi mereka terlihat sangat bahagia, saling tertawa-tawa seolah meluruhkan semua beban dalam hati mereka.
“Siapa namamu?” tanya William setelah mematikan keran air.
Rasanya sudah cukup main air untuk malam ini, jika mereka teruskan mereka bisa-bisa kedinginan dan jatuh sakit.
“Olivia, Pak.” jawab Olivia singkat wajahnya masih berseri-seri karena asyik bermain, bahkan Olivia tidak ingin semuanya berakhir dulu tapi apa mau dikata ia tidak berani membantah ucapan William.
William tersengir malu, “Berhenti memanggilku, ‘Pak’. Kamu boleh memanggilku dengan nama saja kalau tidak dalam jam kerja. Kamu ini sama seperti asistenku saja.”
Olivia langsung terdiam, William jelas membicarakan Jimmy karena siapa lagi asisten William yang ia maksud, Jimmy melakukan semua hal untuk pria itu dan sangat menghormatinya.
Dulu Olivia tidak pernah cerita yang Jimmy sampaikan tenta
“Olivia! Mana payung untukku?! Kau msu membiarkan kulitku terbakar sinar matahari?” pekik Anya seraya mengerut-ngerutkan keningnya karena kepanasan. Olivia buru-buru menghampirinya dan memayungi wanita menyebalkan itu. Olivia berharap wanita itu lenyap saja menjadi butiran debu seperti vampir ketika terkena sonar matahari agar tidak membuatnya kesulitan lagi. “Aduh panas sekali, ayo kipasi aku,” perintah Anya lagi. Tanpa banyak berkomentar Olivia segera melakukan tugasnya. Tapi tiba-tiba saja Anya menepiskan kipas di tangan Olivia. Huh apa lagi sekarang? “Kau ini bisa becus ga ngerjain sesuatu? Kamu pikir cara kamu mgipasin orang bisa bikin seger? Cuma ngipasin doang ga bisa!” gerutu Anya bersungut-sungut. Ingin sekali Olivia menghajar wanita itu, tentu saja angin tidak terasa dia baru mengibaskan kipas itu beberapa kali, apa yang Anya harapkan? Namun lagi-lagi walaupun bukan kesalahannya Olivia terpaksa meminta maaf. “Maaf doang ga akan bisa benerin kinerja kamu! Kok bisa sih ho
Kekhawatiran sontak menyeruk dalam hati Olivia. Ia tidak ingin William terlibat masalah hanya karena dirinya. Tentu saja Olivia ingin terbebas dari Anya, tapi kalau harus menyulitkan orang lain rasanya tidak perlu.“Pak, saya bisa merekomendasikan staff lain yang lebih bagus kinerjanya dari....”William menganggkat sebelah tangannya, “Aku tidak ingin staff lain, dan biarkan aku menyelesaikan masalah ini, kau tidak perlu khawatir.”“Tapi....”“Lebih baik sekarang kau siapkan destinasi menarik sebelum kita pergi,” sela William ia ingin Olivia tidak terlibat dalam urusannya dengan Anya.Olivia tahu William ingin ia pergi supaya tidak ikut campur dalam urusannya dan Olivia tidak bisa membantah. Ia pun beranjak sesaui perintah William dan melakukan apa yang perlu ia lakukan sebagai pegawai.“Bukankah aku sudah mengatakannya, aku tidak akan rugi kalau Papamu ingin mencabut kerja sama kita dan s
William tautkan bunga itu di sela kuping Olivia hingga membuat wajah Olivia memerah. Olivia mematung terpaku pada William. Sebuah perasaan yang begitu besar bergejolak dalam hatinya.Mau bagaimana pun Olivia harus segera mengakhiri semua ini, karena kalau tidak bisa-bisa ia tidak bisa mengendalikan perasaannya lagi. Olivia pun mengerjap lalu dengan cepat membalik tubuhnya seraya menangkup wajahnya yang sudah semerah tomat matang.William sontak tekejut dan membuatnya menatap bingung wanita itu. “Olie, kau baik-baik saja?” tanya William.Alih-alih menjawab Olivia malah berlari menuju toilet umum terdekat. William yang khawatir ikut berlari mengikutinya, tapi Olivia malah bersembunyi di dalam kamar mandi.“Olivia, kau baik-baik saja? Apa kau sakit?” seru William seraya mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.Bukannya menjawab Olivia malah sibuk dengan isi pikirannya sendiri. ‘Apa ini? Aku tidak boleh memiliki perasaan apa pun
“Aku tidak sengaja melihatnya karena kebetulan lewat, sunggu,” seru Adela meyakinkan. “Jadi apa tebakanku benar? Kamu bertanya soal Pak Will kan?” tanya Adela menyelidik.Mengelak saat ini pun bukankah percuma saja? Semuanya terlalu jelas, tspi Olivia juga tidak ingin mengatakannya.“Hey tenang aja aku akan mendukungmu dengan siapa pun itu, walaupun terasa tidak mungkin tapi coba saja dulu,” imbuh Adela.Olivia tertegun ia tidak menyangka Adela akan bersikap biasa saja dan malah mendukungnya.“Kenapa kamu mendukungku?”“Apa aku harus menyebarkan rumor dan membuatmu jadi buruk? Aku tidak begitu, aku tau rasanya berkencan dengan atasan sendiri. Orang-orang akan memandangmu buruk karena mereka iri padahal kalau memang pria itu menyukai kita ya mau bagaimana?”Senyuman akhirnya terukir di bibir Olivia, hatinya terasa sedikit lega, beruntung karena Adela yang mengentahuinya bukan staff lain. Namun walaupun begitu Olivia tetap tidak bisa percaya sepenuhnya pada rekannya itu.****Keesokan h
Bagai dihujam oleh pedang, hati Olivia terasa pedih. Sesak memenuhi jantungnya. Mata Olivia mulai terasa panas dan berkaca-kaca. Saat mendapati Sheila berada di kamar William.Tanpa banyak berbicara lagi Olivia segera pamit dan langsung berlari meninggalkan tempat itu menuju sudut lain gedung yang tidak ada banyak orang berlalu lalang untuk menyembunyikan tangisnya yang sudah tidak bisa Olivia tahan lagi.Tangisan Olivia pecah tepat setelah ia tiba di atap gedung. Hatinya hancur berkeping-keping. Olivia kesal dan mengutuk dirinya sendiri.Seharunya sejak awal ia tahu diri. Seperti yang dikatakan Adel, pria seperti William tidak memiliki alasan untuk jatuh cinta pada seorang yang biasa-biasa saja dan miskin seperti Olivia sedangkan di depannya ada Sheila yang jauh lebih cantik, pintar, kaya dan menggoda. Tentu saja William akan memilih Sheila dibandingkan Olivia yang bukan siapa-siapa.“Aku benar-benar bodoh dari awal pun aku tidak boleh memiliki perasaan apa pub pada William, tapi aku
Jimmy terdiam tentu saja William curiga kepadanya karena yang ungkapnya terlalu spesifik, padahal niat hati ia ingin membantunya walaupun dengan hati terluka. Karena siapa yang menduga atasan yang sangat ia hormati malah jatuh cinta pada wanita yang Jimmy cintai.Jimmy menggigit bibirnya mencoba berpikir, “Oh kami menjadi teman dekat saat Anda menugaskan saya di hotel itu satu tahun yang lalu jadi sedikitnya saya tau tentang Olivia. Dia juga wanita yang baik.”“Oh benarkah, kalau begitu saya bisa bertanya banyak padamu. Kau memang selalu bisa diandalkan,” sahut William tanpa rasa curiga sedikit pun.Setelah menutup panggilan William pun bergegas kembali ke hotel. Ketika tiba di sana William berpapasan dengan Olivia yang tengah berjalan dengan terburu-buru dari ujung koridor. Namun begitu wanita itu melihat William, Olivia langsung memutar aeah dan kembali masuk ke dalam lift yang hampir tertutup.“Apa dia melupakan sesuatu?&r
William terdiam, seolah sulit mengutarakan perasaan yang sudah meluap-luap dalam hatinya.“Bisakah Anda tidak bersikap seperti ini? Yang Anda lakukan hanya membuat saya salah paham....”“Saya menyukai Anda. Lebih dari sekedar teman.”Olivia sontak termangu demi mendengar apa yang baru saja diucapkan pria itu. Gejolak perasaan dalam hati Olivia semakin membucah, tetapi semua ini masih terasa tidak nyata untuknya dan semua kemungkinan masih bisa terjadi.“Tidak mungkin,” celetuk Olivia.“Apa maksudmu tidak mungkin? Aku benar-benar merasakannya....”“Apa menurut Anda ini semua masuk akal? Bagaimana bisa seorang seperti Anda menyukai saya yang tidak punya apa-apa. Anda pasti keliru terhadap perasaan Anda.”Dengan keras Olivia menyanggah semuanya. Karena dilihat dari sisi mana pun seorang seperti dirinya tidak mungkin pantas untuk William.Willia
Olivia berlari semakin kencang hingga tubuhnya kehilangaan keseimbangan dan terjerembab di aspal. Darah segar perlahan mengucur dari sikut dan lututnya karena gesekan yang cukup keras dengan permukaan aspal yang kasar. Namun Olivia terlanjur mati rasa, ia tidak merasakan apa pun dan kembali bangkit begitu saja.Di saat yang bersamaan sebuah mobil mencegat Olivia. Dengan tak acuh Olivia berusaja melewati mobil di hadapannya, tetapi dengan cepat seseorang menarik tubuhnya.“Aku akan mengantarmu.”Olivia mengalihkan pandangannya, mata beningnya kembali beradu pandang dengan bola mata legam nan hangat milik William. Tanpa mengatakan apa-apa Olivia berusaha melepaskan genggam tangan pria itu.“Berhentilah bersikap keras kepala, kau harus segera menemui ibumu kan?” pinta William dengan gemas.“Saya tidak memerlukan bantuan Anda!” Olivia mendorong tubuh William sekuat tenaganya.Namun William tidak menyerah, ia m
“Lalu bagaimana dengan Olivia?” pertanyaan lain yang Jimmy tidak siap untuk mendengar jawabannya. “Dia sedang merencanakan sesuatu untukku.” William tahu apa yang Olivia sedang rencanakan untuknya. Saat mengetahui hal itu William sempat berkali-kali menolak percaya pada kenyataan yang menimpanya. Namun akhirnya William bisa menerimanya. William mengalihkan pandangannya pada Jimmy, pria itu tampak tertekan dengan semua kenyataan yang baru saja ia terima saat ini. Terutama kenyataan tentang Olivia yang itu paasti paling mengusiknya. “Maaf aku memecatmu waktu itu, tapi rasanya itu keputusan yang tepat yang bisa aku lakukan,” ucap William, “Sepertinya kamu jadi sasaran empuk untuk menjebakku atau bisa jadi mereka tidak mau kamu berada di dekatku.” Jimmy memandangin William, “Dengan sendiri Anda bisa menjadi lemah,” imbuh Jimmy yang langsung di balas anggukan oleh William.“Jim, aku butuh bantuamu, karena itu aku menceritakan semua ini. Aku tidak tahu a
Jimmy terdiam dengan kening berkerut. Kalau dipikir-pikir surat elektronik yang Jimmy terima sebelumnya juga dari perusahaan teman dekat William. “Bagaimana kalau kamu tukar pertanyaannya?” celetuk William masih denagn ekspresinya yang datar. “Maksud Anda?” “Seperti.... Apa William benar-benar kehilangan ingatannya?” Jimmy sontak tertegun ia tidak bisa berkata-kata. William tidak perlu menyatakan lebih banyak fakta lebih lanjut tentang ingatannya karena rasanya Jimmy sudah dengan jelas mengetahui jawabannya saat ini. “Aku hanya pura-pura Jimmy,” imbuh William seraya melangkah lebih jauh ke dalam ruko kosong itu. Hening, Jimmy tidak menjawab apa-apa, wajahnya tampak bingung. Namun tentu saja William pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan hal itu. “Mengapa Anda melakukannya?” akhirnya Jimmy bisa meluapkan rasa penasarannya. Namun di satu sisi entah mengapa Jimmy merasa takut untuk mendengar jawaban dari William. Seolah William sedan
“Kamera recorder itu bisakah kau menemukannya?” tanya Daniel pada Aldo. “Aku tidak tahu apapun tentang kamera recorder itu, memangnya apa yang penting dengan benda itu mengapa Anda mendadak sangat terusik dengan hal itu?” Daniel tidak menggubris rasa penasaran Aldo, hening untuk sesaat dan jelas sekali ia tengah gusar saat ini. “Cari saja sampai dapat, kau orang yang dekat dengan Selena pikirkanlah di mana wanita itu menyembunyikannya.” Tanpa menunggu jawaban dari Aldo, Daniel langsung memutus panggilannya. Tidak, sebenarnya Daniel tidak butuh jawaban apapun karena seperti sebuah kewajiban Aldo memang di paksa untuk menuruti semua perintahnya. Aldo terdiam di banding dengan penasaran pada kemungkinan lokasi Selena menyembunyikan kamera itu, Aldo lebih ingin tahu mengapa Daniel menginginkannya dan mengapa pria itu harus bertanya padanya? Mengapa Daniel tidak bertanya pada Olivia? Atau entahlah. Yang jelas sepertinya rekaman yang ada dalam video itu bisa mengancam pria kurang ajar it
“Pertanggung jawaban apa di sini yang kamu maksud?” tanya William dengan gugup.Olivia mendengus, “Kenapa kamu pura-pura tidak mengerti? Bukankah sebelumnya kamu menjawab dengan penuh percaya diri?” cibir Olivia, “Mata di bayar mata, nyawa dibayar nyawa, William,” tegas Olivia kemudian. William terdiam, tatapan matanya sulit di artikan setidaknya itu yang dipikirkan Olivia. Namun di satu sisi Olivia merasa bahwa ia juga sangat bodoh karena mengulangi pertanyaan yang bahkan sudah ia tahu jawabannya. Bukankah karena William mengingkari tanggung jawabnya sebagai pelaku yang membuat Olivia jadi harus merencanakan hal gila semacam ini? Di tengah lamunan Olivia tiba-tiba saja William mendekat dan menempatkan sebuah pisau ke dalam genggaman Olivia. Bola mata Olivia membulat menatap wajah William yang kini tampak pilu bahkan senyum getir tersemat di bibir William.“Apa yang—.”“Kalau menghukumku dengan cara seperti itu akan membuatmu hidup lebih damai maka l
Bagai petir di siang bolong begitulah celetukan Olivia menyerang William. Langkah William terhenti, ia berbalik menatap Olivia yang terbaring di atas tempat tidur dengan mata berkaca-kaca.“Kenapa kau melakukannya?!” pekik Olivia tiba-tiba.William tersentak hingga air mata yang tertahan di pelupuknya mengalir jatuh.“Apa yang Selena lakukan? Apa benar kau melakukannya?!!!” Olivia kembali menjerit. Lalu ia tarik kembali lengan William hingga mengikis jarak antara mereka.Olivia yang sudah bangkit dengan kasar mulai memukuli William tanpa terkendali diiringi jerit hatinya mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang menyesakkan hati dan pikirannya.Namun William hanya tergugu membiarkan Olivia memukulinya sampai puas untuk melepas bebas di hatinya. Alih-alih mencegahnya William malah terus berusaha memeluk Olivia dengan raut penyesalan yang tergambar di jelas di wajahnya. Hati William teriris pilu melih
Di tepi danau yang sepi dan hanya bercahayakan lampu temaram pinggir jalan Olivia berdiri sendirian di sana. Menatap kosong ke arah Danau dengan riak air yang tenang. Sudah 15 menit Olivia berada di sana menunggu seseorang yang belum kunjung datang.Olivia melempar sebuah batu ke dalam danau nerusaha mengusir rasa bosannya. Tak lama berselang seorang dengan hodie hitam serta topi dan masker berwarna senada mendekati Olivia.“Kau lama sekali,” celetuk Olivia seolah yakin seseorang yang menghampirinya adalah seseorang yang sedang ia tunggu.“Tidak mudah untuk lepas dari pengawasan Daniel, dia mengasai dari mana pun....”“Kau yang melakukannya, Aldo bukan pria keparat itu.”Aldo terdiam, “Aku tidak bisa mematikan atau melepas senua peretas itu walaupun aku pergi. Daniel akan curiga.”Olivia tidak menggubris ia tidak tertarik, kepalanya sudah penuh sesak dengan semua kejadian yang terjadi sejak kem
“Laba-laba!” jerit Olivia tiba-tiba seraya mengibas angin dengan heboh di sisi wajah William hingga menyenggol tangan William dan menjatuhkan sendok berisi es krim strawberry dari tangannya.Tidak berhenti sampai di situ Olivia juga menyenggol manguk es krim di meja hingga mangkuk itu jatuh ke lantai dan menumpahkan seluruh isinya.Kegaduhan pun tercipta hingga menarik perhatian semua pengunjung restoran juga para pegawai di sana.Tidak bisa, Olivia tidak bisa melakukannya. Perasaan tidak tega masih menjadi pemenang atas perdebatan dengan rasa dendamnya yang ada dalam hatinya.“Maaf aku mengacaukan semuanya.” Olivia menahan air matanya agar tidak tumpah buntut dari ketakutan yang menyelimuti hatinya.Para pelayan pun datang dan membersihkan semua kekacauan, baik William maupun Olivia meminta maaf atas keributan yang terjadi dan William mengganti rugi atas barang-barang yang pecah.Namun set
‘Kau yang mempersulit dirimu sendiri karena tidak mau mengakui perasaanmu....’ begitulah seingat Olivia ucapan William di beranda rumah sakit ini dua tahun lalu. Serupa dengan apa yang dikatakannya hari ini.“Apa yang kamu bicarakan?” tanya Olivia penuh selidik.“Maaf sepertinya aku berlebihan, aku tidak seharusnya berkata begitu padamu,” balas William, raut wajahnya kembali berubah senyumnya pun terukir semula, “Ayo kita makan siang, kamu belum makan dari semalam.”Apa mungkin ia menanggapinya terlalu berlebihan? Ya bisa jadi William hanya asal ucap saja karena kesal dan lelah, tapi tetap saja ucapannya terdengar janggal. Olivia buru-buru membuang pikirannya dan berjalan mengikuti William menuju restoran dekat rumah sakit.Baru saja Olivia tiba di sana tiba-tiba ada panggilan masuk dari Daniel di ponselnya.“Misi pertama. Kau tau kan kalau William alergi strawberry. Aku ingin kau memesan makana
“Sudahlah aku tidak mau membahasnya malah membuatku sakit kepala.”Olivia hendak beranjak namun Adela langsung mencekalnya, wanita itu terlihat kesal karena bagaimana mungkin Olivia bisa begitu bodoh dan menolak William.“Ok mungkin ini terlihat mustahil buatmu bisa bersatu dengan Pak Will, tapi hey!!” Adela menjentik-jentikkan jarinya tepat di depan wajah Olivia agar wanita itu segera sadar dari kebodohannya. “Kamu lupa kalo Pak Will tidak pernah memandang sesroang dari status sosial mereka? Tidak perlu jauh-jauh deh, lihat saja mantan pacarmu si Jimmy itu. Kalau Pak Will mempedulikan soal status sosial dalam pergaulannya, dia tidak akan mau berteman dekat dengan Jimmy sampai akhirnya membantu Jimmy yang hanya sekedar pelayan kafe kecil menjadi asisten pribadinya, bahkan kamu yang menceritakan itu semua Olivia!!!”“Kamu lupa juga saat Pak Will membantu membayar biaya perawatan ayahnya Jimmy saat mereka baru saling menge