Bab 165) Kehilangan Ponsel Mila bangkit dan memungut pakaiannya satu persatu, kemudian melangkah tertatih keluar dari kamar. Di kamar ini tidak ada kamar mandi khusus, sehingga akhirnya ia harus melintasi dapur menuju kamar mandi di belakang. Setengah jam kemudian akhirnya ia keluar dari kamar mandi. Mila cepat-cepat berjalan masuk ke dalam kamarnya kembali. Suasana di area belakang rumah ini terlihat sepi, sepertinya semua orang sudah tertidur. Malam semakin larut. Mila kembali merebahkan tubuhnya. Pandangannya menerawang menatap langit-langit kamar. Belum sehari ia berada di sini, begitu banyak kejutan yang ia alami. Semakin ia melawan, semakin orang-orang ini menyakitinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah ia pulang saja ke rumah keluarganya? "Kurasa aku harus menghubungi Kak Faiz. Aku harus minta jemput dia. Lama-lama berada di sini, aku takut. Aku takut mereka akan semakin jahat padaku," batin Mila. Dia segera beranjak menuju lemari dan membukanya. "Hah...! Keman
Bab 166) Tawaran Ismah"Kembali?" ucap keduanya hampir berbarengan. Ismah mengangguk. "Mama rasa sudah waktunya kalian untuk pulang. Hanum sudah punya dua petak sawah. Masih ada dua petak sawah lagi kepunyaan Fahri. Itu harus kamu kelola. Rumah kalian disini juga tidak ada yang urus. Tidak mungkin selamanya mengandalkan Husna, kan? Bukannya usaha Husna sekarang semakin maju? Dia tidak akan punya waktu lagi untuk mengurusi rumah kalian," bujuk wanita berwajah keriput itu. Ismah menyeka sisa air matanya.Husna menatap heran ibu mertuanya. Tumben, kali ini wanita itu bersikap lembut dan bijak? Entah apa yang sedang Ismah rencanakan kali ini. Tidak mungkin ibu mertuanya mau berubah sikap secara mendadak."Di sini kalian berdua sangat dibutuhkan. Orang-orang di kampung ini sudah lama merindukan kalian. Mama jamin, jika kalian kembali ke kampung ini, pasti semua orang akan senang dan kegiatan keagamaan akan semangat kembali."Sepasang suami istri itu saling berpandangan."Hanum terlihat sa
Bab 167) Makan Tuh CintaIni kali kedua ia mendatangi Yasmin dan jawabannya masih tetap sama. Yasmin tidak pernah menjawab, iya atau tidak. Hari ini adalah batas kesabaran Zidan. Dia tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. Bagaimanapun Yasmin harus menjadi miliknya, karena dia tidak mau berdebat lagi dengan Andi yang terus-menerus mengingatkannya untuk memberikan ganti rugi kepada pemilik gudang tempat usaha yang ia bakar tempo hari."Aku tidak mencintaimu. Bukankah itu sudah aku bilang berulang kali?" Wanita itu tiba-tiba berbalik menghadap lelaki muda yang tengah berdiri dengan tangan bersedekap."Cinta itu akan datang jika kita sudah terbiasa bersama, lagi pula apa salahnya sih memulai hidup baru denganku? Ingat Yasmin, aku tidak mengulangi permintaanku," ucap Zidan sembari meraih Tania dari gendongan Yasmin. Balita itu melonjak-lonjak. Tangan mungilnya meraba wajah Zidan sembari berceloteh dengan bahasa bayi."Tak semudah itu, ZidanSeandainya saat itu aku tidak sedang hamil, mung
Bab 168) Darah Lebih Kental Dari Air "Ini rumahku, Ma. Sudah sewajarnya aku kembali ke rumah ini. Rumah inilah tempatku pulang," sahut Yasmin mengibaskan tangan Arumi yang mencegahnya untuk masuk ke dalam rumah."Oh, begitu ya? Tampaknya kamu sudah lupa dengan apa yang dikatakan oleh papa kamu sebelum dia menyuruhmu untuk meninggalkan rumah ini," ujar Arumi sinis.Wanita muda itu berhenti melangkah. Dia menatap ibu tirinya yang belakangan sikapnya berubah drastis setelah dirinya hamil diluar nikah."Aku tidak pernah melupakan kata-kata Papa, tetapi ingat, Ma, darah itu lebih kental daripada air. Hubungan darah lebih berarti dibandingkan dengan hubungan perkawinan. Hubungan perkawinan bisa bercerai dan semuanya langsung usai, tapi hubungan darah sampai kapanpun tidak akan pernah bisa terputus," balas Yasmin lengkap dengan seringainya.Dari awal ia memang tidak menyukai Arumi, yang dalam pandangannya tak lebih sebagai wanita yang haus dengan harta, bahkan hal itu juga yang membuat Yasm
Bab 169) Deal"Justru karena kamu adalah putriku, aku ingin memberikan yang terbaik. Jangan kamu kira selama ini Papa diam. Papa selalu memantau pergerakanmu. Papa tahu bagaimana usahamu selama ini. Papa tahu kamu tinggal di rumah kontrakan. Papa tahu kamu jual mobil, kemudian bikin usaha baru, setelah itu kamu sukses. Namun gudangmu kebakaran, lalu akhirnya rumah kamu disita oleh bank dan mobil yang baru kamu beli pun dijual lagi. Papa tahu semuanya, Yasmin." Haji Faisal menelan ludahnya demi membasahi kerongkongannya yang kering. Kesalahpahaman yang terjadi selama ini harus ia luruskan. Inilah saatnya."Tanpa kamu ketahui, Papa pun juga sudah menyewa orang untuk menyelidiki siapa sebenarnya yang menggagahimu malam itu. Namun sayang, usaha Papa nihil. Jadi sampai saat ini, kita belum tahu siapa sebenarnya ayah biologis Tania.""Papa menyelidiki semua itu?" seru Yasmin tak percaya.Lelaki setengah tua itu mengangguk. "Papa sangat menyayangimu, juga Tania. Mungkin cara Papa salah, tap
Bab 170) Aku Tidak Mau DimaduYasmin termenung beberapa lama sepeninggal Zidan. Nyaris saja tak mempercayai dengan keputusan yang sudah dia buat. Bagaimana mungkin dia mau menerima lelaki itu? Akan tetapi dia tak punya pilihan. Jika haji Faisal sudah turun tangan, sulit bagi Yasmin untuk menolak. Apalagi sekarang ia harus menumpang tinggal di rumah lelaki itu.Bermula dari krisis keuangan di perusahaan yang memaksa haji Faisal untuk menjual sebagian besar saham miliknya dan membuat ia kehilangan jabatan sebagai CEO di perusahaan itu. Kini Zidan malah memanfaatkan celah itu untuk membujuk haji Faisal. Tak heran jika lelaki itu menyetujui tanpa berpikir panjang, tak peduli dengan perasaan anak perempuannya sendiri."Aku harus atur strategi, bermain cantik agar tidak rugi. Aku tidak sudi menjadi tumbal untuk memenuhi ambisi papa. Aku benci pernikahan bisnis!"Yasmin bangkit dari tempat duduk dan meraih Tania, lalu kopernya yang teronggok di sudut ruangan. Dia bermaksud untuk masuk ke dal
Bab 171) Aku Tidak Mau Dimadu (2)"Maaf, Ma. Tapi Kak Ilham dan Dinda yang pertama kali membuat keributan lebih dulu," ujar Mila tertunduk. Kemarahan ibu mertuanya merupakan hal yang paling ingin ia hindari, karena wanita tua itu sangat sulit diredam emosinya."Aku yang membuat keributan, katamu?! Ngaca yang bener. Siapa yang tadi protes saat aku memberitahumu bahwa sebentar lagi aku akan menikahi Dinda?" hardik Ilham."Siapa yang tidak protes? Aku ini istrimu! Tak ada seorang perempuan yang sudi di madu. Sementara kamu dengan entengnya mengatakan akan menikahi Dinda, bahkan bercumbu di hadapanku....""Ilham benar. Seharusnya kamu yang berkaca. Tahu dan sadar akan posisimu. Kamu itu cuma istri yang tidak diinginkan. Seandainya kamu tidak hamil, pasti sekarang Ilham sudah menikah dengan Dinda," ujar Hayati berapi-api. Dia menatap Dinda dan menarik tangan wanita cantik itu untuk berdiri di sampingnya."Dinda itu perempuan pilihan kami. Dia selevel dengan Ilham. Jadi mau tidak mau, kamu
Bab 172) Sah! Semakin dekat mobil meluncur ke tempat acara, hati Mila semakin tak karuan. Ingin rasanya ia memaki-maki, membayangkan dirinya memainkan drama sebagai istri pertama yang tersakiti. Namun, semua itu ia tahan. Dia tidak mau membuat keributan yang berujung dengan kekalahan pada pihaknya. Biarkan saja dulu Ilham dan Dinda menikah, setelah itu ia akan melakukan satu hal yang membuat Dinda menyesal sudah merebut suaminya. Sah! Sah! Riuh suara orang-orang seperti sorak sorai saat hakim menjatuhkan vonis hukuman. Seperti ada yang hilang dari dirinya. Separuh jiwanya pergi. Tapi tak apa. Mau menangis pun percuma. Tak ada orang yang mau berbelas kasihan kepadanya. Pagi ini Dinda berdandan sangat cantik. Harus diakui, wanita itu memang lebih cantik darinya. Namun sayang, dia pun juga wanita murahan. Bagaimana tidak murahan, jika mau saja diajak tidur dengan lelaki tanpa ikatan yang sah. "Untung anak orang kaya. Seandainya keadaan orang tuanya sama sepertiku, barangkali dia pun
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny