Bab 170) Aku Tidak Mau DimaduYasmin termenung beberapa lama sepeninggal Zidan. Nyaris saja tak mempercayai dengan keputusan yang sudah dia buat. Bagaimana mungkin dia mau menerima lelaki itu? Akan tetapi dia tak punya pilihan. Jika haji Faisal sudah turun tangan, sulit bagi Yasmin untuk menolak. Apalagi sekarang ia harus menumpang tinggal di rumah lelaki itu.Bermula dari krisis keuangan di perusahaan yang memaksa haji Faisal untuk menjual sebagian besar saham miliknya dan membuat ia kehilangan jabatan sebagai CEO di perusahaan itu. Kini Zidan malah memanfaatkan celah itu untuk membujuk haji Faisal. Tak heran jika lelaki itu menyetujui tanpa berpikir panjang, tak peduli dengan perasaan anak perempuannya sendiri."Aku harus atur strategi, bermain cantik agar tidak rugi. Aku tidak sudi menjadi tumbal untuk memenuhi ambisi papa. Aku benci pernikahan bisnis!"Yasmin bangkit dari tempat duduk dan meraih Tania, lalu kopernya yang teronggok di sudut ruangan. Dia bermaksud untuk masuk ke dal
Bab 171) Aku Tidak Mau Dimadu (2)"Maaf, Ma. Tapi Kak Ilham dan Dinda yang pertama kali membuat keributan lebih dulu," ujar Mila tertunduk. Kemarahan ibu mertuanya merupakan hal yang paling ingin ia hindari, karena wanita tua itu sangat sulit diredam emosinya."Aku yang membuat keributan, katamu?! Ngaca yang bener. Siapa yang tadi protes saat aku memberitahumu bahwa sebentar lagi aku akan menikahi Dinda?" hardik Ilham."Siapa yang tidak protes? Aku ini istrimu! Tak ada seorang perempuan yang sudi di madu. Sementara kamu dengan entengnya mengatakan akan menikahi Dinda, bahkan bercumbu di hadapanku....""Ilham benar. Seharusnya kamu yang berkaca. Tahu dan sadar akan posisimu. Kamu itu cuma istri yang tidak diinginkan. Seandainya kamu tidak hamil, pasti sekarang Ilham sudah menikah dengan Dinda," ujar Hayati berapi-api. Dia menatap Dinda dan menarik tangan wanita cantik itu untuk berdiri di sampingnya."Dinda itu perempuan pilihan kami. Dia selevel dengan Ilham. Jadi mau tidak mau, kamu
Bab 172) Sah! Semakin dekat mobil meluncur ke tempat acara, hati Mila semakin tak karuan. Ingin rasanya ia memaki-maki, membayangkan dirinya memainkan drama sebagai istri pertama yang tersakiti. Namun, semua itu ia tahan. Dia tidak mau membuat keributan yang berujung dengan kekalahan pada pihaknya. Biarkan saja dulu Ilham dan Dinda menikah, setelah itu ia akan melakukan satu hal yang membuat Dinda menyesal sudah merebut suaminya. Sah! Sah! Riuh suara orang-orang seperti sorak sorai saat hakim menjatuhkan vonis hukuman. Seperti ada yang hilang dari dirinya. Separuh jiwanya pergi. Tapi tak apa. Mau menangis pun percuma. Tak ada orang yang mau berbelas kasihan kepadanya. Pagi ini Dinda berdandan sangat cantik. Harus diakui, wanita itu memang lebih cantik darinya. Namun sayang, dia pun juga wanita murahan. Bagaimana tidak murahan, jika mau saja diajak tidur dengan lelaki tanpa ikatan yang sah. "Untung anak orang kaya. Seandainya keadaan orang tuanya sama sepertiku, barangkali dia pun
Bab 173) Kau Jual, Aku BeliSekali lagi author mohon maaf atas kesalahan update bab. Kini bab 172 sudah tersedia untuk pembaca. Bagi kalian yang belum membaca bab itu, silakan membaca dulu, agar jalinan ceritanya bisa nyambung dengan bab 173. Terima kasih.***Namun wanita itu menggeleng. "Kamu salah terka. Aku tidak meminta apapun kepadamu, baik itu berupa perhiasan, uang ataupun pakaian yang bagus....""Lalu, apa maumu?" kejar Ilham."Aku harap setelah kamu menikahi Dinda, jangan pernah lagi masuk ke dalam kamarku malam-malam. Biarkan Dinda menjalani takdirnya sebagai istrimu dan aku menjalani takdirku sebagai pembantu di rumahmu. Kamu tahu arti seorang pembantu, bukan? Pembantu adalah orang yang membantu mengurus rumah ini dan mendapat gaji atas hasil kerjanya. Tugas seorang pembantu bukan melayanimu di atas ranjang....""Tapi kamu adalah istriku, Mila!" Ilham membentak secara spontan. Hampir saja ia melayangkan tamparan ke wajah istrinya. Namun beberapa detik kemudian dia menyadar
Bab 174) Ini Ponselku, Milikku!Matanya seketika bersinar. Dengan tangan gemetar, ia meraih benda itu. Tak salah lagi, ini memang ponselnya. Ponsel yang dulu menghilang dari kamarnya. Mila sudah pernah menanyakan ini kepada Ilham, tapi lelaki itu malah marah-marah dan menudingnya sebagai penyebar fitnah."Syukurlah, akhirnya ponselku ketemu juga." Otaknya segera berjalan. Selama berbulan-bulan ia kehilangan kontak dengan keluarganya, tak bisa menghubungi keluarganya sama sekali. Bahkan suatu hari saat ia minta izin untuk pulang pun, Ilham tak mengizinkan. Mungkin lelaki itu khawatir jika Mila mengadu kepada keluarganya.Mila menyimpan ponselnya di saku baju, lalu cepat-cepat melanjutkan pekerjaannya. Setelah kamar itu rapi, Mila pun keluar dengan keranjang besar berisi pakaian kotor di kedua belah tangannya. Wanita muda itu berjalan menuju kamar mandi.[Kak, tolong jemput aku di rumah Ilham. Aku sudah tak kuat. Mereka jahat padaku. Disini aku di perlakukan lebih kejam dari seorang pem
Bab 175) Tawaran Ayah Mertua"Duduklah. Tenangkan pikiranmu dan dengar kata-kata Papa," titahnya. Tangan lelaki itu terulur menyentuh jemari Mila. Namun seketika Mira menepis tangan itu.Matanya lekat menatap wajah ayah mertuanya. Darahnya seketika berdesir saat menangkap sesuatu yang berbeda. Tatapan yang mengingatkannya dengan para lelaki yang seringkali menggunakan jasanya dulu, sebelum ia mengenal Ilham."Apa yang mau Papa katakan? Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus mencuci pakaian yang menumpuk di kamar mandi," tunjuknya pada pintu kamar mandi yang terbuka. "Kamu tenang saja, Mila. Santailah. Mama sedang pergi dan dia tidak akan kembali sampai siang nanti. Papa perlu banyak ngobrol denganmu," sahutnya. Kali ini tangannya teralih, menowel dagu menantunya."Tapi aku tidak punya waktu untuk Papa. Kalau Papa punya keperluan, katakan apa keperluannya." Wanita itu menepis tangan papa mertuanya. Dia semakin merasa tak nyaman.Lelaki tua itu mengulurkan beberapa lembar uang berwarn
Bab 176) Meninggalkan Rumah MertuaSetelah mendapat kode dari suaminya, Husna mengajak Hanum untuk segera masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan Mila yang entah berada di ruangan mana. Senyum terukir di bibir Faiz saat melihat gerakan cepat kedua wanita itu."Tentu saja, karena kami takkan membiarkan siapapun menyakiti adik kami. Kami menyerahkan adik kami secara baik-baik sebagai istri dan menantu di keluarga ini, bukan sebagai pembantu!" sarkas Faiz. Sikapnya sangat waspada. Takkan ia biarkan lelaki tua ini lolos sehingga mencegah Husna dan Hanum yang sudah bergerak masuk ke dalam rumah. "Kenyataannya, kalian sudah keterlaluan. Kami sudah pernah bilang, jika kalian memang tidak menyukainya, maka kembalikan ia kepada kami!""Dia memang pantas diperlakukan seperti itu. Dia tidak perlu diperlakukan mulia hanya karena menikah dengan anakku. Memangnya kalian sudah lupa siapa sebenarnya adik kalian? Dia hanya seorang wanita penjaja selangkangan...."Plak!Ucapan kotor lelaki tua itu s
Bab 177) Dunia Terbalik"Sebenarnya aku juga tidak tega membiarkan Mila tinggal bersama bibinya Kak Husna, tetapi kita sudah tidak punya pilihan, Sayang," imbuh Fahri."Kita tinggal di kampung. Orang-orang di kampung ini pasti akan mengingat tanggal pernikahan Ilham dengan Mila dan tanggal berapa anak itu lahir nantinya. Jika tidak sampai 9 bulan, bukankah itu patut dipertanyakan?" Lelaki itu menghela nafas menatap istrinya yang tengah mengambilkan mobil-mobilan untuk putra mereka. Adzkar bersorak riang ketika sang ibunda menyerahkan mobil-mobilan kesayangannya. "Justru karena itu. Apa Kakak tidak mendengar teriakan Mila dari rumah Mama? Kak, yang dibutuhkan oleh Mila saat ini bukan pengasingan. Dia butuh dirangkul....""Tetapi apa yang harus kita lakukan? Kakak malu sekali. Kelakuan Mila seperti melempar kotoran ke keluarga ini. Dia pantas untuk di asingkan." Lelaki itu lantas duduk di sisi istrinya."Biarkan saja dia tinggal di sini dan kita tunggu reaksi keluarga Ilham. Memangnya
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny